Share

Berbaikan

Penulis: Black Jack
last update Terakhir Diperbarui: 2023-10-03 19:56:44

Rangga bergegas membuka pintu. Ia cukup terkejut dengan kedatangan kakak iparnya yang tiba-tiba itu. Apalagi, Teja terlihat tidak sedang dalam keadaan baik-baik saja; Teja menatapnya dengan tatapan penuh amarah.

“K-kang Teja…” sapa Rangga.

“Bajingan keparat! Apa yang kau lakukan pada adikku!” bentak Teja. Ia langsung memberikan sebuah tendangan telak di bagian dada yang membuat Rangga sampai terpental dan jatuh ke lantai rumahnya.

Citra tentu saja kaget mendengar suara teriakan yang disusul suara jatuhnya Rangga itu. Lantas Citra segera bergegas ke ruang depan dan mendapati suaminya tergeletak di lantai dan juga kakak kandungnya yang terlihat sangat marah.

“Kang Teja… apa yang kau lakukan?” kata Citra panik dan kaget saat ia mendapati kakaknya telah datang dan suaminya sedang terkapar di lantai. Citra paling takut jika Teja sudah marah sebab dia bisa melakukan apa saja. Bahkan membunuh orang.

Dengan tubuh tinggi, besar dan gagah yang membuatnya berhasil masuk di keprajuritan istana, pastinya Rangga hanya akan dijadikan bulan-bulanan.

“Biarkan aku menghajar bajingan yang memperlakukanmu dengan buruk itu!” Teja mengabaikan adiknya dan melangkah cepat ke arah rangga yang masih terkulai di lantai. Teja mengangkatnya dan membantingnya dengan keras.

Citra menjerit seketika! “Kakang! Jangan pukul suamiku! Dia suamiku! Kau ini kenapa!”

Langsung saja Citra berlari dan membentengi Rangga dari amukan Teja.

“Kenapa kau masih membelanya, Citra! Dia bahkan tega menjualmu kepada teman-temannya! Suami macam apa itu!” kata Teja.

“Kakang, itu tidak benar! Suamiku tak menjualku kepada siapapun! Kakang mendapatkan berita bohong itu dari mana!” kata Citra.

“Citra! Aku tak habis pikir dengammu! Bukan sekali ini saja aku mendengar kau diperlakukan dengan buruk oleh suamimu, tapi kau masih membelanya!” kata Teja masih marah.

Di rumah kedua orang tuanya, Citra selalu dielu-elukan dan menjadi anak perempuan yang disayangi semua orang. Apalagi Teja; sang kakak itu begitu sayang kepada adiknya. Jika ada seseorang yang berani mengganggu adiknya saja, ia tak segan menghajar orang itu sampai babak belur. Maka Teja jelas tidak terima setelah mendengar jika Rangga bersikap jahat kepada Citra.

“Kang Teja… ini rumah tanggaku. Dia suamiku. Aku lebih tahu apa yang kami alami daripada siapapun! Sebaiknya Kang Teja pulang saja jika datang kemari hanya untuk memukuli suamiku!” kata Citra.

Rangga mendengar itu semua. Hatinya sungguh berbunga-bunga. Seperti yang ia yakini, meski Citra mendiamkannya, namun dia pasti masih akan peduli padanya.

Teja tentu saja tidak tenang. Ia juga cukup kecewa dengan sikap adiknya. Ia hanya ingin memastikan adiknya baik-baik saja dan bahagia. Tak ingin membuat sang adik bertambah kalut, maka Teja pergi dari rumah itu. Namun, ia tak pergi dari desa itu. Ia memilih untuk menyewa sebuah penginapan untuk memantau adiknya.

Selepas Teja pergi, Citra membantu Rangga berbaring di ranjang.

“Mana yang sakit, Kangmas?” ucap Citra. Melihat Rangga seperti itu ia menjadi tidak tega untuk bersikap tak peduli seperti sebelumnya.

“Tidak apa-apa, Citra… paling hanya memar karena ditendang dan dibanting. Aku layak mendapatkan hal ini dan yang aku dapat tidak sebanding dengan sakit hatimu selama ini. Aku tidak marah kepada Kang Teja… seharusnya dia menghajarku lebih dari ini…” kata Rangga.

“Jangan bicara seperti itu. Kang Teja jika sudah kalap bisa saja gelap mata. Sudahlah. Aku akan buatkan obat balur untukmu…” kata Citra. Ia segera bergegas ke belakang untuk merebus air dan menumbuk obat balur untuk luka memar yang didapatkan Rangga.

Dulu Teja pun marah besar ketika tahu Rangga membuang Citra. Namun demikian, Citra sendiri lah yang menyembunyikan aib Rangga dengan cerita sedemikian rupa sehingga selamatlah Rangga dari amukan Teja. Citra seorang diri menanggung penderitaannya.

Rangga tahu betul soal itu dan kini ia sungguh merutuki dirinya berkali-kali karena kebodohan yang pernah ia lakukan. Tekad Rangga semakin kuat ingin membahagiakan istrinya.

Citra kembali dan kemudian mulai membaluri memar di dada, punggung dan pinggang Rangga.

“Citra… terimakasih… aku tahu kau masih marah dan kecewa kepadaku… tapi aku tahu kau masih perhatian kepadaku… aku sangat berharap kau memaafkan aku dan mau menerimaku kembali. Aku akan membuktikan kepadamu jika aku sudah berubah dan akan terus berubah menjadi lelaki yang lebih baik untukmu…” kata Rangga sambil memegang tangan istrinya.

Namun Citra dengan halus menarik tangannya. Masih ada banyak ganjalan dalam benak Citra. Terutama soal harta karun yang tadi dibawa Rangga pulang.

“Kakang mendapatkan perhiasan dan uang emas itu dari mana? Judi lagi? Atau jangan-jangan kau mencuri!” tanya Citra.

“Aku tidak pernah mencuri meski aku lelaki buruk, Citra… dan aku sudah bersumpah kepadamu tidak akan berjudi. Aku menemukan kotak itu di sungai… kau lihat sendiri lumpurnya saat aku bersihkan di belakang…” kata Rangga.

Citra menghela nafas panjang. Ia masih sulit untuk percaya. Aneh sekali tiba-tiba Rangga mendapatkan harta karun di sungai. Bahkan tidak biasanya Rangga pergi ke sungai.

“Kangmas simpan saja perhiasan itu. Aku takut menyimpannya. Dan juga uang itu… aku takut menggunakannya. Kecuali kangmas memberiku uang hasil bekerja. Aku ke belakang dulu. Jika butuh sesuatu, panggil aku…” kata Citra.

Lumayan. Setidaknya Citra sudah mau bicara. Dan dia sudah tidak tampak ketakutan. Diam-diam Rangga berterimakasih kepada Teja. Tanpa kejadian itu, Citra mungkin masih akan mendiamkannya.

***

Tiga hari berlalu dan Teja akhirnya pulang ke rumah orang tuanya setelah tak mendapati ada hal yang aneh di rumah adiknya. Ia juga mendapati jika Rangga tidak pergi ke tempat-tempat judi atau kedai arak untuk mabuk-mabukan.

Selama tiga hari itu Rangga berpikir keras dan mengingat segala peluang yang sudah ia ketahui.

Maka petang itu setelah makan malam, Rangga mengajak Citra bicara.

“Citra, bisa kita bicara sebentar?” tanya Rangga

Citra yang baru saja membereskan peralatan dapur mengernyit heran.

“Bicara apa, Kangmas?” tanya Citra.

“Aku ingin izin padamu…” kata Rangga.

“Izin?” Citra semakin heran. Mana ada Rangga meminta izin atas apapun yang ia lakukan sebelumnya?.

“Aku ingin beternak kuda. Lebih tepatnya aku ingin membeli kuda jantan anakan dan membesarkannya. Jadi sebelum itu, aku ingin membeli tanah milik Ki Panut yang ada di belakang rumah kita itu. Tanahnya luas dan dia hanya meminta dua ratus keping emas. Sebagian akan aku gunakan untuk membangun kandang, sebagian lagi untuk bercocok tanam…” kata Rangga.

“Kuda? Memangnya kangmas bisa? Kenapa bukan kambing atau kerbau saja yang lebih mudah?” tanya Citra.

“Dua tahun lagi, harga kuda akan melambung tinggi karena kotaraja membutuhkannya untuk perang!” jawab Rangga sedikit keceplosan.

“Hah? Dari mana kakang tahu? Jangan sembarangan bicara soal perang! Itu tak mungkin terjadi!” kata Citra semakin heran. Ia menjadi yakin jika suaminya agak bermasalah dengan otaknya. Dia tiba-tiba baik, perhatian, halus, berhenti judi dan minum, lalu kini dia membicarakan kuda dan mengatakan jika akan ada perang.

“Ya… kau mungkin tak akan percaya. Tapi… aku meminta pendapatmu soal ternak kuda itu… boleh?” tanya Rangga.

“B-boleh saja…” kata Citra. Apapun itu tentu tetap lebih baik daripada Rangga tak melakukan apa-apa dan sangat disayangkan jika Rangga kembali judi, mabuk-mabukan dan bersikap kasar.

Bagaimana pun, Citra sudah mulai bisa sedikit menikmati hidupnya tanpa dibentak dan dipukul. Bahkan suaminya pun mau membantu beres-beres rumah dan mencuci baju. Ia harus bersyukur karena itu. Dan ia tahu, seorang istri sebaiknya memberi dukungan kepada suaminya.

“Jangan khawatir, aku akan mendapatkan banyak uang untukmu. Aku janji…” kata Rangga.

Citra menundukkan wajahnya dan menekan jari-jari tangannya tanpa sadar. Rangga memperhatikan hal itu.

“Citra… kau istriku. Kau berhak mengatakan pendapatmu. Aku akan mendengarkannya…”

“Sebenarnya… yang aku butuhkan bukan uang yang melimpah… tapi…” Citra menjeda ucapannya. Entah kenapa tiba-tiba ia merasa malu dan di saat yang sama ia merasa agak mules.

“Tapi apa?” tanya Rangga.

“Aku membutuhkan sikap Kangmas yang seperti ini. Aku harap, kebaikan Kangmas kali ini bukan sebuah kebohongan…” kata Citra.

“Aku tidak bohong, Citra… aku sayang padamu. Aku mencintaimu. Mungkin kau tidak percaya karena hal ini tiba-tiba. Tapi aku akan sangat menyesal jika tak langsung menjadi seperti ini. Bahkan… sejak kita menikah… kita belum pernah itu… jika kau siap, aku ingin memberikan nafkah batin untukmu… aku ingin kau melahirkan anak-anak kita…” kata Rangga.

Mendengar ucapan itu, jantung citra tiba-tiba berdetak lebih cepat dari sebelumnya.

Sebagai seorang istri, seorang wanita, tentu saja ia pun juga mendambakan hal itu. Sialnya selama ini Rangga tak pernah menyentuhnya.

Rangga menggeser duduknya merapat. Lalu ia menarik dagu Citra, menatap wajahnya, dan kemudian ia mendekatkan bibirnya untuk mencium bibir sang istri tersayang itu.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
KOST-GOES Komunitas Sepeda Tua
Kurang asyik, cerita lanjutannya terkunci
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Sang Pengubah Takdir   Akhir Cerita

    Serangan fajar itu berlangsung sengit. Pasukan Tirtapura benar-benar diuntungkan dengan keadaan musuh yang tidak siap dan masih kaget dengan ledakan.Pasukan pemanah segera beraksi menghujani benteng dan apapun di baliknya dengan panah. Lalu begitu panah-panah itu habis, pasukan darat segera berlari menyerbu melewati benteng yang rubuh itu dengan gagah berani sambil berteriak lantang saling membakar semangat satu sama lainnya.Senopati Teguh menahan Rangga agar tidak ikut masuk.“Di sini saja, Den… tugamu sudah selesai. Sisanya biar dibereskan pasukan darat dan pasukan kuda. Kita hanya perlu menunggu. Hari ini, tak sampai tengah hari, istana Wonobhumi akan takluk…” kata Senopati Teguh.Rangga tidak membantah. Ia menyaksikan kemelut itu dari kejauhan dan mendengarkan teriakan-teriakan mengerikan di balik benteng itu. Musuh tidak sepenuhnya siap dan kalah jumlah.Rupanya perang itu berlangsung cepat. Belum sampai matahari terasa terik, perang berakhir diiringi suara sorak sorai pasukan

  • Sang Pengubah Takdir   Hancurnya Benteng Wonobhumi

    Kereta Rangga berhenti di tempat yang direncanakan. Rangga bukannya lolos dari serangan itu. Ada dua anak panah yang telah tertancap di bahunya. Rasanya sungguh menyakitkan. Namun Rangga menghiraukan rasa sakit itu. Ketegangan membuatnya tak peduli dengan apapun.Pihak musuh tidak mengerti. Mereka banyak yang berpindah hingga di atas dan di sisi kanan dan kiri benteng itu sambil tetap berancang-ancang dengan panahnya. Rangga masih terpindung oleh bagian lengkung benteng sehingga siapa saja yang berada di atas belum bisa menyerangnya. Sementara ada banyak juga prajurit yang berada di balik gerbang benteng.Rangga segera bergegas ke belakang kereta. Ia menarik beberapa sumbu, lalu membakarnya tanpa ragu. Setelah itu, ia kembali memayungi tubuhnya dengan tameng dan ia berlari meninggalkan kereta itu kembali menuju ke pemukiman barat.Sungguh pun, Senopati Teguh sangat cemas. Ia sudah menyiapkan banyak prajurit pemanah saat itu. Saat Rangga berlari menyelamatkan diri, senopati Teguh memin

  • Sang Pengubah Takdir   Mendekati Benteng Musuh

    Beberapa hari kemudian, Pasukan Tirtapura sudah bergerak dan mereka berhasil menguasai wilayah barat kotaraja. Kini jarak kedua kubu itu bisa dibilang hanya beberapa langkah saja, terpisah oleh jalan dan juga benteng istana yang tinggi dan tebal.Dua kubu pasukan itu sudah sempat saling bersitegang dan bertukar serangan anak panah. Namun Senopati Wuring segera menghentikan hal itu karena bisa menjadi sebuah pemborosan.Dalam benak senopati Wuring ada banyak metode untuk menaklukkan Wonobhumi. Atau membuat mereka pada akhirnya membuka gerbang dan menyerang. Hal itu adalah sebuah kerugian besar bagi pihak Wonobhumi.Salah satu cara yang terpikirkan adalah dengan mengisolasi tempat itu. Tak akan ada pasokan makanan dan mereka tak akan bisa bertahan.Sementara, pasukan Tirtapura masih akan bisa bertahan karena mereka masih bisa mendapatkan pasokan makanan entah bagaimana caranya.Dan metode itu disampaikan oleh Senopati Wuring kepada semua jajaran senopati dan orang penting di kubu Tirtap

  • Sang Pengubah Takdir   Sampai Di Kotaraja Wonobhumi

    Hari-hari berlalu. Kini Rangga bersama rombongan besar pasukan Tirtapura sedang menuju ke kotaraja Wonobhumi.Pasukan Wonobhumi yang bertahan di kota Suluk akhirnya berhasil dikalahkan. Tidak banyak dari pasukan itu yang berhasil melarikan diri ke kotaraja. Selebihnya mati dan terluka parah, serta dijadikan tahanan sampai entah kapan.Yang pasti, kota-kota yang dilewati oleh pasukan Tirtapura selalu gemetar ketakutan sebab Wonobhumi sudah benar-benar kehilangan kekuatan, kecuali yang tersisa di kotaraja.Tentu setiap kota kadipaten akan memiliki pasukan sendiri-sendiri. Namun pada saat perang terjadi, kotaraja meminta sumbangan prajurit sehingga setiap kadipaten yang ada di wilayah Wonobhumi telah kehilangan setengah pasukannya.Dan kali ini, daripada hancur lebur, para adipati memilih untuk menyerah dan berdamai dengan Tirtapura yang artinya mereka dengan suka rela menyerahkan diri dan mengakui kedaulatan Tirtapura, serta mau menjadi bagian dari kerajaan tersebut.Hal itu tentu saja

  • Sang Pengubah Takdir   Citra Hamil?

    Dalam kekacauan itu, sayangnya tim yang berada di titik kedua kurang sabar. Banu juga merasa bingung dengan hiruk pikuk yang terjadi. Sehingga, semula yang seharusnya mereka menyalakan petasan ketika prajurit darat kembali untuk mengevakuasi teman-teman mereka, malah terburu-buru menyalakan petasan itu manakala mereka menganggap situasinya sudah tepat.Sehingga, pasukan darat musuh bisa dibilang selamat dari jebakan itu. Yang kena hanyalah kesatuan yang bertugas untuk mengangkut dan mengawal perbekalan.Senopati Teguh tak berani mengambil banyak resiko. Ia hanya menyuruh pasukannya untuk menghabiskan anak panah yang mereka miliki dan juga menjatuhkan bebatuan berukuran sedang dari atas gunung. Selebihnya mereka pergi meninggalkan tempat itu.Apapun itu, hasil dari serangan petasan tersebut cukup memuaskan. Ada banyak korban jatuh dari pihak Wonobhumi meski jumlah prajurit mereka masih sangat banyak.Namun demikian, mereka kehilangan waktu, kehilangan banyak kuda, dan juga amunisi lain

  • Sang Pengubah Takdir   Memporak-Porandakan Musuh Dengan Ledakan

    Rangga dan beberapa anggota timnya berada di lokasi titik pertama namun tak persis di tempat-tempat petasan itu dipasang sedemikian rupa.Prajurit darat sudah lewat dari tadi. Dan juga kereta-kereta pengangkut perbekalan. Rangga sampai merinding sendiri melihat banyaknya iringan panjang prajurit Wonobhumi tersebut.Yang dilakukan Rangga dan teman-temannya hanyalah berdiri di pinggir jalan karena tugas para prajurit di tempat itu memang hanya menjaga jalur.Hanya di awal-awal saja, pemimpin rombongan pasukan darat berhenti dan menanyakan situasi. Rangga menjawab jika jalur telah bersih dan aman untuk dilewati. Selebihnya para prajurit itu melanjutkan perjalanannya.“Panjang sekali barisannya… dan pasukan berkuda masih sangat jauh. Aku khawatir jika petasan kita gagal…” bisik Sanji yang saat itu berada di sebelah Rangga.“Jangan khawatir. Ada puluhan petasan dan tak mungkin tak ada yang meledak. Kita hanya harus berhati-hati saja, sebab yang akan kita hadapi nanti adalah kuda-kuda yang

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status