Share

9. Old Cloud

“KATAKAN padaku bahwa dia baik-baik saja!”

Niki berjengit, refleks menjauhkan ponsel dari telinganya mendengar seruan kasar tersebut. Wanita dengan fitur wajah stroberi itu mendengus kesal.

“Selamat pagi juga, Mr. Martel. Sopan santun Anda sungguh tanpa cela,” sindir Niki dengan nada pedas.

Pria yang meneleponnya tepat setelah Niki selesai dengan telepon Liz itu terdiam untuk beberapa saat. “Maaf,” ujarnya penuh penyesalan, “aku khawatir, sangat khawatir padanya. Apa dia mengangkat teleponmu?”

“Tentu saja Liz mengangkat teleponku. Bukan aku orang berengsek yang meninggalkan dia dalam keadaan hamil muda dan patah hati berat,” ketus Niki. Itu pasti pukulan telak bagi si pria. Niki beranjak dari kursi yang dia duduki dan berjalan menuju dapur.

Satu hal yang tidak disampaikan Niki pada Liz adalah alasan lain dia buru-buru kembali ke London karena Robin Martel mendesaknya mengecek keadaan Liz.

Saat ini dia tengah berada di apartemen tipe studio yang luas di mana Niki dan teman sekaligus para rekan kerjanya mengubah tempat itu menjadi kantor ramah huni—atau begitulah mereka menyebutnya.

Paddy Shriner, satu dari empat orang pria yang menjadi rekan kerja Niki, tersenyum cerah dengan kedua pipi tambunnya ketika Niki bergabung di dapur. Pria manis itu tengah menuang adonan pancake ke wajan ketika Niki menghampiri wastafel.

“Ya ... aku mengerti, sungguh, ini adalah sebuah kekacauan. Aku ... aku benar-benar tidak berdaya sekarang. Aku tidak bisa keluar dari tempat ini, Liz tak mau mengangkat teleponku, dan keluarga gilaku mungkin tengah berusaha menancapkan kuku padanya. Hanya kau yang bisa membantuku Niki ... tolong katakan padaku bahwa dia baik-baik saja,” mohon pria itu.

Niki menumpahkan sisa kopi pagi pertamanya yang sudah dingin ke wastafel. Mengerutkan kening sementara satu tangannya yang bebas dari ponsel membilas cangkir.

“Dia baik-baik saja saat ini. Dia bilang keluargamu bahkan istrimu bersikap baik padanya, kecuali bibimu yang entah siapa namanya,” ujar Niki sembari berjalan ke coffeemaker.

“Laura Ana,” sebut pria itu. “Sial, mereka benar-benar membawanya ke Italia?! Aku kira dia masih aman di London!”

“Wah, kau berbicara seakan keluargamu adalah sekumpulan orang dengan motif mencurigakan,” gumam Niki.

“Dios, mereka lebih dari itu. Mereka sekawanan serigala berbulu domba! Aku harus menjauhkan Liz dan bayiku dari mereka!”

Niki bergumam dalam hati, “Seakan kau tidak harus dijauhkan darinya.”

***

STEFAN menemani Liz setengah hari itu, dan ternyata dia teman ngobrol santai yang lumayan asyik. Pria bernetra sewarna zamrud itu dengan baik hati tidak mengungkit-ungkit tentang yang terjadi tadi malam, kecuali Liz sendirilah yang memintanya menjelaskan.

Sekarang mereka tengah menghabiskan makan siang, menghadap balkon kamar Liz. Pekarangan samping palazzo Lucchesi terhampar indah 

“Jadi ... kau yakin kakak perempuanmu tidak membenciku?” tanya Liz. Tangannya mengaduk jus yang dibuatkan Callida untuknya.

Stefan meneguk sisa air putih di gelasnya lalu menggelengkan kepala. “Tidak, kakakku bukan seseorang yang seperti itu.”

“Tapi dia merasa ....” Liz tak yakin kata apa yang tepat untuk menggambarkan perasaan yang mungkin dirasakan Jessy.

“Yeah, aku mengerti maksudmu. Tapi Jessy tahu bahwa kau berpikir Robin lajang, jadi ini tidak sepenuhnya salahmu. Dia semakin yakin ketika melihat pakaian-pakaian itu,” jelas Stefan.

“Pakaian-pakaian?” Liz membeo.

“Yah, semalam Jessy bercerita padaku. Dia melihat lipatan pakaian laki-laki di lemari, kami tahu Robin sempat tinggal denganmu, dan Jessy menebak bahwa itu milik Robin. Dia berpendapat bahwa nyaris semua pakaian itu adalah, uhm, jangan tersinggung, pakaian murah.” Stefan menggerakkan tangannya dengan tak nyaman.

Oh, tumpukan pakaian itu.

Yah, benar ....

Mungkin dalam standar super model sekaligus istri seorang bankir kaya raya pakaian yang seperti itu, sesuatu yang tanpa merek ternama dan sebagainya, dianggap murahan dan lusuh.

Saat Robin mulai tinggal dengan Liz—karena Liz bersikeras agar Robin tak tinggal di flat sewaan yang membuang-buang uang sementara rumah Liz terbuka lebar untuknya—pria itu membawa beberapa set pakaian formal dan sisanya adalah baju santai yang didominasi kaus dan celana jogging. Mereka juga pernah berbelanja pakaian obral dan cekikikan ketika berburu rak dengan angka diskon terbesar.

Liz meringis menyadari bahwa semua itu mungkin hanya sandiwara yang dinikmati Robin. Mungkin pria itu entah bagaimana bosan dengan kehidupan serba mewah, hingga iseng memutuskan untuk bermain rumah-rumahan dengan Liz. Secara tak sadar memberikan utopia semu pada Liz.

Wanita berambut merah itu mengelus perutnya. Bahkan jika pria berengsek itu menganggapnya sebagai wanita simpanan atau sekadar permainan, Liz tetap tak sudi menyingkirkan buah hati mereka. Liz mencintai calon bayinya dan tidak seorang pun di dunia ini yang bisa menyangkal hal itu.

“Liz?” Stefan menarik perhatian Liz dengan lambaian tangan di depan wajah.

“Y-ya?” sahut Liz. Oh astaga, Liz tidak menyimak omongan Stefan lebih lanjut dan malah tenggelam dalam pikirannya sendiri. “Maaf, Stef. Aku tidak mendengar tadi.”

“Hmm, tidak apa-apa. Aku hanya agak khawatir karena kau kembali terlihat tertekan tadi,” ujar pria itu. “Apa yang kau pikirkan?”

Liz menggelengkan kepala dan tertawa kecil. “Bukan sesuatu yang penting. Aku hanya penasaran dengan kondisi rumahku saat Niki masuk ke sana. Maksudku, aku mengeluarkan nyaris seisi lemariku tepat sebelum kalian datang dan membawaku pergi.”

“Oh,” Stefan nyengir sebelum melanjutkan, “Luca menyuruh seseorang—atau bisa jadi beberapa orang mungkin—untuk merapikan rumahmu. Katanya sih sebagai permintaan maaf kecil-kecilan karena masuk kamarmu tanpa izin dan kami kurang sopan padamu. Tenang, Luca hanya mempekerjakan orang-orang terpercaya, semua barangmu dijamin aman.”

Yah, sebenarnya mereka cukup sopan, sampai Luca mengultimatum akan membawa Liz ke Italia.

“Ah, dan aku juga minta maaf karena memikulmu waktu itu ...,” ringis Stefan. “Aku sangat tidak sopan ya? Tapi mau bagaimana lagi, kau tiba-tiba berlari seperti itu.”

“Mm, aku juga minta maaf karena memukulimu ...,” kata Liz dengan nada bersalah.

Stefan tertawa dan mengibaskan tangannya sambil lalu. “Tidak apa-apa! Aku yakin itu adalah reaksi normal wanita ketika disambar pria asing dan dipikul secara paksa. Lagi pula pukulanmu sama sekali tidak menyakitiku! Serius!”

Pria pirang itu kembali tertawa sementara Liz mengerucutkan bibir.

“Yah, seharusnya aku senang karena tidak menyakitimu tapi aku kesal karena kau bilang aku lemah, meski secara tidak langsung!” gerutu Liz.

“Ah, maaf lagi kalau begitu!” seru Stefan lalu tertawa.

Liz terkikik kecil lalu berkata, “Wow, ini peningkatan yang bagus.”

“Peningkatan? Oh, maksudmu apa sekarang kita berteman?” tanya Stefan dengan senyuman di wajah tampannya.

Liz mengangguk. “Ya, tentu.”

Stefan memandangi gelasnya yang telah kosong selama beberapa saat. Pria itu berdeham lalu bertanya, “Kau sudah lebih santai sekarang, baguslah. Nah, kupikir aku harus pamit karena ada beberapa pekerjaan.”

Wanita itu tertawa kecil. “Ya, terima kasih. Aku merasa lebih santai sekarang.”

Liz memandangi pria pirang itu ketika Stefan berdiri, tersenyum sekilas lalu berbalik, keluar dari kamar Liz.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status