“Saya permisi!” Alea pamit, dan segera berlalu dari tempat itu.
Pria itu, Bagas, sepupu Leon memandang kepergian Alea tanpa berkedip, hingga punggung gadis itu semakin mengecil, dan akhirnya menghilang di balik barisan mobil yang berjejer di parkiran.
“Cantik sekali!” gumamnya lirih, dia kemudian berdecak kesal, merasa bodoh, karena tidak sempat berkenalan dengan gadis tadi. Sejurus kemudian dia berbalik, dan masuk ke dalam gedung perkantoran milik Leon, sepupunya.
Bagas punya perusahaan yang di pimpinnya sendiri, anak perusahaan Leon, lebih tepatnya. Jadi dia sering ke kantor pusat, untuk beberapa keperluan.
“Kau lihat wanita dengan blouse warna kuning gading, dan bawahan berwarna coklat gelap, yang barusan keluar dari kantor ini?” tanya Bagas pada petugas receptionist di depan lobi kantor.
Kening wanita muda itu, tampak sedikit berkerut. Beru
“Saya permisi!” Alea pamit, dan segera berlalu dari tempat itu. Pria itu, Bagas, sepupu Leon memandang kepergian Alea tanpa berkedip, hingga punggung gadis itu semakin mengecil, dan akhirnya menghilang di balik barisan mobil yang berjejer di parkiran. “Cantik sekali!” gumamnya lirih, dia kemudian berdecak kesal, merasa bodoh, karena tidak sempat berkenalan dengan gadis tadi. Sejurus kemudian dia berbalik, dan masuk ke dalam gedung perkantoran milik Leon, sepupunya. Bagas punya perusahaan yang di pimpinnya sendiri, anak perusahaan Leon, lebih tepatnya. Jadi dia sering ke kantor pusat, untuk beberapa keperluan. “Kau lihat wanita dengan blouse warna kuning gading, dan bawahan berwarna coklat gelap, yang barusan keluar dari kantor ini?” tanya Bagas pada petugas receptionist di depan lobi kantor. Kening wanita muda itu, tampak sedikit berkerut. Berusaha mengingat, orang-oran
Leon memandang Lukman, kemudian menunduk. Raut wajahnya berubah muram setelah mendengar cerita Lukman barusan. Rasa sesak memenuhi rongga dadanya. “Kenapa Paman tidak pernah bercerita?” sesal Leon. “Aku tidak pernah diperintahkan untuk mencari tahu. Lagipula, aku tidak tahu jika kamu masih mengingatnya. Padahal saat itu, Alea menangis karena mengingat sebentar lagi kamu ulang tahun.” Lukman membela diri, dan terus membuat Leon merasa bersalah, dan menyesal. “Sudahlah Paman! Aku mau pulang.” Ucap Leon, seraya bangkit dari tempat duduknya, dan meninggalkan Lukman. “Jam tangan itu, Alea yang memilihkannya untukmu!” seru Lukman, setelah Leon mengayunkan langkah, dan berhasil membuat pria muda itu berbalik dan menatap Lukman lekat-lekat. Leon tidak tahu lagi, harus berkata apa pada pria yang sudah dia anggap seperti ayahnya itu. Dia juga tidak mengerti apa yang sekarang dira
Semua orang yang hadir di ruangan itu bernafas lega, tapi tidak demikian halnya dengan Soraya. Wajah wanita setengah baya, dengan penampilan glamour itu terlihat kesal. Wajah itu langsung ditekuk, dengan bibir menyeringai, dia kembali duduk di kursinya.“Selamat pagi semua! Saya akan membuka rapat hari ini, membahas tentang strategi penjualan baru yang akan diterapkan mulai awal bulan ini di perusahaan kita. Bagaiman? Bisa saya mulai?”Leon menatap semua orang yang hadir di ruangan itu satu-persatu. Saat matanya secara tak sengaja beradu pandang dengan Soraya, Leon menyunggingkan senyum kemenangan, yang semakin membuat Soraya belingsatan, seperti cacing kepanasan.Soraya merasa heran, bagaimana Leon bisa berada disana, dan dengan penuh percaya diri membuka rapat pagi ini. Soraya tak habis fikir, dia merasa sangat kesal sekali, dan ingin cepat-cepat pergi dari sana. Persetan dengan rapat, dan perusahaan ini. T
“Ma-maaf, Pak!” Alea berusaha menahan tawanya sebisa mungkin. Dia lalu menyodorkan sebuah berkas ditangan, “Maaf, Pak! Tadi kelupaan. Harus Bapak tandatangani hari ini juga!” ucap gadis itu, masih menahan senyum. Wajahnya sampai memerah, dengan mata menyipit dan muka berkerut.“Ya, sudah! Sana!” Leon mengusir gadis itu, setelah menerima berkas ditangan. Wajahnya tak kalah merah dengan Alea, Cuma beda rasa saja. Jika Alea karena merasa lucu, maka Leon karena rasa malu yang menggunung.Alea berbalik dan keluar dari ruangan itu. Setelah menutup pintu, gadis itu meluapkan tawanya dengan menutup mulut, takut didengar oleh bos nya. Dan Gadis itu masih saja tertawa, sepanjang perjalanan menuju ruang kerjanya kembali.Sedangkan Leon menghempaskan berkas ditangan ke atas meja, lalu duduk dengan perasaan frustasi. Kejadian tadi sungguh sangat memalukan. Bagaimana dia akan menghadapi Alea setelah
“Ayo! Kita pergi dari sini!” Leon menarik tangan Alea kaluar dari sana. Langkah gadis itu sedikit terseret karena masih syok dengan kejadian barusan. Leon membukakan pintu mobil, dan menyuruh gadis Itu untuk masuk. Membuka pintu sebelahnya lagi, dan duduk di belakang setir, lalu menjalankan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Wajah Alea terlihat pucat, tangannya mencengkeram sit belt dengan kuat di samping Leon. “P -Pak!” seru Alea setengah menjerit saat pria Itu tiba-tiba saja membanting setir ke arah kanan, dan hampir menabrak mobil lain. Leon melirik Alea sekilas, dan melihat wajah gadis itu sudah seputih kapas. Barulah pria itu sadar dengan sikapnya, dan segera mengurangi laju kenderaan yang dibawanya. “Maaf!” serunya, tanpa melihat ke arah gadis Itu. Alea memandang Leon dengan tatapan tidak percaya. Selama bekerja menjadi sekretaris Leon, dia tidak pernah mendengar b
Leon tidak habis fikir dengan keputusan Alea untuk resign dari perusahaan itu. Dia juga tidak bisa menahan gadis itu agar tetap bekerja untuknya. “Apa kamu yakin dengan keputusanmu itu?” akhirnya, hanya kalimat itu yang keluar dari mulut Leon. Alea mengangguk, masih tetap menunduk. “Baiklah, jika itu keputusanmu! Aku tidak bisa memaksa orang untuk tetap bekerja padaku, jika orang itu tidak mau!” dimasukkannya surat pengunduran diri gadis itu kembali ke dalam amplop, lalu menghubungi bagian keuangan. “Siapkan pesangon untuk Alea, sesuai standar perusahaan dan berikan bonus dua bulan gaji.” Pria itu langsung menutup sambungan telepon tanpa menunggu sahutan dari seberang sana. “Silahkan!” Leon mempersilahkan Alea untuk meninggalkan ruangannya. Gadis itu tampak ragu, dan sedikit merasa bersalah. Diulurkannya tangan sebagai tanda perpisahan. Dan ditanggapi Leon dengan dingin
Nadya melangkah masuk ke dalam cafe tempat dirinya dan Lukman berjanji untuk bertemu. Baru beberapa langkah, saat dia melihat Lukman sudah duduk dengan segelas kopi kesukaannya.Dengan langkah anggun Nadya mendekat, lalu duduk di kursi berhadapan dengan pria kepercayaannya itu.“Maaf, aku terjebak macet,” seru Nadya sesaat setelah bokongnya mendarat dengan nyaman di kursi.“Tidak apa-apa Nyonya, saya juga baru saja sampai. Oh, ya! Nyonya pesan apa?” Lukman melambaikan tangan kepada pelayan, yang dengan sigap langsung menghampiri mereka.“Pesan apa Nyonya?” si pelayan bertanya dengan pena dan note book di tangan.“Saya pesan segelas Americano.”Pelayan tadi tampak mencatat, “ Ada lagi Nyonya?” tanya pelayan itu kembali.“Tidak! Cukup itu saja.”Si
“Ma -maaf kan saya Tante, eh, Nyonya!” Alea bangkit dari kursi, kemudian membungkuk berkali-kali pada Nadya. Dia sungguh merasa malu sudah mengatakan hal yang tidak-tidak tadi.“Tidak usah merasa bersalah begitu, panggil saja tante! Lagipula bos mu itu memang harus diberi pelajaran pakai sapu!” Nadya mengedipkan sebelah matanya, membuat Alea semakin salah tingkah.“Ayo, duduk sini.” Nadya menepuk kursi Alea, sebagai isyarat agar gadis itu kembali duduk. Tapi Alea sudah tidak merasa nyaman berada disana.“Bagaimana tawaran Bu Nadya tadi, apa kau menerimanya? Mencari pekerjaan sekarang sangat sulit, dan aku yakin bos mu itu, sudah menyuruh asistennya untuk memblokade semua jaringan bisnis yang dimilikinya, agar tidak menerima pegawai atas nama Azalea.”Bola mata Alea membulat sempurna mendengar ucapan Lukman barusan. Dia tidak percaya jika Leon akan berti