Home / Romansa / Sang Pewaris Arogan / Jemputan Tepat Waktu

Share

Jemputan Tepat Waktu

Author: Aetheris
last update Huling Na-update: 2025-09-03 19:34:38

Lyssa tak tenang. Ia mencoba membaca, menonton, bahkan membuat kopi, namun setiap hal terasa hambar. Seakan waktu menolak berkompromi, jarum jam bergerak terlalu cepat menuju kesepakatan yang tak pernah ia inginkan.

Jarum jam di dinding ruang apartemen Lyssa menunjuk tepat angka delapan. Malam itu udara terasa lebih berat dari biasanya; entah karena ketegangan setelah artikelnya meledak di mana-mana, atau karena ucapan Alvaro yang akan menjemputnya.

Dan benar saja. Belum genap jarum detik beranjak, deru mesin mobil terdengar di bawah. Bukan sekadar mobil, tetapi sedan hitam mengilap dengan lampu sorot menyala tajam, seolah ingin menegaskan siapa yang datang.

Lyssa menyingkap tirai perlahan. Di bawah sana, Alvaro berdiri bersandar di pintu mobil, jas hitamnya kontras dengan kilau lampu kota. Jam tangannya yang mahal ia putar pelan, seakan ingin menunjukkan: ia tidak pernah terlambat. Tidak sedetik pun.

Detak jantung Lyssa berdegup tak beraturan. Ia tahu, keluar dari pintu itu berarti menyerahkan dirinya pada sorotan yang sudah mengintai sejak siang. Namun bagian dirinya yang lain tak bisa menolak pesona berbahaya itu. Ada sesuatu pada pria itu, kebanggaan dingin, keangkuhan yang menantang dunia membuatnya seperti gravitasi, menarik siapa pun masuk ke dalam orbitnya.

Dengan napas panjang, Lyssa mengambil tas kecilnya. Kakinya melangkah keluar pintu apartemen. Setiap ketukan hak sepatu di lantai koridor terasa seperti hitungan mundur menuju sebuah ledakan.

Di lobi, kilatan cahaya menyambut. Blitz kamera memekakkan mata. Para wartawan sudah menunggu, mikrofon terangkat, suara-suara menuntut jawaban menyerbu tanpa henti.

“Lyssa! Benarkah kau pacar Alvaro Pradana?”

“Bagaimana rasanya jadi wanita pertama yang berhasil menaklukkan sang pewaris arogan?”

“Apakah artikel itu sengaja kau tulis untuk mencari perhatian?”

Lyssa terhuyung. Nafasnya tercekat. Namun sebelum ia bisa tergelincir dalam kepanikan, pintu mobil di sampingnya terbuka.

“Masuk,” suara itu berat, rendah, dan tak memberi ruang untuk penolakan.

Ia hanya mengucapkan satu kata, namun itu cukup untuk membuat Lyssa menyingkir dari mikrofon-mikrofon itu. Ia menunduk, menepis tangan yang mencoba menariknya, lalu melesat masuk ke dalam mobil. Pintu tertutup keras, memutus bising dunia luar.

Sejenak, hanya ada hening. Aroma kulit dari jok mobil bercampur dengan wangi maskulin parfum Alvaro. Detak jam tangannya terdengar samar.

Alvaro duduk di sampingnya, satu tangan di setir, satu lagi merapikan jam di pergelangan. Bibirnya melengkung tipis, tatapan tajam menelusuri wajah Lyssa.

“Tepat pukul delapan,” katanya datar, seolah mencatat fakta ilmiah. “Aku benci orang yang tidak menepati waktu.”

Lyssa menegakkan tubuhnya, mencoba menjaga jarak. “Kau benar-benar… mengatur semua ini?”

Alvaro mengangkat alis. “Apa maksudmu?”

“Wartawan di depan apartemen. Mobil mewah yang parkir tepat waktu. Cara kau… muncul begitu saja. Kau sengaja menciptakan drama ini, kan?”

Pria itu terkekeh pelan. “Aku tidak menciptakan drama, Lyssa. Aku hanyalah magnet. Drama selalu datang kepadaku.”

Mobil melaju, meninggalkan kerumunan wartawan yang terus menyalak dengan blitz kamera. Dari jendela belakang, Lyssa melihat kilatan itu masih mengejar, seperti kawanan serigala lapar.

“Kau tidak terganggu dengan semua ini?” tanyanya akhirnya.

Alvaro menoleh sekilas, mata hitamnya memantulkan lampu jalan. “Terganggu? Tidak. Aku bisa membungkam mereka kalau aku mau.”

Lyssa membeku. “Membungkam?”

“Ya.” Ia melanjutkan santai, seperti membicarakan cuaca.

“Aku pemilik saham mayoritas di salah satu jaringan media terbesar negeri ini. Kalau aku ingin, berita tentangku bisa menghilang besok pagi. Wartawan yang tadi menghadangmu bisa kehilangan pekerjaannya sebelum mereka sempat menyerahkan rekaman ke redaksi.” Lanjutnya.

Lyssa terdiam. Fakta itu menamparnya. Ia tahu Alvaro kaya, ia tahu ia pewaris perusahaan raksasa, tetapi memiliki kuasa sebesar itu dalam dunia media? Itu sesuatu yang lain.

“Lalu kenapa kau tidak melakukannya?” suaranya lirih, nyaris berbisik.

Alvaro menegakkan bahu, mengeraskan rahangnya. “Karena aku tidak suka bersembunyi. Aku tidak ingin mereka bungkam. Aku ingin mereka menatapku, menulisku, mencaci sekalipun. Aku ingin dunia tahu aku tidak bisa dijatuhkan oleh opini.”

“Tapi… itu berbahaya,” Lyssa memberanikan diri. “Semakin mereka menulis, semakin besar resiko reputasimu-”

“Reputasi?” Alvaro memotong dengan senyum dingin. “Reputasi itu rapuh, Lyssa. Orang kaya, pejabat, bahkan artis, semuanya berlindung di balik reputasi. Tapi aku berbeda. Aku tidak membangun diriku dengan pujian. Aku membangunnya dengan keberanian. Biarkan mereka menyalak. Aku akan berdiri di tengah api, dan tidak terbakar.”

Kata-katanya menusuk Lyssa, lebih dalam dari yang ia kira. Ada sesuatu dalam tatapan pria itu yang melampaui sekadar kesombongan. Ada luka, ada dendam, ada sesuatu yang ia sembunyikan rapat dan itu membuatnya semakin berbahaya.

“Jadi, kau benar-benar akan melawan mereka dengan… dirimu sendiri?”

“Bukan hanya diriku.” Alvaro menatapnya tajam, membuat Lyssa menahan napas. “Sekarang kau ada di sisiku. Suka atau tidak, kau sudah masuk ke dalam panggungku. Dan panggung ini tidak mengenal jalan mundur.”

Lyssa membeku. Jantungnya berdetak kencang. Sebagian dirinya ingin melawan, ingin berteriak bahwa ia tidak pernah meminta semua ini. Namun di sisi lain, ada getaran aneh, ketertarikan yang tak bisa ia bantah meski menyakitkan.

Mobil berhenti di persimpangan. Lampu merah menyinari wajah Alvaro, memberi bayangan tegas di garis rahangnya. Ia menoleh lagi, kali ini lebih lembut, namun tetap berbahaya.

“Lyssa.” Suaranya dalam, hampir berbisik. “Dunia akan menuduhmu macam-macam. Mereka akan bilang kau wanita ambisius, pencari perhatian, bahkan pengkhianat. Kau siap untuk itu?”

Lyssa menelan ludah, suaranya tercekat. “Aku… aku tidak tahu.”

Alvaro tersenyum samar, namun matanya tetap tajam. “Kalau begitu, biarkan aku yang tahu. Kau hanya perlu satu hal; jangan pernah meninggalkanku di tengah jalan.”

Perjalanan berlanjut, tapi keheningan di antara mereka kini lebih berat. Di luar, blitz kamera masih sesekali menyambar dari motor wartawan yang membuntuti. Namun di dalam mobil, yang terdengar hanyalah detak jam di pergelangan tangan Alvaro, detak waktu yang selalu berpihak padanya.

Lyssa memalingkan wajah ke jendela, mencoba menyembunyikan kegelisahan. Tapi hatinya tahu satu hal: sejak pukul delapan malam itu, hidupnya tidak lagi sama.

Ia telah dijemput.

Dan sekali Alvaro Pradana menjemput, tidak ada jalan kembali.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Sang Pewaris Arogan   Bayangan yang Kembali Hidup

    Ruang kerja Damar malam itu begitu sunyi. Lampu meja menerangi hanya sebagian kecil dari wajahnya, menyisakan setengah sisi lain dalam bayangan gelap yang panjang.Di tangannya, foto Sofia yang diambil dari file magang itu masih tergenggam erat. Ia memandangnya lama, terlalu lama hingga matanya mulai perih.Raut gadis itu... garis rahangnya, cara matanya sedikit menunduk saat tersenyum samar, semuanya terasa begitu akrab. Bagaimana bisa Damar baru menyadarinya sekarang?Pelan-pelan, sesuatu di dalam kepalanya bergetar. Sebuah kenangan lama, yang selama ini ia kubur dalam-dalam, menembus permukaan kesadarannya seperti retakan kecil di kaca.“Nadia…” Damar berbisik lirih, hampir seperti gumaman doa yang tersesat.***Dua puluh lima tahun lalu, suasana rumah keluarga Pradana selalu hangat.Sophia, istrinya, adalah perempuan lembut yang hidup dengan penuh kasih. Ia selalu memastikan setiap sudut rumah terasa nyaman, bahkan bagi tamu yang hanya datang sebentar. Salah satunya, Nadia.Nadia

  • Sang Pewaris Arogan   Janji di Depan Layar

    Layar televisi memercikkan cahaya biru di wajah Reina. Di ruang tamu yang senyap, bunyi berita bergulir tanpa henti. Suara penyiar yang resmi, potongan foto, serta klip video yang berulang-ulang menayangkan wajah ibunya dengan judul penuh tuduhan. Maya Pradana, yang dulu dipuji sebagai istri berkelas dan sosok sosialita yang berprinsip, kini ditangkap polisi; wajahnya terpampang, pucat dan terluka oleh kejatuhan yang sama sekali tak ia bayangkan.Reina duduk membeku di sofa. Jari-jari kecilnya mencengkeram lengan baju hingga kuku memerah. Di luar, angin siang berbisik di antara pepohonan, namun di dalam dadanya ada badai: kemarahan, kecewa, dan rasa dikhianati yang panas."Bajingan!" umpat Reina.Sejak insiden kecelakaan yang hampir menelan nyawa Reina, sejak foto-foto itu, sampai pesta yang lalu, semuanya tampak seperti benang-benang yang ditarik oleh tangan yang sama. Alvaro yang muncul dari kabut kematian, yang menempatkan dirinya sebagai penyelamat, yang hadir memberi tawa di meja

  • Sang Pewaris Arogan   Dosa Dua Puluh Tahun Lalu

    Malam turun dengan sunyi yang berat. Lampu kamar hanya menyala redup, menerangi sosok Alvaro yang terbaring di ranjang. Wajahnya pucat, tubuhnya menggigil meski suhu ruangan cukup hangat. Napasnya pendek-pendek, keringat dingin membasahi pelipisnya.Lyssa duduk di tepi ranjang, menatapnya cemas sambil menggenggam tangan Alvaro erat.Sejak sore tadi tubuh Alvaro tiba-tiba panas, dan meski ia mencoba menolak untuk dibawa ke rumah sakit, Lyssa tahu itu bukan demam biasa. Ada sesuatu di balik mata lelaki itu, seperti ketakutan yang menolak hilang.“Sayang, bangun…” Lyssa berbisik pelan, menepuk pipinya lembut. Tapi Alvaro tak bergerak, matanya tetap terpejam rapat, napasnya terengah.Di dalam mimpi, dunia terasa kabur. Alvaro berdiri di tengah taman yang asing, diselimuti kabut putih yang tebal. Semua terasa sunyi, kecuali suara desir angin dan gemericik air dari arah yang tak terlihat.“Reynanda…”Suara itu lembut, suara yang sudah dua puluh tahun tidak ia dengar.Ia menoleh cepat, matan

  • Sang Pewaris Arogan   Dendam

    Sofia duduk di kursi kayu yang menghadap jendela besar, di dalam ruangan apartemen yang sunyi. Matahari siang menembus tirai tipis, memantulkan cahaya keemasan di rambut hitamnya yang tergerai. Di atas meja, ponsel bergetar pelan pesan masuk dari seseorang yang ia tugaskan memantau situasi di rumah Alvaro.“Laporan diterima. Pemicu masa lalu berhasil bekerja.”Sudut bibir Sofia perlahan terangkat. Ia menutup ponselnya, lalu menatap ke luar jendela, ke langit Velora city yang kelabu, seperti menyimpan beban yang sama dengannya.“Bagus,” gumamnya pelan, suaranya rendah, nyaris seperti bisikan.Ia bisa membayangkan ekspresi Alvaro saat ini: wajah pucat itu, mata yang kosong, tangan yang gemetar. Semua kepingan masa lalu yang telah ia kubur bertahun-tahun kini bangkit tanpa ampun. Dan semua itu, pikir Sofia, adalah langkah pertama.Ia mengangkat cangkir kopi di depannya, menyesap perlahan. Rasa pahit memenuhi lidahnya, tapi justru membuatnya tenang. Ia menyukai rasa pahit; pahit mengingat

  • Sang Pewaris Arogan   Luka dan Trauma

    Alvaro terduduk di lantai ruang tamu. Tubuhnya tak bergerak, hanya matanya yang menatap kosong pada selembar foto yang ia genggam erat di tangannya. Napasnya berat, bergetar di dada. Lyssa, masih di sisinya, menatap dengan campuran cemas dan bingung.“Alvaro… apa itu?” suaranya pelan, nyaris seperti bisikan.Alvaro tidak menjawab. Ia bahkan seolah tak mendengar apa pun. Matanya tak beranjak dari gambar yang menatap balik padanya, seolah masa lalu yang lama ia kubur kini menampakkan wajahnya lagi, tanpa ampun.Tangan Alvaro gemetar. Ia memandangi foto itu lama, lalu mengembuskan napas yang terdengar seperti keluhan dari dasar dadanya. Pundaknya bergetar, suaranya serak saat ia berbisik,“Tidak… ini tidak mungkin… ini tidak benar…”Lyssa menatapnya, matanya membulat. Ia mencoba mengambil foto itu dari tangan Alvaro, tapi pria itu menahan genggamannya kuat-kuat. Jemarinya mencengkeram tepi foto sampai kertasnya hampir robek.“Aku tidak mungkin… aku tidak mungkin melakukan itu…” suaranya

  • Sang Pewaris Arogan   Bara di Balik Abu

    Aroma roti panggang dan suara lembut alat masak beradu memenuhi dapur kecil rumah Alvaro.Cahaya matahari pagi menembus tirai tipis, membentuk garis-garis hangat di lantai.Lyssa berdiri di depan kompor, mengenakan kaus longgar milik Alvaro dan celana pendek lembut yang nyaris kebesaran di pinggangnya. Rambutnya digelung seadanya, beberapa helai jatuh di sisi pipinya yang masih tampak merah muda oleh sisa malam.Pagi itu tenang hampir terlalu tenang.Lyssa menyalakan mesin kopi, membiarkan aroma robusta memenuhi udara. Ia menatap ke arah ruang tamu di mana Alvaro masih tertidur di sofa, tubuhnya berselimut selimut abu-abu tipis. Ada kelegaan di wajah pria itu yang jarang ia lihat akhir-akhir ini. Damai, seolah beban yang selama ini menumpuk semalam sempat sedikit terangkat.Senyum kecil muncul di bibir Lyssa.Ia menatapnya lama, lalu berbalik kembali ke dapur, berusaha menyiapkan sarapan yang sederhana tapi hangat. Suara alat masak berpadu dengan nyanyian burung di luar jendela.Sejen

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status