Masuk"B... baik nona muda." Jawab Adrian terbata-bata. Kepalanya sedikit pusing, dia tidak tau bagaimana cara menyampaikan perkataan nona Olivia kepada tuan Hansen. Bagaimanapun dia pasti akan dimarahi habis-habisan dan dijadikan sasaran emosi bosnya. Tapi dia tetap melangkah ke mobil dengan tak berdaya.
... Di tempat lain di taman Savana International School. Vania Ember, pacar Axel saat ini tengah duduk bersama seorang pria tampan berambut pirang. Mereka tampak mesra, ketika si pra pirang memakaikan kalung di leher Vania, senyum bahagia pun tampak menghiasi wajah kedua orang itu. "Van, mulai sekarang kamu itu pacar ku, kamu harus berhenti berhubungan dengan si miskin Axel itu. Aku tidak suka ada lelaki lain yang dekat dengan kekasih ku." Kata si pirang dengan memasang wajan angkuh "Oh Dean sayang. Sebenarnya, sejak lama aku sudah tidak ingin berhubungan dengan pria miskin itu lagi. Kalau bukan karena dia pria pertama yang aku kenal setelah datang ke kota ini, mana mungkin dengan mudah aku bisa tertipu olehnya dan bersedia menjadi pacarnya." Vania menjelaskan dengan tampa dosa, seolah hubungannya dengan Axel adalah keterpaksaan. Padahal sudah hampir 2 tahun mereka bersama. Selama waktu, itu Axel memperlakukan Vania dengan tulus, tidak perduli apapun yang diinginkan Vania, Axel akan selalu berusaha memenuhinya dengan segala cara. Bahkan Axel akan bersedia mengorbankan tenaga, pikiran dan waktunya untuk menyenangkan hati Vania. Setelah ayahnya, Dilan Skays meninggal dalam kecelakaan mobil setengah tahun lalu perusahaan keluarga Skays mengalami kebangkrutan, Axel dan ibunya pun terpaksa harus pindah dari rumah besar mereka ke tepat tinggal yang lebih kecil, untuk berhemat dan berusaha bertahan sebelum ibunya bisa mendapat pekerjaan. Namun, nasib seakan tidak berpihak pada Axel dan ibunya, karena mendadak ibu Axel, Julia jatuh sakit karena terlalu stres, akhirnya sampai pada keadaan sekarang, dimana Julia mengalami stroke. Sejak beberapa waktu lalu, Vania sudah mulai berubah sikapnya pada Axel. Vania mulai mendingin dan seolah menjaga jarak dari Axel dan ibunya, bahkan ketika beberapa kali Axel mengajaknya mampir ke rumah barunya, Vania selalu punya banyak alasan untuk menolaknya. Namun pada saat itu, Axel tidak berpikir terlalu jauh. Dia hanya merasa, mungkin Vania sedang ada kesibukan lain, sehingga selalu menolak ajakannya. ... Saat ini dirumah sakit. Ponsel Axel berdering. Melihat panggilan dari Vania pacarnya, sedikit senyuman terlintas di wajah lesu Axel. Dia merasa senang karena pacarnya menelpon, ia merasa Vania masih sangat perhatian. "Halo Van..." Sapa Axel dengan riang saat mengangkat telepon. "Axel, Aku mau kita putus." Kalimat pertama Vania dengan nada ketus. "Halo Van, kamu bilang apa?" Tanya Axel ragu, karena dia pikir dia mendengar sesuatu yang salah. "Axel, Aku mau kita putus mulai sekarang kamu jangan ganggu aku lagi, aku ingin fokus belajar." Jawab Vania masih dengan nada ketus. "Ta... Tapi kenapa Van, kemarin kita masih baik-baik saja?!" Tanya Axel masih kebingungan, belum bisa mencerna perkataan Vania. "Gak ada alasan, aku hanya ingin putus saja." Tandas Vania sambil langsung menutup panggilan telepon. Olivia yang berada di samping Axel, samar-samar bisa mendengar percakapan keduanya. Melihat ekspresi kecewa di wajah Axel, ia pun bisa mengonfirmasi apa yg didengarnya. "Ada apa Xel?'' Tanya Olivia dengan suara pelan. "Vania minta putus Liv." Jawab Axel lemah, tak bisa menutupi rasa kecewanya. Seketika Olivia pun terkejut, meskipun dia samar-samar bisa mendengar percakapan mereka tadi, tapi dia tetap tidak bisa menahan keterkejutannya. Bersambung. . .Ruang kendali Aolenric Lerion Prime diselimuti cahaya biru dan merah lembut dari orbit Planet Frost-Fire. Di layar besar 6D yang menampilkan peta energi permukaan, tiba-tiba hologram Axel muncul dan berdiri dengan ekspresi serius. Di hadapannya, empat istrinya, Nevada, Lyra, Laxia, dan Vania, berdiri tegak dengan seragam diplomat berwarna merah marun, simbol misi perdamaian mereka. Namun malam itu, suasananya jauh berbeda dari misi diplomatik biasa. Axel memandangi mereka satu per satu sebelum akhirnya berbicara. “Mulai saat ini, misi kalian berubah. Status diplomat dicabut, dan kalian resmi menjadi agen Raging Falcon. Fokus misi: penyelidikan Paviliun Nhadi.” Lyra mengangkat alis. “Penyelidikan? Jadi kita tidak akan melakukan negosiasi lagi?” Axel mengangguk pelan. “Benar. Ada yang tidak beres di sana. Sensor Zordon mendeteksi anomali energi iblis yang sangat kuat di sekitar paviliun. Sistem penginderaan bahkan gagal menembus radius dua kilometer dari bangunan itu. Kalian e
Keesokan paginya, matahari merah Planet Fire terbit perlahan, memantulkan cahaya seperti bara ke seluruh kota kristal magma. Udara panas bercampur aroma mineral, dan di langit tampak burung-burung api berputar membentuk pola spiral. Axel dan empat istrinya, Miya, Mila, Nevertari, dan Ravina, berjalan bersama Kaelara di sepanjang jalan utama. Di kiri kanan, para penduduk Fire menunduk hormat, namun tatapan mereka kaku, seolah senyum di wajah hanyalah topeng. “Planet ini terlihat makmur,” ujar Miya pelan. “Namun hawa di sekitarnya... terasa berat.” Kaelara menoleh sedikit, menatap Miya dengan tatapan diplomatis. “Kalian orang luar mungkin tidak terbiasa dengan energi api kami. Setiap napas di sini membawa sisa kekuatan para leluhur.” Axel menatap ke arah menara tinggi di kejauhan, di puncaknya terdapat simbol berbentuk mata yang selalu berputar perlahan. “Menarik,” katanya tenang. “Kekuatan leluhur... atau kekuatan yang mengawasi?” Kaelara tersenyum samar, tidak menjawab. Mereka b
Aula utama Planet Fire berdiri megah, dinding-dindingnya berlapis batu merah menyala yang tampak berdenyut seolah hidup. Di tengah ruangan, singgasana dari logam hitam berdiri kokoh, dan di atasnya duduk seorang pria muda berambut perak menyala, Lord Ignis. Meski wajahnya terlihat seolah baru berusia dua puluh lima tahun, aura di sekitarnya menunjukkan kebijaksanaan dan kekuatan yang telah berusia dua abad. Axel melangkah masuk bersama empat istrinya, Miya, Mila, Nevertari, dan Ravina, dengan langkah tenang dan penuh wibawa. Kaelara, perwakilan istana Fire, menunduk memberi hormat kepada Ignis. “Yang Mulia, mereka telah tiba.” Ignis berdiri perlahan, sorot matanya tajam namun penuh rasa ingin tahu. “Selamat datang di Planet Fire, pengembara dari jauh. Aku telah mendengar perjalananmu di berbagai dunia, Axel.” Suaranya bergema lembut, tapi mengandung tekanan yang dalam. Axel menunduk sopan. “Terima kasih, Lord Ignis. Kami datang bukan untuk mencampuri urusan dua dunia, hanya ingin m
Langit di atas Frost berwarna biru pucat, berkilau lembut di bawah cahaya dua matahari kecil kembar. Salju jatuh perlahan, namun hawa di bawahnya terasa berat, seolah planet itu menyimpan luka lama yang belum sembuh. Axel berdiri di tengah lapangan es bersama Namira, Caitlin, Michella, dan Ginora, mendengarkan kisah para tetua Frost yang berkumpul di sekitarnya. Seorang lelaki tua berjanggut putih melangkah maju. Ia adalah Ridham, tetua tertua dan tangan kanan Lord Nawkin. Tubuhnya tampak rapuh, namun suara yang keluar dari bibirnya penuh wibawa. “Kalian ingin tahu mengapa dua dunia ini saling membenci? Aku akan bercerita.” Axel mengangguk pelan, tangannya terlipat di dada. “Ceritakanlah, Tuan Ridham. Kami datang memang untuk mendengarkan kisah dan mempelajari sejarah, untuk menambah pengetahuan kami, bukan untuk menghakimi.” Ridham menarik napas panjang. “Dahulu, sebelum Frost dan Fire berpisah, Lord Bargas dari Fire dan Lord Nawkin dari Frost bersahabat erat. Mereka berbagi ilmu,
Di ruang komando Aolenric Lerion Prime, ada empat gadis cantik yang memasang wajah muram seperti sedang merajuk. Mereka adalah Vania, Laxia, Lyra, dan Nevada. Mereka bingung dan kesal, karena Axel tidak memberikan tugas apapun pada mereka, bahkan nama mereka pun tidak disebut. Mereka pun berpikir, apakah Axel melupakan mereka. Nevada melangkah ringan ke ruang komando Aolenric Lerion Prime, wajahnya menunjukkan campuran bosan dan penasaran. Di belakangnya menyusul Laxia, Lyra, dan Vania. Mereka berempat saling bertukar pandang, lalu Nevada akhirnya angkat suara. “Kakak,” katanya dengan nada lembut tapi tegas, “bagaimana dengan kami? Mengapa Axel tidak menyebut atau memberi kami tugas? Apakah kami akan terus duduk-duduk saja di sini?” Catherine, yang tengah mengamati data orbit Frost-Fire, menoleh dengan senyum tipis namun hangat. “Ah, kalian berempat… aku juga tidak tahu, bagaimana kalau kita tanya langsung pada kapten kita?” Catherine lalu menghubungi Axel, "Kapten, empat gadis
Di kejauhan, beberapa sosok muncul, tubuh mereka memancarkan aura merah menyala, mata mereka waspada. Salah satu pria, bertubuh tinggi dan berotot, mengenakan baju zirah lava, menatap tajam ke arah tim. Di sampingnya, seorang wanita dengan rambut seperti bara api memegang tombak yang menyala. Dua sosok lainnya, pria dan wanita, menatap dengan hati-hati, sementara seorang panglima wanita berdiri sedikit di belakang, tangan di pinggang, menilai kedatangan tim.“Kau dari planet lain, bukan?” tanya salah satu pria dengan nada curiga. “Apa maksud kalian datang ke wilayah Planet Fire?”Axel Api melangkah maju, wajah tenang. “Kami bukan ancaman. Kami datang untuk mengamati dan belajar tentang kondisi planet ini. Namaku Axel Skays, dan ini para istriku Nevertari, Mila, Miya, dan Ravina” katanya sambil menyalurkan aura api yang lembut, menari-nari di sekeliling tubuh mereka. Gelombang energi hangat namun terkendali itu menyentuh tanah, menenangkan sedikit kekhawatiran penduduk.Nevertari mela







