หน้าหลัก / Fantasi / Sang Pengubah Takdir / Kotoran Kelelawar Bahan ejekan

แชร์

Kotoran Kelelawar Bahan ejekan

ผู้เขียน: Black Jack
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2023-10-04 23:57:40

Bersama dengan Boneng, Rangga menyewa sebuah pedati kecil yang ditarik seekor sapi untuk menuju ke goa Lowo yang ia maksud; agak jauh dari desa itu menuju ke selatan di daerah pegunungan. Rangga juga membeli banyak karung dan juga membawa cangkul untuk dibawa ke goa itu.

Akhirnya mereka tiba juga di sana. Goa itu benar-benar bau sampai tak ada yang mau pergi ke sana sebab di sana merupakan sarang kelelawar dan juga sarang ular.

Tak perlu masuk terlalu jauh ke dalam sana. Menakutkan memang jika hanya berdua saja. Namun di mulut goa itu mereka bisa mendapatkan banyak sekali kotoran kelelawar yang telah menghitam.

Sampai sore tiba, mereka berhasil mengisi belasan karung yang mereka bawa itu dengan kotoran. Selebihnya, Rangga membawa semua kotoran itu ke rumahnya; meletakkannya di pekarangan samping rumah.

“Mana bayarannya!” Boneng menagih setelah ia meletakkan karung terakhir yang ia angkat dari pedati.

“Ini! Sesuai janjiku!” Rangga memberikan enam keping perak untuk Boneng. “Besok pagi lagi. Ajak saja siapa yang mau ikut!” kata Rangga.

“Beres. Asalkan bayarannya 6 perak, pasti banyak yang mau meski di sana sangat bau dan susah bernafas! Sebenarnya untuk apa kotoran itu? Pupuk di ladangmu?” tanya Boneng.

“Tentu saja untuk aku jual lagi!” kata Rangga.

“Hah! Dasar gila! Siapa yang mau membelinya! Tapi terserah kau saja. Yang penting kau membayarku! Mau sampai goa itu bersih juga aku kerjakan!” kata Boneng. Setelah itu ia pergi sambil mengembalikan pedati yang dipinjam dari tetangganya.

Citra keluar dari rumah untuk menyambut Rangga.

“Astaga… kangmas bau sekali… apa itu yang diwadahi karung?” tanya Citra.

“Jangan dekat-dekat dulu. Aku mau ke belakang lewat samping. Itu kotoran kelelawar yang hendak aku jual jika sudah terkumpul banyak!” kata Rangga.

“Kotoran kelelawar?” ucap Citra heran. Ia semakin bingung dengan jalan pikiran suaminya. Sungguh nyleneh.

“Nanti aku jelaskan. Sekarang tolong siapkan baju bersih untukku dan bawalah ke kamar mandi…” kata Rangga.

“E—baik, Kangmas…” kata Citra.

Rangga tak mau terlihat buruk di depan istrinya. Tubuhnya sangat kotor dan bau. Maka ia segera bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya.

“Kangmas… bajumu aku taruh di mana?” ujar Citra.

“Terserah nimas saja… kau bawakan sampai ke dalam juga boleh…” goda Rangga.

Citra tentu saja malu jika mengantar pakaian itu sampai ke dalam dan melihat suaminya mandi. Ya, ia masih malu pastinya sebab rasa-rasanya, pernikahan itu baru saja dimulai kembali dan mereka belum pernah sekalipun saling melihat dalam keadaan tanpa busana.

“Ndak mau. Aku taruh di dekat pintu… aku siapkan makanan untukmu, Kangmas… jika butuh apa-apa, panggil aku…” kata Citra.

“Aku membutuhkanmu, Nimasku… aku mencintaimu…” goda Rangga dari dalam kamar mandi.

“Kangmas! Jangan buat aku malu. Sudah ah, aku ke dapur saja!” kata Citra berlalu meninggalkan kamar mandi sambil senyum-senyum sendiri.

Rangga mengguyur kembali tubuhnya. Andai Citra tidak sedang datang bulan, ia pun ingin menarik istrinya itu dan mengajaknya mandi berdua.

***

Rangga bangun pagi-pagi sekali dan duduk sambil minum teh hangat untuk menunggu Boneng datang. Citra menemaninya. Semalam itu Rangga tak bercerita banyak sebab setelah makan sang suami yang agak ‘hilang ingatan’ itu terlelap pulas karena kelelahan.

“Jadi siapa yang mau beli, Kangmas?” tanya Citra.

“Ada. Tapi jangan mengatakan hal ini kepada yang lain. Aku ingin menghabiskan dulu semua kotoran kelelawar di sana, sebab jika sudah laku, yang lain pun pasti ikut-ikutan!” kata Rangga.

“Lha iya… tapi siapa yang mau beli?” tanya Citra.

“Saudagar dari negri utara. Mereka berani membayar mahal untuk tiap karung kotoran itu. Lima keping emas setiap karungnya. Mungkin bisa lebih!” kata Rangga.

Citra gelisah, sejujurnya. Dalam benaknya, ia yakin jika Rangga seperti tidak baik-baik saja; semacam kenthir alias gila.

“Aku tahu kau bingung, Nimasku sayang. Tapi percayalah, aku baik-baik saja dan kau tak perlu pusing bagaimana aku mencari uang,” kata Rangga.

Citra mengangguk dan memaksakan diri untuk tersenyum meski sejujurnya ia cemas. Namun setidaknya, Rangga sudah berusaha bekerja, seaneh apapun idenya, semua tetap jauh lebih baik daripada dia hanya berjudi dan mabuk-mabukan.

Empat hari kemudian, Rangga, Boneng dan beberapa teman boneng yang membantu akhirnya bisa mengeruk seluruh kotoran kelelawar di goa itu. Sebenarnya masih ada jauh di dalam sana. Namun mereka semua takut sebab semakin ke dalam, mereka semakin melihat hal yang aneh-aneh.

Bahkan, mereka menemukan kulit ular yang benar-benar besar sehingga mereka memutuskan untuk berhenti saja.

Kini tumpukan kotoran kelelawar itu benar-benar menggunung di samping rumah Rangga dan semua kotoran itu menjadi bahan bagus bagi setiap orang untuk mengolok-olok Rangga.

Setiap hari, setiap waktu di mana Rangga bertemu orang, mereka pasti selalu menyindir soal kotoran itu.

Kadang beberapa teman Rangga sengaja datang untuk melihat langsung kotoran itu dan lagi-lagi mereka menertawakan Rangga. Sebenarnya tujuan mereka datang hanyalah untuk sekadar melihat betapa cantik dan moleknya istri Rangga.

“Kangmas, aku sedih semua orang mengolok-olokmu…” kata Citra petang itu.

“Biarkan saja, Nimasku…” kata Rangga.

“Kapan Kangmas menjual kotoran itu? Semakin lama baunya semakin menempel sampai masuk ke dalam rumah…” kata Citra.

“Bersabarlah. Beberapa hari lagi pasti akan ada rombongan saudagar asing yang akan lewat sini dan mampir di pasar. Saat itulah aku akan menjual kotoran ini kepadanya!” kata Rangga.

“Semoga laku, Kangmas. Berapapun itu daripada hanya menumpuk dan bau. Melihatmu berusaha sampai seperti ini aku sudah sangat bahagia…” kata Citra.

“Aku lebih bahagia lagi saat mendengar kau mengatakan jika kau bahagia. Ngomong-ngomong, apakah datang bulannya sudah selesai? Bagaimana jika malam ini aku membuatmu menjadi wanita sejati yang merasakan kebahagiaan yang sebenarnya?” ujar Rangga. Ia cukup kebelet sebenarnya. Tapi ia tidak tahu apakah istrinya sudah selesai dengan hajat bulanannya atau belum.

Citra tersipu dan menunduk malu-malu.

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป
ความคิดเห็น (1)
goodnovel comment avatar
amelia
lanjutkan cak...
ดูความคิดเห็นทั้งหมด

บทล่าสุด

  • Sang Pengubah Takdir   Akhir Cerita

    Serangan fajar itu berlangsung sengit. Pasukan Tirtapura benar-benar diuntungkan dengan keadaan musuh yang tidak siap dan masih kaget dengan ledakan.Pasukan pemanah segera beraksi menghujani benteng dan apapun di baliknya dengan panah. Lalu begitu panah-panah itu habis, pasukan darat segera berlari menyerbu melewati benteng yang rubuh itu dengan gagah berani sambil berteriak lantang saling membakar semangat satu sama lainnya.Senopati Teguh menahan Rangga agar tidak ikut masuk.“Di sini saja, Den… tugamu sudah selesai. Sisanya biar dibereskan pasukan darat dan pasukan kuda. Kita hanya perlu menunggu. Hari ini, tak sampai tengah hari, istana Wonobhumi akan takluk…” kata Senopati Teguh.Rangga tidak membantah. Ia menyaksikan kemelut itu dari kejauhan dan mendengarkan teriakan-teriakan mengerikan di balik benteng itu. Musuh tidak sepenuhnya siap dan kalah jumlah.Rupanya perang itu berlangsung cepat. Belum sampai matahari terasa terik, perang berakhir diiringi suara sorak sorai pasukan

  • Sang Pengubah Takdir   Hancurnya Benteng Wonobhumi

    Kereta Rangga berhenti di tempat yang direncanakan. Rangga bukannya lolos dari serangan itu. Ada dua anak panah yang telah tertancap di bahunya. Rasanya sungguh menyakitkan. Namun Rangga menghiraukan rasa sakit itu. Ketegangan membuatnya tak peduli dengan apapun.Pihak musuh tidak mengerti. Mereka banyak yang berpindah hingga di atas dan di sisi kanan dan kiri benteng itu sambil tetap berancang-ancang dengan panahnya. Rangga masih terpindung oleh bagian lengkung benteng sehingga siapa saja yang berada di atas belum bisa menyerangnya. Sementara ada banyak juga prajurit yang berada di balik gerbang benteng.Rangga segera bergegas ke belakang kereta. Ia menarik beberapa sumbu, lalu membakarnya tanpa ragu. Setelah itu, ia kembali memayungi tubuhnya dengan tameng dan ia berlari meninggalkan kereta itu kembali menuju ke pemukiman barat.Sungguh pun, Senopati Teguh sangat cemas. Ia sudah menyiapkan banyak prajurit pemanah saat itu. Saat Rangga berlari menyelamatkan diri, senopati Teguh memin

  • Sang Pengubah Takdir   Mendekati Benteng Musuh

    Beberapa hari kemudian, Pasukan Tirtapura sudah bergerak dan mereka berhasil menguasai wilayah barat kotaraja. Kini jarak kedua kubu itu bisa dibilang hanya beberapa langkah saja, terpisah oleh jalan dan juga benteng istana yang tinggi dan tebal.Dua kubu pasukan itu sudah sempat saling bersitegang dan bertukar serangan anak panah. Namun Senopati Wuring segera menghentikan hal itu karena bisa menjadi sebuah pemborosan.Dalam benak senopati Wuring ada banyak metode untuk menaklukkan Wonobhumi. Atau membuat mereka pada akhirnya membuka gerbang dan menyerang. Hal itu adalah sebuah kerugian besar bagi pihak Wonobhumi.Salah satu cara yang terpikirkan adalah dengan mengisolasi tempat itu. Tak akan ada pasokan makanan dan mereka tak akan bisa bertahan.Sementara, pasukan Tirtapura masih akan bisa bertahan karena mereka masih bisa mendapatkan pasokan makanan entah bagaimana caranya.Dan metode itu disampaikan oleh Senopati Wuring kepada semua jajaran senopati dan orang penting di kubu Tirtap

  • Sang Pengubah Takdir   Sampai Di Kotaraja Wonobhumi

    Hari-hari berlalu. Kini Rangga bersama rombongan besar pasukan Tirtapura sedang menuju ke kotaraja Wonobhumi.Pasukan Wonobhumi yang bertahan di kota Suluk akhirnya berhasil dikalahkan. Tidak banyak dari pasukan itu yang berhasil melarikan diri ke kotaraja. Selebihnya mati dan terluka parah, serta dijadikan tahanan sampai entah kapan.Yang pasti, kota-kota yang dilewati oleh pasukan Tirtapura selalu gemetar ketakutan sebab Wonobhumi sudah benar-benar kehilangan kekuatan, kecuali yang tersisa di kotaraja.Tentu setiap kota kadipaten akan memiliki pasukan sendiri-sendiri. Namun pada saat perang terjadi, kotaraja meminta sumbangan prajurit sehingga setiap kadipaten yang ada di wilayah Wonobhumi telah kehilangan setengah pasukannya.Dan kali ini, daripada hancur lebur, para adipati memilih untuk menyerah dan berdamai dengan Tirtapura yang artinya mereka dengan suka rela menyerahkan diri dan mengakui kedaulatan Tirtapura, serta mau menjadi bagian dari kerajaan tersebut.Hal itu tentu saja

  • Sang Pengubah Takdir   Citra Hamil?

    Dalam kekacauan itu, sayangnya tim yang berada di titik kedua kurang sabar. Banu juga merasa bingung dengan hiruk pikuk yang terjadi. Sehingga, semula yang seharusnya mereka menyalakan petasan ketika prajurit darat kembali untuk mengevakuasi teman-teman mereka, malah terburu-buru menyalakan petasan itu manakala mereka menganggap situasinya sudah tepat.Sehingga, pasukan darat musuh bisa dibilang selamat dari jebakan itu. Yang kena hanyalah kesatuan yang bertugas untuk mengangkut dan mengawal perbekalan.Senopati Teguh tak berani mengambil banyak resiko. Ia hanya menyuruh pasukannya untuk menghabiskan anak panah yang mereka miliki dan juga menjatuhkan bebatuan berukuran sedang dari atas gunung. Selebihnya mereka pergi meninggalkan tempat itu.Apapun itu, hasil dari serangan petasan tersebut cukup memuaskan. Ada banyak korban jatuh dari pihak Wonobhumi meski jumlah prajurit mereka masih sangat banyak.Namun demikian, mereka kehilangan waktu, kehilangan banyak kuda, dan juga amunisi lain

  • Sang Pengubah Takdir   Memporak-Porandakan Musuh Dengan Ledakan

    Rangga dan beberapa anggota timnya berada di lokasi titik pertama namun tak persis di tempat-tempat petasan itu dipasang sedemikian rupa.Prajurit darat sudah lewat dari tadi. Dan juga kereta-kereta pengangkut perbekalan. Rangga sampai merinding sendiri melihat banyaknya iringan panjang prajurit Wonobhumi tersebut.Yang dilakukan Rangga dan teman-temannya hanyalah berdiri di pinggir jalan karena tugas para prajurit di tempat itu memang hanya menjaga jalur.Hanya di awal-awal saja, pemimpin rombongan pasukan darat berhenti dan menanyakan situasi. Rangga menjawab jika jalur telah bersih dan aman untuk dilewati. Selebihnya para prajurit itu melanjutkan perjalanannya.“Panjang sekali barisannya… dan pasukan berkuda masih sangat jauh. Aku khawatir jika petasan kita gagal…” bisik Sanji yang saat itu berada di sebelah Rangga.“Jangan khawatir. Ada puluhan petasan dan tak mungkin tak ada yang meledak. Kita hanya harus berhati-hati saja, sebab yang akan kita hadapi nanti adalah kuda-kuda yang

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status