Lyssa tak tenang. Ia mencoba membaca, menonton, bahkan membuat kopi, namun setiap hal terasa hambar. Seakan waktu menolak berkompromi, jarum jam bergerak terlalu cepat menuju kesepakatan yang tak pernah ia inginkan.
Jarum jam di dinding ruang apartemen Lyssa menunjuk tepat angka delapan. Malam itu udara terasa lebih berat dari biasanya; entah karena ketegangan setelah artikelnya meledak di mana-mana, atau karena ucapan Alvaro yang akan menjemputnya.
Dan benar saja. Belum genap jarum detik beranjak, deru mesin mobil terdengar di bawah. Bukan sekadar mobil, tetapi sedan hitam mengilap dengan lampu sorot menyala tajam, seolah ingin menegaskan siapa yang datang.
Lyssa menyingkap tirai perlahan. Di bawah sana, Alvaro berdiri bersandar di pintu mobil, jas hitamnya kontras dengan kilau lampu kota. Jam tangannya yang mahal ia putar pelan, seakan ingin menunjukkan: ia tidak pernah terlambat. Tidak sedetik pun.
Detak jantung Lyssa berdegup tak beraturan. Ia tahu, keluar dari pintu itu berarti menyerahkan dirinya pada sorotan yang sudah mengintai sejak siang. Namun bagian dirinya yang lain tak bisa menolak pesona berbahaya itu. Ada sesuatu pada pria itu, kebanggaan dingin, keangkuhan yang menantang dunia membuatnya seperti gravitasi, menarik siapa pun masuk ke dalam orbitnya.
Dengan napas panjang, Lyssa mengambil tas kecilnya. Kakinya melangkah keluar pintu apartemen. Setiap ketukan hak sepatu di lantai koridor terasa seperti hitungan mundur menuju sebuah ledakan.
Di lobi, kilatan cahaya menyambut. Blitz kamera memekakkan mata. Para wartawan sudah menunggu, mikrofon terangkat, suara-suara menuntut jawaban menyerbu tanpa henti.
“Lyssa! Benarkah kau pacar Alvaro Pradana?”
Lyssa terhuyung. Nafasnya tercekat. Namun sebelum ia bisa tergelincir dalam kepanikan, pintu mobil di sampingnya terbuka.
“Masuk,” suara itu berat, rendah, dan tak memberi ruang untuk penolakan.
Ia hanya mengucapkan satu kata, namun itu cukup untuk membuat Lyssa menyingkir dari mikrofon-mikrofon itu. Ia menunduk, menepis tangan yang mencoba menariknya, lalu melesat masuk ke dalam mobil. Pintu tertutup keras, memutus bising dunia luar.
Sejenak, hanya ada hening. Aroma kulit dari jok mobil bercampur dengan wangi maskulin parfum Alvaro. Detak jam tangannya terdengar samar.
Alvaro duduk di sampingnya, satu tangan di setir, satu lagi merapikan jam di pergelangan. Bibirnya melengkung tipis, tatapan tajam menelusuri wajah Lyssa.
“Tepat pukul delapan,” katanya datar, seolah mencatat fakta ilmiah. “Aku benci orang yang tidak menepati waktu.”
Lyssa menegakkan tubuhnya, mencoba menjaga jarak. “Kau benar-benar… mengatur semua ini?”
Alvaro mengangkat alis. “Apa maksudmu?”
“Wartawan di depan apartemen. Mobil mewah yang parkir tepat waktu. Cara kau… muncul begitu saja. Kau sengaja menciptakan drama ini, kan?”
Pria itu terkekeh pelan. “Aku tidak menciptakan drama, Lyssa. Aku hanyalah magnet. Drama selalu datang kepadaku.”
Mobil melaju, meninggalkan kerumunan wartawan yang terus menyalak dengan blitz kamera. Dari jendela belakang, Lyssa melihat kilatan itu masih mengejar, seperti kawanan serigala lapar.
“Kau tidak terganggu dengan semua ini?” tanyanya akhirnya.
Alvaro menoleh sekilas, mata hitamnya memantulkan lampu jalan. “Terganggu? Tidak. Aku bisa membungkam mereka kalau aku mau.”
Lyssa membeku. “Membungkam?”
“Ya.” Ia melanjutkan santai, seperti membicarakan cuaca.
“Aku pemilik saham mayoritas di salah satu jaringan media terbesar negeri ini. Kalau aku ingin, berita tentangku bisa menghilang besok pagi. Wartawan yang tadi menghadangmu bisa kehilangan pekerjaannya sebelum mereka sempat menyerahkan rekaman ke redaksi.” Lanjutnya.
Lyssa terdiam. Fakta itu menamparnya. Ia tahu Alvaro kaya, ia tahu ia pewaris perusahaan raksasa, tetapi memiliki kuasa sebesar itu dalam dunia media? Itu sesuatu yang lain.
“Lalu kenapa kau tidak melakukannya?” suaranya lirih, nyaris berbisik.
Alvaro menegakkan bahu, mengeraskan rahangnya. “Karena aku tidak suka bersembunyi. Aku tidak ingin mereka bungkam. Aku ingin mereka menatapku, menulisku, mencaci sekalipun. Aku ingin dunia tahu aku tidak bisa dijatuhkan oleh opini.”
“Tapi… itu berbahaya,” Lyssa memberanikan diri. “Semakin mereka menulis, semakin besar resiko reputasimu-”
“Reputasi?” Alvaro memotong dengan senyum dingin. “Reputasi itu rapuh, Lyssa. Orang kaya, pejabat, bahkan artis, semuanya berlindung di balik reputasi. Tapi aku berbeda. Aku tidak membangun diriku dengan pujian. Aku membangunnya dengan keberanian. Biarkan mereka menyalak. Aku akan berdiri di tengah api, dan tidak terbakar.”
Kata-katanya menusuk Lyssa, lebih dalam dari yang ia kira. Ada sesuatu dalam tatapan pria itu yang melampaui sekadar kesombongan. Ada luka, ada dendam, ada sesuatu yang ia sembunyikan rapat dan itu membuatnya semakin berbahaya.
“Jadi, kau benar-benar akan melawan mereka dengan… dirimu sendiri?”
“Bukan hanya diriku.” Alvaro menatapnya tajam, membuat Lyssa menahan napas. “Sekarang kau ada di sisiku. Suka atau tidak, kau sudah masuk ke dalam panggungku. Dan panggung ini tidak mengenal jalan mundur.”
Lyssa membeku. Jantungnya berdetak kencang. Sebagian dirinya ingin melawan, ingin berteriak bahwa ia tidak pernah meminta semua ini. Namun di sisi lain, ada getaran aneh, ketertarikan yang tak bisa ia bantah meski menyakitkan.
Mobil berhenti di persimpangan. Lampu merah menyinari wajah Alvaro, memberi bayangan tegas di garis rahangnya. Ia menoleh lagi, kali ini lebih lembut, namun tetap berbahaya.
“Lyssa.” Suaranya dalam, hampir berbisik. “Dunia akan menuduhmu macam-macam. Mereka akan bilang kau wanita ambisius, pencari perhatian, bahkan pengkhianat. Kau siap untuk itu?”
Lyssa menelan ludah, suaranya tercekat. “Aku… aku tidak tahu.”
Alvaro tersenyum samar, namun matanya tetap tajam. “Kalau begitu, biarkan aku yang tahu. Kau hanya perlu satu hal; jangan pernah meninggalkanku di tengah jalan.”
Perjalanan berlanjut, tapi keheningan di antara mereka kini lebih berat. Di luar, blitz kamera masih sesekali menyambar dari motor wartawan yang membuntuti. Namun di dalam mobil, yang terdengar hanyalah detak jam di pergelangan tangan Alvaro, detak waktu yang selalu berpihak padanya.
Lyssa memalingkan wajah ke jendela, mencoba menyembunyikan kegelisahan. Tapi hatinya tahu satu hal: sejak pukul delapan malam itu, hidupnya tidak lagi sama.
Ia telah dijemput.
Satu bulan yang laluLampu-lampu kristal berkilau memantulkan cahaya ke seluruh aula megah itu. Dindingnya dilapisi kain beludru merah, sementara pilar-pilar tinggi dihiasi emblem keluarga yang selama puluhan tahun berdiri sebagai simbol kekuasaan dan kejayaan. Malam itu, bukan sekadar pesta. Malam itu adalah malam penobatan, malam pengalihan kekuasaan, malam di mana Damar, sang pemimpin yang selama ini ditakuti sekaligus disegani, menyerahkan tahta kepada suami adiknya, Adrian.Para tamu undangan telah memenuhi ruangan. Ada para politisi dengan jas hitam rapi, para pengusaha besar yang menyembunyikan senyum licik di balik gelas sampanye, dan wartawan yang sibuk memotret setiap detik pergerakan penting. Aroma parfum mahal bercampur dengan wangi bunga lili yang menghiasi panggung utama.Adrian berdiri di belakang panggung, mengenakan setelan hitam yang dipilih khusus oleh Maya. Jasnya terlihat sempurna, dasinya terikat tanpa celah, seakan tubuhnya benar-benar pantas berada di sana. Nam
Cahaya keemasan menembus tirai tipis kamar Alvaro. Debu-debu halus beterbangan di udara, menari dalam pancaran cahaya pagi. Ruangan itu masih menyimpan kehangatan malam sebelumnya. Bau lembut parfum Lyssa bercampur dengan aroma maskulin khas Alvaro.Lyssa duduk di tepi ranjang, tangannya perlahan menyentuh kain sprei yang berantakan, lalu merapikannya dengan dua tangan mungilnya itu.Matanya lalu terarah pada sosok pria di hadapannya. Alvaro sedang mengenakan kemeja putih, membuka dua kancing teratas, memperlihatkan dada bidang yang sejak tadi membuat wajah Lyssa memanas. Setiap kali jemarinya menekan kancing, Lyssa seolah bisa mendengar detak jantungnya sendiri. Dada itu tempat ia bersandar semalam, tempat ia menangis, tempat ia menyerahkan seluruh resah dan rindunya.Senyum samar muncul di bibir Lyssa. Ia merasa hangat, seolah api dari malam tadi belum padam. Tubuhnya masih menyimpan getaran, namun hatinya jauh lebih tenang dibandingkan dua bulan penuh penderitaan yang baru saja ia
Dua bulan laluHari-hari setelah kabar kematian Alvaro menyeruak ke publik menjadi mimpi buruk bagi Lyssa.Setiap pagi, ketika ia membuka matanya, ia berharap semuanya hanya mimpi buruk. Bahwa ia akan menerima pesan dari Alvaro, sekadar satu kata, bahkan satu titik sekalipun untuk menandakan pria itu masih ada. Tapi kenyataan jauh lebih kejam. Yang ada hanyalah layar ponsel yang sunyi, kosong, dingin, dan berita-berita yang menghantam dirinya tanpa belas kasihan.Media menggilas Lyssa tanpa ampun. Foto-fotonya saat bersama Alvaro sebelumnya terus-menerus dimunculkan. Judul-judul berita menyorotnya dengan kejam."Kekasih tersembunyi Alvaro? Apakah kematian sang pewaris ada kaitannya dengannya?""Perempuan di balik kecelakaan sang pewaris?""Apakah Lyssa tahu lebih banyak dari yang ia katakan?"Setiap kamera yang menyorotnya adalah luka baru. Setiap microphone yang dipaksa masuk ke wajahnya adalah penghinaan bagi kesedihannya.Lyssa mencoba mengabaikan semuanya. Ia menutup tirai apartem
Suara napas mereka masih saling bertubrukan, berat dan terengah, ketika Alvaro menindih tubuh Lyssa. Lampu kamar hanya menyisakan cahaya redup, cukup untuk membuat bayangan tubuh mereka menari di dinding. Bayangan itu bergerak perlahan, seiring gerakan dua tubuh yang sedang mencari kehangatan setelah terlalu lama terpisah oleh waktu dan kepalsuan.Lyssa merasakan kulit hangat Alvaro menempel pada kulitnya, membuat jantungnya berdegup seolah hendak meloncat keluar. Tubuhnya masih terhuyung dalam derasnya emosi, antara rindu, cinta, dan kelegaan.Alvaro menatapnya lekat, jemarinya menyusuri garis wajah Lyssa seperti menghafal setiap detail. “Aku masih tak percaya kau benar-benar di sini bersamaku.”Lyssa menggenggam pergelangan tangannya, menahan jemari Alvaro di pipinya. Tatapannya basah, matanya berkilau oleh sesuatu yang lebih dalam daripada sekadar hasrat.“Dua bulan lalu…” suaranya lirih, nyaris tercekat, “…aku benar-benar percaya kau mati, Alvaro.”Alvaro terdiam. Bibirnya yang ta
Alvaro mengangkat dagu Lyssa perlahan dengan jemarinya, memaksa Lyssa yang tenggelam dalam pelukan untuk menatapnya kembali. “Lyssa, bolehkah aku egois malam ini?” suaranya berat, namun tidak ada nada paksaan di dalamnya.Sebelum Lyssa sempat menjawab, bibir Alvaro menyentuh bibirnya hangat, lembut, namun penuh kerinduan yang selama ini mereka pendam.Lyssa terperangkap. Detak jantungnya berpacu, tubuhnya menegang sesaat, tapi kemudian ia luluh. Tangannya bergerak naik, menempel di dada Alvaro yang bergetar cepat. Nafas mereka berbaur, menyatu, tak lagi bisa dibedakan mana milik siapa.Alvaro menariknya lebih dekat, seolah takut Lyssa akan pergi jika ia melepaskan. Pelukan itu begitu erat, begitu mengikat, seakan malam dan dunia hanya tercipta untuk mereka berdua.“Alvaro…” Lyssa berbisik di sela napas yang masih terengah.“Shh…” Alvaro menyentuhkan keningnya pada kening Lyssa, mata mereka terpejam. “Jangan katakan apa pun. Biarkan aku merasakanmu… biarkan aku percaya bahwa kau benar-
Lampu gantung di restoran kecil itu dipadamkan satu per satu. Hanya cahaya dari dapur yang masih tersisa, menemani Alvaro, Lyssa, dan Raka merapikan meja dan kursi. Aroma kaldu yang tadi memenuhi ruangan sudah perlahan pudar, digantikan bau sabun cuci piring.“Sudah, biar aku yang bereskan sisanya,” ujar Alvaro sambil melipat kain lap di tangannya.Raka menoleh, keringat masih membasahi pelipisnya. “Kau yakin, Bos? Kain lapnya belum aku cuci.”Alvaro hanya mengangguk pendek. “Pergilah duluan, kau harus pulang. Jalan ke rumahmu jauh kalau terlalu malam.”Raka sempat membuka mulut, hendak membantah, tapi tatapan Alvaro cukup untuk membuatnya menyerah. Ia menaruh celemek di gantungan dekat pintu dapur, lalu mengambil kantong sampah untuk sekalian membuangnya saat keluar nanti.“Oke, kalau begitu aku pamit dulu.” Ia melirik Lyssa yang masih sibuk mengeringkan gelas. “Kau juga hati-hati di jalan nanti.”Lyssa tersenyum kecil. “Ya, terima kasih, Raka.”Raka mengangguk, lalu melangkah keluar