Mohan menikmati secangkir kopi hitamnya dari atas balkon kamarnya yang ada di lantai dua. Matanya menatap fokus ke atas langit, menatap ke arah ribuan bahkan jutaan bintang di langit yang malam ini tampak bersinar terang menemani kesunyiaan hati Mohan.
Galau, itulah kata yang menggambarkan suasana hati Mohan, karena untuk yang kedua kalinya ia dan Inka kembali berpisah. Entah, tidak tahu sampai kapan perpisahan ini berakhir. Jika yang perpisahan yang pertama saja membutuhkan waktu yang lama untuk mereka bisa kembali bersama, lalu berapa lama untuk perpisahan yang kedua ini?
Dalam hati Mohan bertanya-tanya sendiri, apakah yang sedang dilakukan Inka saat ini? Ingin rasanya ia mengubungi wanita itu, mendengar suaranya dan membicarakan banyak hal dengannya. Tapi, sayangnya Mohan tak kuasa untuk melakukan itu, terhitung baru beberapa hari mereka berpisah tak saling bertemu maupun memberikan kabar, dan rasanya baik Mohan ataupun Inka sudah sangat saling merindu.
RPagi-pagi sekali Kanz sudah rapi dengan pakaian kantornya, yupss, selama seminggu Kanz sudah memulai kehidupannya yang baru sebagai putra dari Hans Laurent. Selama seminggu ini pula Kanz menerima sekaligus melaksanakan permintaan papanya untuk mulai bekerja di kantor.Dan untuk yang pertama kalinya, pagi ini Kanz akan menghadiri rapat penting di kantornya. Dilanjutkan siang nanti bertemu dengan klien papanya, Mohan Alagra.Kanz mengingat jelas nama siapa itu, pemilik nama dari mantan kekasih Inka Maharani. Wanita yang di cintainya sekaligus wanitanya yang mematahkan hatinya, Inka tidak menerima cintanya.Kanz tersenyum kecut bila mengingat hari itu, tapi, sebisa mungkin ia menerimanya dengan hati yang luas dan berlapang dada. Kanz sadar jika hati tak bisa di paksakan, cinta tak harus memiliki. Begitulah kata-kata yang sering orang bilang, dan Kanz pun membenarkannya kali ini, ia cinta namun tak bisa memiliki Inka, begitulah gambarannya.Kanz keluar dari k
"Apakah ada sesuatu hal yang terjadi?" tanya Kanz saat dirinya sudah tak tahan ingin mengutarakan pertanyaan itu pada Mohan.Mohan menatap Kanz lekat, Kanz sendiri sampai risih di tatap seperti itu."Jangan menatapku dengan pandangan matamu yang seperti itu, sungguh, sangat terasa menggelikan. Anda jadi terlihat seperti pria frustasi yang melenceng menjadi penyuka sesama jenis." ucap Kanz merasa jijik dengan cara Mohan yang melihatnya seperti itu."Aku rasa, ucapan anda barusan yang terdengar sangat menjijikan." dengkus Mohan muak mendengar ucapan Kanz."Dengar, segalau dan se-frustasinya aku, aku tetap normal dan tidak akan melenceng pada kodratku untuk mencintai lawan jenis." sambung Mohan tak terima jika Kanz menyudutkannya sebagai homo."Hhh, baiklah. Terserah, itu malah sangat bagus. Sekarang, kita kembali ke pokok pembahasan kita tadi.""Eh iya, sampai mana tadi?" ulang Mohan panik."Tenanglah pak Mohan, kita b
"Nak, Kanz!" kaget bu Ina saat melihat siapa tamunya yang datang ke rumah."Tante," sahut Kanz menyapa, seperti biasa Kanz mencium punggung tangan kanan orang yang lebih tua darinya"Ada apa nak Kanz datang kesini? Mau ketemu Inka ya?" tanya bu Ina.Kanz mengangguk. "Iya, Inkanya ada di rumah kan, tante?""Iya, Inka ada di rumah, dia lagi ada di kamarnya tuh.""Boleh panggilkan sebentar tante?" tanya Kanz merasa tak enak."Langsung masuk saja ke dalam kamarnya nak Kanz, tante gak jamin kalau dia mau keluar.""Loh, kenapa tan?""Oh gak apa-apa, anak itu memang biasa begitu kalau lagi ngambek." bohong ibu Ina.Kanz tersenyum kikuk. "Kalau gitu, Kanz langsung masuk menemui Inka ke kamarnya ya tante." pamit Kanz meminta izin.Bu Ina mengangguk, Kanz langsung berjalan melangkahkan kakinya masuk menuju kamar Inka.Kanz sudah berdiri di depan kamar Inka, di tatapnya pintu kamar itu sebelum
"Bagaimana?" tanya Kanz setelah selesai membisikkan rencananya pada Inka."Kau gila!" maki Inka dengan ide rencana Kanz yang luar biasa.Kanz meringis mendengar ucapan Inka yang mengatainya gila, gila-gila gini ide Kanz lumayan bermanfaat loh walaupun beresiko."Itu sangat bahaya sekali.""Bahaya darimana?""Bagaimana jika kedua orang tuaku mengetahuinya?""Gak mungkin! Kedua orang tuamu tidak akan sampai mengetahuinya. Mereka berdua juga punya kesibukan, kan setiap hari?""Iya, tapi tetap saja itu sangat berbahaya Kanz." ucap Inka cemas."Ah, kau itu terlalu kolot." umpat Kanz merasa kesal pada Inka."Jadi kau tetap memilih seperti ini saja?" Inka menggeleng."Lalu bagaimana? Apa yang akan kau lakukan?" Inka menggeleng lagi di tambah mengendikkan kedua bahunya tanda tak tahu.Kanz menepuk jidatnya merasa pusing menghadapi orang seperti Inka."Terserah!" kata Kanz pada a
"Hai, Bio." sapa Inka pada Bio yang tampak sibuk membersihkan tempat jualan jus mereka."Inka!" pekik Bio senang melihat kehadiran Inka."Apa kaberong cinn?" tanya Bio memeluk Inka dengan aksen kata seperti banci."Hah?" Inka menatap ke arah Kanz yang memasang ekspresi mual mau muntah."Apa kabar maksudnya." jelas Bio menepuk bahu Inka pelan."Oooh, kabarku baik. Bio apa kabar?" Inka melepaskan pelukan Bio."Luar biasa sangat baik, bekerja menjual jus satu harian sendirian tanpa ada teman yang membantu." Bio melirik ke arah Kanz.Kanz langsung membuang muka ke arah lain saat mengerti arti lirikan Bio padanya."Sendirian?" ulang Inka."Iya, tentu saja sendirian. Karena kini temanku sudah beralih menjadi bos besar yang kaya raya, dan temanku yang satu lagi menghilang tanpa jejak setelah si bos besar menyatakan perasaan cinta padanya."Jlebbb.Kata-kata Bio sungguh telak sekali untuk Ka
Mohan dan Inka masih setia saling menatap, kedua tangan mereka pun masih saling bertautan dan enggan untuk melepaskan. Rasanya sangat berat untuk berpisah kembali, padahal besok mereka akan bertemu lagi seperti hari ini di tempat biasa."Pulanglah, besok aku akan kemari lagi dari siang saat jam istirahat kerja." ucap Mohan sebagai salam perpisahan menyuruh Inka pulang.Inka menganggukkan kepalanya, tetapi tautan tangan mereka tak kunjung terlepas membuat dua manusia yang ada di dekat mereka pun merasa sebal.Bio yang iseng memegang kedua tangan Kanz tiba-tiba, Kanz terlonjak kaget karenanya. Mendelikkan matanya melihat apa yang Bio lakukan.Bio yang di polototin begitu bukannya takut malah kini tersenyum manis dengan mata yang sengaja ia kedip-kedipkan berulang kali. Kanz menepiskan tangan Bio yang menggenggam tangannya, bergidik jijik melihat temannya ini yang makin hari seperti banci kaleng rombeng."Sadarlah Bio! Itu menjijikkan, aku masih
Seseorang yang ada di dalam mobil miliknya tersenyum memperhatikan rumah Inka dari kejauhan. Baru saja ia melihat sebuah mobil yang melaju menjauh meninggalkan rumah Inka.Seseorang itu sangat tahu jika si pengemudi mobil tersebut adalah Kanz Laurent, anak orang kaya pebisnis sukses Hans Laurent. Siapa yang tidak tahu dan tak mengenal keluarga itu sejak pemberitaan yang tidak berapa lama ini mengungkapkan jika Kanz itu ternyata anak dari Hans Laurent.Ia sendiri sempat terkejut dengan pemberitaan itu, pasalnya ia mengenal Kanz selama ini selalu bersama dengan Inka. Jadi dia pikir Kanz itu adalah pemuda biasa saja, tapi nyatanya fakta berkata lain.Orang tersebut mengambil ponselnya yang tergeletak di dashboard mobil, tersenyum sumringah melihat hasil jepretan foto-foto yang di ambilnya tadi siang sebagai bukti.Bukti yang akan menunjukkan jika putri kesayangan mereka tak benar-benar menepati janjinya untuk tidak menemui pria yang bernama
"Kenapa diam saja?" tanya Kanz memperhatikan Inka yang sedari tadi hanya diam, bahkan saat sedang bersama Mohan pun Inka juga diam tak banyak bicara.Saat ini mereka berdua tengah di dalam mobil Kanz, seperti biasa Kanz menjemput Inka setiap pagi dan mengantarkan Inka pulang pada malam harinya."Entah kenapa perasaanku tak enak Kanz, aku merasa seperti sedang terjadi sesuatu hal yang buruk." ungkap Inka mengatakan hal yang meresahkan hatinya sejak dari tadi."Jadi, apakah karena itu kau hanya diam saja?" Inka mengangguk."Perasaan ku tak tenang Kanz." ungkap Inka lagi makin cemas.Kanz yang melihat kecemasan Inka pun ikut merasakan tak tenang, Kanz memberhentikan seraya menepikan mobilnya di pinggir jalan yang tak terlalu ramai."Jadi, bagaimana?" tanya Kanz menatap Inka."Entahlah, aku merasa takut ingin pulang ke rumah." lirih Inka yang juga menatap Inka dengan raut wajah memucat."Apa sebaiknya kau tidak usah pulang? B