Bukan depan, aku Ulang tahun yang ke -17. Nenek sudah memberi perintah pada Paman Lukman, untuk membuat acara pesta, di sebuah hotel berbintang.
Rencananya, nenek akan mengundang seluruh kolega dan partner bisnis Hutomo grup. Sekaligus memperkenalkan pewaris Hutomo grup secara resmi.
“Apa itu harus dilakukan Nek?” aku duduk di sebelah nenek, memperhatikan wanita tua yang masih terlihat sangat sehat itu, sibuk memberikan pengarahan kepada Paman Lukman, tentang konsep acara yang diinginkannya.
“Perlu! Tentu saja, itu sangat perlu dilakukan, Leon! Partner bisnis kita, dan juga para relasi, sudah saatnya, mengetahui siapa pewaris grup Hutomo yang sesungguhnya.” nenek berbicara dengan tegas, membuatku tak bisa berkata apa-apa. Mungkin ini memang perlu untuk dilakukan, jadi aku ikut saja.
Kemudian mama datang, dan bergabung dengan kami. Menyerahkan selembar kertas yang sudah berisi
“Apa, Ibu bilang? aku tidak boleh ikut campur? Kenapa, aku tidak boleh ikut campur! aku juga menantu Ibu. Bagas itu juga cucu ibu. Kenapa ibu selalu pilih kasih kepada kami? Aku sudah muak! Aku sudah muak Ibu perlakukan seperti ini!”“Diamlah Soraya! atau Apal perlu aku mengungkap semua rahasiamu di sini?”Mendengar ucapan nenek, tante Soraya mendadak bungkam. Diketakkannya gelas yang berada di genggaman, ke atas meja, lalu berbalik, dan hendak melangkah pergi, saat Bagas mencekal pergelangan tangan ibunya.“Ibu, apa-apaan, sih! Kenapa ibu menentang nenek?” di hardiknya wanita yang telah melahirkannya itu, dan menyeretnya keluar.“Maaf, Nek! Saya mohon maaf, untuk semua yang ada di ruangan ini, karena ibu saya telah merusak acara penting ini. Saya mohon maaf, yang sebesar-besarnya!” Sebelum pergi, Bagas meminta maaf kepada nenek dan seluruh tamu undanga
“Sorry ya, baju lo jadi kotor!” kusodorkan saputangan untuk cewek itu, dan disambutnya dengan senyum. “Makasih, kak! Ini bukan salah kakak, kok. Aku yang pengen datang ke acara ini. Hehe.” Cewek itu, masih sempat tertawa, padahal sudah di sakiti. Aku jadi merasa semakin bersalah. “Maaf, tapi aku belum tau nama kamu.” Ya, ampun Leon! Lo jadi cowok kok bego amat, sih? Udah sampe kesini-sininya, baru mau ngajak kenalan! Dasar! Kugaruk tengkuk yang tak gatal, melihat cewek itu kembali tertawa. Sumpah! Gua jadi ngerasa kek badut. Aku nyengir kuda, mengulurkan tangan, dan berkata,” Hai, aku Leon!” tapi cewek itu malah semakin kuat tertawa. Aku membeku. “Udah, santai aja lagi, kak! Ah, iya! Namaku Hanna,” diulurkannya tangan, menyambut jabatan tanganku, yang menganggur sejak tadi. Dia kembali tersenyum. J
Seminggu yang lalu. Siang yang cerah, tapi tidak seperti itu yang terlihat, di wajah cantik seorang gadis berseragam putih abu-abu, yang sedang menunggu bus, sejak tadi. Pandangannya hanya lurus ke depan dengan tatapan kosong. Tak lama, sebuah bus berhenti tepat di depannya, orang-orang pun berebut untuk naik, tak terkecuali gadis tadi. Dengan susah payah, setelah sebelumnya sempat di dorong-dorong, hingga hampir tertinggal, akhirnya dia berhasil untuk naik. Tapi ternyata tidak ada kursi yang kosong lagi untuknya, dengan terpaksa dia harus berdiri, dan berdesakan dengan penumpang lain, yang hampir semuanya cowok. Terdengar helaan nafas panjang dari bibir gadis itu. Tiba-tiba ponselnya berdering. Dia lalu merogoh saku tas sekolah yang tergantung di punggung, dan mengambil ponsel. Sejenak dia sibuk dengan benda itu, lalu menyimpannya kembali. Suasana yang panas dan padatnya penumpang, membuat u
“Aku suka yang itu!” ucap Alea menunjuk sebuah jam tangan dengan tali berwarna silver, dipadu warna hitam bingkai kaca dan angka, juga jarum jam. Sangat elegan dan mewah.“Yang itu?” tanya Lukman, mengulangi pertanyaan Alea.“Hum!” jawab gadis itu dengan anggukan.Penjaga toko pun mengambil jam tangan yang dimaksud Alea dari dalam etalase kaca dan menyerahkannya pada Lukman. Wajah Lukman terlihat berseri-seri, melihat jam tangan pilihan Alea. Merk Rolex, kelihatannya dia juga menyukai model jam itu.“Bagus! Aku pesan yang ini!” seru Lukman, dan menyerahkan jam tangan itu kembali kepada penjaga toko, untuk di bungkus.“Apakah bisa dibungkus dengan kertas kado? Itu untuk hadiah soalnya!” ucap Lukman, pada penjaga toko, ragu!“Tentu saja, bisa Pak! Toko kami memang memberi pelayanan gratis untuk i
Pagi sekali, aku kembali menghubungi Paman Lukman. Beruntung, kali ini pria itu mengangkat tekeponku. “Halo, Leon! Ada apa pagi-pagi menelepon. Ini baru jam 6, apa terjadi sesuatu?” tanya pria di seberang sana. “Iya, Paman! Aku mau tanya hal penting!” “Hal penting? Baiklah! Aku akan segera kesana!” “Tidak perlu, Paman! Aku hanya mau tahu, hadiah dari Paman dua hari yang lalu, itu –“ tiba-tiba, aku merasa bodoh menanyakan hal itu pada Paman Lukman. Bukankah sudah jelas, jika kado itu darinya? Tapi aku penasaran. “Halo! Leon? Ada apa, sebenarnya kau mau menanyakan apa?” suara Paman Lukman di seberang terdengar sedikit tidak sabar. “Soal kado, yang Paman berikan,” aku mengulangi ucapanku. “Apakah, isi pesan di kartu itu, benar-benar dari Paman?” akhirnya aku mengubah pertanyaannya. “Iya! Kenapa? Apakah ada yang salah?” tanya Pa
“Saya permisi!” Alea pamit, dan segera berlalu dari tempat itu.Pria itu, Bagas, sepupu Leon memandang kepergian Alea tanpa berkedip, hingga punggung gadis itu semakin mengecil, dan akhirnya menghilang di balik barisan mobil yang berjejer di parkiran.“Cantik sekali!” gumamnya lirih, dia kemudian berdecak kesal, merasa bodoh, karena tidak sempat berkenalan dengan gadis tadi. Sejurus kemudian dia berbalik, dan masuk ke dalam gedung perkantoran milik Leon, sepupunya.Bagas punya perusahaan yang di pimpinnya sendiri, anak perusahaan Leon, lebih tepatnya. Jadi dia sering ke kantor pusat, untuk beberapa keperluan.“Kau lihat wanita dengan blouse warna kuning gading, dan bawahan berwarna coklat gelap, yang barusan keluar dari kantor ini?” tanya Bagas pada petugas receptionist di depan lobi kantor.Kening wanita muda itu, tampak sedikit berkerut. Beru
“Saya permisi!” Alea pamit, dan segera berlalu dari tempat itu. Pria itu, Bagas, sepupu Leon memandang kepergian Alea tanpa berkedip, hingga punggung gadis itu semakin mengecil, dan akhirnya menghilang di balik barisan mobil yang berjejer di parkiran. “Cantik sekali!” gumamnya lirih, dia kemudian berdecak kesal, merasa bodoh, karena tidak sempat berkenalan dengan gadis tadi. Sejurus kemudian dia berbalik, dan masuk ke dalam gedung perkantoran milik Leon, sepupunya. Bagas punya perusahaan yang di pimpinnya sendiri, anak perusahaan Leon, lebih tepatnya. Jadi dia sering ke kantor pusat, untuk beberapa keperluan. “Kau lihat wanita dengan blouse warna kuning gading, dan bawahan berwarna coklat gelap, yang barusan keluar dari kantor ini?” tanya Bagas pada petugas receptionist di depan lobi kantor. Kening wanita muda itu, tampak sedikit berkerut. Berusaha mengingat, orang-oran
Leon memandang Lukman, kemudian menunduk. Raut wajahnya berubah muram setelah mendengar cerita Lukman barusan. Rasa sesak memenuhi rongga dadanya. “Kenapa Paman tidak pernah bercerita?” sesal Leon. “Aku tidak pernah diperintahkan untuk mencari tahu. Lagipula, aku tidak tahu jika kamu masih mengingatnya. Padahal saat itu, Alea menangis karena mengingat sebentar lagi kamu ulang tahun.” Lukman membela diri, dan terus membuat Leon merasa bersalah, dan menyesal. “Sudahlah Paman! Aku mau pulang.” Ucap Leon, seraya bangkit dari tempat duduknya, dan meninggalkan Lukman. “Jam tangan itu, Alea yang memilihkannya untukmu!” seru Lukman, setelah Leon mengayunkan langkah, dan berhasil membuat pria muda itu berbalik dan menatap Lukman lekat-lekat. Leon tidak tahu lagi, harus berkata apa pada pria yang sudah dia anggap seperti ayahnya itu. Dia juga tidak mengerti apa yang sekarang dira