LOGINOlivia mendekat kepada Axel dan memeluknya dari samping.
"Kamu yang sabar Xel, kamu pasti bisa melewati semua ini... ingat kamu masih punya aku." Ucap Olivia lembut, berusaha menenangkan Axel. "Makasih ya Liv, kamu memang sahabat terbaik aku." Ucap Axel yang berusaha terlihat tegar, meski saat ini hatinya terasa hancur lebur. Dia bukan orang bodoh, dia tau alasan Vania ingin putus bukan karena dirinya Ingin fokus belajar, seperti yang dia katakan, karena dia sendiri tau Vania bukanlah tipe gadis yang gemar belajar. Pasti ada alasan lain dibalik semua ini, namun saat ini Axel terlalu malas untuk mempersoalkan hal itu. Dari sudut pandangnya, dia seakan sudah tau apa alasan Vania yg sebenarnya. "Ayahmu dan ayah ku sudah seperti saudara, jadi kamu gak perlu sungkan sama aku, kita juga teman sejak kecil dan kita tumbuh bersama. Masalah kamu adalah masalah aku juga." Kata Olivia menekankan sikapnya pada Axel Olivia tidak mengada-ada, Dilan ayah Axel dan Wiliam ayhnya, memang berteman baik. Bahkan, saat tau ayah Axel mengalami kecelakaan, ayahnya adalah orang yang pertama ingin membantu keluarga Skays, namun ibu Axel menolaknya karena tidak ingin berhutang budi terlalu banyak, juga karena mereka masih memiliki sisa uang hasil menjual rumah yang rencananya akan digunakan untuk modal membuka usaha. Jadi saat itu, William Hansen ayah Olivia, mengurungkan niatnya untuk membantu keluarga Skays. "Iya Liv, aku tau. Sekarang kamu bisa pulang dulu, aku juga akan pulang dan mengganti pakaian dulu, nanti malam baru aku akan kesini lagi. Ayah mu juga nanti khawatir." Ucap Axel Pada Olivia. Mendengar ucapan Axel, Olivia merasa sedikit kecewa, karena dia merasa ingin terus menemani Axel disini, sampai ibunya sadar. Tapi setelah berfikir sejenak, yang dikatakan Axel juga ada benarnya. Jadi dia tidak menyangkalnya dan berpikir, dia akan datang lagi besok, mungkin saat itu dia juga akan membawa ayah dan ibunya. "Ok deh Xel, tapi kamu jaga diri ya, jangan sampai kamu kelelahan, kamu jangan lupa makan, ingat kalau ada apa-apa kamu segera hubungi aku." Kata Olivia dengan penuh perhatian. "Iya Liv, sekali lagi makasih..." ucap Axel masih dengan raut wajah lesu. Olivia mendapati hatinya sedikit pahit, saat melihat sahabatnya yang selama ini ceria, kani berubah menjadi pendiam dan selalu tampak murung. Entah kenapa, Olivia mendadak mendekati Axel dan mencium pipi nya. Axel tertegun sejenak, ia juga belum sadar dengan apa yang terjadi. Beberapa saat kemudian Olivia berkata, "Aku pulang ya Xel..." Olivia mengatakan itu dengan malu-malu sambil jari tangannya mengepal dan muncul semu merah di pipinya. Axel yang sejak tadi tercengang, hanya mengangguk dan tersenyum canggung. pasalnya, ini adalah pertama kalinya seorang gadis mencium pipinya, bahkan dengan Vania yang merupakan pacarnya pun, paling ia hanya akan bergandengan Tangan sesekali. Setelahnya, Olivia berjalan menjauh dengan langkah cepat, seakan berlari dari sesuatu. Saat tiba di ujung koridor, Olivia berbalik menatap Axel dan keduanya pun tersenyum canggung. ... Didalam pod berbentuk bola. "Tuan Alex, Penduduk planet bumi disebut ras manusia, mereka adalah makhluk dengan susunan tubuh yang terdiri dari darah, kulit, daging dan tulang." Lilian menjelaskan "Lalu bagaimana dengan peradaban mereka?" "Tuan, tingkat peradaban di sini relatif tidak terlalu tinggi. Sistem mendeteksi peradaban hanya mencapai tingkat 5, berbeda jauh dengan planet Orion, Di galaksi Lioris tempat asal kita yg memiliki peradaban tingkat puncak." Kata Tristan menambahkan. "Apakah ada sinyal keterkaitan mereka dengan Black Cyborg?" Tanya tuan Alex lagi. "Tidak tuan, planet dan galaksi ini berada di pinggiran, jadi sangat kecil kemungkinan pasukan Black Cyborg bisa mendeteksi planet ini, dan kecil kemungkinan mereka bisa menyusul kita kenari." Ucap Lilian kembali menjelaskan. Tit... tit... tit... Tiba-tiba Cahaya di dada Alex berkedip dan mulai meredup. "Tu... tuan, apa anda baik-baik saja?" Tanya Lilian dan Tristan serempak, raut wajah mereka penuh kecemasan. Bersambung. . .Ruang kendali Aolenric Lerion Prime diselimuti cahaya biru dan merah lembut dari orbit Planet Frost-Fire. Di layar besar 6D yang menampilkan peta energi permukaan, tiba-tiba hologram Axel muncul dan berdiri dengan ekspresi serius. Di hadapannya, empat istrinya, Nevada, Lyra, Laxia, dan Vania, berdiri tegak dengan seragam diplomat berwarna merah marun, simbol misi perdamaian mereka. Namun malam itu, suasananya jauh berbeda dari misi diplomatik biasa. Axel memandangi mereka satu per satu sebelum akhirnya berbicara. “Mulai saat ini, misi kalian berubah. Status diplomat dicabut, dan kalian resmi menjadi agen Raging Falcon. Fokus misi: penyelidikan Paviliun Nhadi.” Lyra mengangkat alis. “Penyelidikan? Jadi kita tidak akan melakukan negosiasi lagi?” Axel mengangguk pelan. “Benar. Ada yang tidak beres di sana. Sensor Zordon mendeteksi anomali energi iblis yang sangat kuat di sekitar paviliun. Sistem penginderaan bahkan gagal menembus radius dua kilometer dari bangunan itu. Kalian e
Keesokan paginya, matahari merah Planet Fire terbit perlahan, memantulkan cahaya seperti bara ke seluruh kota kristal magma. Udara panas bercampur aroma mineral, dan di langit tampak burung-burung api berputar membentuk pola spiral. Axel dan empat istrinya, Miya, Mila, Nevertari, dan Ravina, berjalan bersama Kaelara di sepanjang jalan utama. Di kiri kanan, para penduduk Fire menunduk hormat, namun tatapan mereka kaku, seolah senyum di wajah hanyalah topeng. “Planet ini terlihat makmur,” ujar Miya pelan. “Namun hawa di sekitarnya... terasa berat.” Kaelara menoleh sedikit, menatap Miya dengan tatapan diplomatis. “Kalian orang luar mungkin tidak terbiasa dengan energi api kami. Setiap napas di sini membawa sisa kekuatan para leluhur.” Axel menatap ke arah menara tinggi di kejauhan, di puncaknya terdapat simbol berbentuk mata yang selalu berputar perlahan. “Menarik,” katanya tenang. “Kekuatan leluhur... atau kekuatan yang mengawasi?” Kaelara tersenyum samar, tidak menjawab. Mereka b
Aula utama Planet Fire berdiri megah, dinding-dindingnya berlapis batu merah menyala yang tampak berdenyut seolah hidup. Di tengah ruangan, singgasana dari logam hitam berdiri kokoh, dan di atasnya duduk seorang pria muda berambut perak menyala, Lord Ignis. Meski wajahnya terlihat seolah baru berusia dua puluh lima tahun, aura di sekitarnya menunjukkan kebijaksanaan dan kekuatan yang telah berusia dua abad. Axel melangkah masuk bersama empat istrinya, Miya, Mila, Nevertari, dan Ravina, dengan langkah tenang dan penuh wibawa. Kaelara, perwakilan istana Fire, menunduk memberi hormat kepada Ignis. “Yang Mulia, mereka telah tiba.” Ignis berdiri perlahan, sorot matanya tajam namun penuh rasa ingin tahu. “Selamat datang di Planet Fire, pengembara dari jauh. Aku telah mendengar perjalananmu di berbagai dunia, Axel.” Suaranya bergema lembut, tapi mengandung tekanan yang dalam. Axel menunduk sopan. “Terima kasih, Lord Ignis. Kami datang bukan untuk mencampuri urusan dua dunia, hanya ingin m
Langit di atas Frost berwarna biru pucat, berkilau lembut di bawah cahaya dua matahari kecil kembar. Salju jatuh perlahan, namun hawa di bawahnya terasa berat, seolah planet itu menyimpan luka lama yang belum sembuh. Axel berdiri di tengah lapangan es bersama Namira, Caitlin, Michella, dan Ginora, mendengarkan kisah para tetua Frost yang berkumpul di sekitarnya. Seorang lelaki tua berjanggut putih melangkah maju. Ia adalah Ridham, tetua tertua dan tangan kanan Lord Nawkin. Tubuhnya tampak rapuh, namun suara yang keluar dari bibirnya penuh wibawa. “Kalian ingin tahu mengapa dua dunia ini saling membenci? Aku akan bercerita.” Axel mengangguk pelan, tangannya terlipat di dada. “Ceritakanlah, Tuan Ridham. Kami datang memang untuk mendengarkan kisah dan mempelajari sejarah, untuk menambah pengetahuan kami, bukan untuk menghakimi.” Ridham menarik napas panjang. “Dahulu, sebelum Frost dan Fire berpisah, Lord Bargas dari Fire dan Lord Nawkin dari Frost bersahabat erat. Mereka berbagi ilmu,
Di ruang komando Aolenric Lerion Prime, ada empat gadis cantik yang memasang wajah muram seperti sedang merajuk. Mereka adalah Vania, Laxia, Lyra, dan Nevada. Mereka bingung dan kesal, karena Axel tidak memberikan tugas apapun pada mereka, bahkan nama mereka pun tidak disebut. Mereka pun berpikir, apakah Axel melupakan mereka. Nevada melangkah ringan ke ruang komando Aolenric Lerion Prime, wajahnya menunjukkan campuran bosan dan penasaran. Di belakangnya menyusul Laxia, Lyra, dan Vania. Mereka berempat saling bertukar pandang, lalu Nevada akhirnya angkat suara. “Kakak,” katanya dengan nada lembut tapi tegas, “bagaimana dengan kami? Mengapa Axel tidak menyebut atau memberi kami tugas? Apakah kami akan terus duduk-duduk saja di sini?” Catherine, yang tengah mengamati data orbit Frost-Fire, menoleh dengan senyum tipis namun hangat. “Ah, kalian berempat… aku juga tidak tahu, bagaimana kalau kita tanya langsung pada kapten kita?” Catherine lalu menghubungi Axel, "Kapten, empat gadis
Di kejauhan, beberapa sosok muncul, tubuh mereka memancarkan aura merah menyala, mata mereka waspada. Salah satu pria, bertubuh tinggi dan berotot, mengenakan baju zirah lava, menatap tajam ke arah tim. Di sampingnya, seorang wanita dengan rambut seperti bara api memegang tombak yang menyala. Dua sosok lainnya, pria dan wanita, menatap dengan hati-hati, sementara seorang panglima wanita berdiri sedikit di belakang, tangan di pinggang, menilai kedatangan tim.“Kau dari planet lain, bukan?” tanya salah satu pria dengan nada curiga. “Apa maksud kalian datang ke wilayah Planet Fire?”Axel Api melangkah maju, wajah tenang. “Kami bukan ancaman. Kami datang untuk mengamati dan belajar tentang kondisi planet ini. Namaku Axel Skays, dan ini para istriku Nevertari, Mila, Miya, dan Ravina” katanya sambil menyalurkan aura api yang lembut, menari-nari di sekeliling tubuh mereka. Gelombang energi hangat namun terkendali itu menyentuh tanah, menenangkan sedikit kekhawatiran penduduk.Nevertari mela







