"Bagus sekali Panglima..! Apakah Panglima juga akan kembali bersama ketujuh Jung itu nanti..?" tanya Raja Pradipa. "Tidak Tuan Raja Pradipa. Aku akan menetap di sini bersama pasukanku. Gelombang kedua pasukkan nanti, akan dipimpin oleh sahabatku Panglima Bayang Mentari," sahut sang Panglima. Demikianlah, akhirnya kembali Panglima Bagus Tuah diantar oleh sang Raja Pradipa ke istana Palapa. Untuk melaporkan kedatangan bantuan pasukkan gelombang pertama dari tlatah Saradwipa itu, pada Maharaja Kumbadewa. Dan alangkah suatu kebetulan yang sangat menggembirakan, bagi sang Maharaja Kumbadewa saat itu. Karena kedatangan Panglima Bagus Tuah dan Raja Pradipa ke sana, tepat pada saat Surapati sedang berada di istana Palapa saat itu. Maharaja Kumbadewa langsung memperkenalkan Surapati dengan Panglima Bagus Tuah. "Selamat datang Panglima Bagus Tuah..! Semoga kita bisa bekerjasama di medan perang nanti," ucap Surapati hangat, seraya menjabat tangan Panglima Bagus Tuah. 'Hmm. Cukup luar bias
Namun di wajah itu juga terlukis sebuah kemantapan hati yang kuat. Kemantapan pilihan, untuk tak menerobos 'gerbang dimensi' yang hendak tertutup itu. Dan pemuda yang tengah termenung dalam kesendirian itu adalah, Elang..! Rambutnya yang kini agak gondrong bergelombang, nampak telah memutih seluruhnya. Namun hal itu malah terlihat semakin menambah kewibawaan dan kegagahannya. Kulit Elang masihlah kencang, alisnya juga masih hitam dan tebal. 'Ahh..! Hampir saja aku lupa..!' seru bathin Elang terkejut. Segera Elang mengeluarkan 'Kitab Jagad Samudera' dari balik pakaiannya. Lalu dia menerapkan aji 'Lintas bathinnya'. 'Permadi..! Ini aku Elang, di mana kau saat ini?' 'Elang..! Baru saja aku hendak menghubungimu. Aku sedang berada di kantor pusat kita di Jogja. Ada kabar apakah di sana Elang?' 'Permadi, bisakah kau menunggu di bawah 'gerbang dimensi' Candi Prambanan sana. Aku akan melemparkan Kitab Jagad Samudera milikmu, dari dimensi ini sekarang. Kau bersiaplah disana..!''Ahh..
"A-apa Elang..?! Sebuah pusaka?! Pusaka apakah itu Elang?!" seru sang Maharaja, tak bisa menahan rasa terkejutnya. Dia menjadi penasaran, dengan pusaka apa yang hendak diberikan Elang untuknya itu. "Paduka Maharaja Yang Mulia. Terimalah sebuah pusaka, yang kiranya cukup sebagai pegangan Paduka ini. Inilah panah pusaka ageman Prabu Salwapati dahulu kala, Ki Cakra Buana..!" Elang berkata seraya memanggil Ki Cakra Buana, dan mengangkat sedikit genggaman tangannya. Blashp..! Seketika nampaklah benda berkilau, di mata semua yang hadir diruangan itu. Sebuah anak panah dengan ukiran cakra di bagian ekornya. Dan mata anak panahnya lancip berkilau terang, penuh warna dan terbuat dari intan langit. "Hahh..! Ki Ca- cakra Buana..! Demi Hyang Widhi Yang Agung..! Itu adalah pusaka terhebat di jamannya..!" seru Ki Jagadnata terkejut bukan main. Dia sungguh tak menyangka, jika Elang juga memiliki pusaka legendaris itu. "Elang..! Sungguh ini adalah pusaka agung, yang dikabarkan telah lenyap
Blasstzz..! Blatzzsh..!! Tanah di bawah bekas sosok Jaduka berdiri nampak amblas, berbentuk dua telapak tangan Bogananta. Dan uap dingin biru nampak mengepul, dari lubang kedua telapak tangan itu. Dan area di sekitar tanah yang terkena pukulan telapak Bogananta pun, langsung berubah membiru. Kini keduanya saling berhadapan kembali, dengan kedua tangan yang masih menerapkan ajian yang sama. Tampak para pengunjung rumah makan itu, kini malah menyaksikan pertarungan mereka. Mereka menyaksikan dengan hati berdebar dan mata melotot lebar. Bagi mereka, kedua petarung itu sama kuat dan mengerikkannya. Namun tentu saja hati mereka semua berharap, si Pemuda kalem itulah yang menang. "Bogananta..! Kita langsung saja adu pukulan..!" seru Jaduka menantang. Hatinya demikian penasaran dan marah. "Baik," sahut Bogananta tenang. "Huupsh.!" Byarrsh..! Kini Jaduka benar-benar mengempos habis 'power'nya. Nyala keredepan kilat merah yang menyelimuti kepalan tangannya, nampak semakin berpijaran.
"Bedebah..! Siapa kau cari mati ikut campur urusanku..?!" sentak si Baju Kuning, yang kini beranjak berdiri dari kursinya. Matanya melotot merah, karena pengaruh tuak yang telah diminumnya. Dia merasa tak takut dengan siapapun saat itu. Karena dimejanya ada seorang pendekar ternama, yang pasti akan membelanya. Begitu pikirnya. Si gadis itu pun dibiarkannya berlari masuk ke arah dapur bersama ayahnya. Emosinya telah terpancing menggelegak, dengan kehadiran pemuda yang mengganggunya itu. "Aku cuma perantau, yang tak suka melihat kelakuan bejatmu," ujar si pemuda tenang, seraya membalikkan badannya. Dia bermaksud kembali menuju ke mejanya, setelah melihat si Gadis telah aman. Dan telah masuk kembali ke dapur, bersama ayahnya. Dia pun tak ingin berpanjang urusan lagi, dengan si Baju Kuning dan dua teman semejanya itu. Namun ... Sraankh..!! Si Baju Kuning cepat menarik goloknya di atas meja, dan langsung melepas sarungnya. "Ahh..! Awaass..!!" teriak para pengunjung rumah makan kag
"Pokoknya jika Tuan Pendekar Jaduka mau bergabung dengan serikat kami. Maka semua kesenangan dunia, akan kami berikan untuk Tuan Pendekar. Hahahaa..!" ucap seorang yang berbaju kuning. Ya, dua orang berbaju kuning itu adalah anggota Serikat Mata Dewa. Mereka sengaja disebar oleh Surapati, untuk menghimpun para pendekar Tlatah Kalpataru. Mereka diperintahkan membujuk dan mengajak para pendekar, untuk bergabung dan berpihak pada pasukkan Serikat Mata Dewa. "Hahahaa..! Bagaimana bisa aku menolak tawaran kalian ini. Semuanya sungguh menggoda..! Hahahaa..!" tawa bergelak terdengar dari orang yang dipanggil Jaduka itu. Dia adalah seorang pendekar yang cukup ternama di wilayah Marapat, julukkannya adalah si 'Tinju Petir'. Jaduka memang masuk dalam daftar 17 pendekar di daun lontar, pada sebaran pertama dulu. "Pelayan tambah tiga tabung tuaknya..!" seru orang berbaju kuning di meja itu. Rupanya dia benar-benar ingin menjamu habis-habisan si Jaduka itu. Tak lama kemudian. Ternyata Putr