Share

5. The Fact

PONSEL wanita bersurai merah itu masih bergetar dengan nama Robin terpampang di layar dengan huruf-huruf default warna putih. Satu hal yang Liz pahami adalah dia lupa memblokir nomor telepon Robin.

Robin, kekasih Liz. Robin yang mengkhianati Liz dengan permintaannya untuk mengugurkan buah hati mereka. Kini Liz tercabik dalam perasaan benci dan kerinduan yang amat sangat hingga rasanya menyakitkan.

Mengapa sekarang Robin meneleponnya? Apa pria itu tahu Liz di sini? Apa pria itu baik-baik saja? Apa bahkan Robin berada di rumah ini?

Liz menahan napas ketika panggilan telepon itu mati pada dering ke tujuh. Entah karena dia bersyukur Robin mematikan panggilan atau malah kecewa karena tidak mengangkat telepon itu.

Ponsel Liz kembali berdering dan wanita itu nyaris memekik karena kejadian barusan berbarengan dengan pintu kamar yang diketuk. Ya Tuhan, Liz merasa seperti anak remaja yang ketahuan mencuri uang dari dompet orang tuanya. Buru-buru dia ubah ponselnya dalam mode diam lalu membalik layarnya di atas kasur dan membiarkan panggilan Robin.

“Ma-masuk! Pintunya tidak dikunci!” seru Liz.

Pintu didorong membuka dan wajah cantik Jessy terlihat. Wanita itu telah berganti pakaian dan kini dalam balutan gaun putih pas badan tapi cukup sopan. Dengan kerah leher V seksi yang memamerkan segaris payudaranya. Rambutnya disanggul longgar di tengkuk sementara giwang zamrud menghiasi cuping telinganya.

Pipi Liz bersemu mengingat candaan vulgar Niki di suatu hari ketika gadis itu membawa pulang tabloid fashion. “Wuuh, lihat ini! Pasangkan Jessy Hester dan Gigi Hadid di runway, para pria pasti bakal langsung orgasme di kursi penonton.”

Oke, Niki memang gadis Asia nakal—tentu saja dalam artian menyenangkan—yang suka blak-blakan. 

Tapi Jessy memang secantik dan se-hot itu. Jadi, yah ... aduh lupakan saja deh.

Jessy tersenyum dan menghampiri Liz. “Hei, kuharap kau tidak mual.”

“Tidak, aku baik. Apa sudah waktunya makan malam?” tanya Liz ketika Jessy menarik lembut lengannya dan berjalan keluar kamar.

“Yup, untuk itulah aku menjemputmu dan aku mendapatkan kehormatan untuk memberikan tur singkat padamu.”

***

SAAT Liz akhirnya duduk di depan meja kayu hitam dengan permukaan yang bisa digunakan untuk berkaca, dia sadar bahwa dia dan Jessy adalah orang terakhir yang ditunggu untuk makan malam karena baki-baki berisi sampanye dan umpan tekak dihidangkan tak lama kemudian.

For God's love, semua peralatan makan ini terbuat dari perak dan kristal!

Signor Matteo mengangkat gelas sampanye dan tersenyum pada Liz. Sementara itu, Liz menggigit canapé dengan butiran kaviar bak mutiara dengan gugup. Liz mengedarkan pandangan pada orang-orang yang hadir. Luca, Stefan, Matteo, Laura Ana, Jessy, dan Liz sendiri. Dan tidak ada Robin sejauh mata memandang.

Hidangan berupa pasta berbau mewah dihidangkan setelah beberapa percakapan kecil yang ditanggapi Liz secara singkat.

“Linguine dan truffle,” bisik Jessy yang duduk di sebelah Liz.

Bibir Liz membentuk huruf O. Ini mungkin makanan paling mahal yang pernah dia makan sejak hari kelulusannya dari universitas. Suapan pertama terasa seperti surga dalam mulut Liz.

“Jadi, Elizabeth, kudengar kau lulusan sarjana seni di London.” Signor Matteo mulai membuka percakapan setelah piring-piring makanan pembuka dibawa pergi para pelayan.

“Ya,” jawab Liz. Dari mana Matteo mengetahui bidang yang digeluti Liz selama masa kuliah?

Matteo mengangguk takzim. “Seniman muda kalau begitu. Kau berfokus pada bidang apa tepatnya?”

“Aku berfokus pada bidang seni rupa.”

“Itu keren,” gumam Jessy.

“Wow, begitu rupanya. Aku juga suka lukisan, sepertinya kita akan jadi teman baik,” kata Signor Matteo sembari mengedipkan sebelah matanya dengan ekspresi jahil.

Liz terpukau untuk beberapa saat karena Robin juga sering melakukan itu ketika bercanda. “Ya ... aku lihat Anda punya banyak koleksi di sini,” sahut Liz. “Lukisan besar di aula rumah Anda benar-benar indah.”

Seseorang tak sengaja mendentingkan sendok cukup keras dengan piring. Liz menyadari bahwa itu adalah Stefan.

Para pelayan kembali berdatangan untuk menghidangkan makanan utama. Aroma cacciatore ayam mutiara yang menggugah selera sontak memenuhi ruang makan besar itu.

“Senang mendengar itu, itu lukisan karya mendiang istriku,” jelas Matteo. Tangannya menggoyangkan gelas sampanye.

“Oh ... maaf,” gumam Liz. Tiba-tiba merasa tak enak karena tidak sengaja mengungkit topik yang sensitif. Oh bagus, sekarang dia tidak bisa menanyakan tentang Robin karena suasana sudah canggung.

Atau ... mungkin nanti Liz bisa menunggu telepon Robin?

“Tidak, tidak masalah, mendiang istriku Polly pasti senang wanita yang mengandung cucu pertamanya memuji lukisan itu,” ujar Matteo. “Dia menghabiskan berbulan-bulan menyibukkan diri demi menyelesaikan lukisan itu. Itu hadiah ulang tahun pernikahan kami yang kedua puluh tahun.”

Hati Liz menghangat mendengar hal itu. Sangat romantis. Liz bisa membayangkan seorang wanita berwajah ramah tengah tersenyum menawan, dengan bercak cipratan cat di pipi yang merona, sementara tangannya menyapukan kuas ke kanvas.

Liz lalu memikirkan hal lain, yaitu cara Signor Matteo menyebutnya. Hal itu membuatnya sadar satu-satunya alasan Liz di sini adalah karena calon bayinya. Tanpa bayinya, Liz hanyalah salah satu dari sekian wanita yang dikencani oleh putra Matteo, seseorang yang tidak penting.

Wanita berambut merah itu menelan kunyahan ayam mutiaranya dengan kaku sebelum akhirnya memberanikan diri untuk bertanya, “Selanjutnya ... apa yang harus aku lakukan? Dan apa yang akan kalian inginkan dariku?”

Signor Matteo meletakkan garpu dan pisaunya, kedua tangannya lalu menyatu menjadi genggaman longgar. Pria Italia itu sedikit mencondongkan tubuhnya dan lengannya bertumpu pada siku pada permukaan meja. “Nah, Nak, aku tahu kau mengkhawatirkan hal itu. Aku dengar Robin menjanjikan pernikahan padamu dan—”

“Tapi itu tidak akan terjadi.”

Laura Ana menyela perkataan Matteo dengan nada tajam, dan setajam itu pula tatapannya pada Liz yang kini membeku terkejut.

“Keponakanku tidak akan menikah dengan tikus jalanan sepertimu!” hardik Laura Ana pada Liz.

“Bibi Laura—” Jessy mencoba berbicara tapi adik dari Matteo Lucchesi itu kembali membentak.

“Kenapa kau ini Jessamine?! Ke mana perginya otakmu? Beramah-tamah pada jalang ini, yang mencuri suamimu dan kini malah mengandung anak yang seharusnya milikmu! Kau seharusnya membenci wanita terkutuk bertopeng ini!” sembur Laura Ana.

Suami? Suami Jessy? Robin adalah—

Liz berdiri dari kursinya ketika fakta itu menyambar layaknya lecutan petir. Tiba-tiba merasa klaustrofobia padahal ruangan itu bahkan jauh lebih besar daripada luas apartemennya.

Jessy ikut berdiri dan meraih lengan Liz sembari berkata, “Liz, tidak, tenangkan dirimu.”

Tidak, bagaimana mungkin dia bisa tenang?

Kini dia tahu Robin menipunya, lebih parah daripada sebelumnya.

Selama ini Liz adalah seorang selingkuhan.

Dan bayi yang dia kandung lebih parah daripada anak di luar nikah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status