Vira menempelkan dagu pada sisi atas bulatan setir, dan terus memperhatikan setiap mobil yang masuk ke dalam area parkiran wali murid di sekolah putranya. Pagi-pagi sekali, Vira sudah berada di sekolah Awan untuk melihat sang putra yang sejak kemarin berada bersama Aga.
Sejak Aga meninggalkannya di hotel seorang diri, pria itu tidak mengangkat telepon dari Vira sama sekali. Padahal, Vira juga berhak tahu di mana keberadaan Awan, karena ketika Vira sampai di rumah, ia tidak melihat Aga ataupun sang anak ada di sana. Sang ART yang saat itu tengah menyetrika baju, hanya mengatakan kalau Aga mengajak Awan pergi, tapi tidak tahu dengan arah tujuannya.
Sepuluh menit kemudian, Vira melihat mobil Aga melewati gerbang sekolah, dan berjalan lambat di titik penurunan para murid yang melingkar tepat di depan gerbang. Sejurus kemudian, giliran mobil Aga yang berhenti dan
Manik Bening menyasar tajam pada Aga, yang sudah berdiri pada hall kedatangan Bandara Soekarno-Hatta. Ternyata, pria itu benar-benar menjemputnya siang ini. Padahal, Bening sudah berencana ingin melarikan diri ketika ia nantinya keluar dari terminal kedatangan. Akan tetapi, tatapan keduanya yang langsung bersirobok datar itu, membuat Bening tidak memungkinkan untuk menjalankan rencananya. Dengan terpaksa Bening menarik kopernya untuk menghampiri Aga. Tidak ada senyum, karena sejujurnya Bening tidak ingin pria itu menjemputnya seperti ini. “Katanya honeymoon di Bali, tapi besoknya sudah pulang dan sekarang masih cuti,” kesal Bening mulai membeo. “Harusnya, kalau cuti gini Bapak itu ngabisin waktu bareng istri! Nanti kalau ada yang lihat, orang bisa salah paham sama saya. Pasti, deh, saya dibilang pelakor.” Hal per
Modern minimalis, tapi terkesan mewah. Itulah yang Bening simpulkan ketika memasuki apartemen yang ditunjukkan oleh Aga. Memang tidak semewah apartemen milik Christ dengan private liftnya. Namun, suasana interior yang hangat dan juga nyaman, membuat Bening betah berlama-lama ada di dalam sana. Racun yang diberikan Aga kali ini, sungguhlah sempurna dan Bening sampai tidak mampu menolaknya. Akan tetapi … “Jadi, ini mau disewakan atau dijual ke saya, sih, sebenarnya?” tanya Bening seraya membuka pintu kamar utama di unit apartemen tersebut. Maniknya langsung meluncur pada tempat tidur yang berukuran king size yang terletak tepat di samping jendela. Tinggal membuka tirai yang ada di sampingnya, maka Bening akan bisa melihat pemandangan ibukota setiap saat, ketika ia hendak beristirahat. “Kamu suka?” tanya Aga mengaba
Aga mencekal tangan Bening yang baru saja melepas sabuk pengaman, dan hendak keluar dari mobil. “Apa kamu nggak punya jaket di kopermu, Ning?” tanya Aga yang sedari tadi sudah sakit kepala melihat penampilan Bening. “Ah, sweater yang kamu pakai waktu kita ketemu di lift?” Bening menggeleng enggan, karena sudah mengetahui apa maksud Aga. Pria itu pasti menginginkan Bening untuk menutup tubuh terbukanya. “Kotor, Pak. Lagian kenapa, sih? Har—” “Pake jaket saya kalau kamu mau ikut ke dalam,” titah Aga sambil melepas jaket bomber yang dipakainya. “Nggak, mau!” tolak Bening langsung menarik handle pintu lalu keluar dengan cepat. Meninggalkan Aga yang kini tengah memanggil-manggil namanya. Bening masuk dengan santai ke dalam halaman bengkel dan mencari-cari mobil putihnya y
Separuh kesal, separuh senang.Bening kesal dengan sikap Aga yang otoriter dan ngotot memaksanya untuk tinggal di apartemen. Namun, tentu saja Bening bukan gadis munafik, yang tidak senang jika diberi tempat tinggal gratis dan nyaman seperti sekarang. Hanya saja, sebuah fakta yang menunjukkan bahwa Aga menyukainya, membuat Bening menjadi serba salah.Bening juga jadi bertanya-tanya di dalam hati, mengenai ucapan Aga kepadanya. Benarkan kalau dirinya juga memiliki sedikit rasa pada Aga?Rasanya sungguh tidak masuk akal. Akan tetapi, ada satu hal yang menggelitik hati Bening saat ini. Bagaimana jika Vira tahu, kalau dirinya tengah menjalin hubungan dengan mantan suami wanita itu.Ah! Bening tidak bisa membayangkan bagaimana wajah Vira, jika hal itu sampai terjadi.
“Duduk dulu,” titah Ernest yang tengah duduk santai di teras rumah. Sengaja menunggu sang putra, yang menurut jadwal akan datang untuk menjemput Awan ke rumah. “Awan sama Mama?” tanya Aga lalu duduk pada kursi besi yang berada di samping meja bundar, yang bersebelahan dengan sang papa. Ernest mengangguk tanpa menolehkan wajah pada Aga. “Ada Vira juga di dalam.” Aga seketika mendesah panjang. Kalau sudah seperti ini, Vira justru membuat drama perceraian mereka semakin pelik. Andai tidak ada Bening, mungkin situasi Aga saat ini tidak akan terlalu memusingkan. Aga tidak berkomentar apapun. Ia memilih diam, dan menunggu kalimat apa lagi yang akan dimuntahkan oleh sang papa. Aga yakin, kalau kedatangan Vira ke rumah orang tua Aga adalah untuk mengadu tentang hubungan mere
“Sudah makan?” tanya Aga pada Bening, ketika gadis itu baru saja mengangkat telepon darinya. “Memangnya kalau belum, Bapak mau nganterin makan?” Bening balik bertanya. “Nggak masalah, kan?” tanya Aga lagi. “Saya nggak makan malam,” jawab Bening. “Jadi nggak usah repot-repot bawain makanan. Mending Bapak pulang ke rumah, terus tidur. Lagian saya capek, debat mulu sama Bapak.” Aga tidak menanggapi ocehan Bening setelahnya. Ia mematikan sambungan telepon secara sepihak, lalu menekan bel yang ada di samping pintu. Tidak butuh waktu lama, daun pintu itu terayun dan menampilkan sosok manis yang tengah merungut kesal kepadanya. “Mentang-mentang Bapak yang punya gedung, jadi bebas gitu, naik turun sesuka hati gini,” cerocos Beni
“Apa?”Aga membuka pintu, setelah mendengar bel apartemennya berbunyi tanpa henti. Sangat berisik, dan Aga sudah bisa menebak kalau Beninglah yang melakukan hal tersebut. Aga hanya membuka pintu sebesar ukuran tubuhnya dan berusaha fokus, untuk menatap manik Bening tanpa harus melihat ke arah lain.“Bukain pintu.” Bening merengek, tapi intonasi bicaranya seolah memerintah, bukannya memohon.“Pintunya sudah saya buka, mau masuk lagi?” Sekali-kali, gadis itu memang harus diperlakukan seperti sekarang. Mentang-mentang Aga bukan lagi atasannya, sikap Bening terlihat semakin melunjak kepadanya.“Bukan pintu punya Pak Aga, tapi punya saya.” Bening membalik separuh tubuhnya dan menunjuk pintu unitnya dengan menggunakan bibir yang
Pagi-pagi sekali, Aga sudah membaca sebuah notifikasi chat yang dikirimkan oleh Vira. Aga membukanya karena sebelumnya ia sudah berjanji, akan membalas chat dari wanita itu jika berhubungan dengan Awan. Benar saja, Vira memang mengirimkan chat yang membahas perihal anak mereka. “Awan ngajak ke Puncak, karena hari ini dia libur dan kita masih ada sisa cuti. Aku tunggu jam sembilan di rumah mamamu.” Detik itu juga Aga langsung menggeram seraya bangkit dari tidurnya. Semalam, Ernest memang telah mengabarkan kalau Vira menginap di rumah orang tua Aga. Ada keyakinan seratus persen kalau semua ini adalah rencana Arum untuk mendekatkan hubungan Aga dan Vira, dengan menggunakan Awan. Setelah bulan madu hanya berdua di Bali tidak berhasil, kali ini Arum sepertinya menyodorkan Awan untuk ikut dalam liburan mereka. Memangnya siapa lagi yang memiliki ide seperti ini jika bukan sang mama, yang dari awal memang tidak ingin Aga bercerai dengan Vira. Bagaimana Aga bisa meno