Share

2. Wha-What Do You Want?

“BEGINI, kami tahu kau sedang dalam kesulitan dan itu karena Robin. Dia memang agak ... err berengsek.” Dalam jeda sebelum kata berengsek, Jessy nyaris tak kentara melirik pada si pria berambut gelap.

“Kau bisa coret kata ‘agak’ itu, dia memang berengsek,” ujar pria berambut gelap dengan aksen Inggris sempurna, tapi Liz yakin di balik kacamata hitam itu ada wajah pria tampan yang sangat Italia.

“Dia menipuku ...,” cicit Liz. Dia juga tak menginginkan bayi Liz, dan malah memilih untuk menyingkirkannya.

“Ya ... dan entah berapa lusin wanita lain,” gumam Jessy dengan muram. “Maaf, tapi sepertinya kau adalah wanita yang paling tidak beruntung yang berurusan dengan Robin.”

For God's sake, apa Robin benar-benar seburuk itu?

Seandainya saja Robin tidak mengirim email keparat itu, Liz barang kali tak percaya dengan perkataan Jessy.

Karena bagaimanapun juga, selama setengah tahun ini Robin begitu baik pada Liz. Wanita itu bahkan masih bisa mengingat jelas cengiran jahil Robin dan mata birunya yang berkilat riang. Tapi kemudian ingatan itu digantikan ekspresi ketakutan dan ngeri Robin ketika Liz dengan gugup memberitahunya tentang kehamilan Liz.

“Di-dia bilang dia akan menikahku ... dia bilang kami akan punya rumah mungil nanti,” ratap Liz.

Bodohnya dia ... kenapa tak pernah terpikir olehnya bahwa pria setampan Robin mau dengan wanita pas-pasan seperti Liz? Liz menunduk menatap pantulan wajahnya di meja kaca gelap itu. Rambut merahnya yang berantakan tergerai bak surai singa. Lihat, Robin hanya pria kaya raya yang mempermainkanmu.

“Dengar Liz, kami datang ke sini untuk membantumu. Kami akan mencoba untuk memperbaiki kesalahan Robin.” Jessy mulai menjelaskan lagi. “Kau masih muda, dan aku mengerti kalau kau ... merasa ketakutan dengan keadaanmu saat ini.”

“Kehamilanku?” tebak Liz. Yah, kehamilan Liz itulah yang membuat segalanya menjadi rumit.

Si pria Italia menyahut, “Ya ... dan apa Robin memintamu untuk—”

“Mengugurkannya? Ya, dia memintaku melakukan itu dengan sangat jelas,” kata Liz sembari menahan keinginan untuk menangis tersedu-sedu. “Tapi aku tak akan melakukan itu, tidak mungkin! Ini anakku! Di milikku dan dia tidak bersalah!”

Ruangan itu hening untuk beberapa saat hingga Liz takut dirinya telah salah bicara. Namun, si pria Italia malah menoleh pada Jessy dan dengan ketus berkata, “Dios, pria itu benar-benar bodoh. Nah, sekarang kau dengar sendiri kan?”

Sang model memiringkan bibirnya yang dipulas lipstik merah bata. “Ya, aku dengar ....”

“Hm mm,” gumam si pria pirang.

“Nah, berapa umurmu?” tanya si pria Italia pada Liz.

Liz otomatis menjawab, “Dua puluh tiga tahun.”

“Oh,” sahut pria itu. Tangannya lalu meraih kacamata dan melepasnya. Kejutan nan manis menyambut Liz ketika wanita itu melihat sepasang mata berwarna kehijauan berbinar kuning. Warna yang tak biasa, tapi demi Tuhan mata itu indah sekali. “Kau punya seorang ibu yang tinggal di Tipperary dan seorang adik laki-laki, betul?”

“Ya ...,” jawab Liz. Dahinya berkerut bingung. Dari mana pria ini mengetahui tentang keluarga dan tempat tinggal ibunya? Dari Robin? Tapi Liz tidak pernah memberitahu Robin tentang—

“Miss O'Hare, ini mungkin tidak sopan tapi apa kau punya pekerjaan?” tanya pria Italia itu. 

Sebulan yang lalu? Ya, Liz masih punya pekerjaannya sebagai kasir kafe milik Mrs. Marriot, tapi sekarang ... “Tidak,” jawabnya. Dia sudah dipecat karena lalai dalam bekerja, efek dari berita kecelakaan Robin dan kehamilannya.

“Baiklah kalau begitu, sudah diputuskan,” kata si pria sembari beranjak berdiri. Dia menepuk sekilas kelepak jas biru tuanya. “Kami akan membawamu ke Italia.”

Pendengaran Liz pasti bermasalah. Dia refleks membeo, “Italia?”

“Luca,” desis Jessy yang diabaikan oleh si pria berambut gelap. Apakah Luca namanya?

“Ya, tentu saja, tepatnya rumah keluarga Lucchesi. Kau jelas harus dibawa ke sana. Biar Robin keparat itu sadar apa yang dia lakukan, dan karena keponakanku harus mendapatkan haknya,” jelas pria yang mungkin bernama Luca itu.

Tapi kini Liz lebih tertarik ke satu fakta yang baru saja disemburkan oleh pria itu. “Apa kau baru saja bilang keponakan? Bayiku adalah kepo—”

“Iya, tidak bisa dipercaya bukan kalau Robin bajingan itu adikku? Kami memang tidak terlihat mirip dan betapa senangnya aku mengetahui fakta yang tidak bisa diganggu gugat itu,” celoteh Luca. Pria itu memberi semacam isyarat pada si pria pirang.

Robin dan pria Italia itu memang tidak mirip. Robin berkulit pucat dengan rambut pirang pasir dan mata biru, itulah yang membuat Liz awalnya tak percaya bahwa pria itu berkeluarga Italia. Sementara itu, pria ini berkulit cokelat terbakar sinar matahari—sewarna roti gandum panggang—dan, yah, seperti yang Liz jelaskan sebelumnya: mata yang indah dan rambut gelap bergelombang. Persamaan mereka mungkin semata jangkung, kekar, dan tampan dengan cara yang berbeda.

Si pria pirang menghampiri Liz, berdiri menjulang seperti pengusaha dalam balutan setelan hitam.

“Ka-kau mau apa?” cicit Liz, mengerut di sofa mungilnya.

Pria itu menjawab, “Membawamu pergi, memangnya apa lagi?”

“Kalian berdua! Bukan begini rencananya tadi!” teriak Jessy marah. Hilang sudah kesan anggun bak modelnya digantikan ekspresi merajuk.

Luca mengibaskan tangannya lalu berujar, “Sudahlah, Jessy, begini lebih cepat. Jadi, Liz sebaiknya kau menurut dan—hei, kau mau ke mana?!”

Pergi, pergi jauh-jauh dari sekumpulan orang-orang asing yang rupawan ini. Ya Tuhan, orang-orang ini akan membawanya secara paksa!

Liz melompat dan sofanya ketika pria pirang hendak meraih tangannya. Wanita itu ingin berlari keluar rumah dan mencari pertolongan dati tetangganya, tapi karena Luca berdiri menghalanginya ke arah pintu, Liz tak bisa memikirkan hal lain selain menuju kamarnya.

Ya, kamarnya bisa jadi tempat aman kalau dia bisa mengunci pintu dan mencegah pria itu masuk. Lalu dengan ponselnya, Liz bisa menelepon—

“Tidak!” jerit Liz ketika tubuhnya disambar dari belakang. Detik berikutnya Liz merasakan tubuhnya diangkat, dibalik, dan berikutnya dia melihat punggung lebar terbalut jas hitam sementara rambutnya tergerai berantakan seperti tirai. For God's sake, pria ini memikulnya. “Turunkan aku!” jerit Liz sementara tangannya memukul punggung si pria.

“Stefan! Bayinya! Ya ampun, kau tidak boleh membawa wanita hamil seperti itu!” seru Jessy panik.

Pria yang memikul Liz menggumamkan sesuatu yang mirip bunyi ‘ups’ lalu memindahkan Liz dari pundak ke tangannya, menggendongnya seperti pengantin. Liz terdiam, terkejut karena tiba-tiba diperlakukan dengan lembut.

Sekarang wajah pria itu dekat sekali dengan wajahnya. Membuat Liz tercabik antara senang atau panik, karena pria itu terlihat tampan setengah mati meski matanya tertutup kacamata. Ugh, tidak, tolong jangan terjebak dengan tipu daya rupa menarik mereka! Seakan Robin belum memberikan pelajaran pahit pada Liz.

“Apa kau punya paspor?” tanya pria itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status