Home / Romansa / Sang Pewaris Arogan / Sang Pewaris yang Terlalu Sombong

Share

Sang Pewaris Arogan
Sang Pewaris Arogan
Author: Aetheris

Sang Pewaris yang Terlalu Sombong

Author: Aetheris
last update Last Updated: 2025-09-03 15:47:32

Sorot lampu kamera berkilauan, berbaur dengan gemuruh tepuk tangan dari penonton yang memenuhi studio. Semua mata tertuju pada sosok pria muda di kursi tengah.

Dia duduk dengan tenang, seakan hiruk-pikuk di sekitarnya bukan apa-apa. Jas hitam Armani melekat sempurna di tubuh atletisnya, dasi sutra terikat rapi, dan sebuah jam tangan mewah berkilau di pergelangan kirinya. Setiap detail pada penampilannya berteriak satu hal: kemewahan dan kuasa.

Dialah Alvaro Pradana, pewaris tunggal Pradana Group, konglomerat raksasa yang menguasai hampir semua lini bisnis di negeri ini; mulai dari properti, perbankan, hingga media.

Wajahnya rupawan, rahang tegas, hidung mancung, bibir tipis yang mudah membentuk senyum meremehkan. Namun bukan itu yang membuat orang terpaku padanya. Sorot matanya dingin, penuh keangkuhan seolah mampu menelanjangi siapa pun yang berani menatap terlalu lama.

“Alvaro,” suara pembawa acara terdengar hati-hati, seakan takut tersandung kata. “Banyak yang mengatakan Anda arogan, terlalu meremehkan orang lain. Apa Anda tidak khawatir opini publik akan menjatuhkan citra Anda?”

Pertanyaan itu meluncur tajam. Penonton menahan napas, menunggu.

Alvaro mengangkat alis, lalu mengulas senyum tipis, senyum yang lebih mirip ejekan.

“Takut?” Ia tertawa kecil, nada suaranya terdengar dingin. “Opini publik hanyalah suara orang-orang yang tidak punya kuasa. Mereka bisa berteriak sekeras apa pun, tapi pada akhirnya, saya tetap berdiri di atas panggung ini, sementara mereka hanya bisa bertepuk tangan dari bawah.”

Bisikan terkejut terdengar dari barisan penonton. Beberapa kamera menyorot wajah host yang kikuk menahan ekspresi.

“Jadi… Anda benar-benar tidak peduli dengan kritik?” host mencoba mendesak.

Alvaro bersandar santai, menyilangkan kaki, lalu dengan sengaja memamerkan jam tangan yang memantulkan cahaya lampu studio. “Kritik dari orang-orang yang bahkan tidak pernah menginjakkan kaki di posisi saya?” Suaranya naik setengah oktaf, tegas dan menusuk. “Itu bukan kritik. Itu cuma suara iri hati.”

Gemuruh kembali terdengar. Ada yang terkesima, ada yang muak. Tapi sorot kamera hanya menangkap wajah Alvaro yang tetap datar, seolah komentar pedasnya adalah kebenaran mutlak.

Di balik layar monitor, seorang pria muda dengan tablet di tangan menelan ludah gugup. Ia adalah asisten pribadi Alvaro, yang sudah cukup lama bekerja di bawah bayang-bayangnya.

“R-Reynanda…” gumamnya lirih, nyaris tak sengaja, ketika melihat sisi wajah sang pewaris dari monitor.

Seketika udara di sekitarnya membeku. Alvaro menoleh cepat, sorot matanya menusuk tajam bagaikan belati.

“Jangan. Pernah. Panggil. Aku. Dengan. Nama. Itu.” Suaranya berat, dingin, setiap kata keluar terpotong, seolah ancaman mematikan.

Asisten itu langsung pucat pasi. Jantungnya berdegup panik, tangan gemetar. Ia menunduk dalam-dalam, berharap tanah terbuka dan menelannya. Ia sadar, nama itu adalah pantangan. Ia mengumpati dirinya dalam hati akan kebodohannya itu.

“Ma-maaf, Tuan,” bisiknya tergagap, nyaris tak terdengar.

Alvaro mengalihkan pandangan, menutup rahangnya rapat. Tetapi jauh di balik wajah dinginnya, ada sesuatu yang bergolak.

Bagi dunia, ia adalah Alvaro Pradana, pewaris arogan yang selalu benar, pewaris yang ditakuti sekaligus dikagumi. Namun “Reynanda” adalah nama yang diberikan ibunya adalah sisi dirinya yang rapuh. Nama yang lahir dari cinta, tapi terkubur bersama luka kehilangan.

Sejak kecil, setiap kali mendengar panggilan itu, hatinya terasa teriris. Karena nama itu bukan hanya sebuah identitas, tapi pengingat tentang kelemahan, kesepian, dan seorang ibu yang pergi terlalu cepat.

Baginya, Reynanda sudah mati.

Yang tersisa hanyalah Alvaro: topeng sempurna, dingin, arogan, tak tersentuh.

Sementara itu, di sebuah kamar sederhana di sudut kota, layar laptop menyala terang. Di hadapannya duduk seorang wanita muda dengan rambut panjang terurai, wajahnya cantik meski lelah, matanya menyala penuh semangat.

Ia menatap siaran ulang wawancara Alvaro dengan mulut sedikit terbuka, lalu mendecak keras.

“Pria ini…” gumamnya, jari-jarinya langsung menari di atas keyboard.

Kata-kata mengalir cepat, penuh amarah sekaligus keyakinan. Judul artikelnya segera muncul di layar:
“Alvaro Pradana: Pewaris Arogan yang Tak Layak Disebut Pemimpin.”

Wanita itu mengetik dengan napas terengah.
Baginya, kekuasaan adalah tameng untuk merendahkan orang lain. Bagaimana mungkin seorang pria yang bahkan tidak bisa merendahkan hatinya di depan publik, bisa dipercaya memimpin ribuan karyawan?

Ia berhenti sejenak, menatap kalimat itu dengan senyum getir. Bayangan wajah angkuh Alvaro masih jelas di kepalanya.

Jemarinya kembali bergerak, mengetik kalimat terakhir:
Kesombongan hanya akan membangun kerajaan rapuh. Dan ketika runtuh, bahkan pewaris arogan sekalipun akan belajar arti jatuh.

Klik. Artikel itu terunggah di blog pribadinya. Ia menarik napas panjang, merasa lega sekaligus berdebar. Ia tidak tahu apakah tulisannya akan dibaca banyak orang. Tapi satu hal pasti; ia tidak bisa diam menghadapi pria seperti Alvaro.

Di dalam mobil sport hitam yang meluncur di jalan kota, Alvaro menatap layar ponselnya. Lampu neon dari luar memantul di kaca jendela, memberi siluet dingin pada wajahnya.

Artikel itu terpampang jelas di layar. Ia membaca tiap kata dengan sorot mata yang semakin menyipit.

Nama penulis: Lyssa Arabella.

Rahangnya mengeras. Bibirnya perlahan melengkung, membentuk senyum tipis penuh ancaman.

“Menarik… sangat menarik,” bisiknya. “Kau berani menantangku, Lyssa.”

Jarinya mengetuk setir perlahan, ritmis. Namun di balik senyum dingin itu, pikirannya melayang. Kata-kata di artikel itu menusuk sesuatu yang sudah lama ia kubur: nama yang ia benci.

Reynanda.

Ia terkekeh lirih, namun suaranya sarat kemarahan.

“Nama itu sudah mati bersamaku sejak lama. Dan siapa pun yang berani membangkitkannya… akan kuhancurkan.”

Lampu lalu lintas berubah hijau. Mobil sport hitam itu melesat, meninggalkan bayangan arogan di balik kaca gelap.

Dunia mengenalnya sebagai Alvaro, pewaris arogan yang berdiri di atas segalanya. Namun di balik nama itu, tersembunyi rahasia yang bahkan ia sendiri benci mengingatnya: Reynanda.

Dan di ujung kota, seorang wanita bernama Lyssa Arabella baru saja menyalakan api yang akan membakar hidupnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sang Pewaris Arogan   Bayangan yang Kembali Hidup

    Ruang kerja Damar malam itu begitu sunyi. Lampu meja menerangi hanya sebagian kecil dari wajahnya, menyisakan setengah sisi lain dalam bayangan gelap yang panjang.Di tangannya, foto Sofia yang diambil dari file magang itu masih tergenggam erat. Ia memandangnya lama, terlalu lama hingga matanya mulai perih.Raut gadis itu... garis rahangnya, cara matanya sedikit menunduk saat tersenyum samar, semuanya terasa begitu akrab. Bagaimana bisa Damar baru menyadarinya sekarang?Pelan-pelan, sesuatu di dalam kepalanya bergetar. Sebuah kenangan lama, yang selama ini ia kubur dalam-dalam, menembus permukaan kesadarannya seperti retakan kecil di kaca.“Nadia…” Damar berbisik lirih, hampir seperti gumaman doa yang tersesat.***Dua puluh lima tahun lalu, suasana rumah keluarga Pradana selalu hangat.Sophia, istrinya, adalah perempuan lembut yang hidup dengan penuh kasih. Ia selalu memastikan setiap sudut rumah terasa nyaman, bahkan bagi tamu yang hanya datang sebentar. Salah satunya, Nadia.Nadia

  • Sang Pewaris Arogan   Janji di Depan Layar

    Layar televisi memercikkan cahaya biru di wajah Reina. Di ruang tamu yang senyap, bunyi berita bergulir tanpa henti. Suara penyiar yang resmi, potongan foto, serta klip video yang berulang-ulang menayangkan wajah ibunya dengan judul penuh tuduhan. Maya Pradana, yang dulu dipuji sebagai istri berkelas dan sosok sosialita yang berprinsip, kini ditangkap polisi; wajahnya terpampang, pucat dan terluka oleh kejatuhan yang sama sekali tak ia bayangkan.Reina duduk membeku di sofa. Jari-jari kecilnya mencengkeram lengan baju hingga kuku memerah. Di luar, angin siang berbisik di antara pepohonan, namun di dalam dadanya ada badai: kemarahan, kecewa, dan rasa dikhianati yang panas."Bajingan!" umpat Reina.Sejak insiden kecelakaan yang hampir menelan nyawa Reina, sejak foto-foto itu, sampai pesta yang lalu, semuanya tampak seperti benang-benang yang ditarik oleh tangan yang sama. Alvaro yang muncul dari kabut kematian, yang menempatkan dirinya sebagai penyelamat, yang hadir memberi tawa di meja

  • Sang Pewaris Arogan   Dosa Dua Puluh Tahun Lalu

    Malam turun dengan sunyi yang berat. Lampu kamar hanya menyala redup, menerangi sosok Alvaro yang terbaring di ranjang. Wajahnya pucat, tubuhnya menggigil meski suhu ruangan cukup hangat. Napasnya pendek-pendek, keringat dingin membasahi pelipisnya.Lyssa duduk di tepi ranjang, menatapnya cemas sambil menggenggam tangan Alvaro erat.Sejak sore tadi tubuh Alvaro tiba-tiba panas, dan meski ia mencoba menolak untuk dibawa ke rumah sakit, Lyssa tahu itu bukan demam biasa. Ada sesuatu di balik mata lelaki itu, seperti ketakutan yang menolak hilang.“Sayang, bangun…” Lyssa berbisik pelan, menepuk pipinya lembut. Tapi Alvaro tak bergerak, matanya tetap terpejam rapat, napasnya terengah.Di dalam mimpi, dunia terasa kabur. Alvaro berdiri di tengah taman yang asing, diselimuti kabut putih yang tebal. Semua terasa sunyi, kecuali suara desir angin dan gemericik air dari arah yang tak terlihat.“Reynanda…”Suara itu lembut, suara yang sudah dua puluh tahun tidak ia dengar.Ia menoleh cepat, matan

  • Sang Pewaris Arogan   Dendam

    Sofia duduk di kursi kayu yang menghadap jendela besar, di dalam ruangan apartemen yang sunyi. Matahari siang menembus tirai tipis, memantulkan cahaya keemasan di rambut hitamnya yang tergerai. Di atas meja, ponsel bergetar pelan pesan masuk dari seseorang yang ia tugaskan memantau situasi di rumah Alvaro.“Laporan diterima. Pemicu masa lalu berhasil bekerja.”Sudut bibir Sofia perlahan terangkat. Ia menutup ponselnya, lalu menatap ke luar jendela, ke langit Velora city yang kelabu, seperti menyimpan beban yang sama dengannya.“Bagus,” gumamnya pelan, suaranya rendah, nyaris seperti bisikan.Ia bisa membayangkan ekspresi Alvaro saat ini: wajah pucat itu, mata yang kosong, tangan yang gemetar. Semua kepingan masa lalu yang telah ia kubur bertahun-tahun kini bangkit tanpa ampun. Dan semua itu, pikir Sofia, adalah langkah pertama.Ia mengangkat cangkir kopi di depannya, menyesap perlahan. Rasa pahit memenuhi lidahnya, tapi justru membuatnya tenang. Ia menyukai rasa pahit; pahit mengingat

  • Sang Pewaris Arogan   Luka dan Trauma

    Alvaro terduduk di lantai ruang tamu. Tubuhnya tak bergerak, hanya matanya yang menatap kosong pada selembar foto yang ia genggam erat di tangannya. Napasnya berat, bergetar di dada. Lyssa, masih di sisinya, menatap dengan campuran cemas dan bingung.“Alvaro… apa itu?” suaranya pelan, nyaris seperti bisikan.Alvaro tidak menjawab. Ia bahkan seolah tak mendengar apa pun. Matanya tak beranjak dari gambar yang menatap balik padanya, seolah masa lalu yang lama ia kubur kini menampakkan wajahnya lagi, tanpa ampun.Tangan Alvaro gemetar. Ia memandangi foto itu lama, lalu mengembuskan napas yang terdengar seperti keluhan dari dasar dadanya. Pundaknya bergetar, suaranya serak saat ia berbisik,“Tidak… ini tidak mungkin… ini tidak benar…”Lyssa menatapnya, matanya membulat. Ia mencoba mengambil foto itu dari tangan Alvaro, tapi pria itu menahan genggamannya kuat-kuat. Jemarinya mencengkeram tepi foto sampai kertasnya hampir robek.“Aku tidak mungkin… aku tidak mungkin melakukan itu…” suaranya

  • Sang Pewaris Arogan   Bara di Balik Abu

    Aroma roti panggang dan suara lembut alat masak beradu memenuhi dapur kecil rumah Alvaro.Cahaya matahari pagi menembus tirai tipis, membentuk garis-garis hangat di lantai.Lyssa berdiri di depan kompor, mengenakan kaus longgar milik Alvaro dan celana pendek lembut yang nyaris kebesaran di pinggangnya. Rambutnya digelung seadanya, beberapa helai jatuh di sisi pipinya yang masih tampak merah muda oleh sisa malam.Pagi itu tenang hampir terlalu tenang.Lyssa menyalakan mesin kopi, membiarkan aroma robusta memenuhi udara. Ia menatap ke arah ruang tamu di mana Alvaro masih tertidur di sofa, tubuhnya berselimut selimut abu-abu tipis. Ada kelegaan di wajah pria itu yang jarang ia lihat akhir-akhir ini. Damai, seolah beban yang selama ini menumpuk semalam sempat sedikit terangkat.Senyum kecil muncul di bibir Lyssa.Ia menatapnya lama, lalu berbalik kembali ke dapur, berusaha menyiapkan sarapan yang sederhana tapi hangat. Suara alat masak berpadu dengan nyanyian burung di luar jendela.Sejen

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status