Hujan gerimis menguyur kota Jakarta sedari pagi. Sejak bencana banjir tahun 2000-an yang cukup merusak parah beberapa kota, pemerintah sudah mengantisipasi lebih baik tahun ini.
Awal tahun 2005 yang indah bagi Keenan dan Alden. Keduanya mampu membuktikan pada orang tua masing-masing, bahwa tampang menawan mereka juga didukung dengan otak yang cerdas.
Keenan Ganendra, mampu menyelesaikan pendidikan bisnisnya dan menyabet gelar Sarjana Ekonomi.
Sedangkan, Alden Aminata berhasil menjadi pengacara muda. Alden juga mendapatkan tawaran menarik untuk bergabung dengan Hadi Saputra S.H and Partner. Sebuah biro hukum swasta yang cukup terkenal, karena kepiawaian mereka dalam menangani kasus besar nasional.
"Makan malam jam delapan, jangan telat!" teriak Siwi yang terkenal sangat bawel dan cerewet. Alden yang masih berkeringat dan menenteng bola basket segera mendapat pandangan melotot dari Siwi.
"Itu juga berlaku buat loe, Al!" pekiknya dengan rol rambut yang baru selesai ia pasang dan menambah roman muka galak.
"Astaga, jangan marah-marah ih ... cakepnya ilang!" tukas Alden menggoda Siwi yang empat tahun lebih tua dari mereka.
Siwi memajukan mulutnya dan melenggang pergi. Keenan berasal dari keluarga Seto Ganendra, bangsawan Jawa yang sukses menjadi importir tekstil.
Alden sendiri leluhurnya dari pulau Bali. Tjokorde Gde Raka Pambudi menikah dengan adik sepupu Seto yang masih keturunan keraton Solo. Raka memilih terjun ke dunia politik dan menjabat sebagai bupati Gianyar beberapa kali.
Alden sendiri dipercayakan pada keluarga Seto dan tinggal bersama mereka di Jakarta sejak lulus SD.
Malam itu Seto dan Raka berniat mengumumkan usaha kolaborasi mereka. Siwi sudah terlibat lebih dahulu dan menjadi direktur utama S & P Fashion Factory yang mampu menguasai outlet di beberapa kota besar.
"Jadi jalan nggak?" tanya Keenan sudah bersiap meluncur untuk mandi.
"Party jam sebelas, abis dinner kita cabut," jawab Alden dengan senyum terkembang.
"Sweet!" sambut Keenan terkesan dengan rencana Alden. Tidak lagi membuang waktu, keduanya melesat ke kamar untuk bersiap.
***Meja makan panjang yang di hiasi dengan taplak halus dari sutra dan rangkaian bunga mawar putih, terlihat mewah dengan hidangan yang beraneka. Hidangan melimpah dan menggugah selera tersaji sempurna. Sulangan pertama untuk merayakan kelulusan kedua pemuda yang menjadi kebanggaan.
Nenek Keenan, Eyang Widari yang masih terlihat cantik dan anggun diusianya yang ke tujuh puluh tahun tersenyum dan menunjukkan wajah bahagia.
"Sukses untuk kalian berdua dan perusahaan kita!" seru Raka yang disambut amin dan ucapan penuh syukur oleh seluruh yang hadir.
Selanjutnya acara cukup membosankan bagi kedua pemuda yang ingin segera hengkang dari tempat itu. Waktu menunjukkan pukul sembilan malam, dan Alden sudah mengirimkan sinyal pada Keenan untuk bersiap. Pesta yang dilangsungkan oleh Destria terkenal paling seru dan asyik. Keduanya tidak ingin melewatkan sedikit pun.
Melihat gelagat adiknya yang gelisah, Siwi mulai menyenggol lengan ibunya, Vero. Dengan tak acuh ibunya berbisik untuk membiarkan adiknya menikmati hidup sebagai pria dewasa.
Setelah berpamitan dan memberi alasan yang cukup masuk akal, Keenan dan Alden bergegas pergi.
Alden yang mendahului, membuka pintu dengan antusias. Seketika Keenan terkesima. Begitu pintu terkuak, turun dari mobil yang berhenti di depan pintu masuk yang mirip lobi hotel.
Seorang wanita yang luar biasa mempesona dan seksi. Wanita itu bergaun merah dengan belahan panjang yang memperlihatkan kakinya yang jenjang.
Punggungnya terbuka dan menampilkan liuk sempurna seorang perempuan. Sepatu hak tingginya berdetak memecah keheningan. Kedua pemuda tercengang.
"Selamat malam. Maaf aku terlambat," sapanya dengan suara lembut menggoda.
"I-iya. Masuk aja. Belum selesai kok acaranya," balas Keenan yang berusaha menutupi kegugupannya.
"Aku Shana," tangan indah dengan jemari lentik bercat kuku merah terawat terulur. Keenan mengangsurkan tangan dan Shana meremas dengan lembut.
"Alden," cetus Alden yang tidak mau kalah dan melewatkan kesempatan. Shana menyambut dengan senyum lebar. Dalam hati ia tergelitik dengan penampilan dua makhluk keturunan Adam yang sangat menawan tersebut.
"Aku antar ke dalam?" tawar Keenan dengan sopan. Alden mengerutkan keningnya. Dalam hati ia merutuk sepupunya yang selangkah lebih maju darinya. Shana mengiyakan dan keduanya melenggang ke dalam.
***Shana kemudian diperkenalkan sebagai wakil direktur Siwi yang akan mendampinginya, karena pengetahuan Shana tentang dunia fashion sangat luar biasa. Acara makan malam telah usai pukul dua belas malam.
Siwi sempat menyindir adiknya yang batal pergi, namun Keenan tidak acuh.
Semua telah kembali ke peraduan masing-masing. Keenan dengan cerdik mencari cara untuk melanjutkan malam itu dengan Shana.
Sebagai pemuda yang berusia dua puluh dua tahun, Keenan telah melewati kehidupan yang cukup liar dalam urusan wanita. Klop dengan Alden yang mengikuti dan kompak dalam berbagi wanita.
Terkadang mereka saling merelakan untuk melepas wanita incaran jika keduanya mendekati gadis yang sama.
Melihat Alden yang telah pergi untuk menghadiri pesta, Keenan mendapat kesempatan luas untuk mendekati Shana.
Setelah mengobrol sebentar dan berpamitan dengan Siwi, Shana melangkah keluar. Keenan yang telah menunggu wanita itu di teras menawarkan diri untuk mengantarnya. Shana tertawa.
"Aku membawa sopir dan mobil pribadi, Keen," jawab Shana.
Keenan menyukai tatapan cerdas wanita yang entah kenapa sekilas mirip dengan bintang Hollywood terkenal dulu, Monica Belluci semasa muda. Shana lebih cocok menjadi supermodel dibandingkan wakil direktur Siwi.
"Berarti tertutup kesempatanku," balas Keenan kecewa. Shana menatap pemuda itu dan menimbang sejenak.
"Mungkin mobilmu lebih nyaman dibandingkan mobiku," ucap Shana dengan lembut.
Keenan seperti tersengat. Cara Shana mengiyakan tawarannya sangat elegan dan menarik. Ia melihat Shana berbicara dengan sopirnya sebentar dan kembali menemui dirinya
"Shall we?" ajak Shana.
Keenan merogoh kunci dan bergegas menuju kendaraannya diikuti Shana. Keduanya meluncur menuju apartemen di kawasan Kuningan.
Sepanjang perjalanan Keenan melemparkan obrolan klise yang langsung ditanggapi mentah-mentah oleh Shana.
"Kalimatmu sangat basi. Perlu belajar lebih jauh untuk nakal yang lebih elegan dan klasik, bukan klise," goda Shana terus terang. Keenan tersipu dan mengakui Shana bukan wanita sembarangan.
Shana mempersilahkan masuk dan dengan cekatan menuangkan red wine untuk Keenan dan dirinya.
Pemuda tampan itu menyesap cairan merah yang sesuai seleranya. Ia memperhatikan, betapa Shana memiliki selera yang lumayan tinggi mengenai interior desain.
"Aku mandi dulu," pamit Shana dengan senyum menggoda. Keenan melempar pandangan penuh arti.
Lima belas menit kemudian, Shana keluar dengan handuk membelit tubuhnya. Tanpa riasan wajah, pria yang beranjak dewasa itu lebih terpesona pada wanita berkulit putih mulus tersebut.
Keenan terus menatap Shana yang mendekatinya dirinya di sofa dengan ekspresi terkesima.
"Wine?" tanya Shana dengan suara hampir berbisik. Keenan tidak lagi ragu menarik wanita bertubuh molek yang terlihat pasrah.
"Aku bosan basa basi," jawab Keenan dengan mata nanar. Shana menggigit bibir dan dengan perlahan naik ke atas pangkuan Keenan.
"Untuk yang satu ini, aku suka foreplay dan basa basi yang lama," bisik Shana mengelus tonjolan keras yang mencuat dari balik celana Keenan.
Pemuda itu melenguh pelan dan memagut bibir Shana yang ranum dan penuh. Dengan sekali sentakan tangannya menarik handuk dan melepasnya dari tubuh Shana.
Dua buah bulatan besar terpampang indah dan padat. Keenan tidak lagi melepas kesempatan itu. Mulutnya melahap dan lidahnya menelusuri dengan liar tiap inci tubuh Shana.
Desahan mendesis dan kalimat menggoda yang terdengar seksi terlontar dari Shana. Malam itu keduanya berpacu dalam gelora panas yang memabukkan laksana candu.
Gairah muda yang meletup-letup namun seiring stamina terlatih, membuat Keenan tampil maksimal dan Shana memekik girang.
Hasrat memang terlalu nikmat!
Alden mengernyitkan mata saat matahari menerobos kaca dan menyinari kamarnya. Keenan sudah masuk ke paviliunnya dan membuka lebar-lebar pintu kaca dan menyibak gorden. Kolam renang yang tepat berada di depan kamar Alden, terlihat biru dan menyegarkan pandangan."Bangun! Jam sebelas siang nih!" seru Keenan menghempaskan tubuh di sofa bulat."Sial. Kemana aja tadi malem, Loe?!" umpat Alden dengan kepala pening. Dirinya terlalu banyak mengkonsumsi alkohol tadi malam."Ngelonin Shana ...," jawab Keenan ringan. Mata Alden yang masih mengantuk mendadak terbuka lebar."Sial, Loe! Serius?" pekik Alden tidak percaya. Keenan tertawa dan tidak memberikan jawaban."Bokis pasti deh ...!" sanggah Alden tidak ingin segera percaya."She's a masterpiece ...!" cetus Keenan pamer. Alden meletakkan kepalanya kembali di atas bantal."Kampret, pantesan anteng," gerutu Alden."Gue mau ke kantor bokap, Siwi pese
Apa yang salah dengan menyukai satu wanita pada waktu bersamaan? Tidak masalah dan bukan hal penting dalam hidup Keenan dan Alden.Keduanya hanya menganggap wanita untuk dimiliki seperti barang dengan nilai yang bisa dibeli. Alden merelakan Shana untuk Keenan saat ini. Biasanya Alden akan menikmati kemudian saat Keenan sudah mendapat mainan baru. Sebuah kerjasama yang sopan, tapi membuat bergidik bagi kaum 'normal'.Tawaran Seto pada Keenan untuk membantu Siwi, segera diterima dengan antusias. Kebersamaan dengan Shana akan lebih intens lagi. Tetapi, anggapan Keenan salah.Walaupun Shana telah tidur dengannya, namun tidak semudah itu menikmati tubuhnya setiap saat. Shana ternyata bukan wanita yang sembarangan mengumbar kesenangan jika ada prioritas yang lebih penting.Keenan harus menelan kecewanya. Tetapi sore itu, Keenan berniat mencoba lagi. Kantor mulai sepi dan Shana masih berkeliaran di kantornya. Dengan harapan yang menggebu, Kee
Vero menata dengan rapi setiap tangkai bunga di vas. Sudah lima vas terisi dan menghiasi beberapa sudut rumah. Berkat kelincahan tangannya, rumah Seto tidak pernah terlihat dingin dan hambar. Selalu ada nuansa hangat yang menyentuh tiap sisi rumah mewahnya di kawasan Pondok Indah tersebut.Siwi sudah berpamitan sejak pagi tadi ke kantor. Mertuanya, Eyang Widari sudah kembali ke Salatiga. Terkadang ia merasa kesepian. Namun semenjak Siwi hadir kembali, Vero mulai merasakan keceriaan.Siwi sangat pandai membuat keluarganya berkumpul. Seto, ayahnya, bahkan sanggup meninggalkan seluruh pekerjaannya demi memenuhi permintaan putrinya untuk makan malam.Vero tidak pernah menganggap Siwi anak tiri. Namun perlakuan Widari yang dari semula tidak menyukainya, membuat Vero tidak sempat mengasuh Siwi sejak ibunya meninggal."Biar Siwi tinggal bersamaku!" tegas Widari yang terlalu membanggakan Miana, menantunya yang meninggal karena kanker ot
Terkadang sulit memulai sebuah kisah yang apik dan menarik dalam hidup. Jika kita terjebak pada kehidupan yang jauh dari kemudahan, maka kita cenderung tertelan dalam perjuangan untuk bertahan.Namun, memiliki hidup yang bergelimang harta juga tidak gampang. Keenan dan Alden bukan hanya dua pemuda yang hidup dari keberuntungan memiliki leluhur yang kaya raya. Mungkin ada jutaan manusia seperti mereka. Sayangnya, kebanyakan dari mereka, mengawali kisah dengan cara yang monoton seperti pendahulunya.Apa yang membuat Keenan dan Alden menarik? Mereka menempuh kehidupan yang jauh lebih liar dari leluhur mereka hanya untuk mencari sesuatu hingga ke titik PUAS. Pencarian jati diri? Mungkin. Atau, ada sesuatu yang baik, terjadi di balik keliaran hidup mereka? Sepertinya Alden sudah memulai menuju ke arah tersebut."Ini bantuanku untuk mereka," ucap Alden mengulurkan sebuah amplop cokelat pada Siwi."Apa ini?" tanya Siwi heran.Tan
Sejak proposal kerjasama yang mereka ajukan bersambut baik dengan Mercure, Shana dan Siwi sibuk menyiptakan berbagai rencana. Shana merekrut perancang muda yang berbakat. Dalam waktu tiga bulan awal mereka harus menampilkan performa terbaik."Masih ada yang kurang. Desain ini bagus, tapi terlalu modern. Seni tradisional batiknya tenggelam," keluh Siwi. Ya, mengangkat batik sebagai bahan material utama, Siwi berharap pilihannya akan menjadi sesuatu yang unik dan berbuah sukses."Gimana sama yang ini?" tanya Shana. Siwi masih menggelengkan kepalanya."Ada satu desainer yang cukup menarik simpatiku. Tapi dia karyawan Eyang. Namanya lupa, dia menciptakan kemasan yang apik untuk kopi Eyang sampai sekarang laku diimpor ke Belanda," ucap Siwi sambil berpikir keras."Bisa dipinjem nggak?" tanya Shana sambil membereskan kertas berisi gambar terpilih di meja."Dia kesayangan nenekku, Shan. Aku nggak yakin," jawab Siwi kecut.
Indira datang sedikit terlambat dari biasanya. Untuk menghemat ia naik sepeda dan jarak dari rumah ke kantor memakan waktu yang lumayan jauh."Kamu keringatan banget sih!" tegur Erna.Indira mengangguk dan bergegas ke kamar mandi. Dengan secepat mungkin ia berganti baju dan kembali ke ruangan."Naik sepeda lagi?" tanya Erna sebelum ia masuk kantornya."Biar sehat, olahraga," jawab Indira cepat. Erna mencibir dengan kesal."Kenapa nggak bilang kalo bokek, sih?" gerutu Erna sambil merogoh tasnya dan mencabut beberapa lembar. Ia melesakkan ke dalam kantong Indira yang mencoba berkelit."Kalo kamu nggak terima, berarti egois. Kakekmu butuh ini," ancam Erna. Indira berdiri dengan bibir bergetar."Maturnuwun ya, Er," bisik Indira lirih sekaligus menahan malu. Erna menepuk lengan Indira dan tersenyum tulus.***Makan siang setengah jam lagi. Indira membuka dengan pelan tasnya. Empat lembar lima
Indira menarik amplop putih dan merobeknya. Raut wajahnya pias. Banyak sekali uang ini? batin Indira terkejut.Hatinya makin kesal. Ia tidak butuh belas kasihan! Setelah menebus obat, ia bergegas pulang. Ketika melewati warung, Indira membeli semua kebutuhannya dengan sisa uang miliknya. Gadis itu hanya mengambil sejumlah yang ia berikan pada Alden sebelumnya, dari amplop tersebut.Begitu tiba di rumah, Indira mengintip kamar kakeknya. Masih terlelap. Indira kembali keluar dan menerjang malam menuju rumah Widari."Lho? Mbak Indi, kok tumben?" sapa Haris satpam rumah bosnya. Indira tersenyum ramah dan bertanya apakah Alden ada."Baru aja pulang. Sebentar saya panggil, Mbak," jawab Haris dan Indira mengucapkan terima kasih.Gadis itu memilih duduk di pos satpam sambil memeriksa handphonenya."Indira?" seru Alden dengan wajah senang. Indira mengangguk datar dan meraih tangan Alden serta mengembalikan amplop putih t
Alden kembali ke Jakarta dengan semangat yang membara. Tekadnya untuk serius menekuni tugasnya di perusahaan kini bulat. Ia dan Keenan akan bekerja dengan sebaiknya. Semoga usaha Alden menjadi bantuan yang sangat berarti untuk Indira.Entah kenapa Indira sangat mencuri simpati dan perhatiannya. Bukan dalam cara biasa seperti ia tertarik pada lawan jenis. Namun timbul rasa ingin melindungi, yang mendorong Alden hingga ia sendiri bingung akan perasaan tersebut."Al, produksi dari desain Indira sudah diproses. Jika ini berhasil, kamu harus stand by di Salatiga dan mendirikan kantor khusus untuk mengembangkan berikutnya!" seru Siwi pagi ini."Seserius itu?" tanya Alden."Tidak ada yang kuanggap sepele dalam hal apa pun. Menciptakan rumah mode akan membuat Indira nyaman dan bekerja maksimal," jawab Siwi yang didukung oleh Shana.Keenan hanya terdiam membisu di sebelahnya, dengan wajah terpaku pada laptop. Di layar menampilkan de