Gedung megah Pradana Group yang biasanya berdenyut tenang kini terasa seperti sarang lebah yang diganggu. Di setiap sudut koridor, pegawai berbisik sambil memegang ponsel, menyembunyikan wajah di balik tumpukan dokumen. Mereka pura-pura bekerja, tetapi mata mereka sesekali melirik notifikasi media sosial. Tagar #SangPewarisArogan masih membara di linimasa, menjadi bahan gosip nasional.
Di ruang rapat utama, keluarga besar Pradana berkumpul. Dinding kaca menjulang tinggi, memperlihatkan pemandangan kota, seakan dunia luar ikut mengawasi diskusi mereka.
Damar Pradana, ayah Alvaro, duduk di kursi ujung meja panjang. Wajahnya keras, tatapan matanya tajam seperti baja. Di sampingnya, dua adik perempuan Damar ikut hadir, bersama beberapa anggota keluarga lain yang memegang jabatan penting di perusahaan. Aura ruangan itu dipenuhi ketegangan.
Alvaro masuk tanpa tergesa, langkahnya santai, seolah ia sama sekali tidak merasa terdesak. Jas hitamnya terpasang sempurna, rambutnya tersisir rapi, wajahnya datar. Namun ada kilatan kecil di matanya. Kilatan yang hanya orang jeli bisa tangkap: ia sedang menahan sesuatu yang lebih berbahaya daripada amarah.
“Jadi, kau akhirnya datang.” Suara Damar dalam dan berat. “Kau tahu kenapa kami memanggilmu.”
Alvaro menarik kursi, duduk dengan santai. “Karena artikel itu?” ujarnya ringan. “Seharusnya kalian sudah terbiasa dengan gosip.”
“Tapi ini bukan gosip.” Salah satu bibi angkat bicara, wajahnya memerah karena emosi. “Artikel itu menyebut namamu… Reynanda. Nama yang kau sendiri sembunyikan. Bagaimana bisa kau biarkan seorang wartawan kecil merusak citra keluarga kita?”
Alvaro menegakkan tubuhnya, senyum tipis terlukis di wajahnya. “Nama itu memang milik saya. Apakah fakta sederhana tentang nama cukup untuk merusak Pradana Group? Jika iya, mungkin kerajaan ini memang rapuh sejak awal.”
Suasana ruangan menegang. Damar menatap putranya lama sekali, seperti ingin menembus lapisan pertahanan yang selama ini dipasang Alvaro.
“Reynanda Alvaro Putra Pradana,” ucap Damar dengan suara lantang. Nama lengkap itu menggema di ruangan, membuat beberapa orang bergidik. “Nama itu adalah warisan ibumu. Dan kau tahu betul kenapa kau membencinya.”
Sekilas, tatapan Alvaro berubah. Rahangnya menegang, tangannya mengepal di bawah meja. Tapi ia tidak memberi celah bagi siapapun untuk melihat luka itu.
“Aku tidak membencinya,” jawabnya datar. “Aku hanya memilih untuk tidak hidup di bawah bayangannya.”
Sementara itu, jauh dari gemerlap gedung kaca Pradana, Lyssa meringkuk di kursi kayu ruang redaksi kecilnya. Ruangan itu biasanya ramai oleh tawa dan suara mesin ketik, tapi kini hanya dipenuhi dengung AC tua dan bunyi bergetar dari ponselnya yang tak henti-henti.
"Kau pikir kau sudah menang? Kau baru saja membuka kotak pandora. Hati-hati, Arabella."
Lyssa menggenggam ponsel itu erat-erat. Ia tahu, ini bukan sekadar ancaman kosong. Ada kekuatan besar yang terguncang, dan ia berada di tengah pusarannya.
Kembali ke ruang rapat keluarga, suara perdebatan semakin meninggi.
“Alvaro harus membuat pernyataan resmi,” kata salah satu paman. “Kita tidak bisa membiarkan opini publik liar. Jika perlu, bayar media untuk menghapus artikel itu.”
“Tidak perlu,” potong Alvaro tajam. Semua kepala menoleh padanya. “Menghapus hanya akan membuat orang semakin penasaran. Biarkan mereka bicara. Aku tidak akan tunduk pada seorang penulis yang bahkan tidak tahu separuh ceritaku.”
“Ini bukan tentang kau saja!” sang bibi membentak. “Ini tentang keluarga, tentang nama besar Pradana!”
Alvaro menoleh, tatapannya menusuk. “Keluarga? Nama besar? Apa kalian benar-benar peduli pada itu… atau hanya takut kehilangan pijakan di kursi empuk kalian?”
Keheningan menyergap. Tak seorang pun berani membalas. Hanya Damar yang tetap menatapnya dengan sorot tajam.
“Alvaro,” kata Damar pelan tapi tegas. “Kesombonganmu bisa menghancurkan segalanya. Aku sudah melihatnya terjadi sekali, pada ibumu. Jangan ulangi sejarah itu.”
Kata-kata itu menusuk lebih dalam daripada semua hinaan. Untuk pertama kalinya, wajah Alvaro menegang, matanya berkedip cepat. Nama ibu yang disebut itu bagaikan membuka luka yang ia simpan rapat.
Namun ia segera bangkit, merapikan jasnya. “Jika kalian khawatir reputasi keluarga jatuh hanya karena satu artikel, maka biarkan aku tangani dengan caraku sendiri.”
Tanpa menunggu izin, ia meninggalkan ruangan.
Malam itu, Lyssa duduk sendirian di apartemen kecilnya. Televisi menayangkan berita: wajah Alvaro muncul di layar, bersama tajuk besar.
“Pewaris Pradana Group Akhirnya Angkat Bicara?”
Namun tayangan itu hanya menampilkan rekaman singkat: Alvaro berjalan keluar dari gedung dengan tatapan dingin, dikerubungi wartawan. Tak ada sepatah kata pun yang ia lontarkan.
Lyssa menghela napas panjang. Ia tahu, badai yang lebih besar sedang menunggunya.
Ponselnya tiba-tiba berdering. Nomor yang sama seperti ancaman sebelumnya.
“Lyssa Arabella,” suara berat itu terdengar, jelas, tanpa ragu. Suara yang ia kenal baik.
“Alvaro…” bisiknya.
“Besok malam jam delapan aku akan menjemputmu.”
Sambungan terputus. Lyssa terdiam lama, menatap ponselnya seakan benda itu baru saja mengubah jalan hidupnya.
Ia tahu, keputusan menerima undangan itu bisa berarti awal dari kehancurannya. Tapi hatinya berdegup kencang, entah karena ketakutan… atau karena sesuatu yang lain.
Satu bulan yang laluLampu-lampu kristal berkilau memantulkan cahaya ke seluruh aula megah itu. Dindingnya dilapisi kain beludru merah, sementara pilar-pilar tinggi dihiasi emblem keluarga yang selama puluhan tahun berdiri sebagai simbol kekuasaan dan kejayaan. Malam itu, bukan sekadar pesta. Malam itu adalah malam penobatan, malam pengalihan kekuasaan, malam di mana Damar, sang pemimpin yang selama ini ditakuti sekaligus disegani, menyerahkan tahta kepada suami adiknya, Adrian.Para tamu undangan telah memenuhi ruangan. Ada para politisi dengan jas hitam rapi, para pengusaha besar yang menyembunyikan senyum licik di balik gelas sampanye, dan wartawan yang sibuk memotret setiap detik pergerakan penting. Aroma parfum mahal bercampur dengan wangi bunga lili yang menghiasi panggung utama.Adrian berdiri di belakang panggung, mengenakan setelan hitam yang dipilih khusus oleh Maya. Jasnya terlihat sempurna, dasinya terikat tanpa celah, seakan tubuhnya benar-benar pantas berada di sana. Nam
Cahaya keemasan menembus tirai tipis kamar Alvaro. Debu-debu halus beterbangan di udara, menari dalam pancaran cahaya pagi. Ruangan itu masih menyimpan kehangatan malam sebelumnya. Bau lembut parfum Lyssa bercampur dengan aroma maskulin khas Alvaro.Lyssa duduk di tepi ranjang, tangannya perlahan menyentuh kain sprei yang berantakan, lalu merapikannya dengan dua tangan mungilnya itu.Matanya lalu terarah pada sosok pria di hadapannya. Alvaro sedang mengenakan kemeja putih, membuka dua kancing teratas, memperlihatkan dada bidang yang sejak tadi membuat wajah Lyssa memanas. Setiap kali jemarinya menekan kancing, Lyssa seolah bisa mendengar detak jantungnya sendiri. Dada itu tempat ia bersandar semalam, tempat ia menangis, tempat ia menyerahkan seluruh resah dan rindunya.Senyum samar muncul di bibir Lyssa. Ia merasa hangat, seolah api dari malam tadi belum padam. Tubuhnya masih menyimpan getaran, namun hatinya jauh lebih tenang dibandingkan dua bulan penuh penderitaan yang baru saja ia
Dua bulan laluHari-hari setelah kabar kematian Alvaro menyeruak ke publik menjadi mimpi buruk bagi Lyssa.Setiap pagi, ketika ia membuka matanya, ia berharap semuanya hanya mimpi buruk. Bahwa ia akan menerima pesan dari Alvaro, sekadar satu kata, bahkan satu titik sekalipun untuk menandakan pria itu masih ada. Tapi kenyataan jauh lebih kejam. Yang ada hanyalah layar ponsel yang sunyi, kosong, dingin, dan berita-berita yang menghantam dirinya tanpa belas kasihan.Media menggilas Lyssa tanpa ampun. Foto-fotonya saat bersama Alvaro sebelumnya terus-menerus dimunculkan. Judul-judul berita menyorotnya dengan kejam."Kekasih tersembunyi Alvaro? Apakah kematian sang pewaris ada kaitannya dengannya?""Perempuan di balik kecelakaan sang pewaris?""Apakah Lyssa tahu lebih banyak dari yang ia katakan?"Setiap kamera yang menyorotnya adalah luka baru. Setiap microphone yang dipaksa masuk ke wajahnya adalah penghinaan bagi kesedihannya.Lyssa mencoba mengabaikan semuanya. Ia menutup tirai apartem
Suara napas mereka masih saling bertubrukan, berat dan terengah, ketika Alvaro menindih tubuh Lyssa. Lampu kamar hanya menyisakan cahaya redup, cukup untuk membuat bayangan tubuh mereka menari di dinding. Bayangan itu bergerak perlahan, seiring gerakan dua tubuh yang sedang mencari kehangatan setelah terlalu lama terpisah oleh waktu dan kepalsuan.Lyssa merasakan kulit hangat Alvaro menempel pada kulitnya, membuat jantungnya berdegup seolah hendak meloncat keluar. Tubuhnya masih terhuyung dalam derasnya emosi, antara rindu, cinta, dan kelegaan.Alvaro menatapnya lekat, jemarinya menyusuri garis wajah Lyssa seperti menghafal setiap detail. “Aku masih tak percaya kau benar-benar di sini bersamaku.”Lyssa menggenggam pergelangan tangannya, menahan jemari Alvaro di pipinya. Tatapannya basah, matanya berkilau oleh sesuatu yang lebih dalam daripada sekadar hasrat.“Dua bulan lalu…” suaranya lirih, nyaris tercekat, “…aku benar-benar percaya kau mati, Alvaro.”Alvaro terdiam. Bibirnya yang ta
Alvaro mengangkat dagu Lyssa perlahan dengan jemarinya, memaksa Lyssa yang tenggelam dalam pelukan untuk menatapnya kembali. “Lyssa, bolehkah aku egois malam ini?” suaranya berat, namun tidak ada nada paksaan di dalamnya.Sebelum Lyssa sempat menjawab, bibir Alvaro menyentuh bibirnya hangat, lembut, namun penuh kerinduan yang selama ini mereka pendam.Lyssa terperangkap. Detak jantungnya berpacu, tubuhnya menegang sesaat, tapi kemudian ia luluh. Tangannya bergerak naik, menempel di dada Alvaro yang bergetar cepat. Nafas mereka berbaur, menyatu, tak lagi bisa dibedakan mana milik siapa.Alvaro menariknya lebih dekat, seolah takut Lyssa akan pergi jika ia melepaskan. Pelukan itu begitu erat, begitu mengikat, seakan malam dan dunia hanya tercipta untuk mereka berdua.“Alvaro…” Lyssa berbisik di sela napas yang masih terengah.“Shh…” Alvaro menyentuhkan keningnya pada kening Lyssa, mata mereka terpejam. “Jangan katakan apa pun. Biarkan aku merasakanmu… biarkan aku percaya bahwa kau benar-
Lampu gantung di restoran kecil itu dipadamkan satu per satu. Hanya cahaya dari dapur yang masih tersisa, menemani Alvaro, Lyssa, dan Raka merapikan meja dan kursi. Aroma kaldu yang tadi memenuhi ruangan sudah perlahan pudar, digantikan bau sabun cuci piring.“Sudah, biar aku yang bereskan sisanya,” ujar Alvaro sambil melipat kain lap di tangannya.Raka menoleh, keringat masih membasahi pelipisnya. “Kau yakin, Bos? Kain lapnya belum aku cuci.”Alvaro hanya mengangguk pendek. “Pergilah duluan, kau harus pulang. Jalan ke rumahmu jauh kalau terlalu malam.”Raka sempat membuka mulut, hendak membantah, tapi tatapan Alvaro cukup untuk membuatnya menyerah. Ia menaruh celemek di gantungan dekat pintu dapur, lalu mengambil kantong sampah untuk sekalian membuangnya saat keluar nanti.“Oke, kalau begitu aku pamit dulu.” Ia melirik Lyssa yang masih sibuk mengeringkan gelas. “Kau juga hati-hati di jalan nanti.”Lyssa tersenyum kecil. “Ya, terima kasih, Raka.”Raka mengangguk, lalu melangkah keluar