Share

8. Friend Like Sister

“NIKI?!” pekik Liz. Menyadari pemilik suara khas si penelepon.

Bukan Robin, puji Tuhan ... terima kasih!

Detik berikutnya Liz mendengar suara marah dari penelepon yang tak lain tak bukan adalah sahabatnya, Nicoletta Adirangga. “Jawab pertanyaanku dulu, dasar Vixen Berbintik! Mengapa kau malah berada di beberapa kilometer dari Florence alih-alih di Tipperary¹? Apa yang terjadi dengan tiket penerbangan ke Irlandia-mu? Dan bagaimana kau bisa sampai ke Italia? Apa Robin bajingan keparat itu menculikmu atau mafia antah berantah yang melakukannya?!”

Liz menjauhkan ponsel dari telinganya dan meringis. Niki mengucapkan semua itu tanpa jeda untuk menarik napas. Siapa yang mengira gadis manis maskot game terkenal itu bisa menyemburkan kalimat sepanjang kereta api beserta batu baranya sekalian?

Stefan memandanginya dan bertanya tanpa suara, Temanmu? Liz mengangguk pada Stefan sebagai jawaban.

“Err, bagaimana kau tahu aku di Italia?” tanya Liz setelah berdeham.

“Aku mencari iPad-ku tapi tidak ada di seisi apartemen, jadi aku mengecek GPS dan sinyalnya menunjukkan benda itu ada Italia, ponselmu juga. Dan kau pikir apa gunanya Diego Sanchez di tim kami? Dia sudah bersumpah bahwa dia jauh lebih berguna daripada Diego di Dora the Explorer, jadi tentu saja dia harus bisa melacakmu atau kami bakal memecatnya!”

Sepertinya Diego berada di ruangan yang sama dengan Niki karena Liz bisa mendengar pria Meksiko kelahiran Amerika itu berseru, “Aku bisa mendengarnya dengan jelas, Adirangga!”

Liz berusaha menahan tawa. “Bukankah kau seharusnya masih berada di Oxford?”

“Aku pulang karena kau seharusnya terbang ke Dublin siang ini. Mana mungkin aku tak menemanimu! Tapi saat aku pulang rumah sudah kosong sedang kopermu masih di sana, dan ada sticky note bertulis, ‘Jangan cemaskan aku. Dari Elizabeth O'Hare’ sementara aku tahu itu bukan tulisanmu! Aku panik! Aku pikir ada perampok membobol rumah, mengambil semua barang berharga dan melihat kau tidur lalu mereka pikir, ‘Hei, yang ini juga terlihat mahal, angkut!’” oceh Niki.

Tawa Liz meledak seketika.

Oh, setelah hari-hari berat penuh tekanan, inilah yang dia butuhkan.

“Nah, begitu! Aku tidak mendengar tawamu sebulan terakhir gara-gara si keparat itu! Rasanya seperti di puncak sakau dan tiba-tiba dipaksa putus obat! Aku bisa gila!” Niki terus mengomel.

Liz mengusap sudut matanya yang berair karena tertawa. “Aku juga merindukan omelanmu ...,” ujarnya nyaris seperti rengekan.

Yah, Niki hanya mengomel pada orang yang dia sayangi, dan Niki sudah seperti saudari kandung bagi Liz.

“Jadi, Vixen, apa yang kau lakukan di Italia? Itu pasti sesuatu yang mencurigakan karena aku yakin itu tidak ada hubungannya dengan kejutan persediaan piza selama setahun.”

“Eeh, ya ... orang-orang dari keluarga Lucchesi menjemputku,” jawab Liz hati-hati agar tidak membuat sahabatnya semakin membenci Robin—yang mana itu sulit sekali mengingat semua yang terjadi—dan agar Stefan tidak tersinggung. “Mereka bilang mereka ingin membantuku mengurus anakku nanti.”

Liz bisa mendengar Niki menghela napas. Gadis Asia itu lalu berkata, “Dengar Liz, aku ini bukan ibumu ya, dalam artian gampang ditipu dengan kalimat, ‘Ini bukan masalah besar.’ Entah kau sudah tahu atau tidak tapi Robin jauh lebih buruk daripada yang aku perkirakan, tololnya aku karena tidak menyelidikinya lebih awal.”

Tidak, Liz sama sekali tidak menyalahkan Niki. Itu tak masuk akal.

Liz sendirilah yang terbuai dengan tingkah dan kata-kata manis Robin. Dengan bodohnya mau berhubungan dekat tanpa menelusuri lebih jauh tentang pria itu. Selama ini Liz terus membuka diri untuk Robin, memberitahu segalanya pada pria yang dicintainya itu. Tapi Robin ... hanya sekali menjelaskan tentang dirinya, pria itu tak sepenuhnya terbuka pada Liz.

“Sejauh mana kau tahu tentang, uhm, keburukan Robin?” tanya Niki.

Dan Liz lalu memberitahu sahabatnya tentang belang Robin yang dia ketahui. Wanita itu juga menahan tangis ketika menceritakan semuanya.

“Robin menipuku habis-habisan. Dia sudah menikah dan selama ini aku hanya orang ketiga,” isak Liz. “Aku mencintai orang yang salah, tapi haruskah seluruh hidupku hancur karena satu kesalahan itu?”

Stefan mengulurkan selembar tisu pada Liz ketika akhirnya selesai berbicara.

“Terima kasih,” ucap Liz pada Stefan.

Pria itu tersenyum masam. Stefan sama sekali tak menginterupsi perkataan Liz, tak menyangkal keburukan keburukan Robin yang disebut wanita itu atau bahkan tersinggung karena nama kakak iparnya tercoreng. Dia malah terlihat kasihan pada Liz.

“Oh Lizzie yang malang ...,” desah Niki prihatin. “Apa mereka memperlakukanmu dengan buruk di sana? Karena, demi Tuhan, aku bakal mengirim sepasukan anak remaja imut-imut ke sana dengan spanduk bertuliskan, ‘Kembalikan Elizabeth!’ kalau itu benar.”

Yang perlu kalian ingat adalah Niki benar-benar bisa mengumpulkan remaja atau bahkan orang dewasa setempat untuk mengepung rumah ini.

Liz menggelengkan kepalanya demi mengusir imajinasi menakutkan tentang segerombolan ABG meneriakkan namanya.

“Tidak, jangan khawatir, mereka memperlakukanku dengan baik di sini!” yakin Liz. Yah, sejauh ini hanya Laura Ana yang memperlakukan Liz dengan buruk. Tapi Liz juga berterima kasih pada wanita itu karena kini dia mengetahui lebih banyak kebenaran tentang apa yang sebenarnya harus Liz hadapi.

Niki kemudian bertanya, “Dan apa mereka sudah menjelaskan padamu tentang, kau tahulah, sesuatu yang mereka inginkan darimu?”

Tidak, Liz tidak tahu. Pada makan malam tadi malam Signor Matteo Lucchesi belum sempat menjawab pertanyaan itu dengan lengkap, tersela oleh Laura Ana. Liz lalu melirik Stefan, tapi pria itu menggelengkan kepalanya dan memalingkan wajah dari Liz.

“Aku tidak punya hak untuk menjelaskan itu padamu,” bisiknya.

Tiba-tiba Liz merasa tak enak, gelisah kembali meliputinya. Liz berdeham lalu menjawab pertanyaan Niki. “Mereka bilang akan membantuku, Niki. Bagaimanapun juga ayah Robin pasti menginginkan agar cucunya mengenalnya.”

“Sesederhana itu?” Kini nada Niki terdengar skeptis. “Kau yakin mereka tidak akan menuntut hak asuh atau semacamnya? Bagaimana jika mereka hanya menginginkan bayimu dan berniat menyingkirkanmu setelahnya?”

Pertanyaan barusan berefek bak pukulan godam di dada Liz.

Liz tidak berpikir sejauh itu. Oh Tuhan, bodohnya dia.

Para Lucchesi ini mungkin hanya akan membantu Liz sampai proses persalinannya nanti. Bagaimana jika tujuan utama mereka adalah mendapatkan hak asuh bayinya dan memisahkan Liz setelahnya? Itu sangat mungkin!

Tapi Liz tetap berusaha berpikir positif, mereka terlihat seperti orang baik. Bahkan Jessy membela Liz dari Laura Ana.

“Mereka tidak mungkin sejahat itu,” jawab Liz. “Kau tidak perlu khawatir.”

Niki mendesah. “Baiklah ... semoga demikian. Kau harus ingat bahwa kau masih punya aku yang akan selalu membantumu. Aku bahkan bisa menyusulmu ke Italia. Yah, untuk jaga-jaga seandainya situasi memburuk atau semacamnya. Oke?”

Liz mengangguk menanggapi itu.

“Hei, jawab aku! Atau jangan-jangan kau sedang mengangguk sekarang? Dasar bodoh, aku tidak bisa melihatmu tahu!” sembur Niki.

“E-eh, maksudku ya, tentu saja,” sahut Liz dengan pipi merona malu.

“Nah, begitu lebih baik. Sampai sini dulu ya? Aku masih ada pekerjaan dengan Emil dan yang lainnya, kau tahu sendiri mereka itu kalau tidak dipantau pasti melantur ke mana-mana,” gerutu Niki. Liz bisa mendengar latar suara Niki adalah seruan tidak setuju dari teman-teman Niki. Sepertinya gadis itu tengah berada di kantor tempatnya bekerja. “Sampai jumpa. Elus keponakanku untukku ya? Bilang aku sayang dia!”

Liz terkikik, tangannya sudah mengelus perut ketika dia menyahut, “Tentu, sampai jumpa.”

Niki memutus sambungan telepon setelahnya. Sementara itu, Liz memandangi layar ponselnya. Mencatat dalam kepala untuk mencari tahu tujuan sebenarnya dari dibawanya dia ke Italia.

“Temanmu menarik,” komentar Stefan. Pria itu nyengir, tanpa sengaja memamerkan gigi serinya.

AN :

1. Sebuah kota di Irlandia di mana ibu Liz tinggal.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status