Share

5. Pria sinting

"Kenapa tertawa, huh?!" tanya Inka dengan masih memakai intonasi suara yang marah, dan mata melotot.

Semua itu Inka lakukan agar pria asing yang aneh ini takut padanya. Tapi, yang ada bukannya takut. malah pria itu tertawa cekikikan.

Apa dia gila? batin Inka was-was.

Inka melipat kedua tangannya di dada dan membuang muka ke arah lain, jengah plus jengkel dengan pria sinting ini.

Pria itu menghentikan tawanya, sedikit berdeham agar menormalkan suaranya yang tadi habis tertawa.

"Nona cantik, apa aku boleh mengenalmu? Ehmm, maksudku, boleh berkenalan?" tanya pria itu membuka obrolan yang pertama kalinya di antara mereka berdua.

Mau minta berkenalan toh rupanya. dengus Inka dalam hatinya.

Inka memutar kembali wajahnya ke arah pria itu, menatap tepat ke wajah tampan yang murah tersenyum.

Inka berdeham seraya mengulurkan tangan kanannya ke arah pria itu yang langsung di sambut hangat olehnya.

"Inka Maharani," beritahu Inka dengan nada dan gaya yang cuek.

Pria itu tersenyum mendengar suara Inka. Nama yang cantik, se-cantik wajahnya. Suaranya juga sangat indah meskipun dia terkesan cuek, tapi dia sangat menarik. batin pria itu memuji segala keindahan yang ada di diri Inka.

Pria itu tak ingin mengungkapkan pujiannya secara gamblang di hadapan Inka. Takutnya, Inka akan berpikiran jika ia sedang menggombal.

"Kanzeel," ucapnya seraya menatap Inka lekat. 

"Namaku, Kanzeel Laurent." sambungnya lagi mengatakan nama lengkapnya.

Inka mengangguk seraya ingin melepaskan tautan tangannya dan Kanzeel. Tapi Kanz, sepertinya tak ingin melepaskan tangan Inka yang terasa sangat lembut dan halus saat bersentuhan dengan tapak tangannya.

"Oh, maaf." ucap Kanz tersadar dengan perbuatannya.

Inka tak menjawab, ia lebih memilih menyatukan kedua tapak tangannya hingga bersentuhan menjadi satu genggaman.

"Inka, berapa umurmu?"

"22 tahun."

"Masih kuliah?"

"Tidak, aku tidak kuliah. Aku hanya tamatan SMK." 

"Sudah bekerja?"

"Su—baru di pecat." jawab Inka tersendat di awal kalimatnya.

Kanz mengangguk seraya diam, ia tak bertanya lagi pada Inka.

"Sudah selesai?"

"Apanya?" tanya Kanz bingung.

"Pertanyaan mu, bukannya kau sedang mewawancarai ku saat ini?" 

"Hahahaha," pecah sudah tawa Kanz mendengar ucapan Inka. 

Ia baru tersadar jika apa yang di lakukannya seperti sedang menginterview pelamar kerja.

"Oh Inka, maafkan aku yang mungkin sudah kelewat lancang. Kau tahu, aku sangat ingin mengenalmu." ungkap Kanz jujur.

"Kenapa?" tanya Inka heran. "Kenapa kau sangat ingin mengenalku?"

"Entahlah, aku langsung tertarik hanya dengan melihat mu dari pandangan pertama." sahut Kanz yang masih setia menatap lekat Inka.

Begitu juga Inka yang tanpa sadar tengah menatap lekat Kanz. Hanya beberapa detik, seolah tersadar Inka kemudian mengalihkan tatapannya dan berdeham cukup kuat untuk menghilangkan rasa gugupnya yang tiba-tiba menyerang.

Kanz berusaha bersikap santai di depan Inka, meskipun kenyataannya ia lebih sangat gugup luar biasa. Hanya dengan lewat tatapan mata saja, Inka mampu menggetarkan hati Kanz yang selama ini membeku.

Kanz dan Inka tak menyadari tatapan nyalang dan penuh amarah dari sudut meja di belakang mereka. Kepalan tangan Mohan semakin kuat sehingga membuat buku jari-jarinya memutih.

Rahangnya mengeras melihat ke—akraban dan kedekatan interaksi yang terjadi di antara mantan kekasihnya dan pria asing sok tampan itu.

Mohan berdiri dan berjalan ke arah meja Inka, ia bersiap akan mengusir paksa pria itu agar jauh-jauh dari Inka—nya.

"Jadi, ini yang kau lakukan di belakangku!!" ucap Mohan dengan nada cukup kuat.

Inka dan Kanz otomatis melihat ke arah sumber suara, dan seketika Inka terbelalak kaget.

Kenapa dia ada disini? batin Inka tak suka melihat kehadiran Mohan.

Mohan harus menahan amarahnya yang seakan mau meledak, ia juga harus merelakan persembunyiannya yang menjadi penguntit hari ini.

"Siapa dia?" tanya Mohan berlagak sok seperti kekasih Inka saja.

Hal ini pun menarik perhatian para pengunjung cafe lainnya, tanpa sadar Mohan menjadikan hal ini sebagai tontonan yang menarik untuk mereka.

"Inka, jawab aku! Siapa dia?!" ulang Mohan bertanya hampir berteriak.

Kanz menoleh bingung secara bergantian ke arah Inka dan Mohan. Ia ingin bertanya, sebenarnya ada apa ini? Tapi begitu melihat raut wajah Mohan yang tampak marah, Kanz mengurungkan niatnya dan berusaha menjelaskan apa yang terjadi di antara mereka.

"Maaf, tuan—"

"Diamlah! Aku tidak bertanya padamu. Aku bertanya pada kekasihku." ucap Mohan dengan sangat pedenya masih menganggap Inka kekasihnya.

Inka melotot tajam ke arah Mohan, tampak sekali tatapannya sarat akan ketidak sukaan dan kebencian yang begitu terpancar untuk Mohan.

"Aku bukan kekasihmu!!!" teriak Inka akhirnya mengeluarkan suaranya yang tadinya tercekat.

Setelah mengatakan itu Inka berbalik badan dan pergi keluar dari cafe yang langsung di kejar Mohan. Kanz yang masih bingung hanya bisa berdiam diri seraya melihat kepergian Inka dan pria tadi.

Kanz menoleh ke meja dan menemukan tas milik Inka, ia mengambil tas Inka yang tergeletak di meja dan mengabaikan tatapan para pengunjung cafe yang menatapnya penuh dengan tanda tanya.

Ia genggam tas Inka seraya tersenyum, entah kenapa Kanz begitu bersyukur dengan ini. Tas Inka ketinggalan, apakah itu berarti mereka akan bertemu kembali? 

Yah, semoga saja!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status