Home / Romansa / Sang Pewaris Arogan / Bayangan Keluarga

Share

Bayangan Keluarga

Author: Aetheris
last update Last Updated: 2025-09-03 16:43:29

Gedung megah Pradana Group yang biasanya berdenyut tenang kini terasa seperti sarang lebah yang diganggu. Di setiap sudut koridor, pegawai berbisik sambil memegang ponsel, menyembunyikan wajah di balik tumpukan dokumen. Mereka pura-pura bekerja, tetapi mata mereka sesekali melirik notifikasi media sosial. Tagar #SangPewarisArogan masih membara di linimasa, menjadi bahan gosip nasional.

Di ruang rapat utama, keluarga besar Pradana berkumpul. Dinding kaca menjulang tinggi, memperlihatkan pemandangan kota, seakan dunia luar ikut mengawasi diskusi mereka.

Damar Pradana, ayah Alvaro, duduk di kursi ujung meja panjang. Wajahnya keras, tatapan matanya tajam seperti baja. Di sampingnya, dua adik perempuan Damar ikut hadir, bersama beberapa anggota keluarga lain yang memegang jabatan penting di perusahaan. Aura ruangan itu dipenuhi ketegangan.

Alvaro masuk tanpa tergesa, langkahnya santai, seolah ia sama sekali tidak merasa terdesak. Jas hitamnya terpasang sempurna, rambutnya tersisir rapi, wajahnya datar. Namun ada kilatan kecil di matanya. Kilatan yang hanya orang jeli bisa tangkap: ia sedang menahan sesuatu yang lebih berbahaya daripada amarah.

“Jadi, kau akhirnya datang.” Suara Damar dalam dan berat. “Kau tahu kenapa kami memanggilmu.”

Alvaro menarik kursi, duduk dengan santai. “Karena artikel itu?” ujarnya ringan. “Seharusnya kalian sudah terbiasa dengan gosip.”

“Tapi ini bukan gosip.” Salah satu bibi angkat bicara, wajahnya memerah karena emosi. “Artikel itu menyebut namamu… Reynanda. Nama yang kau sendiri sembunyikan. Bagaimana bisa kau biarkan seorang wartawan kecil merusak citra keluarga kita?”

Alvaro menegakkan tubuhnya, senyum tipis terlukis di wajahnya. “Nama itu memang milik saya. Apakah fakta sederhana tentang nama cukup untuk merusak Pradana Group? Jika iya, mungkin kerajaan ini memang rapuh sejak awal.”

Suasana ruangan menegang. Damar menatap putranya lama sekali, seperti ingin menembus lapisan pertahanan yang selama ini dipasang Alvaro.

“Reynanda Alvaro Putra Pradana,” ucap Damar dengan suara lantang. Nama lengkap itu menggema di ruangan, membuat beberapa orang bergidik. “Nama itu adalah warisan ibumu. Dan kau tahu betul kenapa kau membencinya.”

Sekilas, tatapan Alvaro berubah. Rahangnya menegang, tangannya mengepal di bawah meja. Tapi ia tidak memberi celah bagi siapapun untuk melihat luka itu.

“Aku tidak membencinya,” jawabnya datar. “Aku hanya memilih untuk tidak hidup di bawah bayangannya.”

Sementara itu, jauh dari gemerlap gedung kaca Pradana, Lyssa meringkuk di kursi kayu ruang redaksi kecilnya. Ruangan itu biasanya ramai oleh tawa dan suara mesin ketik, tapi kini hanya dipenuhi dengung AC tua dan bunyi bergetar dari ponselnya yang tak henti-henti.

Artikel yang ia tulis menjelma badai: tawaran wawancara berdatangan, undangan talk show menumpuk, komentar publik membanjir seperti gelombang pasang. Di antara notifikasi-notifikasi itu, terselip pesan-pesan aneh. Ada yang memujanya seakan pahlawan, ada pula yang meludahinya dengan kata-kata keji. Yang membuat dadanya semakin sesak adalah pesan tanpa nama dari nomor asing yang diterimanya. Isinya singkat, dingin, dan terasa seperti bisikan dari bayangan.

"Kau pikir kau sudah menang? Kau baru saja membuka kotak pandora. Hati-hati, Arabella."

Lyssa menggenggam ponsel itu erat-erat. Ia tahu, ini bukan sekadar ancaman kosong. Ada kekuatan besar yang terguncang, dan ia berada di tengah pusarannya.

Kembali ke ruang rapat keluarga, suara perdebatan semakin meninggi.

“Alvaro harus membuat pernyataan resmi,” kata salah satu paman. “Kita tidak bisa membiarkan opini publik liar. Jika perlu, bayar media untuk menghapus artikel itu.”

“Tidak perlu,” potong Alvaro tajam. Semua kepala menoleh padanya. “Menghapus hanya akan membuat orang semakin penasaran. Biarkan mereka bicara. Aku tidak akan tunduk pada seorang penulis yang bahkan tidak tahu separuh ceritaku.”

“Ini bukan tentang kau saja!” sang bibi membentak. “Ini tentang keluarga, tentang nama besar Pradana!”

Alvaro menoleh, tatapannya menusuk. “Keluarga? Nama besar? Apa kalian benar-benar peduli pada itu… atau hanya takut kehilangan pijakan di kursi empuk kalian?”

Keheningan menyergap. Tak seorang pun berani membalas. Hanya Damar yang tetap menatapnya dengan sorot tajam.

“Alvaro,” kata Damar pelan tapi tegas. “Kesombonganmu bisa menghancurkan segalanya. Aku sudah melihatnya terjadi sekali, pada ibumu. Jangan ulangi sejarah itu.”

Kata-kata itu menusuk lebih dalam daripada semua hinaan. Untuk pertama kalinya, wajah Alvaro menegang, matanya berkedip cepat. Nama ibu yang disebut itu bagaikan membuka luka yang ia simpan rapat.

Namun ia segera bangkit, merapikan jasnya. “Jika kalian khawatir reputasi keluarga jatuh hanya karena satu artikel, maka biarkan aku tangani dengan caraku sendiri.”

Tanpa menunggu izin, ia meninggalkan ruangan.

Malam itu, Lyssa duduk sendirian di apartemen kecilnya. Televisi menayangkan berita: wajah Alvaro muncul di layar, bersama tajuk besar.

“Pewaris Pradana Group Akhirnya Angkat Bicara?”

Namun tayangan itu hanya menampilkan rekaman singkat: Alvaro berjalan keluar dari gedung dengan tatapan dingin, dikerubungi wartawan. Tak ada sepatah kata pun yang ia lontarkan.

Lyssa menghela napas panjang. Ia tahu, badai yang lebih besar sedang menunggunya.

Ponselnya tiba-tiba berdering. Nomor yang sama seperti ancaman sebelumnya.

Dengan tangan bergetar, ia mengangkat.

“Lyssa Arabella,” suara berat itu terdengar, jelas, tanpa ragu. Suara yang ia kenal baik.

“Alvaro…” bisiknya.

“Besok malam jam delapan aku akan menjemputmu.”

“Tunggu, untuk apa?”

“Untuk menunjukkan padamu,” jawabnya singkat. “Apa artinya benar-benar hidup di bawah bayangan nama besar. Jika kau ingin menulis kebenaran, maka kau harus melihatnya lebih dekat. Dengan matamu sendiri.”

Sambungan terputus. Lyssa terdiam lama, menatap ponselnya seakan benda itu baru saja mengubah jalan hidupnya.

Ia tahu, keputusan menerima undangan itu bisa berarti awal dari kehancurannya. Tapi hatinya berdegup kencang, entah karena ketakutan… atau karena sesuatu yang lain.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sang Pewaris Arogan   Bayangan yang Kembali Hidup

    Ruang kerja Damar malam itu begitu sunyi. Lampu meja menerangi hanya sebagian kecil dari wajahnya, menyisakan setengah sisi lain dalam bayangan gelap yang panjang.Di tangannya, foto Sofia yang diambil dari file magang itu masih tergenggam erat. Ia memandangnya lama, terlalu lama hingga matanya mulai perih.Raut gadis itu... garis rahangnya, cara matanya sedikit menunduk saat tersenyum samar, semuanya terasa begitu akrab. Bagaimana bisa Damar baru menyadarinya sekarang?Pelan-pelan, sesuatu di dalam kepalanya bergetar. Sebuah kenangan lama, yang selama ini ia kubur dalam-dalam, menembus permukaan kesadarannya seperti retakan kecil di kaca.“Nadia…” Damar berbisik lirih, hampir seperti gumaman doa yang tersesat.***Dua puluh lima tahun lalu, suasana rumah keluarga Pradana selalu hangat.Sophia, istrinya, adalah perempuan lembut yang hidup dengan penuh kasih. Ia selalu memastikan setiap sudut rumah terasa nyaman, bahkan bagi tamu yang hanya datang sebentar. Salah satunya, Nadia.Nadia

  • Sang Pewaris Arogan   Janji di Depan Layar

    Layar televisi memercikkan cahaya biru di wajah Reina. Di ruang tamu yang senyap, bunyi berita bergulir tanpa henti. Suara penyiar yang resmi, potongan foto, serta klip video yang berulang-ulang menayangkan wajah ibunya dengan judul penuh tuduhan. Maya Pradana, yang dulu dipuji sebagai istri berkelas dan sosok sosialita yang berprinsip, kini ditangkap polisi; wajahnya terpampang, pucat dan terluka oleh kejatuhan yang sama sekali tak ia bayangkan.Reina duduk membeku di sofa. Jari-jari kecilnya mencengkeram lengan baju hingga kuku memerah. Di luar, angin siang berbisik di antara pepohonan, namun di dalam dadanya ada badai: kemarahan, kecewa, dan rasa dikhianati yang panas."Bajingan!" umpat Reina.Sejak insiden kecelakaan yang hampir menelan nyawa Reina, sejak foto-foto itu, sampai pesta yang lalu, semuanya tampak seperti benang-benang yang ditarik oleh tangan yang sama. Alvaro yang muncul dari kabut kematian, yang menempatkan dirinya sebagai penyelamat, yang hadir memberi tawa di meja

  • Sang Pewaris Arogan   Dosa Dua Puluh Tahun Lalu

    Malam turun dengan sunyi yang berat. Lampu kamar hanya menyala redup, menerangi sosok Alvaro yang terbaring di ranjang. Wajahnya pucat, tubuhnya menggigil meski suhu ruangan cukup hangat. Napasnya pendek-pendek, keringat dingin membasahi pelipisnya.Lyssa duduk di tepi ranjang, menatapnya cemas sambil menggenggam tangan Alvaro erat.Sejak sore tadi tubuh Alvaro tiba-tiba panas, dan meski ia mencoba menolak untuk dibawa ke rumah sakit, Lyssa tahu itu bukan demam biasa. Ada sesuatu di balik mata lelaki itu, seperti ketakutan yang menolak hilang.“Sayang, bangun…” Lyssa berbisik pelan, menepuk pipinya lembut. Tapi Alvaro tak bergerak, matanya tetap terpejam rapat, napasnya terengah.Di dalam mimpi, dunia terasa kabur. Alvaro berdiri di tengah taman yang asing, diselimuti kabut putih yang tebal. Semua terasa sunyi, kecuali suara desir angin dan gemericik air dari arah yang tak terlihat.“Reynanda…”Suara itu lembut, suara yang sudah dua puluh tahun tidak ia dengar.Ia menoleh cepat, matan

  • Sang Pewaris Arogan   Dendam

    Sofia duduk di kursi kayu yang menghadap jendela besar, di dalam ruangan apartemen yang sunyi. Matahari siang menembus tirai tipis, memantulkan cahaya keemasan di rambut hitamnya yang tergerai. Di atas meja, ponsel bergetar pelan pesan masuk dari seseorang yang ia tugaskan memantau situasi di rumah Alvaro.“Laporan diterima. Pemicu masa lalu berhasil bekerja.”Sudut bibir Sofia perlahan terangkat. Ia menutup ponselnya, lalu menatap ke luar jendela, ke langit Velora city yang kelabu, seperti menyimpan beban yang sama dengannya.“Bagus,” gumamnya pelan, suaranya rendah, nyaris seperti bisikan.Ia bisa membayangkan ekspresi Alvaro saat ini: wajah pucat itu, mata yang kosong, tangan yang gemetar. Semua kepingan masa lalu yang telah ia kubur bertahun-tahun kini bangkit tanpa ampun. Dan semua itu, pikir Sofia, adalah langkah pertama.Ia mengangkat cangkir kopi di depannya, menyesap perlahan. Rasa pahit memenuhi lidahnya, tapi justru membuatnya tenang. Ia menyukai rasa pahit; pahit mengingat

  • Sang Pewaris Arogan   Luka dan Trauma

    Alvaro terduduk di lantai ruang tamu. Tubuhnya tak bergerak, hanya matanya yang menatap kosong pada selembar foto yang ia genggam erat di tangannya. Napasnya berat, bergetar di dada. Lyssa, masih di sisinya, menatap dengan campuran cemas dan bingung.“Alvaro… apa itu?” suaranya pelan, nyaris seperti bisikan.Alvaro tidak menjawab. Ia bahkan seolah tak mendengar apa pun. Matanya tak beranjak dari gambar yang menatap balik padanya, seolah masa lalu yang lama ia kubur kini menampakkan wajahnya lagi, tanpa ampun.Tangan Alvaro gemetar. Ia memandangi foto itu lama, lalu mengembuskan napas yang terdengar seperti keluhan dari dasar dadanya. Pundaknya bergetar, suaranya serak saat ia berbisik,“Tidak… ini tidak mungkin… ini tidak benar…”Lyssa menatapnya, matanya membulat. Ia mencoba mengambil foto itu dari tangan Alvaro, tapi pria itu menahan genggamannya kuat-kuat. Jemarinya mencengkeram tepi foto sampai kertasnya hampir robek.“Aku tidak mungkin… aku tidak mungkin melakukan itu…” suaranya

  • Sang Pewaris Arogan   Bara di Balik Abu

    Aroma roti panggang dan suara lembut alat masak beradu memenuhi dapur kecil rumah Alvaro.Cahaya matahari pagi menembus tirai tipis, membentuk garis-garis hangat di lantai.Lyssa berdiri di depan kompor, mengenakan kaus longgar milik Alvaro dan celana pendek lembut yang nyaris kebesaran di pinggangnya. Rambutnya digelung seadanya, beberapa helai jatuh di sisi pipinya yang masih tampak merah muda oleh sisa malam.Pagi itu tenang hampir terlalu tenang.Lyssa menyalakan mesin kopi, membiarkan aroma robusta memenuhi udara. Ia menatap ke arah ruang tamu di mana Alvaro masih tertidur di sofa, tubuhnya berselimut selimut abu-abu tipis. Ada kelegaan di wajah pria itu yang jarang ia lihat akhir-akhir ini. Damai, seolah beban yang selama ini menumpuk semalam sempat sedikit terangkat.Senyum kecil muncul di bibir Lyssa.Ia menatapnya lama, lalu berbalik kembali ke dapur, berusaha menyiapkan sarapan yang sederhana tapi hangat. Suara alat masak berpadu dengan nyanyian burung di luar jendela.Sejen

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status