“KA-KAU? Robin sudah menikah? Denganmu?!” Liz tergagap sementara kedua tangannya mencengkeram kedua lengan Jessy demi menahan tubuhnya agar tidak ambruk.
“Liz ... oh, dengarkan aku dulu, Liz, kita bahas itu nanti saja,” bujuk Jessy.
“Tapi ... tapi kau istrinya! Bagaimana bisa kau begitu—” Liz tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Bagaimana bisa Jessy bersikap begitu baik pada Liz? Wanita itu sama sekali tak menjukkan jenus ketidaksukaan maupun kesombongan apa pun pada Liz.
Jessy mencoba berteman dengan Liz, menghiburnya di pesawat dengan percakapan santai, bahkan mendandani Liz serta memilihkan apa-apa saja yang kini dikenakan oleh wanita yang kini tengah mengandung bukti perselingkuhan Robin dari Jessy.
Liz sontak merasa malu pada Jessy.
Kenangan manis selama enam bulan sejak pertemuan pertamanya dengan Robin kini kembali runtuh. Bagaimana bisa pria itu berlaku seperti ini? Sejak awal Liz bertanya-tanya apa hubungannya sang model tenar itu dengan keluarga Lucchesi? Dan inilah jawabannya: dia adalah istri sah Robin. Orang yang juga dikhianati Robin, bahkan mungkin lebih parah daripada yang terjadi pada Liz.
Liz menatap cincin perak yang melingkar di jari manis Jessy, sesuatu yang tak dia sadari sebelum ini. Robin tak pernah memakai cincin atau perhiasan apa pun tapi ... oh Tuhan. Tentu saja pria yang berbohong sebagai lajang tak akan mengenakan cincin kawin, bukan begitu?
Jessy sendiri yang bilang bahwa Robin telah mengencani lusinan wanita. Apa itu setelah pernikahan mereka? Apa ketika Robin berhubungan dengan Liz dia juga berhubungan dengan wanita-wanita lain?
Liz buru-buru melepaskan lengan Jessy seakan telapak tangannya terbakar, merasa tak pantas menyentuh wanita cantik itu. “Bagaimana kau bisa sangat baik padaku? A-aku ... kau seharusnya membenciku. Aku hanya orang ketiga, aku merusak rumah tanggamu dan Robin meski aku tak pernah tahu—”
“Ya! Tentu saja dia seharusnya membencimu!” sembur Laura Ana. “Kau hanya pelacur kecil. Bahkan kau mungkin datang ke sini hanya demi harta! Enyah kau dari sini dan bawa pergi anak harammu jauh-jauh dari keluargaku!”
Kalimat itu menyengat Liz dan mengoyak hati lembutnya. Dada Liz sesah, seisi ruangan serasa berputar sementara kata-kata pedas Laura Ana terngiang di telinganya.
“Laura Ana!” seru Signor Matteo. “Dios mio¹, kau tidak boleh berbicara seburuk itu pada Elizabeth, dia mengandung cucuku, anak keponakanmu!”
“Apa?! Aku benar di sini! Dia pasti cuma pengeruk harta seperti yang lainnya! Anak bodohmu itu sudah menyia-nyiakan wanita sebaik Jessamine dan malah menghamili penipu ini!” seru si bibi disusul beberapa umpatan dalam bahasa Italia.
“Tidak, Elizabeth tidak seperti itu, aku percaya padanya,” bela Jessy.
“Ooh Jessamine ... apa kau belum kapok juga dengan wanita terakhir yang mengaku hamil anak Robin?! Dia penipu! Dia memisahkanmu dari suamimu, mengiba-ngiba, dan mempermainkan kita semua! Bisa-bisanya kau malah membela yang satu ini juga?!”
“Kendall memang sebuah kesalahan, dia wanita yang tidak baik. Tapi Elizabeth tidak seperti itu!” seru Jessy.
Liz tahu Laura Ana kembali menyahuti dengan tajam, tapi dia tak bisa menangkap perkataan wanita itu. Dunianya menggelap sementara tubuhnya kian terasa berat.
Tidak, tidak ....
Hal terakhir yang dia ingat adalah jeritan panik Jessy Hester dan sebuah tangan yang menangkapnya sebelum ambruk serta siluet laki-laki berambut pirang.
***
LIZ terbangun dan matanya otomatis memandang langit-langit berlapis kain tirai putih yang tidak familiar. Kepalanya berdenyut nyeri dan isi lambungnya seakan-akan diaduk. Dia mual, seperti malam-malam sebelumnya.
Wanita bersurai merah itu buru-buru beringsut ke tepi kasur dan melongokkan kepalanya. Tunggu, tidak ada bak muntah di sana seingat Liz dia tidak memindahkan—ya Tuhan, Liz lupa bahwa dia tidak sedang berada di rumahnya.
Mual yang lebih parah menyerang dan Liz sudah tidak tahan lagi. Wanita itu memuntahkan isi perutnya yang belum sepenuhnya tercerna dan menangis.
“Tidak apa-apa, muntahkan saja. Nanti akan aku bersihkan,” kata suara lembut seorang wanita, berbarengan dengan sentuhan tangan di tengkuk Liz. Wanita itu memijat tengkuk Liz.
“A-aku—”
Wanita itu menyela Liz. “Ssh, sudah-sudah, kau beristirahat saja, pikirkan yang lainnya nanti saja. Ya Tuhan, kau pucat sekali.”
Wanita itu menyodorkan segelas air untuk berkumur dan Liz menerimanya, setelah itu dia membantu Liz kembali berbaring. Barulah Liz menyadari bahwa wanita itu adalah Callida, si pelayan yang ditugaskan untuk menyediakan keperluan Liz oleh Signor Matteo.
“Jam berapa sekarang?”
“Pukul dua pagi,” jawab pelayan dengan sanggulan rambut bercampur uban itu.
Pelipis Liz berdenyut-denyut ketika wanita itu berkata, “Apa yang tadi ... oh Tuhanku, makan malamnya—”
“Oh ya ampun, kau pingsan tadi dan untung Stefan sigap menangkapmu jadi kepalamu tak sampai menghantam lantai. Apa kau memang gampang pingsan?” Callida bertanya. Wanita itu merapikan selimut Liz hingga ke dada.
“Tidak, aku tidak selemah itu. Hanya saja sejak kehamilan ini aku jadi lebih mudah lelah,” jelas Liz. Dan sebagian besar karena dia stres memikirkan masalah yang Robin timpakan padanya. “Apa yang terjadi setelah itu? Maksudku Jessy dan Laura Ana ....”
Oh Goodness, mereka bertengkar hebat gara-gara Liz.
“Ah, Laura Ana masih menyumpahimu beberapa kali saat Stefan menggendongmu ke sini. Dia masih dendam soal wanita yang datang menuntut Robin dan sebagainya sambil membawa seorang bayi perempuan. Sayang sekali, bayinya manis tapi dia bukan milik Robin,” jelas Callida bersungut-sungut.
Berarti Robin memang tukang selingkuh? “Kapan itu terjadi?”
“Sekitar dua tahun lalu. Wanita itu memporak-porandakan kami semua seperti badai! Dia bahkan mencuri cincin milik mendiang Signora Lucchesi, untunglah cincin itu sudah dikembalikan,” gerutu Callida. Matanya yang bulat sewarna kacang almond menyipit pada Liz sebelum mendesah lelah. “Aku harap kau tidak seperti wanita itu karena kau terlihat seperti wanita muda baik-baik.”
“A-aku tidak seperti itu ... aku tidak tahu bahwa Robin anggota keluarga kaya seperti ini, atau bahwa dia sudah menikah, aku bahkan tak tahu kalau Jessy adalah istrinya .... Sekarang aku bahkan meragukan semua yang dikatakan Robin padaku,” ucap Liz.
Robin yang Liz kenal adalah seorang karyawan biasa yang suka mampir ke kafe Mrs. Marriott, duduk di bangku yang sama, dengan secangkir kopi espreso dan roti lapis di jam makan siang.
Pria yang akhirnya mengajak ngobrol Liz dan membuat candaan lucu untuk mengusir bosan, di suatu hari ketika Londin diguyur hujan. Pria yang akhirnya dibiarkan Liz memasuki hidupnya, menjadi bagian berharga yang Liz cintai.
“Aku mencintaimu, Lizzie-ku. Menikahlah denganku!”
Dada Liz sesak mengingat dua kalimat Robin itu.
Robin sama saja. Dua hanya seorang pria yang pada akhirnya menghancurkan Liz.
“Pembohong,” isak Liz.
AN:
1. Bahasa Italia yang kurang lebih berarti: ya Tuhan atau demi Tuhan.
CALLIDA datang tak lama kemudian, membawa troli makanan yang kosong untuk memindahkan peralatan makan. Wanita itu tersenyum kecil pada Liz sebelum mulai memindahkan peralatan makan di meja ke atas troli. “Oh, biar aku bantu,” ujar Liz riang sembari meraih piring bekasnya. Tapi sang pelayan merebut piring itu dari tangan Liz. “Eh jangan, tidak perlu, ini adalah pekerjaan dan tanggung jawabku, Signorina¹. Aku mendapat bayaran untuk ini. Dan dripada kau merepotkan tanganmu dengan pekerjaan yang harusnya aku lakukan lebih baik kau tidur siang,” perintah Callida. “Aku tak ingin kau atau bayimu kenapa-kenapa.” Bibir Liz mengerucut menggemaskan mendengar perintah itu. “Aku biasa mengerjakan pekerjaan rumah sendiri di rumah ... ini seperti olahraga yang menyenangkan, Callida. Lagi pula aku tidak pernah bisa tidur siang,” keluh Liz. Yah, dia tak pernah bisa menikmati tidur siang, selalu berakhir terjaga di ranjang atau melamun ke sana kemari. Toh, selama ini L
“KATAKAN padaku bahwa dia baik-baik saja!”Niki berjengit, refleks menjauhkan ponsel dari telinganya mendengar seruan kasar tersebut. Wanita dengan fitur wajah stroberi itu mendengus kesal.“Selamat pagi juga, Mr. Martel. Sopan santun Anda sungguh tanpa cela,” sindir Niki dengan nada pedas.Pria yang meneleponnya tepat setelah Niki selesai dengan telepon Liz itu terdiam untuk beberapa saat. “Maaf,” ujarnya penuh penyesalan, “aku khawatir, sangat khawatir padanya. Apa dia mengangkat teleponmu?”“Tentu saja Liz mengangkat teleponku. Bukan aku orang berengsek yang meninggalkan dia dalam keadaan hamil muda dan patah hati berat,” ketus Niki. Itu pasti pukulan telak bagi si pria. Niki beranjak dari kursi yang dia duduki dan berjalan menuju dapur.Satu hal yang tidak disampaikan Niki pada Liz adalah alasan lain dia buru-buru kembali ke London karena Robin Martel mendesaknya mengecek keadaan Liz.
“NIKI?!” pekik Liz. Menyadari pemilik suara khas si penelepon.Bukan Robin, puji Tuhan ... terima kasih!Detik berikutnya Liz mendengar suara marah dari penelepon yang tak lain tak bukan adalah sahabatnya, Nicoletta Adirangga. “Jawab pertanyaanku dulu, dasar Vixen Berbintik! Mengapa kau malah berada di beberapa kilometer dari Florence alih-alih di Tipperary¹? Apa yang terjadi dengan tiket penerbangan ke Irlandia-mu? Dan bagaimana kau bisa sampai ke Italia? Apa Robin bajingan keparat itu menculikmu atau mafia antah berantah yang melakukannya?!”Liz menjauhkan ponsel dari telinganya dan meringis. Niki mengucapkan semua itu tanpa jeda untuk menarik napas. Siapa yang mengira gadis manis maskot game terkenal itu bisa menyemburkan kalimat sepanjang kereta api beserta batu baranya sekalian?Stefan memandanginya dan bertanya tanpa suara, Temanmu? Liz mengangguk pada Stefan sebagai jawaban.“Err, bagaimana kau tahu aku di
PADA pagi berikutnya, Liz mendapati kantung matanya semakin parah. Sembap karena campuran bekas menangis, lelah, dan stres. Julukan rubah berbintik yang dianugrahkan Niki dengan murah hati pada Liz kini mungkin harus diubah menjadi panda berbintik.Semua itu juga jelas bukan kombinasi yang bagus untuk bayinya. Oh bayinya yang malang ....Callida, yang ternyata dulunya juga bekerja sebagai pengasuh bayi di keluarga Lucchesi, menasehati Liz agar merilekskan diri dan jangan memikirkan hal yang berat-berat. Seakan itu mudah untuk dilakukan begitu saja. Mendorong semua pikiran berat yang mendominasi ke belakang kepala.Tapi serius, ya ampun! Memangnya Liz bisa bersantai sementara segunung masalah ruwet ini menantinya?! Liz bahkan tak tahu mukanya harus ditaruh di mana jika nanti Jessy menemuinya.Liz adalah selingkuhan suaminya yang kini mengandung bayi pria itu. Bayi yang jelas-jelas menjadi musuh bagi pernikahan Robin dan Jessy.Itu jugalah alasan dia
“KA-KAU? Robin sudah menikah? Denganmu?!” Liz tergagap sementara kedua tangannya mencengkeram kedua lengan Jessy demi menahan tubuhnya agar tidak ambruk. “Liz ... oh, dengarkan aku dulu, Liz, kita bahas itu nanti saja,” bujuk Jessy. “Tapi ... tapi kau istrinya! Bagaimana bisa kau begitu—” Liz tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Bagaimana bisa Jessy bersikap begitu baik pada Liz? Wanita itu sama sekali tak menjukkan jenus ketidaksukaan maupun kesombongan apa pun pada Liz. Jessy mencoba berteman dengan Liz, menghiburnya di pesawat dengan percakapan santai, bahkan mendandani Liz serta memilihkan apa-apa saja yang kini dikenakan oleh wanita yang kini tengah mengandung bukti perselingkuhan Robin dari Jessy. Liz sontak merasa malu pada Jessy. Kenangan manis selama enam bulan sejak pertemuan pertamanya dengan Robin kini kembali runtuh. Bagaimana bisa pria itu berlaku seperti ini? Sejak awal Liz bertanya-tanya apa hubungannya sang model tenar itu deng
PONSEL wanita bersurai merah itu masih bergetar dengan nama Robin terpampang di layar dengan huruf-huruf default warna putih. Satu hal yang Liz pahami adalah dia lupa memblokir nomor telepon Robin. Robin, kekasih Liz. Robin yang mengkhianati Liz dengan permintaannya untuk mengugurkan buah hati mereka. Kini Liz tercabik dalam perasaan benci dan kerinduan yang amat sangat hingga rasanya menyakitkan. Mengapa sekarang Robin meneleponnya? Apa pria itu tahu Liz di sini? Apa pria itu baik-baik saja? Apa bahkan Robin berada di rumah ini? Liz menahan napas ketika panggilan telepon itu mati pada dering ke tujuh. Entah karena dia bersyukur Robin mematikan panggilan atau malah kecewa karena tidak mengangkat telepon itu. Ponsel Liz kembali berdering dan wanita itu nyaris memekik karena kejadian barusan berbarengan dengan pintu kamar yang diketuk. Ya Tuhan, Liz merasa seperti anak remaja yang ketahuan mencuri uang dari dompet orang tuanya. Buru-buru dia ubah ponsel