Mohan masih memantau rumah Inka dari jarak yang tak terlalu jauh, ia sengaja menunggu Inka keluar di dalam mobilnya. Sebenarnya, ia sangat ingin kembali mengetuk pintu rumah Inka kembali. Tetapi, Mohan masih sadar diri untuk tidak membuat keributan di pagi hari di rumah orang lain.
Jadi untuk itu, ia akan tetap menunggu Inka sampai keluar. Meskipun Mohan tidak yakin jika Inka bakalan keluar rumah.Wajah Mohan berubah ceria saat ia melihat Inka keluar dari rumahnya bersama ayahnya. tampak ayah Inka naik ke sepeda motor miliknya, ayah Inka menghidupkan mesin sepeda motornya kemudian berpamitan pada Inka.Inka melambaikan tangannya pada sang ayah yang melesat pergi meninggalkan rumah, Mohan tahu jika ayah Inka pergi bekerja. "Mama, aku pamit pergi sebentar ya!!" teriak Inka dari luar rumah berpamitan pada ibunya.Mohan tersenyum melihat Inka, kebiasaannya yang seperti itu masih sama, Inka-nya masih seperti yang dulu. Manis, lucu, manja, dan masih tetap menggemaskan.Mohan bersiap-siap menghidupkan mesin mobilnya saat melihat Inka keluar dari rumahnya dan memanggil tukang ojek yang mangkal dekat sekitar area perumahan. Rencananya hari ini Mohan akan terus mengikuti segala aktivitas Inka satu harian penuh.Istilahnya, Mohan akan jadi PENGUNTIT Inka. Mohan meringis saat ia menyebut dirinya sendiri sebagai penguntit.Mohan masih tetap saja terus mengikuti Inka dari belakang. Cukup lama Mohan mengikuti Inka, lalu ojek yang Inka tumpangi berhenti di sebuah rumah.Inka turun dan membayar uang ongkos ojeknya. Dahi Mohan berkerut bingung melihat Inka ke rumah tersebut. Mau apa dia kerumah itu? batin Mohan bertanya-tanya.Mohan ingin ikut masuk ke dalam rumah itu, ia ingin melihat apa yang dilakukan Inka di dalam sana. Tapi, lagi-lagi otak warasnya mencegah dirinya untuk tak berbuat nekat.20 menit kemudian..."Kenapa dia lama sekali!" dengus Mohan seraya melirik arloji mahalnya yang melingkar di tangan kanannya.Kesal sudah Mohan menunggu Inka yang tak kunjung keluar dari rumah itu. Sebenarnya, apa sih yang di lakukan perempuan itu di dalam sana!"Apa aku harus menyusulnya," Mohan seakan tengah berpikir dan menimbang-nimbang antara ingin menyusul Inka ke dalam sana, atau tetap setia menunggu Inka di dalam mobilnya.Tak tahan juga akhirnya Mohan pun memutuskan untuk menyusul Inka. Gerakan Mohan yang ingin melepaskan saefty belt-nya terhenti ketika melihat Inka keluar dari rumah tersebut bersama satu orang wanita lainnya.Mereka berdua terlihat tampak sedang terlibat sebuah obrolan serius sambil di selingi canda tawa. Mohan tak tahu apa yang sedang mereka bicarakan.Inka melambaikan tangan pada temannya sebelum berpamitan pergi. dan Mohan sih penguntit kembali sigap mengikuti kemana pun Inka pergi.********Lelah, hampir sudah setengah harian Mohan mengikuti Inka bak bodyguard mengikuti majikannya. Hingga siang hari ini yang terasa sangat panas, Inka memutuskan makan di cafe yang cukup ramai.Mohan sangat bersyukur karena Inka memilih cafe, setidaknya Mohan bisa beristirahat sebentar dan makan siang untuk mengganjal perutnya yang sedari pagi belum di isi asupan makanan sama sekali.Setelah mengatakan menu yang di inginkannya pada pelayan, tak lama pesanannya pun datang.Mata Mohan tak pernah berhenti terus memantau Inka dari kejauhan di tempat duduk yang sekarang ini ia duduki. Beruntunglah karena Inka duduk membelakanginya, sehingga Mohan dengan bebas dan tak perlu menutup wajahnya agar tak kelihatan Inka.Inka terlihat begitu sangat lahap menyantap pesanannya. Hampir setengah harian ini ia berkeliling dan mendatangi rumah temannya, berharap jika temannya itu mungkin memiliki lowongan pekerjaan untuknya bekerja. Dimana pun dan apapun pekerjaannya selagi halal, maka tentu saja Inka mau dan bersedia bekerja.Tapi sayangnya, temannya tadi mengatakan jika ia tak ada lowongan pekerjaan untuk Inka di tempatnya bekerja. Dan temannya itu berpesan, jika nanti ada lowongan pekerjaan maka ia akan dengan senang hati mengabari Inka.Inka pun tersenyum puas mendengar ucapan temannya yang seperti menjanjikan. Setelahnya Inka kembali mendatangi rumah temannya yang lain, barangkali ada lowongan pekerjaan untuknya.Lelah karena pada akhirnya jawaban yang Inka dapat tetap sama. Inka pun tak patah semangat mendengarnya, setidaknya ia sudah berusaha bukan?Rasa lapar, dahaga dan lelah. Membuat Inka terdampar ke tempat ini, beruntung Inka masih mempunyai sedikit uang untuk makan disini.Cafe yang tak terlalu besar dengan harga makanan yang masih dapat di jangkau dompetnya. Sehingga membuat cafe ini selalu ramai pengunjung, termasuk Inka yang sering datang kemari.Inka merasa jengah saat dari tadi dirinya di tatap seperti itu oleh seorang pria. Pria yang menurut Inka sangat genit, menatapnya dengan tangan menumpu di dagu dan tersenyum manis.Harus Inka akui sih, jika pria itu sangat tampan dan... Ah tidak, Inka menggelengkan kepalanya saat kata seksi terlintas di pikirannya.
Merasa jengah terus di perhatikan, dengan cepat Inka menghabiskan makanannya dan bersiap pergi. Tapi, pria itu kini mendekat ke arah tempatnya dan duduk di depannya, seakan mencegah Inka untuk pergi."Apa?!" tanya Inka galak dengan mata melotot. Pria itu bukannya merasa tersakiti malah kini tergelak, tertawa geli melihat tingkah Inka yang lucu di matanya.Dan hal itu tak luput dari pengamatan Mohan. Mohan terlihat duduk gelisah melihat Inka bersama seorang pria yang tak di kenalnya. Apalagi pria yang kini bersama Inka menebarkan senyum yang menurut Mohan seperti tertarik pada Inka."Sialan!" geram Mohan mengepalkan tangannya.Siapa pria itu?"Kenapa tertawa, huh?!" tanya Inka dengan masih memakai intonasi suara yang marah, dan mata melotot.Semua itu Inka lakukan agar pria asing yang aneh ini takut padanya. Tapi, yang ada bukannya takut. malah pria itu tertawa cekikikan.Apa dia gila?batin Inka was-was.Inka melipat kedua tangannya di dada dan membuang muka ke arah lain, jengah plus jengkel dengan pria sinting ini.Pria itu menghentikan tawanya, sedikit berdeham agar menormalkan suaranya yang tadi habis tertawa."Nona cantik, apa aku boleh mengenalmu? Ehmm, maksudku, boleh berkenalan?" tanya pria itu membuka obrolan yang pertama kalinya di antara mereka berdua.Mau minta berkenalan toh rupanya.dengus Inka dalam hatinya.Inka memutar kembali wajahnya ke arah pria itu, menatap tepat ke wajah tampan yang murah tersenyum.Inka berdeham seraya mengulurkan tangan kanannya ke arah pria itu yang langsung di sambut hangat olehnya."Inka Maharani," beritahu Inka dengan nada
Mohan pulang dengan rasa amarah yang luar biasa, bagaimana mungkin ia bisa kehilangan jejak Inka saat keluar dari cafe tadi. Mohan tak menghiraukan tatapan takut dari bi Mirna sang asisten rumah tangga yang bekerja di rumahnya.Mohan melangkahkan kakinya menaiki tangga menuju kamarnya yang ada di lantai atas.Cklek...Amarah Mohan mendidih begitu membuka pintu kamarnya dan melihat tubuh seorang wanita yang nyaris telanjang. Wanita yang dengan santainya tidur di ranjangking size-nyahanya mengenakan pakaian dalam saja, belum lagi berpose seksi bak model majalah dewasa."Apa yang kau lakukan di sini!!!" bentak Mohan menggelegar.Wanita itu bukannya takut malah tersenyum manis menyambut kedatangan Mohan."Siapa yang mengizinkan mu menginjakkan kaki ke rumah ku!!" lagi Mohan membentak, rasanya amarahnya yang sejak tadi tak bisa ia tahan lagi."Bi Mirna!!!!!" teriakan Mohan kali ini yang memanggil nama bi Mirn
Habis yang bikin kesel2 gemes, sekarang aku kasih yang manis-manis kyak akohInka tersadar jika ia kehilangan tasnya saat kejadian memalukan di cafe seminggu yang lalu. Inka mendesah lirih karena merasa kehilangan tas kesayangannya, tas selempang sederhana yang begitu sangat ia sayangi. berat rasanya jika kehilangan tas itu. tapi mau bagaimana lagi, di cari pun tak mungkin ketemu lagi, kan?Untung saja ponsel Inka tak ikut tertinggal di dalam tas itu, saat itu ponsel miliknya sengaja Inka kantongi di dalam celana jeans yang saat itu ia kenakan. Kebiasaan Inka untuk berjaga-jaga jika terjadi sesuatu hal yang tak mengenakan, dan hal itu pun benar adanya, di saat ia kehilangan tas tetapi ponselnya tetap aman bersamanya.Tetapi, Inka harus merelakan uangnya yang tak banyak di dalam tas itu. Tak apalah, Inka bisa mencarinya lagi, mungkin memang bukan rezekinya memiliki uang itu."Huffftt," helaan nafas kasar Inka.Sampai sekarang Ink
"Selamat pagi Kanz." sapaan ceria Inka pada Kanz dan satu teman prianya.Kanz terperangah dengan penampilan Inka hari ini, Inka sungguh luar biasa sangat cantik."Selamat pagi juga Inka," Kanz membalas sapaan Inka setelah dirinya tersadar jika sudah terlalu lama mengangumi Inka."Apa aku terlambat di hari pertamaku bekerja?" tanya Inka cemas, karena ia memang sangat sulit untuk bangun pagi dan belum lagi berdandan.Kanz menggeleng. "Tidak Inka, lagian juga kita mulai buka jualannya agak siangan."Kepala Inka manggut-manggut sambil mulutnya menggerakkan huruf O."Oh iya, kenalkan ini temanku. Namanya, Bio." ujar Kanz memperkenalkan temannya."Hai, aku Bio." teman Kanz memperkenalkan dirinya seraya mengulurkan tangan ke arah Inka."Bio-Biodata?" kekeh Inka merasa geli mendengar nama teman Kanz ini."Bisa jadi," gurau Bio yang tak mempermasalahkan hal itu."Aku, Inka Maharani. Ehmm, kau bisa memanggilku Inka saja."
Mohan sudah sampai di tempat janji temu dengan kliennya, kliennya meminta pertemuan mereka di lakukan di luar kantor. Dan disinilah Mohan berada, menunggu sang klien sampai di cafe yang sudah mereka pesan.Cukup lama Mohan menunggu, tak lama seorang pria paruh baya namun masih terlihat sangat tampan dan gagah.Mohan langsung berdiri dari duduknya menyambut sang klien. "Selamat siang tuan Hans Laurent."Mohan mengulurkan tangannya ingin berjabat tangan dengan tuan yang ia panggil Hans Laurent itu. Tuan Hans Laurent menyambut uluran tangan Mohan."Selamat siang juga tuan Mohan.""Ah, mari silahkan duduk." Mohan mempersilakan tuan Hans untuk duduk di kursi di depannya."Terima kasih," balas tuan Hans seraya duduk."Baiklah, mari kita mulai saja tujuan kita kesini. Tentang rencana kerjasama mengenai bisnis kita."Tuan Hans mengangguk. "Tuan Mohan bisa memulainya lebih dulu."Mohan tersenyum dan langsung berbicara mengenai bi
Kanz menoleh ke belakang saat merasakan punggungnya di tepuk seseorang. Wajah wanita yang belakangan ini menarik sekaligus memikat hatinya lah sebagai pelaku yang menepuk punggungnya."Inka, ini sungguh kau?" tanya Kanz takjub sekaligus pangling dengan penampilan Inka hari ini.Inka mengangguk seraya tersenyum geli melihat tingkah Kanz yang seperti hampir tak mengenalinya."Iya, ini aku Inka, Kanz!" ucap Inka nyaris teriak gembira."Astaga! Aku hampir saja tak mengenalimu loh." kekeh Kanz mengacak rambut baru berponi Inka.Inka mendengus sebal seraya menepiskan tangan Kanz yang mengacak rambut barunya."Pipimu jadi kelihatan tirus Inka," goda Kanz memperhatikan wajah Inka dengan jarak dekat."Mana pipi cabimu yang selalu bikin aku gemas ini." Kanz mencubit gemas kedua pipi Inka, membuat Inka mengadu kesakitan."Uhm, sakit Kanz!""Masa sih? aku kan cuma menyubit pelan pipimu, seperti ini—" Inka langsung menghenti
Kanz menatap jalanan dari jendela rumah kontrakannya, rumah kontrakan sederhana yang ia sewa bersama Bio. Sedikit banyaknya Bio tahu tentang kehidupan seorang Kanzeel Laurent."Kau berbohong padanya Kanz," ujar Bio pada Kanz yang saat ini fokus menatap ke arah jalanan.Kanz sama sekali tak bergeming dengan ucapan temannya itu, membuat Bio merasa gemas melihatnya."Ayolah Kanz, sebaiknya kau jujur saja pada Inka mengenai dirimu yang sebenarnya." sambung Bio lagi agar Kanz mau jujur pada Inka."Aku takut dia tidak akan menerima ku lagi sebagai temannya, kau tahu kan Bio, hubungan pertemanan kami baru saja di mulai." lirih Kanz sedih."Dia akan lebih terluka jika kau tak jujur dari awal padanya Kanz, dia akan menganggap jika kau hanya memanfaatkan dirinya saja dengan kebohonganmu."Kanz terdiam, tampak ia sedang mencerna ucapan temannya yang sebenarnya ada benarnya juga."Aku tidak bisa Bio, Maaf." lirih Kanz lagi yang kini bangkit berdiri dan berjala
Bio mengkode pada Inka jika Mohan sudah pergi, secepat kilat Inka melepaskan pelukannya pada Kanz, menendang kaki Kanz serta mendorong tubuhnya. Membuat Kanz yang tak siap pun terjengkang jatuh terhempas ke belakang."Awhh!" ringis Kanz kesakitan saat punggungnya jatuh menyentuh tanah dan nyeri pada kakinya yang di tendang Inka."Rasakan itu!" ledek Inka kesal pada Kanz.Kanz dengan cepat bangkit berdiri susah payah dan langsung meraih memegang tangan Inka, tapi dengan cepat pun Inka menepisnya."Jangan sentuh aku, dasar pembohong!" umpat Inka menatap nyalang Kanz.Bio hanya terdiam di tempatnya tanpa bisa membantu ataupun menengahi suasana yang terjadi antara Kanz dan Inka."Dengarkan aku dulu Inka-""Tidak!""Aku bisa jelasin semuanya-""Tidak!" sentak Inka cepat dan selalu memotong ucapan Kanz.Hhhhh. Kanz menghela nafasnya berat seraya menghembuskan nafasnya kasar."Kau bilang, jika kau terlahir dari keluarga tak mampu dan s