Persaan Rangga menghangat saat ia mendapati wajah istrinya merona merah dan si jelita yang masih perawan itu terlihat malu-malu.
Dua bibir itu semakin dekat dan kemudian berlabuh. Ada rasa bahagia yang berbeda yang dirasakan oleh Rangga dan Citra.
Dulu Rangga tak mengakui Citra lantaran ia masih mencintai Nawang. Segala kecantikan yang Citra miliki seolah tak terlihat di mata Rangga.
Kini ia merasakan betapa lembutnya bibir ranum sang perawan yang telah ia nikahi itu. Rangga tahu, Citra bukan wanita murahan. Justru kelak Rangga mendapati bahwa Nawang lah yang sebenar-benarnya merupakan wanita murahan yang rela pula ditiduri lelaki lain demi harta.
Sementara itu, dalam suasana mesra yang baru saja tercipta, Citra hanya bisa membeku dan pasif saat bibirnya ia serahkan pertama kali untuk suaminya. Jantungnya berdebar kencang dan nyawanya seolah melayang-layang.
Rangga melepaskan tautan bibirnya dan menatap sang istri dengan tatapan penuh kebahagiaan, “Apakah kau sudah siap, Nimas Citra?” ujar Rangga.
Citra malu setengah mati. Ia hanya menundukkan kepala sambil mengangguk. Rangga sangat senang. Ia tak mengira ternyata tak akan terlalu lama ia bisa membenihi istrinya. Jika sampai Citra hamil, maka ia akan terus hidup apabila perjanjiannya dengan sang malaikat maut itu benar adanya.
Namun mendadak Citra merasa mules dan seperti ada sesuatu yang terdorong keluar dari rahimnya; sesuatu yang khas dan ia tahu apa itu.
“K-kangmas… a-aku…”
“Ya…”
“A-aku datang bulan… ini… sudah rembes keluar… maafkan aku…” kata Wulan. Matanya mulai berkaca-kaca; Ia malu dan juga takut suaminya kecewa.
“Hahaha… tidak apa-apa, istriku sayang… sana ambil kain pembalutmu sebelum semakin rembes di pakaianmu…” kata Rangga.
Sebenarnya pahit sekali rasanya; Rangga sendiri sudah berhasrat ingin menyentuh istrinya. Namun datang bulan sialan itu kok ya datang tak tepat waktu.
‘Kenapa selalu saja ada halangan! Sial!’ ucap Rangga dalam hati. Ia tidak tahu berapa hari biasanya Citra mengalami datang bulan. Namun setidak-tidaknya lima hingga tujuh hari ke depan, ia masih belum bisa menabur benih di ladang sang istri.
***
Keesokan harinya, Rangga membeli tanah milik Ki Panut tetangganya. Setelah mengurus beberapa hal di tempat Ki Lurah, tanah yang cukup luas itu resmi menjadi miliknya.
Keinginannya untuk memelihara kuda itu sudah ia pikirkan dan ia perhitungkan dengan baik.
Hari itu juga Rangga mencari tukang kayu dan juga belanja bahan. Ia tak ingin membuang waktu agar kandang kudanya bisa segera jadi. Kandang yang sedang ia bangun itu nantinya bisa muat untuk memelihara sekitar 50 ekor kuda.
Rangga juga membuat model kandang yang jauh lebih baik dari kandang kuda pada umumnya di desa itu. Di masa depan, Rangga sudah melihat kandang-kandang bagus di daerah lain dan ia cukup paham bagaimana caranya membesarkan kuda untuk kuda balap dan kuda perang.
Pembangunan kandang itu akan makan banyak waktu. Ia tak akan membeli kuda sebelum kandang itu selesai dan semuanya siap.
Dan sambil menunggu pengerjaan itu selesai, Rangga sudah punya rencana lain yang harus ia kerjakan.
Keesokan harinya setelah belanja banyak bahan untuk membuat kandang, Rangga mampir di kedai untuk membeli minuman Pelepas dahaga. Ternyata di sana beberapa temannya.
“Hei Rangga, sebentar lagi judi di tempat Kang Wira akan dimulai. Ayo kita ke sana!” tiba-tiba ada seseorang menepuk pundak Rangga dari belakang. Dia adalah Suta, salah satu teman Rangga, anak juragan kayu yang masih lajang meski usianya setara Rangga, 22 tahun.
Di jaman itu, para wanita sudah dinikahkan saat usianya telah 16 tahun. Bahkan ada yang lebih muda lagi dan itu sangat wajar. Rangga menikah dengan citra di usia 20 tahun dan saat itu Citra masih berusia 17 tahun.
“Aku tidak akan berjudi lagi, Suta!” balas Rangga.
“Kau habis kalah banyak ya? Hahaha! Paling-paling nanti jika punya uang kau akan kambuh berjudi lagi. Ayo ikut aku saja. Kalau pun kau tidak berjudi, di sana masih ada banyak pelayan wanita yang bisa menyenangkanmu!” kata Suta.
“Tidak lagi, Suta… aku tak akan datang ke tempat seperti itu lagi!” kata Rangga.
“Lalu jika tidak berjudi, apa yang akan kau lakukan? Melamun sepanjang hari? Yang benar saja!” ledek Suta.
“Aku sedang membuat usaha!” balas Rangga.
Suta tertawa mendengarnya. Lalu ia berteriak kepada kawan-kawan yang lain di meja seberang, “Woy dengar! Rangga mau membuat usaha! Sepertinya dia kerasukan setan!”
Orang-orang tertawa mendengar ucapan Suta. Betapa tidak; selama ini Rangga dikenal tak pernah bisa bekerja dan hanya menghamburkan warisan orang tuanya. Siapapun juga tahu jika Rangga selalu bersikap kasar kepada istrinya.
“Memangnya kau mau usaha apa, Rangga?” salah satu orang di kedai itu bertanya dengan nada meremehkan.
“Ternak kuda!” jawab Rangga.
Lagi-lagi mereka semua tertawa. “Yang benar saja! Harga kuda sedang jatuh dan kau malah mau beternak kuda. Lebih baik kau beternak kerbau atau kambing. Harganya sedang naik!” ucap salah satu teman Rangga memberi nasehat. Namanya Taji dan kebetulan dia adalah anak pedagang ternak; kambing, kerbau, ayam hingga kuda sehingga ia tahu jika harga kuda sedang buruk-buruknya.
Rangga tak mau ambil pusing dan ia tak menghiraukan ucapan Taji. Percuma saja menjelaskan kepadanya. Lagipula, Rangga tak mau ada pesaing bisnis kuda dua tahun mendatang di desanya.
“Seharusnya kau meniru jejak ayahmu, Rangga! Dia adalah pengusaha ulung. Carilah kabar apa yang bagus di kotaraja saat ini, lalu kau bisa mencari barang di desa-desa dan menjualnya ke sana. Begitu yang dulu dilakukan oleh ayahmu!” kata Ki Seno yang dulu merupakan teman ayahnya Rangga.
“Ki Seno benar. Sambil menjalankan ternak, aku juga akan membuat usaha sampingan. Jika saat ini ada yang butuh pekerjaan, aku bisa membayar kalian. Sehari empat keping perak bayarannya!” kata Rangga.
“Memangnya pekerjaan apa yang kau tawarkan?” tanya Jarot.
“Mengumpulkan kotoran kelelawar di Goa Lowo!” kata Rangga. Jawaban itu malah dianggap penghinaan bagi beberapa teman Rangga.
“Bedebah! Jika bergurau jangan keterlaluan, Rangga!” kata Jarot.
“Aku sungguh-sungguh. Aku pasti membayarnya. Sehari 4 keping perak. Itu sudah ongkos yang cukup tinggi. Buruh tani saja hanya mendapatkan 1 perak sehari!” kata Rangga.
“Memangnya kenapa kau ingin mengumpulkan kotoran kelelawar?” kali ini Ki Seno penasaran.
“Akan aku simpan dulu. Jika sudah banyak, aku akan menjualnya!” kata Rangga.
“Huahahaha!!! Semakin lama kau semakin aneh, Rangga. Dari kemarin-kemarin aku tak melihatmu di tempat judi. Kabarnya kau juga berbaikan dengan istrimu. Kau menjual sawah warisan, lalu tiba-tiba membeli tanah dan membangun kandang kuda. Jangan-jangan kau mulai sakit jiwa!” sindir Suta.
“Pokoknya itu pekerjaan yang aku tawarkan dan aku pasti akan membayarnya jika ada yang mau membantuku mencari kotoran kelelawar. Jika tidak ada ya sudah. Tak usah banyak bicara!” kata Rangga.
Selebihnya Rangga benar-benar diolok-olok oleh teman-temannya. Namun ia diam saja dan tak peduli dengan olokan teman-temannya itu sebab memang wajar mereka tak percaya sebab mereka belum tahu apa yang akan terjadi di masa depan.
Saat Rangga meninggalkan tempat itu, seorang teman yang sedari tadi hanya diam saja berjalan menyusul. Namanya Boneng. Sesuai namanya, gigi depan lelaki itu memang boneng dan membuat penampilannya pun sering membuat orang membully dirinya.
Dulu Rangga pun juga sering menghina Boneng. Namun kali ini tidak lagi. Rangga tahu, meski boneng berpenampilan ‘Mengerikan’ seperti itu, namun dia orang yang jujur dan pekerja keras.
“Rangga… kau sungguhan soal tawaran pekerjaan itu? Jika memang bukan gurauan, aku mau mengambilnya!” kata Boneng.
“Itu benar. Ayo kalau begitu. Aku akan membayarmu 6 perak untuk hari ini jika kau bisa kerja dengan bagus!” kata Rangga.
“Hwehehehe… jika benar dan besok masih ada pekerjaan itu lagi, aku akan mengajak yang lain untuk membantumu. Apakah kau keberatan dengan itu?” tanya Boneng.
“Tak masalah. Semakin banyak orang semakin bagus. Tapi pekerjaan itu tidak tetap. Jika tak ada lagi kotoran kelelawar yang bisa kita ambil, ya sudah. Tunggu beberapa bulan lagi sampai ada kotoran yang bisa diambil!” kata Rangga.
Semua memang tidak tahu jika kotoran kelelawar itu bisa menjadi pundi-pundi emas jika tahu caranya.
Serangan fajar itu berlangsung sengit. Pasukan Tirtapura benar-benar diuntungkan dengan keadaan musuh yang tidak siap dan masih kaget dengan ledakan.Pasukan pemanah segera beraksi menghujani benteng dan apapun di baliknya dengan panah. Lalu begitu panah-panah itu habis, pasukan darat segera berlari menyerbu melewati benteng yang rubuh itu dengan gagah berani sambil berteriak lantang saling membakar semangat satu sama lainnya.Senopati Teguh menahan Rangga agar tidak ikut masuk.“Di sini saja, Den… tugamu sudah selesai. Sisanya biar dibereskan pasukan darat dan pasukan kuda. Kita hanya perlu menunggu. Hari ini, tak sampai tengah hari, istana Wonobhumi akan takluk…” kata Senopati Teguh.Rangga tidak membantah. Ia menyaksikan kemelut itu dari kejauhan dan mendengarkan teriakan-teriakan mengerikan di balik benteng itu. Musuh tidak sepenuhnya siap dan kalah jumlah.Rupanya perang itu berlangsung cepat. Belum sampai matahari terasa terik, perang berakhir diiringi suara sorak sorai pasukan
Kereta Rangga berhenti di tempat yang direncanakan. Rangga bukannya lolos dari serangan itu. Ada dua anak panah yang telah tertancap di bahunya. Rasanya sungguh menyakitkan. Namun Rangga menghiraukan rasa sakit itu. Ketegangan membuatnya tak peduli dengan apapun.Pihak musuh tidak mengerti. Mereka banyak yang berpindah hingga di atas dan di sisi kanan dan kiri benteng itu sambil tetap berancang-ancang dengan panahnya. Rangga masih terpindung oleh bagian lengkung benteng sehingga siapa saja yang berada di atas belum bisa menyerangnya. Sementara ada banyak juga prajurit yang berada di balik gerbang benteng.Rangga segera bergegas ke belakang kereta. Ia menarik beberapa sumbu, lalu membakarnya tanpa ragu. Setelah itu, ia kembali memayungi tubuhnya dengan tameng dan ia berlari meninggalkan kereta itu kembali menuju ke pemukiman barat.Sungguh pun, Senopati Teguh sangat cemas. Ia sudah menyiapkan banyak prajurit pemanah saat itu. Saat Rangga berlari menyelamatkan diri, senopati Teguh memin
Beberapa hari kemudian, Pasukan Tirtapura sudah bergerak dan mereka berhasil menguasai wilayah barat kotaraja. Kini jarak kedua kubu itu bisa dibilang hanya beberapa langkah saja, terpisah oleh jalan dan juga benteng istana yang tinggi dan tebal.Dua kubu pasukan itu sudah sempat saling bersitegang dan bertukar serangan anak panah. Namun Senopati Wuring segera menghentikan hal itu karena bisa menjadi sebuah pemborosan.Dalam benak senopati Wuring ada banyak metode untuk menaklukkan Wonobhumi. Atau membuat mereka pada akhirnya membuka gerbang dan menyerang. Hal itu adalah sebuah kerugian besar bagi pihak Wonobhumi.Salah satu cara yang terpikirkan adalah dengan mengisolasi tempat itu. Tak akan ada pasokan makanan dan mereka tak akan bisa bertahan.Sementara, pasukan Tirtapura masih akan bisa bertahan karena mereka masih bisa mendapatkan pasokan makanan entah bagaimana caranya.Dan metode itu disampaikan oleh Senopati Wuring kepada semua jajaran senopati dan orang penting di kubu Tirtap
Hari-hari berlalu. Kini Rangga bersama rombongan besar pasukan Tirtapura sedang menuju ke kotaraja Wonobhumi.Pasukan Wonobhumi yang bertahan di kota Suluk akhirnya berhasil dikalahkan. Tidak banyak dari pasukan itu yang berhasil melarikan diri ke kotaraja. Selebihnya mati dan terluka parah, serta dijadikan tahanan sampai entah kapan.Yang pasti, kota-kota yang dilewati oleh pasukan Tirtapura selalu gemetar ketakutan sebab Wonobhumi sudah benar-benar kehilangan kekuatan, kecuali yang tersisa di kotaraja.Tentu setiap kota kadipaten akan memiliki pasukan sendiri-sendiri. Namun pada saat perang terjadi, kotaraja meminta sumbangan prajurit sehingga setiap kadipaten yang ada di wilayah Wonobhumi telah kehilangan setengah pasukannya.Dan kali ini, daripada hancur lebur, para adipati memilih untuk menyerah dan berdamai dengan Tirtapura yang artinya mereka dengan suka rela menyerahkan diri dan mengakui kedaulatan Tirtapura, serta mau menjadi bagian dari kerajaan tersebut.Hal itu tentu saja
Dalam kekacauan itu, sayangnya tim yang berada di titik kedua kurang sabar. Banu juga merasa bingung dengan hiruk pikuk yang terjadi. Sehingga, semula yang seharusnya mereka menyalakan petasan ketika prajurit darat kembali untuk mengevakuasi teman-teman mereka, malah terburu-buru menyalakan petasan itu manakala mereka menganggap situasinya sudah tepat.Sehingga, pasukan darat musuh bisa dibilang selamat dari jebakan itu. Yang kena hanyalah kesatuan yang bertugas untuk mengangkut dan mengawal perbekalan.Senopati Teguh tak berani mengambil banyak resiko. Ia hanya menyuruh pasukannya untuk menghabiskan anak panah yang mereka miliki dan juga menjatuhkan bebatuan berukuran sedang dari atas gunung. Selebihnya mereka pergi meninggalkan tempat itu.Apapun itu, hasil dari serangan petasan tersebut cukup memuaskan. Ada banyak korban jatuh dari pihak Wonobhumi meski jumlah prajurit mereka masih sangat banyak.Namun demikian, mereka kehilangan waktu, kehilangan banyak kuda, dan juga amunisi lain
Rangga dan beberapa anggota timnya berada di lokasi titik pertama namun tak persis di tempat-tempat petasan itu dipasang sedemikian rupa.Prajurit darat sudah lewat dari tadi. Dan juga kereta-kereta pengangkut perbekalan. Rangga sampai merinding sendiri melihat banyaknya iringan panjang prajurit Wonobhumi tersebut.Yang dilakukan Rangga dan teman-temannya hanyalah berdiri di pinggir jalan karena tugas para prajurit di tempat itu memang hanya menjaga jalur.Hanya di awal-awal saja, pemimpin rombongan pasukan darat berhenti dan menanyakan situasi. Rangga menjawab jika jalur telah bersih dan aman untuk dilewati. Selebihnya para prajurit itu melanjutkan perjalanannya.“Panjang sekali barisannya… dan pasukan berkuda masih sangat jauh. Aku khawatir jika petasan kita gagal…” bisik Sanji yang saat itu berada di sebelah Rangga.“Jangan khawatir. Ada puluhan petasan dan tak mungkin tak ada yang meledak. Kita hanya harus berhati-hati saja, sebab yang akan kita hadapi nanti adalah kuda-kuda yang