Share

Berbaikan

Rangga bergegas membuka pintu. Ia cukup terkejut dengan kedatangan kakak iparnya yang tiba-tiba itu. Apalagi, Teja terlihat tidak sedang dalam keadaan baik-baik saja; Teja menatapnya dengan tatapan penuh amarah.

“K-kang Teja…” sapa Rangga.

“Bajingan keparat! Apa yang kau lakukan pada adikku!” bentak Teja. Ia langsung memberikan sebuah tendangan telak di bagian dada yang membuat Rangga sampai terpental dan jatuh ke lantai rumahnya.

Citra tentu saja kaget mendengar suara teriakan yang disusul suara jatuhnya Rangga itu. Lantas Citra segera bergegas ke ruang depan dan mendapati suaminya tergeletak di lantai dan juga kakak kandungnya yang terlihat sangat marah.

“Kang Teja… apa yang kau lakukan?” kata Citra panik dan kaget saat ia mendapati kakaknya telah datang dan suaminya sedang terkapar di lantai. Citra paling takut jika Teja sudah marah sebab dia bisa melakukan apa saja. Bahkan membunuh orang.

Dengan tubuh tinggi, besar dan gagah yang membuatnya berhasil masuk di keprajuritan istana, pastinya Rangga hanya akan dijadikan bulan-bulanan.

“Biarkan aku menghajar bajingan yang memperlakukanmu dengan buruk itu!” Teja mengabaikan adiknya dan melangkah cepat ke arah rangga yang masih terkulai di lantai. Teja mengangkatnya dan membantingnya dengan keras.

Citra menjerit seketika! “Kakang! Jangan pukul suamiku! Dia suamiku! Kau ini kenapa!”

Langsung saja Citra berlari dan membentengi Rangga dari amukan Teja.

“Kenapa kau masih membelanya, Citra! Dia bahkan tega menjualmu kepada teman-temannya! Suami macam apa itu!” kata Teja.

“Kakang, itu tidak benar! Suamiku tak menjualku kepada siapapun! Kakang mendapatkan berita bohong itu dari mana!” kata Citra.

“Citra! Aku tak habis pikir dengammu! Bukan sekali ini saja aku mendengar kau diperlakukan dengan buruk oleh suamimu, tapi kau masih membelanya!” kata Teja masih marah.

Di rumah kedua orang tuanya, Citra selalu dielu-elukan dan menjadi anak perempuan yang disayangi semua orang. Apalagi Teja; sang kakak itu begitu sayang kepada adiknya. Jika ada seseorang yang berani mengganggu adiknya saja, ia tak segan menghajar orang itu sampai babak belur. Maka Teja jelas tidak terima setelah mendengar jika Rangga bersikap jahat kepada Citra.

“Kang Teja… ini rumah tanggaku. Dia suamiku. Aku lebih tahu apa yang kami alami daripada siapapun! Sebaiknya Kang Teja pulang saja jika datang kemari hanya untuk memukuli suamiku!” kata Citra.

Rangga mendengar itu semua. Hatinya sungguh berbunga-bunga. Seperti yang ia yakini, meski Citra mendiamkannya, namun dia pasti masih akan peduli padanya.

Teja tentu saja tidak tenang. Ia juga cukup kecewa dengan sikap adiknya. Ia hanya ingin memastikan adiknya baik-baik saja dan bahagia. Tak ingin membuat sang adik bertambah kalut, maka Teja pergi dari rumah itu. Namun, ia tak pergi dari desa itu. Ia memilih untuk menyewa sebuah penginapan untuk memantau adiknya.

Selepas Teja pergi, Citra membantu Rangga berbaring di ranjang.

“Mana yang sakit, Kangmas?” ucap Citra. Melihat Rangga seperti itu ia menjadi tidak tega untuk bersikap tak peduli seperti sebelumnya.

“Tidak apa-apa, Citra… paling hanya memar karena ditendang dan dibanting. Aku layak mendapatkan hal ini dan yang aku dapat tidak sebanding dengan sakit hatimu selama ini. Aku tidak marah kepada Kang Teja… seharusnya dia menghajarku lebih dari ini…” kata Rangga.

“Jangan bicara seperti itu. Kang Teja jika sudah kalap bisa saja gelap mata. Sudahlah. Aku akan buatkan obat balur untukmu…” kata Citra. Ia segera bergegas ke belakang untuk merebus air dan menumbuk obat balur untuk luka memar yang didapatkan Rangga.

Dulu Teja pun marah besar ketika tahu Rangga membuang Citra. Namun demikian, Citra sendiri lah yang menyembunyikan aib Rangga dengan cerita sedemikian rupa sehingga selamatlah Rangga dari amukan Teja. Citra seorang diri menanggung penderitaannya.

Rangga tahu betul soal itu dan kini ia sungguh merutuki dirinya berkali-kali karena kebodohan yang pernah ia lakukan. Tekad Rangga semakin kuat ingin membahagiakan istrinya.

Citra kembali dan kemudian mulai membaluri memar di dada, punggung dan pinggang Rangga.

“Citra… terimakasih… aku tahu kau masih marah dan kecewa kepadaku… tapi aku tahu kau masih perhatian kepadaku… aku sangat berharap kau memaafkan aku dan mau menerimaku kembali. Aku akan membuktikan kepadamu jika aku sudah berubah dan akan terus berubah menjadi lelaki yang lebih baik untukmu…” kata Rangga sambil memegang tangan istrinya.

Namun Citra dengan halus menarik tangannya. Masih ada banyak ganjalan dalam benak Citra. Terutama soal harta karun yang tadi dibawa Rangga pulang.

“Kakang mendapatkan perhiasan dan uang emas itu dari mana? Judi lagi? Atau jangan-jangan kau mencuri!” tanya Citra.

“Aku tidak pernah mencuri meski aku lelaki buruk, Citra… dan aku sudah bersumpah kepadamu tidak akan berjudi. Aku menemukan kotak itu di sungai… kau lihat sendiri lumpurnya saat aku bersihkan di belakang…” kata Rangga.

Citra menghela nafas panjang. Ia masih sulit untuk percaya. Aneh sekali tiba-tiba Rangga mendapatkan harta karun di sungai. Bahkan tidak biasanya Rangga pergi ke sungai.

“Kangmas simpan saja perhiasan itu. Aku takut menyimpannya. Dan juga uang itu… aku takut menggunakannya. Kecuali kangmas memberiku uang hasil bekerja. Aku ke belakang dulu. Jika butuh sesuatu, panggil aku…” kata Citra.

Lumayan. Setidaknya Citra sudah mau bicara. Dan dia sudah tidak tampak ketakutan. Diam-diam Rangga berterimakasih kepada Teja. Tanpa kejadian itu, Citra mungkin masih akan mendiamkannya.

***

Tiga hari berlalu dan Teja akhirnya pulang ke rumah orang tuanya setelah tak mendapati ada hal yang aneh di rumah adiknya. Ia juga mendapati jika Rangga tidak pergi ke tempat-tempat judi atau kedai arak untuk mabuk-mabukan.

Selama tiga hari itu Rangga berpikir keras dan mengingat segala peluang yang sudah ia ketahui.

Maka petang itu setelah makan malam, Rangga mengajak Citra bicara.

“Citra, bisa kita bicara sebentar?” tanya Rangga

Citra yang baru saja membereskan peralatan dapur mengernyit heran.

“Bicara apa, Kangmas?” tanya Citra.

“Aku ingin izin padamu…” kata Rangga.

“Izin?” Citra semakin heran. Mana ada Rangga meminta izin atas apapun yang ia lakukan sebelumnya?.

“Aku ingin beternak kuda. Lebih tepatnya aku ingin membeli kuda jantan anakan dan membesarkannya. Jadi sebelum itu, aku ingin membeli tanah milik Ki Panut yang ada di belakang rumah kita itu. Tanahnya luas dan dia hanya meminta dua ratus keping emas. Sebagian akan aku gunakan untuk membangun kandang, sebagian lagi untuk bercocok tanam…” kata Rangga.

“Kuda? Memangnya kangmas bisa? Kenapa bukan kambing atau kerbau saja yang lebih mudah?” tanya Citra.

“Dua tahun lagi, harga kuda akan melambung tinggi karena kotaraja membutuhkannya untuk perang!” jawab Rangga sedikit keceplosan.

“Hah? Dari mana kakang tahu? Jangan sembarangan bicara soal perang! Itu tak mungkin terjadi!” kata Citra semakin heran. Ia menjadi yakin jika suaminya agak bermasalah dengan otaknya. Dia tiba-tiba baik, perhatian, halus, berhenti judi dan minum, lalu kini dia membicarakan kuda dan mengatakan jika akan ada perang.

“Ya… kau mungkin tak akan percaya. Tapi… aku meminta pendapatmu soal ternak kuda itu… boleh?” tanya Rangga.

“B-boleh saja…” kata Citra. Apapun itu tentu tetap lebih baik daripada Rangga tak melakukan apa-apa dan sangat disayangkan jika Rangga kembali judi, mabuk-mabukan dan bersikap kasar.

Bagaimana pun, Citra sudah mulai bisa sedikit menikmati hidupnya tanpa dibentak dan dipukul. Bahkan suaminya pun mau membantu beres-beres rumah dan mencuci baju. Ia harus bersyukur karena itu. Dan ia tahu, seorang istri sebaiknya memberi dukungan kepada suaminya.

“Jangan khawatir, aku akan mendapatkan banyak uang untukmu. Aku janji…” kata Rangga.

Citra menundukkan wajahnya dan menekan jari-jari tangannya tanpa sadar. Rangga memperhatikan hal itu.

“Citra… kau istriku. Kau berhak mengatakan pendapatmu. Aku akan mendengarkannya…”

“Sebenarnya… yang aku butuhkan bukan uang yang melimpah… tapi…” Citra menjeda ucapannya. Entah kenapa tiba-tiba ia merasa malu dan di saat yang sama ia merasa agak mules.

“Tapi apa?” tanya Rangga.

“Aku membutuhkan sikap Kangmas yang seperti ini. Aku harap, kebaikan Kangmas kali ini bukan sebuah kebohongan…” kata Citra.

“Aku tidak bohong, Citra… aku sayang padamu. Aku mencintaimu. Mungkin kau tidak percaya karena hal ini tiba-tiba. Tapi aku akan sangat menyesal jika tak langsung menjadi seperti ini. Bahkan… sejak kita menikah… kita belum pernah itu… jika kau siap, aku ingin memberikan nafkah batin untukmu… aku ingin kau melahirkan anak-anak kita…” kata Rangga.

Mendengar ucapan itu, jantung citra tiba-tiba berdetak lebih cepat dari sebelumnya.

Sebagai seorang istri, seorang wanita, tentu saja ia pun juga mendambakan hal itu. Sialnya selama ini Rangga tak pernah menyentuhnya.

Rangga menggeser duduknya merapat. Lalu ia menarik dagu Citra, menatap wajahnya, dan kemudian ia mendekatkan bibirnya untuk mencium bibir sang istri tersayang itu.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
KOST-GOES Komunitas Sepeda Tua
Kurang asyik, cerita lanjutannya terkunci
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status