Di sebuah pulau karang kecil, yang terletak agak jauh dari pantai di wilayah Dhaka. Seorang sepuh nampak tengah menatap ke arah daratan wilayah Dhaka. Dari sebuah bukit karang yang menonjol, di atas pulau kecil yang nampak tak berpenghuni tersebut. Orang-orang terutama para nelayan menamai pulau karang itu, sebagai pulau 'Karang Ular'. Karena memang banyak sekali ular laut, dan berbagai binatang berbisa di pulau itu. Tak heran jika tak ada seorang pun, yang berani mendarat ataupun singgah di pulau itu. Walau untuk sejenak, apalagi tinggal di atasnya. 'Demi Hyang Widhi Yang Agung..! Aura darah sudah menyelimuti Tlatah Kalpataru. Sepertinya 'prahara berdarah' yang di kabarkan 'langit', tak lama lagi akan terjadi. Baiklah. Muridku Bogananta akan mewakiliku, untuk berjuang bersama para pendekar di Tlatah Kalpataru', bathin seorang sepuh berjubah putih. Sosok sepuh itu adalah seorang Resi, yang telah lama menyepi dari dunia ramai. Usianya sudah mencapai ratusan tahun lebih. Namun so
"Para pendekar semuanya..! Telah kita ketahui bersama, betapa pihak kerajaan telah menekan dan memaksa kita semua para pendekar..! Untuk ikut 'menyerang' ke Tlatah Kalpataru..! Kita semua para pendekar Tlatah Palapa, adalah para pendekar yang cinta tanah air..! Namun kita juga cinta kedamaian..! Kita tak akan menyerang, jika kita tidak diserang..! Namun kita semua akan ikut berperang, tanpa diminta apalagi dipaksa, jika tanah air kita diserang..! Bukan jiwa kita semua para pendekar Tlatah Palapa..! Untuk mengobarkan api peperangan tanpa sebab, dan dasar alasan yang jelas..!" Mandala berhenti sejenak. "Benarr..!! Kami bukan alat memenuhi ambisi kerajaan..!!" "Setujuu..!!" "Raja Palapa memang tamakk..!!" "Kami tak mau membunuh, karena ambisi serakah sang Maharaja..!!" "Benarr..!! Kami ingin kedamaian..!!" Demikianlah seruan-seruan keras para pendekar Tlatah Palapa, yang ada dalam lingkaran pertemuan itu. Ya, mereka semua sangat setuju dengan prinsip pendekar, yang diutarakan M
'Hhhh..!' Splasshp..! Eyang Wilapasara hentakkan pusat energinya, seraya tekan ibu jari kakinya ke lantai. Dan energi pukulan seketika menjalar cepat di lantai, dan langsung merasuk dan mengalir di tubuh Raja Dharma Prasetya, yang saat itu masih menatap benci ke arah Prasti dan ayahnya. "Harrghks..!" Kreeghkk..! Seru tersedak mengiringi pecahnya jantung sang Raja. Tercengkram dari dalam, oleh pukulan yang tak tampak siapa pelakunya. Brughk..! Raja Dharma pun ambruk keras ke lantai, seraya memegangi dadanya. Sementara dari mulutnya menggelogok darah segar membanjiri lantai. Ya, sang Raja ambruk seketika dengan jasad sudah tak bernyawa lagi. Raja Dharma Prasetya telah 'mangkat' saat itu juga..! "Kanda Dharma..!" teriak panik sang Permaisurinya. "Paduka..! Paduka Yang Mulia..!" teriak keluarganya dan para pengawal istana. "Dimas Dharma..!" seru terkejut Pangeran Danuthama, seraya menghampiri adiknya itu. Cepat sang Tabib Istana di datangkan oleh pengawal istana. "Ahh..! Paduk
Slaph..! Elang kembali melesat ke bawah, dimana Sandi telah menunggu agak lama di sana. Taph..! "Maaf agak lama menunggu Sandi," ucap Elang, seraya tersenyum pada Sandi. Walau kini sebuah 'beban pilihan berat', tengah membebani hati dan pikiran Elang. "Tak apa Mas Prayoga," sahut Sandi tersenyum maklum. *** Kerajaan Belupang siang itu tengah mendapat kunjungan tamu luar biasa. Karena telah tiba dua orang tamu istimewa di istana itu. Siapa lagi tamu itu jika bukan Eyang Wilapasara dan Prasti. Tentu saja selain Pangeran Danithama, pihak istana belum mengetahui. Jika Prasti adalah putri pangeran Danuthama, yang telah puluhan tahun menghilang di hutan Shaba. Pangeran Danuthama memang sejak kemarin, telah kembali tinggal di kamar khusus istana. Dia telah menunggu kedatangan Eyang Wilapasara dan putri tersayangnya itu. Tentu dia saja merasa bahagia bukan main saat itu. Diciumnya tangan Eyang Wilapasara, dan dipeluknya Prasti, seolah tak akan dilepaskan lagi. Banjir airmata seketi
"Salam Eyang Paminggir," sapa Elang, seraya mencium tangan eyang Paminggir, yang duduk bersila di atas awan dengan senyum teduhnya. Lalu Elang pun ikut duduk di atas awan itu menghadap Eyang Paminggir. "Salam Elang. Ada hal penting yang hendak eyang sampaikan padamu. Dan ada juga hal yang harus kau pelajari, jika kau memilih jalan menetap Elang," ujar Eyang Paminggir. "Maaf Eyang Paminggir, Elang tak mengerti maksud ucapan Eyang," sahut Elang terus terang. "Elang ketahuilah. 'Langit' berkata akan menutup 'gerbang dimensi' yang terbuka, di atas Bukit Karang Waja. Dalam waktu sebulan lagi dari sekarang. Maka kauputuskanlah dengan bijak pilihanmu Elang. Kau akan menetap di dimensi ini, ataukah kau ingin kembali ke dimensimu di masa depan sana," ujar Eyang Paminggir, yang kini tak nampak dalam pandangan Elang. Ya, moksanya yang hampir 'sampai', memang membuat sosok Eyang Paminggir sekarang lama sekali menghilang. Dan hanya sekejap saja dia muncul kembali. Elang bagai sedang berbica
"Hah..?! Da-dalem Eyang Guru..?! Apakah Prasti tak salah dengar..?!" seru Prasti terkejut, mendengar ucapan eyang Wilapasara. Seketika dia menghentikan kegiatannya memilah-milah pakaian, yang hendak dicucinya di sungai. "Benar Prasti. Kita akan ke Tlatah Palapa hari ini," ujar Eyang Wilapasara tenang, mengulang ucapannya. "Ahh..! Baik eyang Guru..! Tapi sebenarnya ada hal apakah..? Mengapa tiba-tiba Eyang hendak ke Tlatah Palapa..?" seru gembira Prasti. Di benak Prasti otomatis berkelebat bayangan Elang saat itu juga. Namun dia juga bertanya penasaran, pada Eyang Gurunya itu. "Kita akan menemui Ayah kandungmu di sana Prasti," sahut tenang Eyang Wilapasara. Senyum haru seketika terlukis di wajahnya. "A-apa..?! A-ayah Prasti..! Eyang guru maksudkan, Ayah kandung Prasti masih ada..?!" sungguh bagai geledek di siang bolong bagi Prasti. Di saat mendengar jawaban dari Eyang Gurunya itu. Matanya terbelalak dengan wajah penuh keterkejutan, tangannya yang masih memegang pakaian nampak b