Share

7. Hester

PADA pagi berikutnya, Liz mendapati kantung matanya semakin parah. Sembap karena campuran bekas menangis, lelah, dan stres. Julukan rubah berbintik yang dianugrahkan Niki dengan murah hati pada Liz kini mungkin harus diubah menjadi panda berbintik.

Semua itu juga jelas bukan kombinasi yang bagus untuk bayinya. Oh bayinya yang malang ....

Callida, yang ternyata dulunya juga bekerja sebagai pengasuh bayi di keluarga Lucchesi, menasehati Liz agar merilekskan diri dan jangan memikirkan hal yang berat-berat. Seakan itu mudah untuk dilakukan begitu saja. Mendorong semua pikiran berat yang mendominasi ke belakang kepala.

Tapi serius, ya ampun! Memangnya Liz bisa bersantai sementara segunung masalah ruwet ini menantinya?! Liz bahkan tak tahu mukanya harus ditaruh di mana jika nanti Jessy menemuinya.

Liz adalah selingkuhan suaminya yang kini mengandung bayi pria itu. Bayi yang jelas-jelas menjadi musuh bagi pernikahan Robin dan Jessy.

Itu jugalah alasan dia bersikeras serapan di kamar dan tidak ingin dijenguk oleh siapa pun kecuali Callida. Meskipun sebenarnya Liz merasa tidak sopan ketika menolak Signor Matteo, Liz hanya masih belum siap menghadapi masalah lainnya. Dia ingin mencerna apa yang terjadi di sisi keluarga Lucchesi, karena kini masalahnya jauh lebih rumit dari yang Liz kira.

“Jessy pernah mengugurkan bayinya?” Liz membeo ujaran Callida. Seperti yang selalu dia lakukan setiap kali mendengar hal mengejutkan dalam cerita yang Callida ucapkan. Yah, Liz meminta sang pelayan yang sepertinya orang kepercayaan itu untuk menceritakan garis besar hal yang terjadi di keluarga Lucchesi.

Wanita yang mengaku telah bekerja selama tiga puluh lima tahun untuk Signor Matteo itu mengangguk menanggapi Liz. “Ya, dua tahun setelah pernikahan mereka. Waktu itu karir modeling Jessamine tengah meroket dan wanita muda itu bersikeras ingin menunda kehamilannya. Mereka bertengkar, tentu saja. Robin telah menanti-nanti buah hati pernikahan mereka. Setelah itu pernikahan mereka mulai retak.”

Liz menghitung tahun-tahun dalam kepalanya. Dua tahun setelah pernikahan Jessy dan Robin, itu berarti sekitar empat tahun lalu. Memang benar karir Jessy mulai gemilang pada saat itu, tapi tak ada kabar sama sekali tentang kehamilan dan pernikahan.

“Oh, tunggu, kenapa Jessy tidak memakai nama belakang Lucchesi? Mereka kan sudah menikah?” tanya Liz. Satu hal yang membuatnya sama sekali tak berpikir bahwa Jessy adalah istri Robin.

“Maksudmu nama Hester? Oh, itu nama gadisnya, dan dia sudah terlanjur terkenal dengan nama itu. Jessamine menikmatinya sebab itu berarti nama Lucchesi tak memengaruhi ketenarannya. Dia meraih semua pencapaian dengan usaha sendiri. Sayangnya dia mengorbankan pernikahannya secara tak sadar demi ketenaran itu,” jelas Callida. Diawali tawa kecil, tapi diakhiri dengan ekspresi muram.

Yeah, yang dijelaskan Callida barusan masuk akal.

Bahkan dari awal pertemuan mereka, Liz sendirilah yang menebak nama belakang Jessy adalah Hester, dan Jessy tentu tak menyangkal karena itu memang benar. Jessy hanya tak mengatakan bahwa dia juga Lucchesi, dan kenapa wanita itu tidak menjelaskan hal penting ini pada Liz? Agar Liz mau ikut bersamanya ke Italia? Atau Jessy takut Liz terpukul akan kenyataan ini?

Liz menghela napas dan berusaha menghabiskan susu paginya. Setelah selesai dengan susu, wanita itu memandangi jendela kamarnya yang megah, meneliti ukiran di kosen kayunya yang sederhana namun elegan.

Tiga tahun lalu Liz pasti sudah histeris melihat rumah bergaya ini. Ketika dia masih seorang mahasiswi naif, ah, tapi toh sekarang ini dia masih naif. Sayangnya wanita itu menyadari gelar sarjana seninya menjadi tak begitu berharga tanpa adanya fasilitas dan musim ekonomi yang tepat.

Liz beranjak dari kursinya, berjalan menuju kasur dan meraih ponsel yang semalam dia lupakan.

Layar kunci ponsel murahnya menampilkan lima missed call dan delapan pesan teks. Kesemuanya datang dari nomor yang sama, nomor Robin Martel. Yeah ... Robin tidak pernah menyebutkan nama Lucchesi pada Liz. Kemarin Luca memberitahu Kiz bahwa nama lengkap Robin adalah Robin Martel Lucchesi.

Kini Liz tertawa kecut menyadari kesamaan suami istri itu. Jessy dan Robin sama-sama tidak berbohong, mereka hanya mengatakan kenyataan yang tidak lengkap. Seperti dalam kisah-kisah peri yang tak bisa berbohong tapi juga sangat cerdik untuk menyembunyikan rahasia.

Pintu kamar Liz diketuk tiga kali.

“Itu Stefan,” ujar Callida. Entah bagaimana wanita itu bisa mengetahuinya. Nada ketukan mungkin? “Kau ingin dia pergi juga atau ....”

Stefan adalah adik Jessy, fakta lainnya. Liz masih bertanya-tanya bagaimana pandangan Stefan terhadap Liz yang menjadi duri dalam pernikahan saudarinya.

“Eh uhm ... izinkan saja dia masuk,” sahut Liz.

Callida segera bergegas membuka pintu untuk Stefan. Pria itu muncul dengan celana jogger, kaus abu-abu longgar, dan sepatu olahraga. Matanya yang sewarna zamrud menatap Liz heran.

“Hai, selamat pagi,” sapa Stefan. Pria itu lalu duduk di depan Liz.

“Selamat pagi,” balas Liz. Diam-diam bersyukur karena punya pengalihan untuk kembali mengabaikan telepon dan pesan Robin.

“Aku kira kau akan ... uhm, menolakku. Jessy dan yang lainnya sangat khawatir kalau-kalau kau jadi ....” Stefan kesulitan mencari rangkaian kata yang tepat. “Eh, lupakan saja deh. Apa kau sudah merasa lebih baik? Maksudku, kau pingsan semalam.”

“Oh, ya, benar, aku sudah tidak apa-apa kok. Bicara tentang itu, aku ucapkan terima kasih, Callida bilang kau yang repot-repot menggendongku ke sini,” ucap Liz. Wanita itu mencoba menampilkan senyum terbaik.

“Baguslah kalau begitu. Lagi pula kau ringan, dan kau tidak terlihat seperti orang hamil dengan perut itu,” ujar Stefan.

Oh, pria ini ternyata lebih ramah dari apa yang diperkiraan Liz.

“Yah, kalau tertutup baju tidak terlihat menonjol. Uh, tunggu sebentar,” pinta Liz. Wanita itu lalu menarik naik bagian bawah piama katun, salah satu yang disediakan oleh rumah ini dan dipilihkan oleh Callida, yang dia kenakan hingga memperlihatkan perutnya.

Stefan mencondongkan badan ke depan dan menunduk demi melihat perut Liz. “Wow, kau benar. Perut bawahmu menggembung,” komentar Stefan.

Mereka hanya diam memandangi perut Liz untuk beberapa saat, hingga akhirnya Liz tersadar apa yang tengah dia lakukan.

Aku memamerkan perutku pada adik laki-laki wanita yang merupakan istri pria yang menghamiliku.

Pipi Liz sontak bersemu merah. Stefan sepertinya juga menyadari apa yang mereka lakukan karena pria itu berdeham dan menegakkan punggung. Liz buru-buru menarik turun piamanya. Ya, Tuhan, mereka melakukan hal konyol di depan Callida yang pura-pura tak memperhatikan.

Keakraban yang baru mereka bangun terancam tewas digantikan kecanggungan.

Oh Liiiz, kau ini tolol!

Ponsel Liz tiba-tiba bergetar, seseorang tengah menelepon, dan karena panik Liz langsung menerima telepon lalu menempelkan ponsel ke telinga. Ya Tuhan! Nama siapa yang tertera tadi? Bagaimana kalau itu Robin?!

Jantung Liz seakan berhenti berdetak hingga kemudian sang penelepon berbicara dalam nada menahan amarah.

“Apa ... tepatnya ... yang kau lakukan di Italia?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status