Share

Sang Pengantin Lucchesi
Sang Pengantin Lucchesi
Penulis: Nightin Fourth

1. The Visitors

LIZ memandangi tubuhnya dari pantulan bayangan di cermin yang menempel di pintu lemari kayunya. Dibalut T-shirt putih polos dan celana katun longgar, tak ada yang terlihat salah pada diri Liz. Kecuali kantung mata tebal dan kenyataan bahwa tubuhnya tengah mengasup kehidupan lain. 

Secara naluriah Liz mengusap perutnya, merasakan tonjolan kecil yang nyaris tak kentara tertutupi kausnya.

Kandungannya sudah memasuki bulan ketiga, atau itulah yang dikatakan dokter siang tadi. Belum banyak perubahan yang ditunjukkan oleh efek kehamilannya. Namun, sebentar lagi pasti terlihat.

Dulu, Liz terkadang iseng memikirkan suatu hari nanti dirinya dalam gaun longgar dan perut buncit serta kaki bengkak, berusaha memakai kaus kaki rajut dan mengomel karena kesulitan. Liz yang masih remaja selalu berakhir terkikik membayangkan betapa dirinya yang pendek akan terlihat lucu dengan perut seperti itu.

Tapi sekarang dia tidak bisa tertawa. Wanita itu merasa takut.

Sebelumnya, ketika bersama Robin, Liz merasa yakin bisa melalui semua ini. Tapi sekarang tidak, dia tidak siap. Dengan hamil di luar nikah, sendirian, dan tabungan yang minim, Liz tidak yakin bisa bertahan.

Janji pernikahan Robin kini terasa ... tak ada artinya.

Oh bodohnya Liz ... janji itu memang tidak ada artinya!

Liz mengingat jelas raut ngeri Robin ketika wanita itu memberitahunya bahwa dia tangah mengandung. Robin tak mengatakan apa pun hingga kemudian dia pamit undur diri dengan alasan tak jelas. Itu adalah penolakan halus yang berefek bom ledak pada Liz. Wanita itu menghabiskan sisa malam dalam tangis dipelukan Niki, sahabatnya.

Esok harinya, sebuah email masuk ke akun Liz. Pesan dari Robin, isinya adalah permintaan untuk mengugurkan bayinya dan memutus hubungan yang telah mereka jalani. Sekali lagi, Liz merasa dihancurkan.

Hingga seminggu kemudian, dia melihat berita mengejutkan tentang kecelakaan seorang petinggi bank besar, yang tak lain adalah Robin.

Robin menipunya. Pria itu ternyata bukan seorang pria biasa dengan kehidupan sederhana. Selama ini yang dia tunjukkan pada Liz hanyalah kepalsuan.

Sekarang Liz harus bagaimana?

Semuanya kacau.

Wanita itu bahkan tak berani memberi kabar lagi pada ibunya. Oh, Tuhan, ibunya adalah wanita konservatif yang menganggap hamil di luar nikah adalah hal tabu. Tapi Liz menyayangi ibunya, janda malang itu pasti tengah bertanya-tanya mengapa putrinya belum memberi kabar selama sebulan terakhir.

Nanti, Liz akan memberi memberitahu ibunya, ketika wanita muda itu pulang ke rumah karena Liz tak berani menyampaikan berita ini lewat telepon.

“Maafkan aku,” cicit Liz sembari mengusap matanya yang berair. 

Liz membuka pintu lemari lalu mulai mengeluarkan pakaiannya. Memilah mana yang perlu dibawa langsung dan yang perlu dipak lewat pos. Wanita itu juga berusaha keras untuk mengabaikan pakaian Robin yang terlipat rapi di dalamnya, sisa-sisa bukti keberadaan Robin di apartemen mungil ini selama setengah tahun terakhir.

Lupakan dia, perintah Liz pada dirinya sendiri.

Wanita itu meraih koper usangnya dari atas lemari. Ritsleting koper itu baru ditarik membuka sepanjang lima sentimeter ketika bel apartemen Liz berbunyi.

“Siapa?” bisik Liz.

Orang yang menekan bel tidak mungkin Niki karena sahabatnya itu juga pernah tinggal di sini—meski sekarang dia tengah pergi ke Oxford untuk urusan pekerjaan—dia bisa langsung masuk menggunakan kunci duplikat.

Jangan-jangan itu ibunya yang tengah berkunjung untuk mengecek keadaan Liz? Oh Tuhan, jangan sekarang.

Dengan berjingkat-jingkat, Liz berjalan tanpa menginjak lautan pakaiannya yang tersebar di lantai kamar. Bel kembali berbunyi, Liz kini berlari menuju pintu depan tapi tak langsung membukanya. Liz terlebih dahulu mengintip melalui lubang intip pintu.

Liz melihat sesuatu berwarna hitam mengilap. Apa-apan itu?

Bel kembali berbunyi, kali ini tiga kali tekan beruntun. Liz membuka pintu apartemennya dan menjerit terkejut, sebab wajahnya langsung dihadapkan dengan wajah seseorang yang setengahnya tertutup topeng hitam.

Oh tidak, tunggu, itu bukan topeng. Itu hanya kacamata hitam mengilap dengan hiasan berupa berlian di bagian bingkainya—Liz tak punya kemampuan membedakan berlian asli atau bukan tapi yang ini kelihatannya seratus persen asli.

Pemilik kacamata itu menegakkan tubuh dan Liz refleks mendongak karena sang tamu lebih tinggi setidaknya satu kepala daripada Liz. Barulah Liz menyadari bahwa tamunya adalah seorang wanita dengan rambut pirang bergelombang, tas kulit hitam—yang entah apa mereknya—dan mantel abu-abu bergaris halus super modis.

“Kau Liz? Maksudku, Elizabeth O'Hare?” tanya wanita cantik yang lebih cocok berada di catwalk suatu tempat di pusat London alih-alih lorong apartemen Liz.

“Ya,” jawab Liz.

“Oh ...,” gumam si wanita pirang. Dia lalu melepaskan kacamata hitamnya. Liz sontak merasa malu di bawah tatapan mata biru pirus dan sapuan eyeliner sempurna itu.

“Kau ... siapa?” tanya Liz.

“Oh, aku Jessamine,” jawab si wanita pirang disertai senyuman menawan bergigi rapi.

Rahang Liz nyaris jatuh berkelontang. “Kau? Jessamine? Tunggu, apa kau ini Jessy Hester yang itu?”

Untuk sesaat Liz melihat ekspresi canggung di wajah tamunya ketika wanita pirang itu mengerlingkan mata dan berdeham. “Kalau maksudmu model terbaik—menurut beberapa majalah—tahun ini, yah, ya aku memang Jessy Hester yang itu. Ngomong-ngomong kau bisa memanggilku Jessy sementara aku memanggilmu Liz, setuju?”

Liz tak bisa memberikan jawaban lain selain persetujuan. Dia juga baru sadar bahwa Jessy tidak datang sendirian, ada dua orang pria berpakaian resmi yang berdiri di belakang Jessy. Satu berambut pirang dan satu berambut gelap, keduanya memakai kacamata hitam polos. Ya Tuhan, apa mereka berdua pengawal Jessy?

“Bagus. Nah, kalau kau tidak keberatan, maukah kau mengizinkan aku bertamu sebentar?” tanya Jessy sebelum menambahkan, “ada hal penting yang harus aku bicarakan denganmu.”

Dan tentu saja Liz mengizinkan mereka masuk ke dalam rumah, yah tak setiap hari model papan atas yang kau puja bertamu ke rumahmu. Wanita berdarah campuran Irlandia-Perancis itu diam-diam mensyukuri keadaan ruang tamunya yang cukup layak untuk menerima tamu, meski mungkin sama sekali tak tampak berkelas untuk model setenar Jessy Hester, yang kini duduk di sofa hijau lumut Liz. Sementara itu, si pria pirang duduk di sebelah Jessy dan si pria berambut gelap di sofa lainnya.

Sayangnya Liz tak memiliki apa pun yang pantas disajikan untuk Jessy. Sebagian karena dua bulan terakhir nafsu makan Liz kacau—pengaruh dari trimester pertama kehamilannya—hingga dia malas membeli makanan selain makanan instan dan sebagian karena kemungkinan besar Jessy tak akan sudi memakan apa yang disajikan Liz.

“Jadi ... apa boleh kutebak kedatanganmu ke sini tentu tak ada hubungannya dengan pekerjaanmu?” tanya Liz, memecah keheningan karena Jessy tampak melamun pada tiga puluh detik pertama.

“Oh, hmm, yah sebenarnya ini ada hubungannya dengan pekerjaanku yang lain,” sahut Jessy.

Netra biru sang model menatap ke atas kepala Liz. Apa yang dia lihat? Puncak kepala Liz yang berambut berantakan? Oh, bukan. Pasti foto keluarga yang digantung di dinding. Foto yang berisi potret Liz, ibunya, dan adik Liz di hari kelulusannya di universitas.

“Apa—tepatnya—itu?” tanya Liz.

Jessy menghela napas, mencoba melemaskan bahunya. “Robin Lucchesi memberitahuku bahwa kau tengah hamil muda, tepat sebelum kecelakaan itu, jadi aku datang ke sini untuk menjemputmu. Mulai sekarang keluarga Lucchesi akan mengurus keperluanmu dan calon bayimu.”

“Apa katamu?” tanya Liz serta merta.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status