Share

Ayu yang Tegar

Author: Aiko Arawati
last update Last Updated: 2021-06-30 21:30:49

Teng! Teng! Teng!

Aku mendengar lonceng sekolah dipukul tiga kali oleh penjaga. Pertanda pelajaran sekolah selesai. Sudah hampir satu bulan aku belajar bersama teman-teman baru dengan sosok guru yang tidak akan pernah terlupakan. Selamanya. Semua menyenangkan, tanpa terkecuali. Selama itu pula, kebiasaan bangun siang menjadi berkurang.

Seluruh siswa sekolah dasar lima desa Karangrowo berhambur keluar menuju sebelah timur gapura. Di sana, tempat parkir sepeda para murid yang lama. Karena halaman sekolah cukup untuk menampung parkir kendaraan para staf pengajar.

 “Hei Siti! Ora gowo sepeda? Ayo nek goncek!”[1] Seseorang menawarkan sebuah boncengan.

Ternyata Wanto. Beberapa hari ini, entah mengapa kami menjadi akrab. Apakah dewi kebaikan menaburkan sihirnya? Atau, doaku yang membumbung langit sudah dijawab oleh Allah? Sebelum pindah sekolah, aku selalu mengharap belas kasihan sama Allah, agar didekatkan orang-orang yang meyayangi denagan tulus. Mungkin, Wanto adalah salah satunya. Aish! Apa-apaan?

“Nggak usah, Wan. Aku bareng sama Ayuk!”

 Ada gurat kecewa di wajahnya, namun aku menampakkan senyum. Memberikan kata yang hanya bisa diungkap lewat isyarat. Aku, Ayuk dan anak perempuan lainnya menapaki jalan pulang yang memang berlubang. Sedangkan Wahyu sudah menghilang bersama empat temannya mengayuh sepeda.

 “Ayuk, anak perempuan yang di samping Wahyu namanya siapa? Kelihatannya nggak banget gitu,” bisikku ke telinganya.

“Anak perempuan yang berambut pendek itu? Namanya Halimah.”

“Oh. Halimah.”

Ayuk. Seorang anak perempuan Kristiani yang taat mau menjalin persahabatan denganku. Ia mengaku seorang yatim yang merupakan anak terakhir dari tiga bersaudara. Semuanya perempuan. Rumahnya yang sederhana terletak beberapa meter di belakang gereja satu-satunya di desa ini. Baru dua kali ia mengajak bermain ke rumahnya.

Di samping rumahnya, ada aliran sungai kecil yang dimanfaatkan warga desa untuk membuang hajat. Bermodal dinding dari anyaman bambu atau daun pisang kering untuk membentuk sungai terpanjang di dunia, kami menyebutnya wot. Toilet legendaris sepanjang masa untuk anak yang lahir tahun 90-an.

Emaknya sudah cukup renta untuk dipaksakan menjadi tulang punggung keluarga. Untungnya, Ayuk mendapatkan bantuan beasiswa dari pihak gereja untuk menyelesaikan pendidikan. Ia selalu mengucap syukur dan meneteskan air mata setiap kali menceritakan pekerjaan emaknya sebagai buruh tani.

Setiap kali pulang sekolah, ia membantu orang tua mencari keong di sawah untuk dijualnya kembali. Sedangkan aku? Tinggal meminta uang kepada bapak langsung diberikan. Jika ingin membeli susu kaleng dengan merk tertentu, bapak akan membelikannya. Jika ingin buku, bapak akan membawakan buku yang sudah tidak digunakan dari perpustakaan sekolah lamaku.

***

Dari balik kaca jendela, seorang lelaki setengah baya membuang peluhnya di ladang depan rumah. Di tepi sungai yang mengalir jernih, membuat kicauan burung saling bersahutan.

“Maaf, Pak. Siti nggak bisa bantu bapak yang setiap sore di ladang.” Aku menyeka sudut netra yang basah.

Emak sebagai ibu rumah tangga, terkadang menyelesaikan pekerjaan sebagai petani padi. Jika musim hujan, saatnya para warga menanam padi dan melakukan tradisi tandur. Menurut kepercayaan,  jika wanita tidak bisa tandur. Kelak, anak suami mau diberi makan apa? Aku selalu membantahnya, toh nasib perempuan yang berumah tangga tidak ditentukan dari keahlian menanam padi.

“Nduk Ti, cah ayu.  Ketela rebusnya anterin ke bapakmu.”

“Inggih Mak,” lantas aku mengambil ketela yang masih hangat itu dari dalam dandhang. Sebuah kuali besar untuk mengukus atau merebus pangan.

Beberapa ketela rebus berhasil ku antar dengan selamat bersama sebotol air minum. Di ladang tepi sungai yang berada di depan rumah, selalu menjadi candu. Mampu menghilangkan segala tangisan yang tiba-tiba menderai. Setiap kali melihat ujung desa, aku tidak pernah menemukannya.  

Hanya ada sekawanan burung yang melintasi rumah. Capung, kupu-kupu merupakan teman sepiku yang melesatkan ingatan ke masa depan. Apalagi, angin senja menerpa wajah yang berpeluh keringat karena sengatan matahari sore. Ranting yang patah seolah mengingatkan, bahwa hari akan berlalu begitu saja.

***

 “Nduk, mandi! Terus berangkat ngaji ke masjid,” ucap Emak yang sedang menyiapkan makan malam di meja.

“Nggih, Mak!”

Waktu begitu cepat untuk menyelesaikan ritual belajar juz ‘ama di masjid terbesar sebelah utara balai desa. Masjid yang menjadi tempat penelitian para ilmuwan, karena berjarak sekitar 100 meter dari gereja tempat Ayuk membaktikan dirinya sebagai hamba Tuhan.

Sesampai di depan rumah Fauzia, teman sekelas sekaligus tetangga, aku merasakan angin dingin yang mengiggit kulit leher. Padahal, jilbab sudah menutup bagian aurat perempuan. Namun, tetap saja angin aneh itu membuat bulu kudu berdiri. Mempercepat langkah merupakan cara terbaik menghilangkan ketakutan.

Hingga, bayangan putih berkelebat di pekarangan kosong samping rumah Fauzia. Jelas, aku berteriak histeris sambil mengucap takbir. Napas ngos-ngosan sesampainya di rumah. Wajah Emak menampakkan raut curiga.

 “Mak, tadi aku waktu melewati pekarangan rumahnya Fauzia, tiba-tiba merinding.”

“Nggak ada apa-apa,” sekembalinya emak dari dapur, ia membawakan segelas teh manis.

Aku hanya menyunggingkan senyum tipis yang tanpa arti. Dengan lantunan doa, aku kembali mengarungi lautan mimpi. Mimpi untuk masa depan yang lebih baik. Mungkin saja mimpi ini menjadikan orang tua menatap bangga kepada anaknya, sambil berkata,

“Bersyukur sekali memiliki anak sepertimu, Nduk. Terimakasih Ya Allah.”

[1] Hei Siti! Nggak bawa sepeda? Ayo bonceng aku.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sang Putri: Sahabat Dari Surga   Mencari Kebenaran Kondisi Kalim

    “Sitiii! Apakah kamu tidak ingin mengetahui keadaan Kalim yang sebenarnya? Maksudku, kenapa sahabatmu itu bisa ngamuk-ngamuk nggak jelas.” Wawan terus mengoceh sambil terbang mengikuti kakiku yang masih mengayuh sepeda hingga sampai di rumah Kalim.Perkataan Wawan Si Hantu payah itu terus saja mengiang-ngiang di dalam pikiranku. Memangnya apa yang sebenarnya terjadi sama Kalim? Pertanyaan yang sama selalu mengusik hatiku. Wawan sudah memahami perasaanku kalau aku memang benar-benar menginginkan jawaban atas pertanyaan tersebut.“Wawan ….” Desisku sambil menggigit bagian bawah bibirku.“Holaaa! Kamu lagi nyari aku, ya?” Kemunculan Wawan secara tiba-tiba begitu mengagetkanku.“Emmm, aku … aku … aku lupa mau ngomong apa sama kamu.”“Aku sudah bisa menebak apa yang akan kamu katakana.”“A-a-apa?” tanyaku dengan nada sedikit agak gugup.Sebenarnya

  • Sang Putri: Sahabat Dari Surga   Kejujuran Bagian 2

    “Aku jadi penasaran sama kelanjutan ceritamu tadi soal Si Hantu Wawan.”“Awalnya, aku jalan-jalan naik menyewa becak mini di Taman Kiai Langgeng. Pas aku main becak mini, aku jatuh. Tiba-tiba ada bocah laki-laki umurnya sama dengan kita. Dia menolongku dan akhirnya kami berteman. Awalnya aku nggak sadar kalau bocah laki-laki itu … hantu bernama Wawan. Dia memiliki cerita yang sangat menyedihkan. Dia juga minta bantuan sama aku. Tapi, aku benar-benar bingung harus membantunya gimana. Makanya, aku ceritain semuanya sama kamu. Aku harap Si Hantu payah itu nggak mendengar ocehanku tentangnya.”“Tenang aja, Siti. Aku akan jadi pendengar yang baik buat sahabat tercintaku ini. He he he.”Begitu ritual minumku selesai, aku harus melanjutkan kisah tentang pertemananku dengan Si Hantu Wawan.“Kamu sudah seharusnya menjadi pendengar yang baik. Apalagi ceritaku ini sangat aneh, bisa dibilang juga menyeramkan.”

  • Sang Putri: Sahabat Dari Surga   Kejujuran

    Ketika Kalim terbangun dari pingsan, mulut sahabatku itu melontarkan kalimat yang sangat aneh.“Aku akan menghancurkan persahabatan kalian berdua. Lihat saja nanti!”Jujur saja, mulutku membulat membentuk huruf “O” besar setelah mendengar ancaman dari Kalim. Anehnya, sahabatku yang satu itu kembali dalam pingsan. Teman-teman lainnya yang menonton kami melakukan adegan tendang-tendangan, seketika bubar dengan jeritan penuh ketakutan. Mereka mungkin ketakutan melihat Kalim seperti orang kesurupan memberikan ancaman yang cukup mengerikan.Aku bingung harus bagaimana dengan tubuh Kalim yang masih terbaring pingsan. Sementara Ayuk sudah berhenti menangis.“Ayuk, ini gimana?” tanyaku kepada Ayuk dengan rasa penuh kebingungan.“A-a-aku nggak tahu, Ti,” jawab Ayuk dengan raut kebingungan pula.Kedua tanganku memijit-mijit pelan pada jari kakinya Kalim. Aku benar-benar sangat takut jika terjadi apa-apa

  • Sang Putri: Sahabat Dari Surga   Adegan Tendang-tendangan dengan Kalim

    Aku terperanjat dari ranjang tempat tidur. Tentu saja pandanganku mengitari sekitar ruangan ini. Ternyata, aku baru saja terbangun dari mimpi yang aneh bersama … Si Hantu Wawan. Sebenarnya mimpi tersebut tidak bisa kupercaya begitu saja. Aku menyentuh leherku yang terasa ada benda yang menempel. Kalung yang diberikan oleh Wawan di dalam mimpiku menempel nyata di leher.Aku benar-benar sungguh bingung.“Wawan,” desisku sambil masih menyentuh kalung hadiah dari Si Hantu payah itu.Segera kukerjakan rutinitas seperti biasanya. Aku bisa sedikit bernapas lega, karena pihak sekolah memberikan libur selama tiga hari setelah liburan sekolah ke luar kota. Tercium aroma sedap yang berasal dari dapur. Aroma harum yang menusuk hidungku itu seolah-olah melarangku untuk pergi mandi. Ternyata Emak memasak kari ayam, nasi kebuli, dan roti maryam kesukaanku.“Siti, kamu setelah mandi jangan lupa bantuin emak ngasih sebagian kari ayam sama roti mar

  • Sang Putri: Sahabat Dari Surga   Permintaan Si Wawan

    “Siti, apakah kamu menyukai pantai ini?” tanya Wawan sambil berhenti menyeruput minuman. “Aku ….” Aku menundukan kepala, karena tidak memiliki jawaban yang tepat. “Jawablah tanpa keraguan,” ucap Wawan sekali lagi. “Aku menyukai tempat ini, tapi aku nggak tahu di mana ini. Memangnya … tempat ini di mana?” “Sebenarnya, aku mengajakmu jalan-jalan sebentar di tempat ini. Aku akan mengatakan. Sebelumnya, aku memintamu untuk menutup kedua bola mata.” “Memangnya ada apa?” Aku mengernyitkan dahi. Tiba-tiba saja salah satu tangannya menyentuh punggung tanganku. Terasa dingin. Kumiringkan kepala untuk melihat sinar dari bola matanya yang kian aneh. Bukan aneh menyeramkan, tetapi sinar bening bak mutiara yang membuat perasaanku semakin kagum. “Hey! Jangan melamun!” Lagi-lagi Wawan mengganggu kosentrasiku. Dasar Si Hantu payah! Si Hantu Wawan sama sekali tidak mengerti bahwa aku hanya memperhatikan sinar yang keluar dari kedua bola matanya. Sekara

  • Sang Putri: Sahabat Dari Surga   Mimpi Bertemu Wawan di Pantai yang Asing

    Aku sebenarnya tidak mengetahui secara pasti mengapa Sang Putri sepertiku bisa jatuh cinta kepada sosok hantu? Hal ini sangat aneh. Aku sangat berharap kalau sahabatku bernama Ayuk tidak pernah mengetahui perasaan aneh ini kepada seorang hantu. Namun, sampai kapan aku harus menyimpan rahasia besar ini? Hingga semua rambutku sudah memutih dan kulit wajahku keriput? Sangat mustahil! Aku terus saja teringat akan sosok hantu Wawan yang pernah menciumku. Hal itu merupakan ciuman pertama dan mungkin … terakhir. “Sitiii! Ah, kamu melamun saja. Memangnya kenapa, hayooo.” Lamunanku buyar gara-gara disinggung oleh Ayuk. Ia memang perusak suasana hatiku. “Nggak apa-apa, Ayuk. Ya sudah tidur lagi. Perjalanan pulang masih lumayan panjang!” celetukku sedikit kesal. Kulihat, sahabatku yang menyebalkan itu pun mengalah. Ayuk kembali tidur. Kusibakkan tirai jendela bus untuk melihat malam yang semakin gelap. Kini, usai sudah perjalananku di tempat-tempat wisata itu. A

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status