Share

BAB 2. Negara Tiga Benua

Tempat penitipan anak di pusat kota biasanya terletak di sebuah gedung kantor atau apartemen. Tapi tempat seperti itu hanya menerima penitipan selama jam kerja orang tua saja, tidak sampai berhari-hari. Padahal Profesor Morati ingin menitip anaknya entah sampai berapa lama. Jadi akhirnya dia menitipkan anak-anak itu tidak di tempat penitipan resmi, tapi di beberapa yayasan yang biasa menjadi pengasuh anak-anak.

Anak sulung Profesor Morati dititipkan di rumah penghafal Quran. Anak itu sudah berusia lima tahun, jadi Ahmad tidak memiliki kesulitan saat menjemputnya. Anak itu langsung mengenali sang paman. Dan setelah dia menyerahkan surat kuasa kepada pimpinan di Rumah Quran itu, dia langsung diizinkan untuk membawa anak itu pergi.

Masalah sedikit muncul saat Ahmad menjemput anak kedua. Anak itu baru berumur tiga tahun, dan dia dititipkan di rumah penampungan yatim piatu atau anak yang ditelantarkan orang tuanya. Yayasan itu memiliki aturan yang ketat dalam hal pengurusan anak di sana. Baru setelah satu jam wawancara, para pengurus tempat itu berhasil diyakinkan bahwa Ahmad memang orang yang berhak membawa anak itu.

Kini Ahmad sedang menuju tempat penitipan ketiga. Si kembar dititipkan di Yayasan penyalur tenaga kerja perawat yang bisa bertugas secara penuh di rumah pasien. Profesor Morati kemudian menyewa rumah dan dua perawat untuk mengasuh kedua anaknya itu. Dan karena Ahmad kini sudah membawa dua anak kecil, dia memutuskan untuk menyewa mobil dan sopir untuk mengantarnya pergi ke sana.

Ahmad bukanlah orang berada. Dia adalah seorang guru yang mengajar agama di pesantren milik orang tuanya, tempat di mana dulu Profesor Morati bertemu dengan istrinya. Tapi kini uang bukan masalah baginya. Profesor Morati telah membekali Ahmad dengan beberapa keping emas hasil percobaan menggunakan alat ciptaannya. Dan saat dia menjual salah satu kepingan emas itu, nilainya lebih besar dari harga rumah yang dia miliki di dekat pesantren.

Mobil yang dikendarai Ahmad sudah sampai di pintu gerbang rumah yang disewa Profesor Morati sebagai tempat penitipan si kembar. Dia meminta sopir menunggu di mobil bersama kedua keponakannya yang lain. Sebelumnya dia sudah menghubungi kedua perawat yang menjaga anak tersebut. Ahmad tidak mungkin menjaga empat orang balita sendirian selama perjalanan. Jadi dia meminta kedua perawat yang mengasuh si kembar untuk ikut bersamanya.

Setelah Ahmad turun dari mobil, dia segera menuju pintu gerbang lalu menekan bel. Tak lama kemudian seorang perawat keluar lalu bertanya.

"Ya Pak, ada perlu apa?"

"Saya Ahmad, saya yang tadi menghubungi Anda atau mungkin rekan Anda."

"Maaf sebelumnya, apakah Anda bisa menunjukkan sebuah bukti?"

Ahmad tidak merasa tersinggung dengan permintaan perawat itu. Dia malah bersyukur, ternyata si kembar diasuh oleh perawat yang teliti. Dia lalu mengeluarkan surat pemberian Profesor Morati dan memberikannya pada perawat itu. Setelah membaca surat itu sekilas, perawat itu tersenyum kemudian membuka gerbang.

Setelah masuk ke pekarangan rumah, Ahmad langsung berkata kepada perawat di sampingnya.

"Saya sudah meminta kalian untuk bersiap. Jika mungkin sebaiknya kita langsung berangkat."

"Ya, tentu. Semuanya sudah siap. Tapi mungkin kami membutuhkan bantuan Anda untuk membawa barang-barang ke mobil. Anda tidak keberatan?"

"Tentu tidak. Tugas kalian memang mengurus kedua bayi itu, sedang yang lain biar saya yang mengurusnya."

Ahmad lalu masuk ke rumah untuk mengambil barang-barang bawaan yang sudah disiapkan. Setelah semua barang diletakkan di mobil, kedua perawat itu lalu menggendong sang bayi lalu masuk ke mobil. Tak lama kemudian mereka pergi meninggalkan rumah itu.

Meski keempat anak itu akan dibesarkan secara terpisah sesuai keinginan ayahnya, Ahmad membutuhkan tempat singgah sebelum mengantarkan mereka ke empat negara di tiga benua. Rencananya Ahmad akan membawa mereka ke kampung halamannya terlebih dahulu. Tempat di mana ibu mereka dulu tinggal. Dan karena kakek mereka juga masih hidup, ada baiknya mereka diperkenalkan ke orang tua itu. Sejak mereka lahir, mereka belum pernah bertemu.

Jadi ke sanalah mobil itu kini menuju. Butuh waktu hampir 10 jam berkendara dari Jakarta menuju tempat itu. Dan karena mereka membawa balita, waktu yang dibutuhkan menjadi lebih lama lagi. Mereka berangkat menjelang malam dan baru tiba di daerah itu menjelang pagi.

Pemimpin pesantren itu, yang juga merupakan orang tua dari Ahmad dan Amira, sangat terkejut melihat kedatangan mereka. Memang sejak menikah, Amira tidak pernah pulang. Bukan karena dia tak mau, tapi dia takut membuat orang tua itu marah. Karena memang pernikahannya tidak pernah mendapat restu.

"Jadi keempat anak itu adalah cucuku?" kata orang tua itu setelah Ahmad selesai memberi penjelasan.

"Benar Bah, mereka anak-anak Amira. Abah tidak mau menerima mereka? Abah masih marah pada Amira?"

"Tidak. Sebenarnya aku sudah lama memaafkannya. Bahkan sebelum kau datang membawa kabar kematiannya. Anak itu memang keras kepala. Aku hanya bisa berdoa semoga dia tetap teguh memegang agamanya meski menikah dengan orang asing."

"Saya yakin begitu Bah. Lihat saja nama cucu Abah. Yang tertua bernama Abdul Malik. Adiknya bernama Abdul Aziz. Hanya si kembar yang tidak sempat dia beri nama. Dan karena saat itu dalam keadaan duka, ayahnya memberi nama pasangan kembar yang paling dia ingat, Nakula dan Sadewa."

Kyai Harun mengangguk dan tersenyum. Kini wajahnya terlihat lebih cerah dari sebelumnya.

"Lalu kenapa kau membawa mereka ke sini? Bukankah mereka masih memiliki ayah?"

"Ayah mereka terjebak dalam urusan yang rumit sehingga dia tidak bisa lagi mengurus anak-anaknya."

"Baiklah kalau begitu. Mereka boleh tinggal di sini."

"Tidak, Abah. Hanya si sulung yang akan tinggal di sini. Yang lain akan dititipkan pada kolega ayahnya. Mereka memang akan terpisah, tapi itu kehendak ayahnya."

Pimpinan pondok itu sedikit terkejut dengan keinginan menantunya. Bagi orang tua sepertinya, berkumpul dengan keluarga adalah hal yang penting. Tapi ternyata cucu-cucunya itu akan dipisahkan oleh ayah mereka sejak masih sangat kecil.

"Kenapa mereka harus dipisahkan? Bukankah lebih baik jika mereka tumbuh bersama?"

"Aku juga tidak terlalu mengerti. Ini terkait dengan proses memaksimalkan perkembangan potensi mereka. Ada hubungannya juga dengan batu itu."

"Maksudmu batu yang dikalungkan di leher mereka? Memangnya benda apa itu?"

Ahmad tersenyum mendengar pertanyaan dari ayahnya. Dia tahu orang tua itu sudah penasaran dengan kalung yang dikenakan keempat anak itu sejak pertama kali melihatnya. Jadi saat ada kesempatan, wajar jika ayahnya langsung bertanya dengan antusias.

"Abah jangan salah sangka. Kalung itu tidak ada hubungannya dengan unsur syirik. Profesor Morati meyakinkan aku bahwa semuanya bisa dijelaskan secara ilmiah. Berkaitan dengan gelombang yang mempengaruhi tubuh manusia, yang bisa membangkitkan potensi dalam diri. Makanya keempat warna batu itu berbeda, karena potensi setiap anak juga berbeda."

"Kamu percaya orang itu bisa mengetahui bakat anaknya sejak kecil?"

"Mungkin saja. Apalagi saat mengetahui tempat anak-anak itu akan dititipkan nantinya. Kurasa Profesor Morati ingin anaknya tumbuh di lingkungan yang cocok dengan potensi mereka."

"Memangnya ke mana kamu diminta membawa mereka?"

"Malik akan tinggal di sini. Sedangkan Aziz akan kubawa ke Jepang. Di sana ada teman sekolah ayahnya. Dia seorang ahli bela diri, tapi lemah dalam pelajaran. Sewaktu sekolah dulu, Profesor Morati sering membantunya dalam masalah pelajaran. Kini saatnya dia membalas budi dengan mendidik dan membesarkan anak itu."

"Nakula akan kubawa ke Amerika. Salah seorang sepupu Profesor Morati tinggal di sana. Sepupunya itu bisa kuliah di kampus ternama dan menjadi pengusaha sukses atas bantuan Profesor Morati. Sepertinya dia tidak akan keberatan mengasuh anak saudaranya."

"Anak terakhir, Sadewa, akan dititipkan di Jerman. Di sana ada teman dekat Profesor Morati, salah seorang peneliti di kampus paling terkenal negara tersebut. Meski hanya teman, mereka sudah seperti saudara. Profesor Morati yakin koleganya itu akan menerima anaknya dengan lapang dada."

Kyai Harun berpikir sejenak setelah mendengar penjelasan itu. Ahli bela diri, pengusaha sukses, dan peneliti di kampus ternama. Kurasa semua orang bisa membaca ke mana potensi anak-anak itu akan diarahkan.

Tiba-tiba terbersit pertanyaan di kepala pimpinan pondok itu. Tanpa ragu lagi dia langsung mengajukannya pada sang anak.

"Lalu kenapa dia menitipkan anak sulungnya di sini? potensi apa yang ingin dikembangkan saat anak itu tinggal di lingkungan ini?"

Ahmad mendesah sebentar sebelum menjawab.

"Itu juga yang mengganjal di pikiranku. Tapi menurutku kita tidak perlu mendidiknya secara berbeda. Biarlah anak itu tumbuh secara alami di lingkungan ini. Kelak waktu akan menjawab potensi besar apa yang dia miliki."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status