"Kenapa tertawa, huh?!" tanya Inka dengan masih memakai intonasi suara yang marah, dan mata melotot.
Semua itu Inka lakukan agar pria asing yang aneh ini takut padanya. Tapi, yang ada bukannya takut. malah pria itu tertawa cekikikan.Apa dia gila? batin Inka was-was.Inka melipat kedua tangannya di dada dan membuang muka ke arah lain, jengah plus jengkel dengan pria sinting ini.Pria itu menghentikan tawanya, sedikit berdeham agar menormalkan suaranya yang tadi habis tertawa."Nona cantik, apa aku boleh mengenalmu? Ehmm, maksudku, boleh berkenalan?" tanya pria itu membuka obrolan yang pertama kalinya di antara mereka berdua.Mau minta berkenalan toh rupanya. dengus Inka dalam hatinya.Inka memutar kembali wajahnya ke arah pria itu, menatap tepat ke wajah tampan yang murah tersenyum.Inka berdeham seraya mengulurkan tangan kanannya ke arah pria itu yang langsung di sambut hangat olehnya."Inka Maharani," beritahu Inka dengan nada dan gaya yang cuek.Pria itu tersenyum mendengar suara Inka. Nama yang cantik, se-cantik wajahnya. Suaranya juga sangat indah meskipun dia terkesan cuek, tapi dia sangat menarik. batin pria itu memuji segala keindahan yang ada di diri Inka.Pria itu tak ingin mengungkapkan pujiannya secara gamblang di hadapan Inka. Takutnya, Inka akan berpikiran jika ia sedang menggombal."Kanzeel," ucapnya seraya menatap Inka lekat. "Namaku, Kanzeel Laurent." sambungnya lagi mengatakan nama lengkapnya.Inka mengangguk seraya ingin melepaskan tautan tangannya dan Kanzeel. Tapi Kanz, sepertinya tak ingin melepaskan tangan Inka yang terasa sangat lembut dan halus saat bersentuhan dengan tapak tangannya."Oh, maaf." ucap Kanz tersadar dengan perbuatannya.Inka tak menjawab, ia lebih memilih menyatukan kedua tapak tangannya hingga bersentuhan menjadi satu genggaman."Inka, berapa umurmu?""22 tahun.""Masih kuliah?""Tidak, aku tidak kuliah. Aku hanya tamatan SMK." "Sudah bekerja?""Su—baru di pecat." jawab Inka tersendat di awal kalimatnya.Kanz mengangguk seraya diam, ia tak bertanya lagi pada Inka."Sudah selesai?""Apanya?" tanya Kanz bingung."Pertanyaan mu, bukannya kau sedang mewawancarai ku saat ini?" "Hahahaha," pecah sudah tawa Kanz mendengar ucapan Inka. Ia baru tersadar jika apa yang di lakukannya seperti sedang menginterview pelamar kerja."Oh Inka, maafkan aku yang mungkin sudah kelewat lancang. Kau tahu, aku sangat ingin mengenalmu." ungkap Kanz jujur."Kenapa?" tanya Inka heran. "Kenapa kau sangat ingin mengenalku?""Entahlah, aku langsung tertarik hanya dengan melihat mu dari pandangan pertama." sahut Kanz yang masih setia menatap lekat Inka.Begitu juga Inka yang tanpa sadar tengah menatap lekat Kanz. Hanya beberapa detik, seolah tersadar Inka kemudian mengalihkan tatapannya dan berdeham cukup kuat untuk menghilangkan rasa gugupnya yang tiba-tiba menyerang.Kanz berusaha bersikap santai di depan Inka, meskipun kenyataannya ia lebih sangat gugup luar biasa. Hanya dengan lewat tatapan mata saja, Inka mampu menggetarkan hati Kanz yang selama ini membeku.Kanz dan Inka tak menyadari tatapan nyalang dan penuh amarah dari sudut meja di belakang mereka. Kepalan tangan Mohan semakin kuat sehingga membuat buku jari-jarinya memutih.Rahangnya mengeras melihat ke—akraban dan kedekatan interaksi yang terjadi di antara mantan kekasihnya dan pria asing sok tampan itu.Mohan berdiri dan berjalan ke arah meja Inka, ia bersiap akan mengusir paksa pria itu agar jauh-jauh dari Inka—nya."Jadi, ini yang kau lakukan di belakangku!!" ucap Mohan dengan nada cukup kuat.Inka dan Kanz otomatis melihat ke arah sumber suara, dan seketika Inka terbelalak kaget.Kenapa dia ada disini? batin Inka tak suka melihat kehadiran Mohan.Mohan harus menahan amarahnya yang seakan mau meledak, ia juga harus merelakan persembunyiannya yang menjadi penguntit hari ini."Siapa dia?" tanya Mohan berlagak sok seperti kekasih Inka saja.Hal ini pun menarik perhatian para pengunjung cafe lainnya, tanpa sadar Mohan menjadikan hal ini sebagai tontonan yang menarik untuk mereka."Inka, jawab aku! Siapa dia?!" ulang Mohan bertanya hampir berteriak.Kanz menoleh bingung secara bergantian ke arah Inka dan Mohan. Ia ingin bertanya, sebenarnya ada apa ini? Tapi begitu melihat raut wajah Mohan yang tampak marah, Kanz mengurungkan niatnya dan berusaha menjelaskan apa yang terjadi di antara mereka."Maaf, tuan—""Diamlah! Aku tidak bertanya padamu. Aku bertanya pada kekasihku." ucap Mohan dengan sangat pedenya masih menganggap Inka kekasihnya.Inka melotot tajam ke arah Mohan, tampak sekali tatapannya sarat akan ketidak sukaan dan kebencian yang begitu terpancar untuk Mohan."Aku bukan kekasihmu!!!" teriak Inka akhirnya mengeluarkan suaranya yang tadinya tercekat.Setelah mengatakan itu Inka berbalik badan dan pergi keluar dari cafe yang langsung di kejar Mohan. Kanz yang masih bingung hanya bisa berdiam diri seraya melihat kepergian Inka dan pria tadi.Kanz menoleh ke meja dan menemukan tas milik Inka, ia mengambil tas Inka yang tergeletak di meja dan mengabaikan tatapan para pengunjung cafe yang menatapnya penuh dengan tanda tanya.Ia genggam tas Inka seraya tersenyum, entah kenapa Kanz begitu bersyukur dengan ini. Tas Inka ketinggalan, apakah itu berarti mereka akan bertemu kembali? Yah, semoga saja!Mohan pulang dengan rasa amarah yang luar biasa, bagaimana mungkin ia bisa kehilangan jejak Inka saat keluar dari cafe tadi. Mohan tak menghiraukan tatapan takut dari bi Mirna sang asisten rumah tangga yang bekerja di rumahnya.Mohan melangkahkan kakinya menaiki tangga menuju kamarnya yang ada di lantai atas.Cklek...Amarah Mohan mendidih begitu membuka pintu kamarnya dan melihat tubuh seorang wanita yang nyaris telanjang. Wanita yang dengan santainya tidur di ranjangking size-nyahanya mengenakan pakaian dalam saja, belum lagi berpose seksi bak model majalah dewasa."Apa yang kau lakukan di sini!!!" bentak Mohan menggelegar.Wanita itu bukannya takut malah tersenyum manis menyambut kedatangan Mohan."Siapa yang mengizinkan mu menginjakkan kaki ke rumah ku!!" lagi Mohan membentak, rasanya amarahnya yang sejak tadi tak bisa ia tahan lagi."Bi Mirna!!!!!" teriakan Mohan kali ini yang memanggil nama bi Mirn
Habis yang bikin kesel2 gemes, sekarang aku kasih yang manis-manis kyak akohInka tersadar jika ia kehilangan tasnya saat kejadian memalukan di cafe seminggu yang lalu. Inka mendesah lirih karena merasa kehilangan tas kesayangannya, tas selempang sederhana yang begitu sangat ia sayangi. berat rasanya jika kehilangan tas itu. tapi mau bagaimana lagi, di cari pun tak mungkin ketemu lagi, kan?Untung saja ponsel Inka tak ikut tertinggal di dalam tas itu, saat itu ponsel miliknya sengaja Inka kantongi di dalam celana jeans yang saat itu ia kenakan. Kebiasaan Inka untuk berjaga-jaga jika terjadi sesuatu hal yang tak mengenakan, dan hal itu pun benar adanya, di saat ia kehilangan tas tetapi ponselnya tetap aman bersamanya.Tetapi, Inka harus merelakan uangnya yang tak banyak di dalam tas itu. Tak apalah, Inka bisa mencarinya lagi, mungkin memang bukan rezekinya memiliki uang itu."Huffftt," helaan nafas kasar Inka.Sampai sekarang Ink
"Selamat pagi Kanz." sapaan ceria Inka pada Kanz dan satu teman prianya.Kanz terperangah dengan penampilan Inka hari ini, Inka sungguh luar biasa sangat cantik."Selamat pagi juga Inka," Kanz membalas sapaan Inka setelah dirinya tersadar jika sudah terlalu lama mengangumi Inka."Apa aku terlambat di hari pertamaku bekerja?" tanya Inka cemas, karena ia memang sangat sulit untuk bangun pagi dan belum lagi berdandan.Kanz menggeleng. "Tidak Inka, lagian juga kita mulai buka jualannya agak siangan."Kepala Inka manggut-manggut sambil mulutnya menggerakkan huruf O."Oh iya, kenalkan ini temanku. Namanya, Bio." ujar Kanz memperkenalkan temannya."Hai, aku Bio." teman Kanz memperkenalkan dirinya seraya mengulurkan tangan ke arah Inka."Bio-Biodata?" kekeh Inka merasa geli mendengar nama teman Kanz ini."Bisa jadi," gurau Bio yang tak mempermasalahkan hal itu."Aku, Inka Maharani. Ehmm, kau bisa memanggilku Inka saja."
Mohan sudah sampai di tempat janji temu dengan kliennya, kliennya meminta pertemuan mereka di lakukan di luar kantor. Dan disinilah Mohan berada, menunggu sang klien sampai di cafe yang sudah mereka pesan.Cukup lama Mohan menunggu, tak lama seorang pria paruh baya namun masih terlihat sangat tampan dan gagah.Mohan langsung berdiri dari duduknya menyambut sang klien. "Selamat siang tuan Hans Laurent."Mohan mengulurkan tangannya ingin berjabat tangan dengan tuan yang ia panggil Hans Laurent itu. Tuan Hans Laurent menyambut uluran tangan Mohan."Selamat siang juga tuan Mohan.""Ah, mari silahkan duduk." Mohan mempersilakan tuan Hans untuk duduk di kursi di depannya."Terima kasih," balas tuan Hans seraya duduk."Baiklah, mari kita mulai saja tujuan kita kesini. Tentang rencana kerjasama mengenai bisnis kita."Tuan Hans mengangguk. "Tuan Mohan bisa memulainya lebih dulu."Mohan tersenyum dan langsung berbicara mengenai bi
Kanz menoleh ke belakang saat merasakan punggungnya di tepuk seseorang. Wajah wanita yang belakangan ini menarik sekaligus memikat hatinya lah sebagai pelaku yang menepuk punggungnya."Inka, ini sungguh kau?" tanya Kanz takjub sekaligus pangling dengan penampilan Inka hari ini.Inka mengangguk seraya tersenyum geli melihat tingkah Kanz yang seperti hampir tak mengenalinya."Iya, ini aku Inka, Kanz!" ucap Inka nyaris teriak gembira."Astaga! Aku hampir saja tak mengenalimu loh." kekeh Kanz mengacak rambut baru berponi Inka.Inka mendengus sebal seraya menepiskan tangan Kanz yang mengacak rambut barunya."Pipimu jadi kelihatan tirus Inka," goda Kanz memperhatikan wajah Inka dengan jarak dekat."Mana pipi cabimu yang selalu bikin aku gemas ini." Kanz mencubit gemas kedua pipi Inka, membuat Inka mengadu kesakitan."Uhm, sakit Kanz!""Masa sih? aku kan cuma menyubit pelan pipimu, seperti ini—" Inka langsung menghenti
Kanz menatap jalanan dari jendela rumah kontrakannya, rumah kontrakan sederhana yang ia sewa bersama Bio. Sedikit banyaknya Bio tahu tentang kehidupan seorang Kanzeel Laurent."Kau berbohong padanya Kanz," ujar Bio pada Kanz yang saat ini fokus menatap ke arah jalanan.Kanz sama sekali tak bergeming dengan ucapan temannya itu, membuat Bio merasa gemas melihatnya."Ayolah Kanz, sebaiknya kau jujur saja pada Inka mengenai dirimu yang sebenarnya." sambung Bio lagi agar Kanz mau jujur pada Inka."Aku takut dia tidak akan menerima ku lagi sebagai temannya, kau tahu kan Bio, hubungan pertemanan kami baru saja di mulai." lirih Kanz sedih."Dia akan lebih terluka jika kau tak jujur dari awal padanya Kanz, dia akan menganggap jika kau hanya memanfaatkan dirinya saja dengan kebohonganmu."Kanz terdiam, tampak ia sedang mencerna ucapan temannya yang sebenarnya ada benarnya juga."Aku tidak bisa Bio, Maaf." lirih Kanz lagi yang kini bangkit berdiri dan berjala
Bio mengkode pada Inka jika Mohan sudah pergi, secepat kilat Inka melepaskan pelukannya pada Kanz, menendang kaki Kanz serta mendorong tubuhnya. Membuat Kanz yang tak siap pun terjengkang jatuh terhempas ke belakang."Awhh!" ringis Kanz kesakitan saat punggungnya jatuh menyentuh tanah dan nyeri pada kakinya yang di tendang Inka."Rasakan itu!" ledek Inka kesal pada Kanz.Kanz dengan cepat bangkit berdiri susah payah dan langsung meraih memegang tangan Inka, tapi dengan cepat pun Inka menepisnya."Jangan sentuh aku, dasar pembohong!" umpat Inka menatap nyalang Kanz.Bio hanya terdiam di tempatnya tanpa bisa membantu ataupun menengahi suasana yang terjadi antara Kanz dan Inka."Dengarkan aku dulu Inka-""Tidak!""Aku bisa jelasin semuanya-""Tidak!" sentak Inka cepat dan selalu memotong ucapan Kanz.Hhhhh. Kanz menghela nafasnya berat seraya menghembuskan nafasnya kasar."Kau bilang, jika kau terlahir dari keluarga tak mampu dan s
Inka mengutuk mulut dan dirinya sendiri yang tadi malam dengan jelas menolak permintaan Kanz yang ingin Inka datang ke tempat bekerjanya sebagai penjual jus yang menggunakan food truck.Kanz berbinar melihat kehadiran Inka. Kanz memang sangat yakin jika Inka pasti datang menemuinya, semarah apapun wanita itu padanya, tapi lihatlah! Inka tetap datang sesuai keinginannya."Terima kasih," ucapan Kanz yang meluncur begitu saja akibat rasa bahagia yang membuncah di dadanya."Terima kasih sudah mau datang, Inka." sambungnya lagi saat melihat lipatan kerutan bingung di dahi Inka.Inka berdeham guna menormalkan suaranya. "Bukankah sudah aku katakan padamu, jika mulai sekarang aku berhenti bekerja sama dengan kalian berdua di tempat ini." ucap Inka sedikit angkuh.Bio yang sedari tadi hanya berdiam diri memperhatikan Inka dan Kanz, tiba-tiba menegang. Baiklah, atmosfernya sekarang berubah menjadi panas. Untuk itu Bio memilih tak ikut campur pada kedua orang itu.