Sorot lampu kamera berkilauan, berbaur dengan gemuruh tepuk tangan dari penonton yang memenuhi studio. Semua mata tertuju pada sosok pria muda di kursi tengah.
Dia duduk dengan tenang, seakan hiruk-pikuk di sekitarnya bukan apa-apa. Jas hitam Armani melekat sempurna di tubuh atletisnya, dasi sutra terikat rapi, dan sebuah jam tangan mewah berkilau di pergelangan kirinya. Setiap detail pada penampilannya berteriak satu hal: kemewahan dan kuasa.
Dialah Alvaro Pradana, pewaris tunggal Pradana Group, konglomerat raksasa yang menguasai hampir semua lini bisnis di negeri ini; mulai dari properti, perbankan, hingga media.
Wajahnya rupawan, rahang tegas, hidung mancung, bibir tipis yang mudah membentuk senyum meremehkan. Namun bukan itu yang membuat orang terpaku padanya. Sorot matanya dingin, penuh keangkuhan seolah mampu menelanjangi siapa pun yang berani menatap terlalu lama.
“Alvaro,” suara pembawa acara terdengar hati-hati, seakan takut tersandung kata. “Banyak yang mengatakan Anda arogan, terlalu meremehkan orang lain. Apa Anda tidak khawatir opini publik akan menjatuhkan citra Anda?”
Pertanyaan itu meluncur tajam. Penonton menahan napas, menunggu.
Alvaro mengangkat alis, lalu mengulas senyum tipis, senyum yang lebih mirip ejekan.
Bisikan terkejut terdengar dari barisan penonton. Beberapa kamera menyorot wajah host yang kikuk menahan ekspresi.
“Jadi… Anda benar-benar tidak peduli dengan kritik?” host mencoba mendesak.
Alvaro bersandar santai, menyilangkan kaki, lalu dengan sengaja memamerkan jam tangan yang memantulkan cahaya lampu studio. “Kritik dari orang-orang yang bahkan tidak pernah menginjakkan kaki di posisi saya?” Suaranya naik setengah oktaf, tegas dan menusuk. “Itu bukan kritik. Itu cuma suara iri hati.”
Gemuruh kembali terdengar. Ada yang terkesima, ada yang muak. Tapi sorot kamera hanya menangkap wajah Alvaro yang tetap datar, seolah komentar pedasnya adalah kebenaran mutlak.
Di balik layar monitor, seorang pria muda dengan tablet di tangan menelan ludah gugup. Ia adalah asisten pribadi Alvaro, yang sudah cukup lama bekerja di bawah bayang-bayangnya.
“R-Reynanda…” gumamnya lirih, nyaris tak sengaja, ketika melihat sisi wajah sang pewaris dari monitor.
Seketika udara di sekitarnya membeku. Alvaro menoleh cepat, sorot matanya menusuk tajam bagaikan belati.
“Jangan. Pernah. Panggil. Aku. Dengan. Nama. Itu.” Suaranya berat, dingin, setiap kata keluar terpotong, seolah ancaman mematikan.
Asisten itu langsung pucat pasi. Jantungnya berdegup panik, tangan gemetar. Ia menunduk dalam-dalam, berharap tanah terbuka dan menelannya. Ia sadar, nama itu adalah pantangan. Ia mengumpati dirinya dalam hati akan kebodohannya itu.
“Ma-maaf, Tuan,” bisiknya tergagap, nyaris tak terdengar.
Alvaro mengalihkan pandangan, menutup rahangnya rapat. Tetapi jauh di balik wajah dinginnya, ada sesuatu yang bergolak.
Bagi dunia, ia adalah Alvaro Pradana, pewaris arogan yang selalu benar, pewaris yang ditakuti sekaligus dikagumi. Namun “Reynanda” adalah nama yang diberikan ibunya adalah sisi dirinya yang rapuh. Nama yang lahir dari cinta, tapi terkubur bersama luka kehilangan.
Sejak kecil, setiap kali mendengar panggilan itu, hatinya terasa teriris. Karena nama itu bukan hanya sebuah identitas, tapi pengingat tentang kelemahan, kesepian, dan seorang ibu yang pergi terlalu cepat.
Baginya, Reynanda sudah mati.
Sementara itu, di sebuah kamar sederhana di sudut kota, layar laptop menyala terang. Di hadapannya duduk seorang wanita muda dengan rambut panjang terurai, wajahnya cantik meski lelah, matanya menyala penuh semangat.
Ia menatap siaran ulang wawancara Alvaro dengan mulut sedikit terbuka, lalu mendecak keras.
Kata-kata mengalir cepat, penuh amarah sekaligus keyakinan. Judul artikelnya segera muncul di layar:
“Alvaro Pradana: Pewaris Arogan yang Tak Layak Disebut Pemimpin.”
Wanita itu mengetik dengan napas terengah.
Baginya, kekuasaan adalah tameng untuk merendahkan orang lain. Bagaimana mungkin seorang pria yang bahkan tidak bisa merendahkan hatinya di depan publik, bisa dipercaya memimpin ribuan karyawan?
Ia berhenti sejenak, menatap kalimat itu dengan senyum getir. Bayangan wajah angkuh Alvaro masih jelas di kepalanya.
Jemarinya kembali bergerak, mengetik kalimat terakhir:
Kesombongan hanya akan membangun kerajaan rapuh. Dan ketika runtuh, bahkan pewaris arogan sekalipun akan belajar arti jatuh.
Klik. Artikel itu terunggah di blog pribadinya. Ia menarik napas panjang, merasa lega sekaligus berdebar. Ia tidak tahu apakah tulisannya akan dibaca banyak orang. Tapi satu hal pasti; ia tidak bisa diam menghadapi pria seperti Alvaro.
Di dalam mobil sport hitam yang meluncur di jalan kota, Alvaro menatap layar ponselnya. Lampu neon dari luar memantul di kaca jendela, memberi siluet dingin pada wajahnya.
Artikel itu terpampang jelas di layar. Ia membaca tiap kata dengan sorot mata yang semakin menyipit.
Nama penulis: Lyssa Arabella.
Rahangnya mengeras. Bibirnya perlahan melengkung, membentuk senyum tipis penuh ancaman.
Jarinya mengetuk setir perlahan, ritmis. Namun di balik senyum dingin itu, pikirannya melayang. Kata-kata di artikel itu menusuk sesuatu yang sudah lama ia kubur: nama yang ia benci.
Reynanda.
Ia terkekeh lirih, namun suaranya sarat kemarahan.
Lampu lalu lintas berubah hijau. Mobil sport hitam itu melesat, meninggalkan bayangan arogan di balik kaca gelap.
Dunia mengenalnya sebagai Alvaro, pewaris arogan yang berdiri di atas segalanya. Namun di balik nama itu, tersembunyi rahasia yang bahkan ia sendiri benci mengingatnya: Reynanda.
Siang itu, suasana rumah Guntur Pradana dipenuhi aroma gurih dari dapur. Para asisten rumah tangga sibuk menyiapkan makan siang sederhana sesuai permintaan tuan rumah. Di teras belakang, angin berhembus lembut, membawa bunyi gemerisik bambu yang tumbuh di sisi rumah.“Lyssa,” panggil Guntur tiba-tiba.Lyssa sedikit terlonjak, lalu menoleh. “Iya, Kek?”“Ayo ikut aku sebentar. Ada yang ingin kubicarakan.”Alvaro sempat melirik, wajahnya khawatir. “Kek…”“Tenang saja,” jawab Guntur, matanya masih tajam. “Aku hanya ingin berbincang dengan anggota baru keluarga kita.”Alvaro hendak berkata sesuatu, tapi Lyssa menepuk tangannya, memberi tanda bahwa ia baik-baik saja. Dengan langkah hati-hati, ia mengikuti Guntur menuju ruang baca.Begitu pintu dibuka, aroma kayu tua bercampur wangi kopi menyambut Lyssa. Ruangan itu dipenuhi rak buku tinggi, penuh koleksi sejarah, ekonomi, dan dokumen tua. Di tengah ruangan berdiri sebuah meja besar dari kayu jati, di atasnya tertata rapi map-map tebal.Gunt
Pagi itu, matahari menembus sela-sela dedaunan flamboyan di halaman rumah tua itu. Angin berhembus pelan, membawa aroma teh hangat dan roti panggang dari teras. Di kursi kayu, seorang lelaki tua dengan rambut yang beruban rapi duduk santai, membaca koran. Wajahnya tegas, penuh wibawa, tapi di balik itu ada sinar yang begitu hangat. Dialah Guntur Pradana, kakek Alvaro.Suara mesin mobil berhenti di halaman membuat Guntur mengangkat kepala. Dari balik kaca besar ruang tamu, ia bisa melihat seorang pria tinggi keluar dengan langkah hati-hati. Mengenakan topi hitam dan masker, ia tampak waspada, matanya menyapu sekeliling, seolah takut ada orang asing yang bisa mengenalinya.Guntur menghela napas sambil tersenyum samar.Alvaro berjalan mendekat, menggandeng seorang wanita di sisinya, Lyssa. Meski wajah Alvaro sebagian tertutup, tatapannya jelas penuh kehati-hatian, tapi juga hangat setiap kali menoleh pada Lyssa.Alvaro menunduk hormat, lalu mencium tangan kakeknya. “Kek.”Guntur menepuk
Di ruang kerja Damar. Cahaya lampu meja menerangi wajah seorang pria dengan rambut yang mulai memutih. Damar duduk tenang di kursi kulit, matanya tajam menelusuri dokumen-dokumen di hadapannya.Jari-jarinya mengetuk meja perlahan, mengikuti irama pikirannya.Di atas meja itu, berjejer laporan keuangan, bukti transfer, dan salinan kontrak yang sudah ia tandai dengan stabilo merah. Semua itu berbicara dengan bahasa yang hanya bisa dimengerti oleh orang sepertinya. Bahasa kebohongan, penggelapan, dan kerakusan.Damar menutup satu berkas, lalu membuka lembar lain. Senyumnya tipis.“Adrian… Adrian…” gumamnya. “Kau benar-benar memberi makan harimau dengan tangan kosong.”Ia sudah bisa, jika mau menyeret Adrian ke meja hijau. Semua bukti ada di sini, rapi, jelas, tak terbantahkan. Sekali ia serahkan ke aparat, nama Adrian akan hancur dalam sekejap.Namun Damar tidak tergesa. Ia meneguk kopinya yang sudah dingin, membiarkan rasa pahitnya menempel di lidah.“Menghancurkanmu sekarang… terlalu m
Langkah-langkah Maya terdengar mantap saat keluar dari ruang rapat, tapi wajahnya menyiratkan amarah yang terpendam. Sepasang sepatu hak tinggi yang ia kenakan beradu dengan lantai marmer, menciptakan gema yang menusuk telinga, seakan menegaskan keberadaannya. Namun, bagi Maya sendiri, langkah itu lebih seperti pelarian. Pelarian dari tatapan menusuk para kolega yang baru saja menutup rapat.Rapat itu, yang seharusnya menjadi ruang diskusi profesional, justru berubah menjadi arena penuh sindiran halus. Kata-kata yang disampaikan koleganya terdengar manis di permukaan, tetapi Maya, dengan instingnya yang tajam, mampu menangkap duri di baliknya.Koridor panjang gedung itu sepi. Maya berjalan cepat, menyingkirkan segala tatapan bayangan dari pikirannya. Namun, hatinya tetap terasa sesak. Di balik semua gengsi dan kekuatan yang selalu ia tunjukkan, Maya hanyalah seorang perempuan yang mulai lelah. Lelah menopang bayang-bayang suaminya yang semakin redup.Begitu membuka pintu ruang kerja A
Satu bulan yang laluLampu-lampu kristal berkilau memantulkan cahaya ke seluruh aula megah itu. Dindingnya dilapisi kain beludru merah, sementara pilar-pilar tinggi dihiasi emblem keluarga yang selama puluhan tahun berdiri sebagai simbol kekuasaan dan kejayaan. Malam itu, bukan sekadar pesta. Malam itu adalah malam penobatan, malam pengalihan kekuasaan, malam di mana Damar, sang pemimpin yang selama ini ditakuti sekaligus disegani, menyerahkan tahta kepada suami adiknya, Adrian.Para tamu undangan telah memenuhi ruangan. Ada para politisi dengan jas hitam rapi, para pengusaha besar yang menyembunyikan senyum licik di balik gelas sampanye, dan wartawan yang sibuk memotret setiap detik pergerakan penting. Aroma parfum mahal bercampur dengan wangi bunga lili yang menghiasi panggung utama.Adrian berdiri di belakang panggung, mengenakan setelan hitam yang dipilih khusus oleh Maya. Jasnya terlihat sempurna, dasinya terikat tanpa celah, seakan tubuhnya benar-benar pantas berada di sana. Nam
Cahaya keemasan menembus tirai tipis kamar Alvaro. Debu-debu halus beterbangan di udara, menari dalam pancaran cahaya pagi. Ruangan itu masih menyimpan kehangatan malam sebelumnya. Bau lembut parfum Lyssa bercampur dengan aroma maskulin khas Alvaro.Lyssa duduk di tepi ranjang, tangannya perlahan menyentuh kain sprei yang berantakan, lalu merapikannya dengan dua tangan mungilnya itu.Matanya lalu terarah pada sosok pria di hadapannya. Alvaro sedang mengenakan kemeja putih, membuka dua kancing teratas, memperlihatkan dada bidang yang sejak tadi membuat wajah Lyssa memanas. Setiap kali jemarinya menekan kancing, Lyssa seolah bisa mendengar detak jantungnya sendiri. Dada itu tempat ia bersandar semalam, tempat ia menangis, tempat ia menyerahkan seluruh resah dan rindunya.Senyum samar muncul di bibir Lyssa. Ia merasa hangat, seolah api dari malam tadi belum padam. Tubuhnya masih menyimpan getaran, namun hatinya jauh lebih tenang dibandingkan dua bulan penuh penderitaan yang baru saja ia