Bersama dengan Boneng, Rangga menyewa sebuah pedati kecil yang ditarik seekor sapi untuk menuju ke goa Lowo yang ia maksud; agak jauh dari desa itu menuju ke selatan di daerah pegunungan. Rangga juga membeli banyak karung dan juga membawa cangkul untuk dibawa ke goa itu.
Akhirnya mereka tiba juga di sana. Goa itu benar-benar bau sampai tak ada yang mau pergi ke sana sebab di sana merupakan sarang kelelawar dan juga sarang ular.
Tak perlu masuk terlalu jauh ke dalam sana. Menakutkan memang jika hanya berdua saja. Namun di mulut goa itu mereka bisa mendapatkan banyak sekali kotoran kelelawar yang telah menghitam.
Sampai sore tiba, mereka berhasil mengisi belasan karung yang mereka bawa itu dengan kotoran. Selebihnya, Rangga membawa semua kotoran itu ke rumahnya; meletakkannya di pekarangan samping rumah.
“Mana bayarannya!” Boneng menagih setelah ia meletakkan karung terakhir yang ia angkat dari pedati.
“Ini! Sesuai janjiku!” Rangga memberikan enam keping perak untuk Boneng. “Besok pagi lagi. Ajak saja siapa yang mau ikut!” kata Rangga.
“Beres. Asalkan bayarannya 6 perak, pasti banyak yang mau meski di sana sangat bau dan susah bernafas! Sebenarnya untuk apa kotoran itu? Pupuk di ladangmu?” tanya Boneng.
“Tentu saja untuk aku jual lagi!” kata Rangga.
“Hah! Dasar gila! Siapa yang mau membelinya! Tapi terserah kau saja. Yang penting kau membayarku! Mau sampai goa itu bersih juga aku kerjakan!” kata Boneng. Setelah itu ia pergi sambil mengembalikan pedati yang dipinjam dari tetangganya.
Citra keluar dari rumah untuk menyambut Rangga.
“Astaga… kangmas bau sekali… apa itu yang diwadahi karung?” tanya Citra.
“Jangan dekat-dekat dulu. Aku mau ke belakang lewat samping. Itu kotoran kelelawar yang hendak aku jual jika sudah terkumpul banyak!” kata Rangga.
“Kotoran kelelawar?” ucap Citra heran. Ia semakin bingung dengan jalan pikiran suaminya. Sungguh nyleneh.
“Nanti aku jelaskan. Sekarang tolong siapkan baju bersih untukku dan bawalah ke kamar mandi…” kata Rangga.
“E—baik, Kangmas…” kata Citra.
Rangga tak mau terlihat buruk di depan istrinya. Tubuhnya sangat kotor dan bau. Maka ia segera bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya.
“Kangmas… bajumu aku taruh di mana?” ujar Citra.
“Terserah nimas saja… kau bawakan sampai ke dalam juga boleh…” goda Rangga.
Citra tentu saja malu jika mengantar pakaian itu sampai ke dalam dan melihat suaminya mandi. Ya, ia masih malu pastinya sebab rasa-rasanya, pernikahan itu baru saja dimulai kembali dan mereka belum pernah sekalipun saling melihat dalam keadaan tanpa busana.
“Ndak mau. Aku taruh di dekat pintu… aku siapkan makanan untukmu, Kangmas… jika butuh apa-apa, panggil aku…” kata Citra.
“Aku membutuhkanmu, Nimasku… aku mencintaimu…” goda Rangga dari dalam kamar mandi.
“Kangmas! Jangan buat aku malu. Sudah ah, aku ke dapur saja!” kata Citra berlalu meninggalkan kamar mandi sambil senyum-senyum sendiri.
Rangga mengguyur kembali tubuhnya. Andai Citra tidak sedang datang bulan, ia pun ingin menarik istrinya itu dan mengajaknya mandi berdua.
***
Rangga bangun pagi-pagi sekali dan duduk sambil minum teh hangat untuk menunggu Boneng datang. Citra menemaninya. Semalam itu Rangga tak bercerita banyak sebab setelah makan sang suami yang agak ‘hilang ingatan’ itu terlelap pulas karena kelelahan.
“Jadi siapa yang mau beli, Kangmas?” tanya Citra.
“Ada. Tapi jangan mengatakan hal ini kepada yang lain. Aku ingin menghabiskan dulu semua kotoran kelelawar di sana, sebab jika sudah laku, yang lain pun pasti ikut-ikutan!” kata Rangga.
“Lha iya… tapi siapa yang mau beli?” tanya Citra.
“Saudagar dari negri utara. Mereka berani membayar mahal untuk tiap karung kotoran itu. Lima keping emas setiap karungnya. Mungkin bisa lebih!” kata Rangga.
Citra gelisah, sejujurnya. Dalam benaknya, ia yakin jika Rangga seperti tidak baik-baik saja; semacam kenthir alias gila.
“Aku tahu kau bingung, Nimasku sayang. Tapi percayalah, aku baik-baik saja dan kau tak perlu pusing bagaimana aku mencari uang,” kata Rangga.
Citra mengangguk dan memaksakan diri untuk tersenyum meski sejujurnya ia cemas. Namun setidaknya, Rangga sudah berusaha bekerja, seaneh apapun idenya, semua tetap jauh lebih baik daripada dia hanya berjudi dan mabuk-mabukan.
Empat hari kemudian, Rangga, Boneng dan beberapa teman boneng yang membantu akhirnya bisa mengeruk seluruh kotoran kelelawar di goa itu. Sebenarnya masih ada jauh di dalam sana. Namun mereka semua takut sebab semakin ke dalam, mereka semakin melihat hal yang aneh-aneh.
Bahkan, mereka menemukan kulit ular yang benar-benar besar sehingga mereka memutuskan untuk berhenti saja.
Kini tumpukan kotoran kelelawar itu benar-benar menggunung di samping rumah Rangga dan semua kotoran itu menjadi bahan bagus bagi setiap orang untuk mengolok-olok Rangga.
Setiap hari, setiap waktu di mana Rangga bertemu orang, mereka pasti selalu menyindir soal kotoran itu.
Kadang beberapa teman Rangga sengaja datang untuk melihat langsung kotoran itu dan lagi-lagi mereka menertawakan Rangga. Sebenarnya tujuan mereka datang hanyalah untuk sekadar melihat betapa cantik dan moleknya istri Rangga.
“Kangmas, aku sedih semua orang mengolok-olokmu…” kata Citra petang itu.
“Biarkan saja, Nimasku…” kata Rangga.
“Kapan Kangmas menjual kotoran itu? Semakin lama baunya semakin menempel sampai masuk ke dalam rumah…” kata Citra.
“Bersabarlah. Beberapa hari lagi pasti akan ada rombongan saudagar asing yang akan lewat sini dan mampir di pasar. Saat itulah aku akan menjual kotoran ini kepadanya!” kata Rangga.
“Semoga laku, Kangmas. Berapapun itu daripada hanya menumpuk dan bau. Melihatmu berusaha sampai seperti ini aku sudah sangat bahagia…” kata Citra.
“Aku lebih bahagia lagi saat mendengar kau mengatakan jika kau bahagia. Ngomong-ngomong, apakah datang bulannya sudah selesai? Bagaimana jika malam ini aku membuatmu menjadi wanita sejati yang merasakan kebahagiaan yang sebenarnya?” ujar Rangga. Ia cukup kebelet sebenarnya. Tapi ia tidak tahu apakah istrinya sudah selesai dengan hajat bulanannya atau belum.
Citra tersipu dan menunduk malu-malu.
Rangga merasa gemas melihat sikap Citra yang seperti itu. Ya, kenapa tidak dari dulu saja ia menyayangi istrinya! Tapi tidak bisa juga. Dulu ada Nawang; wanita itu pun sangat cantik dan pintar menggoda.Jika dihitung dari peristiwa pertama Rangga menjual istrinya kepada ketiga temannya itu, maka seharusnya tak akan lama lagi Nawang akan kembali.Dan kali ini, Rangga tak akan peduli. Di masa depan, wanita itu benar-benar akan menjelma ular berbisa yang menghancurkan hidupnya.Rangga menarik tubuh Citra dan mendudukkannya di pangkuannya. Ia pun memeluk mesra sang istri yang masih polos itu.“K-kangmas… tapi datang bulanku belum selesai… bagaimana ini?” ucap Citra galau setengah mati.Rangga tertawa mendengarnya.“Bukan berarti aku tak boleh memeluk istriku yang sedang datang bulan, kan!” kata Rangga. Ya, tersiksa juga sebetulnya. Ada yang cenat-cenut meminta jatah.***Pagi itu Rangga pergi ke pasar. Tujuannya hanyalah satu; bertemu dengan saudagar dari negri utara yang mungkin saja mel
Wang Cheng mengernyitkan dahinya setelah mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh Rangga.“Kotoran kelelawar? Yang benar saja!” kata Wang Cheng.Rangga sedikit kaget melihat respon itu. Ia sangat ingat jika di masa depan lelaki itu merupakan pemasok besar kotoran kelelawar yang akan dikirim ke negrinya sendiri sebagai bahan bubuk api.‘Apakah perang di negri utara belum terjadi? Seharusnya sudah… seharusnya saat ini mereka sudah berlomba-lomba mengumpulkan bahan baku untuk membuat senjata perang…’ ucap Rangga dalam hati. Ia sempat ragu dengan perkiraannya sendiri.“Tuan akan kaya raya dan desa ini bisa menyediakan banyak kotoran kelelawar untuk dijual ke negrimu. Aku tahu hal ini tak boleh dibocorkan dan aku tentu tak akan memberitahu apa manfaat kotoran kelelawar itu kepada orang-orang. Jadi di sini kita akan sama-sama diuntungkan!” kata Rangga dengan ekspresi yakin.Lagi-lagi Wang Cheng menunjukkan ekspresi wajah yang sukar ditebak.“Kau bisa mengirim ke utara?” ujarnya. “Biaya b
Para tetangga sudah mendapatkan bukti bahwa kotoran itu memang laku dijual. Dan kini mereka pun ingin tahu banyak soal kotoran tersebut kepada Rangga; siapa yang membeli dan sebenarnya untuk apa kotoran tersebut dijual dengan harga mahal?Rasa-rasanya memang sulit dipercaya.“Citra, ayo masuk ke dalam rumah…” ajak Rangga yang sedang malas dengan para tetangganya yang sudah tampak gelagatnya ingin bertanya macam-macam.“Iya, Kangmas…” kata Citra. Hatinya masih senang.“Rangga, tunggu dulu, hehehe… tadi itu kenalanmu?” tanya Ki Panut.“Iya, Ki…” balas Rangga singkat.“Hehehe, begini Rangga… bisakah kau membantu kami? Jika kami mengumpulkan kotoran kelelawar, bagaimana jika kau memanggil kenalanmu itu untuk membeli apa yang kami kumpulkan?” kata Ki Panut. Tetangga yang lain menganggukkan kepala pertanda mereka memiliki pertanyaan serupa.“Orang itu hanya mau membeli kepadaku. Kalian bisa mencobanya jika tidak percaya. Dan lagipula, dia hanya mau beli dalam jumlah banyak!” kata Rangga men
Mereka berdua makan malam dengan perasaan senang. Suasana rumah itu terasa syahdu dengan bantuan beberapa lampu teplok (lampu minyak) yang terpasang di beberapa titik dinding rumah.Kulit Citra cenderung berwarna kuning langsat untuk ukuran orang pribumi desa itu yang rata-rata cenderung menggelap karena mereka bekerja di ladang berjemur dengan matahari. Dengan cahaya temaram seperti itu, Citra terlihat begitu cantik dengan kulit wajahnya yang tampak keemasan.“Kenapa Kangmas menatapku terus-terusan?” ujar Citra salah tingkah.“Rasanya tidak bosan aku terus memandangimu…” kata Rangga.“Gombal…” kata Citra. Padahal hatinya senang juga mendapatkan perhatian seperti itu.“Kau tidak pernah percaya padaku!” balas Rangga.“Sebab rasanya terlalu tiba-tiba. Sebelum ini, Kangmas benar-benar membenciku…” kata Citra.“Itu karena aku buta. Dan dewata kini sudah membuka mataku dan hatiku; menyadarkanku bahwa istriku lebih indah dari apapun di dunia ini!” lagi-lagi Rangga berucap manis.Hati Citra
Rangga sangat berang dengan apa yang dilakukan Nawang. Ia sadar jika pasti Citra merasa sedih dan lagi-lagi malam itu ia pasti tak akan berhasil lagi untuk memadu asmara.“Nawang! Lepaskan aku! Apa yang kau lakukan!” teriak Rangga sambil berusaha mendorong Nawang sampai wanita itu hampir jatuh.Nawang terlihat kaget dan tak percaya dengan apa yang dilakukan Rangga padanya.“K-kangmas… kenapa kau kasar padaku…” ucap Nawang sambil terisak.“Nawang, aku sudah beristri. Pergilah. Jangan pernah lagi datang kemari!” kata Rangga mengusir.“K-kenapa? Apa salahku? Aku selalu mencintaimu dan kau pun demikian. Aku tahu itu Kangmas. Teman-temanmu menceritakan hal itu padaku. Kau tersiksa selama aku pergi. Demikian halnya denganku! Tinggalkan istri sialanmu itu dan ayo hidup denganku. Apalagi yang menghalangimu? Kedua orang tuamu sudah tiada dan kau berhak menentukan hidupmu sendiri!” kata Nawang.“Lancang! Beraninya kau bicara seperti itu, Nawang!” Bentak Rangga dengan tatapan berang.Citra mende
Wajah Citra seketika merona merah mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh suaminya. Mandi bersama? Ia tidak siap tentu saja.“Tidak mau. Aku malu, Kangmas…” kata Citra sambil menutup wajahnya.“Kenapa malu? Kan kita suami istri. Bukan hal aneh jika sepasang suami istri mandi bersama!” kata Rangga.“Belum siap, Kangmas… aku malu…” kata Citra.“Hahaha. Ya sudah sana kau mandi duluan. Nanti aku juga mandi dan setelah itu kita pergi mencari sarapan…” kata Rangga.Rangga lega istrinya hanya ngambeg semalam. Hari ini ia harus lebih banyak bersikap romantis agar nanti malam ia berhasil bercinta dengan istrinya. Rasanya gemas sekali selalu gagal.Usai mandi dan berganti pakaian, mereka berdua jalan-jalan pagi sambil mencari sarapan di dekat pasar. Baru pertama kali mereka berdua terlihat jalan-jalan. Para tetangga tentu menatap heran. Namun banyak juga yang senang; para ibu-ibu yang selama ini kasihan dengan hidup Citra.Dan disepanjang jalan itu, raut wajah mereka menampakkan kebahagiaan
Tanpa pikir panjang, Teja yang sangat marah dengan hal itu langsung melayangkan pukulan-pukulan menghajar Rangga. Untung kemudian para tetangga datang melerai sehingga Rangga pun tak sampai cacat. Rangga juga dilarikan ke tempat lain agar Teja tidak terus-terusan mengamuk. Hal itu benar-benar menjadi bahan gunjingan banyak orang. Ratri pun pergi entah kemana. Benar-benar lenyap dan tak ada yang menyadari kapan wanita itu pergi. Ia takut dengan situasi itu. Sedangkan Teja mengurus adiknya yang pingsan; ia segera membawanya masuk ke dalam rumah. Tak lama kemudian, Citra siuman. Ia seperti orang yang linglung dan yang ia dapati hanyalah Teja seorang. “Minumlah dulu…” Teja mengambilkan air. Dengan enggan, Citra mengambil air itu dan meminumnya. “Aku tidak pernah ingin kau tidak bahagia, Citra. Percayalah, aku ini kakakmu. Aku yang paling menyayangimu lebih dari siapapun juga. Aku jarang salah menilai orang. Aku rasa kini aku paham kenapa suamimu menjadi baik padamu; karena dia mengham
Rangga sangat panik melihat perbuatan Nawang yang nekad itu. Bagaimana pun, Rangga adalah lelaki normal. Harus ia akui bahwa tubuh yang terpampang jelas di depannya itu sangat menggoda.Nawang memang cantik dan bertubuh indah. Kulitnya mulus kuning langsat membungkus segala keluk tubuhnya yang serba menonjol sempurna; menantang para lelaki untuk berkelana mengarungi lautan cinta.“A-apa yang kau lakukan… keluar dari sini!” kata Rangga. Wajahnya sudah merah padam karena malu dan marah.“Kangmas… kau jangan membohongi dirimu sendiri. Aku tahu kau masih menyukaiku. Lidahmu berkata tidak, tapi bagian tubuhmu yang lain tidak demikian!” kata Nawang sambil melirik sesuatu yang ditutupi Rangga dengan kedua tangannya. Benda itu memang sudah tegap mengeras memanjang ke atas dan tak tertutup sempurna oleh kedua tangan Rangga.Nawang bergerak mendekat lalu berlutut di depan Rangga. Ia tetap menjaga senyumnya terus mengembang untuk bisa menggoda lelaki itu.Dengan lembut Nawang berusaha menyingkir