“Suster … suster tolong suami saya, ia sama sekali tidak bergerak!” pinta Jade saat ia tiba di ruang perawat yang tampak subuk mengurus adiministrasi pasien.
Ekspresi campur aduk tergambar jelas di wajah perempuan yang saat ini rambutnya tampak berantakan. Panik, sedih semuanya bercampur jadi satu. Perawat berkulit gelap di hadapannya mengangkat wajahnya dan menanggapi Jade.
“Apa yang bisa kami bantu Nyonya? Tolong bicaralah pelan-pelan.”
Jade mengambil napas panjang dan memejamkan mata sejenak. Kemudian ia mengatakan pada perawat yang bertugas mengenai kondisi suaminya. Sebagai seorang perawat, tentunya tahu apa yang terjadi pada suami Jade. Namun ia mencoba untuk tidak membuat perempuan di hadapannya semakin panik dan sedih.
“Tunggu sebentar Nyonya, saya akan memanggil dokter jaga untuk memeriksa keadaan suami Anda,” kata perawat itu dengan maksud membuatn
Lelaki yang terbaring itu merapatkan alisnya yang tebal dan menatap tajam ke arah dokter Harris yang baru saja menyapanya.“Hah memeriksaku? Bukankah barusan,-” Ernest yang berada di tubuh Max tak melanjutkan ucapannya.Dokter Harris pun tersenyum, ia seperti sudah mengambil kesimpulan kalau kecelakaan yang baru saja dialami oleh pasien di hadapannya. Dokter Harris menganggap pasiennya kali ini tengah mengalami shock akibat benturan yang terjadi di kepalanya, hingga berpikir aneh atau mungkin berhalusinasi.“Saya periksa dulu,” kata dokter Harris.Dokter yang rambutnya sudah mulai kelabu itu pun mulai melakukan pemeriksaan. Menempelkan stetoskop pada tubuh lelaki yang terbaring, kemudian memperhatikan monitor di sampingnya.“Semuanya normal, ini sangat aneh, kenapa bisa terjadi seperti ini?” gumamnya.“Apa ada masalah
Sadar telah membuat kesalahan Ernest pun memegangi kepalanya. Ia berpura-pura merasa pening hingga membuat perempuan yang tengah menungguinya bereaksi pada keadaannya dan melupakan apa yang baru saja ia ucapkan.“Sayang, ada apa?” raut kekhawatiran terlihat jelas di wajah bulat perempuan di sampingnya.“Tidak … tidak aku … aku hanya merasa sedikit pusing,” jawabnya berbohong.“Oh bagian mana yang sakit, apa perlu kupanggilkan dokter untukmu?” tawar Jade.“Tidak … tidak perlu, sepertinya aku harus istirahat.”“Kau yakin?”“Tentu aku yakin.”Max pun kemudian mencoba menoleh ke samping dan memejamkan kedua matanya. Ia belum siap untuk lama-lama melihat Jade di sampingnya. Bukan karena penampilan Jade, sebenarnya perempuan ini cukup menarik, meskipun
“Selamat datang di istana kita, sayang,” Jade membuka pintu rumah mungil yang berhasil mereka bangun sendiri.Rumah itu hanya satu lantai, dan memiliki satu buah kamar tidur dengan satu ranjang berukuran king size. Ruang keluarga terletak di depan kamar, yang dilengkapi dengan sebuah sofa panjang dan sofa single, serta televisi layar datar.Max berdiri mematung ketika Jade mengajaknya untuk masuk ke dalam kamar. Perempuan bermata kelabu itu bermaksud untuk menyuruhnya beristirahat.“Eh di sini?” tanya Max yang tampak ragu-ragu.“Ya tentu saja di sini, bukankah kita biasa tidur di sini?” tanya Jade sambil tersenyum ke arah suaminya.Max masih saja diam, ia bingung apa yang harus ia lakukan. Ia berpikir sebaiknya ia tidur di sofa saja, tak mungkin dirinya tidur satu ranjang dengan perempuan asing. Tak mungkin juga ia yang tidur di kamar dan membi
Kedua anak kecil itu berjalan dengan kepala yang menunduk. Di depan mereka tampak seorang wanita bergaya sosialita dengan busananya yang mahal. Wanita itu tak sendiri, tapi seorang pria berjambang tipis merangkul pinggangnya yang ramping.“Hei cepat sedikit kalau jalan! Dasar kalian lamban!” seru pria yang merangkul pinggang ramping wanita sosialita itu.Wanita sosialita yang mengenakan gaun merah itu pun berbalik ke arah dan mengalungkan kedua tangannya pada leher pria yang bersamanya. Mereka sungguh terlihat romantis sekali.“Sayang, begitulah jika memiliki bibit dari pria bodoh yang tak berguna,” kata wanita itu sambil melirik ke arah kedua anak itu.“Ibu, kenapa bicara seperti itu? Kenapa belakangan ini Ibu selalu saja menghina ayah?” tanya anak yang perempuan.Wanita sosialita itu segera melepaskan tangannya dari leher pria di hadapannya.
Sekali lagi Max menghantam pohon yang ada di hadapannya, dan sekali lagi cekungan pada pohon itu pun muncul.“Ini gila, bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi?” tanyanya sambil mengamati telapak tangannya yang terbuka.Saat mengayunkan pukulan kedua, Max tidak memukulnya dengan keras. Saat melakukan ini ia dalam keadaan sadar dan tidak emosi seperti saat pukulan pertama tadi.Sempat terpikir, pukulan pertama tadi mungkin saja sangat kuat karena dibarengi emosi yang membara di dada. Sudah menjadi rahasia umum ketika seseorang sedang emosi atau tertekan akan muncul sesuatu kekuatan yang tak terduga. Untuk itulah ia mencoba untuk mengulangi apa yang dilakukannya pada pohon, dan ternyata hasilnya sama.Max mencoba untuk menebak-nebak darimana ia bisa mendapatkan kekuatan sedahsyat itu. Seorang petarung saja belum tentu bisa melakukan hal seperti ini, tapi dia bisa melakukan ini dengan mudah.
Beberapa pengawal yang dipekerjakan Ramford pun berjalan beriringan menuju gerbang mansionnya. Salah satu dari mereka adalah Rex yang menjadi pimpinan para pengawal.Rex adalah yang terkuat dan paling senior diantara mereka. Kesukaan dari pria berkepala botak ini adalah mempermainkan serta memperbudak anak buahnya yang lemah. Anak buah yang paling sering dipermainkan tentu saja Max yang terlemah.Selama bekerja sebagai pengawal pekerjaan Max hanyalah membawa barang di punggungnya seperti kuli panggul. Bahkan ia seringkali diminta untuk mengambilkan barang-barang yang dibutuhkan seniornya, termasuk air minum dan menyemir sepatu mereka.“Ha ha lihat siapa yang datang! Bill, kenapa kau tidak menyuruhnya untuk masuk?” tanya Rex kepada penjaga yang tengfah bertugas di gerbang, Bill.“Hmm baiklah Bos, dengan ijinmu aku akan membiarkan pecundang ini untuk masuk dan menikmati masa nostalgia
Sambil melipat kedua tangan di depan dada, Rex terus memperhatikan Max yang berdiri di hadapan tumpukan beton. Kedua matanya menatap fokus ke arah lelaki yang dulu pernah bekerja bersama denganya.Sebenarnya Max tak memiliki kualifikasi apapun sebagai seorang pengawal. Tubuhnya sangat lemah, otot-ototnya pun tidak sekuat Rex dan teman-temannya. Tubuh Max cenderung kurus, dan gerak-geriknya lamban. Alasan ia diterima sebagai pengawal hanya satu, lelaki ini memiliki kepatuhan dan semangat.Saat itu memang Rex yang mendapatkan amanat dari Don Ramford untuk memilih calon pengawal. Melihat kesungguhan dan kepatuhan yang dimiliki Maxim, tentu saja ia menerimanya. Ia beranggapan kalau divisi pengawalan membutuhkan seorang pesuruh, dan dia Max.“Masih ada waktu untukmu mengundurkan diri!” teriaknya pada lelaki yang masih berdiri mematung di hadapan tumpukan balok. Namun sepertinya teriakan itu tidak digubris oleh Max
Max menatap bangunan megah yang ada di hadapannyabegitu ia menghentikan mesin motornya. Ada sebongkah kerinduan saat ia melihat bangunan ini.Rumah dengan dua lantai dan ruang bawah tanah, dilengkapi kolam renang dan sarana olahraga. Sentuhan batu alam pada bagian eksterior memberikan kesan natural. Di tempat inilah ia biasa menghabiskan waktu bersama kedua anaknya, tentunya saat ia masih benar-benar Ernest.Namun kerinduan itu langsung sirna begitu ia mendapati sedan mewah milik Ramford terparkir di halaman mansionnya. Tak jauh dari air mancur yang berada di tengah halaman.“Sial! Apa yang dilakukan oleh bajingan itu di sini?” tanyanya sambil menatap tajam.Max mencoba untuk melupakan kemarahannya, dan fokus pada tujuannya datang kemari. Ia pun mencoba untuk bersikap sopan dan masuk ke dalam halaman rumah itu.Ia mulai memperhatikan sekeliling rumah, sudah ada peruba