"Mas, tolong putar balik mobilnya!" pintaku pada Mas Adry.
"Kenapa?"
"Aku tak mau tinggal bersama laki-laki yang masih mencintai wanita lain!"
"Terus?"
"Aku akan tinggal di rumah orang tuaku."
"Kamu akan tinggal bersama Mas!" tegasnya.
"Mas!"
"Pernikahan kita bahkan belum genap seminggu, kamu sudah ingin menunjukkan pada dunia bahwa pernikahan kita sudah bermasalah?"
"Mas yang menciptakan masalahnya."
Mas Adry diam. Ada jeda beberapa saat sebelum ia kembali bersuara.
"Mas hanya jujur."
"Lalu mengapa Mas menikahiku?"
"Karena kau wanita yang baik."
"Tapi kau tak mencintaiku, Mas."
Mas Adry menghentikan mobil. Ia memandangiku dengan raut wajah yang sukar dijelaskan. Tatapannya seperti menyimpan banyak rahasia.
"Perjalanan kita masih dua puluh kilometer, mas gak mau terjadi apa-apa di jalan. Setelah sampai rumah mas akan menjelaskan semuanya."
Setelah itu, suasana menjadi hening. Sebelumnya setiap daerah yang kami lewati selalu kami jadikan topik pembicaraan. Entah itu jembatan layang di Kabupaten Tapin yang di bawahnya dijadikan jalan hauling batu bara. Atau sekadar mengomentari jalan berlubang yang sangat berbahaya, terutama bagi pengendara motor.
***
Setelah menempuh perjalanan selam delapan jam, akhirnya kami sampai di rumah. Komplek perumahan yang letaknya tak jauh dari batalyon berlambang beruang, dengan moto Manuntung dalam bahasa Banjar atau awal sampai akhir.
Saat memutuskan menikah dengan Mas Adry, aku juga berharap demikian. Pernikahan kami manuntung, waja sampai kaputing. Menjalani kehidupan berumahtangga dengan pria itu hingga maut memisahkan.
Namun, saat lelaki itu dengan lantang didepan wajahku menyebut nama wanita lain yang teramat dicintainya. Harapan waja sampai kaputing, awal sampai akhir itu bak tertutup kabut tebal.
Seperti kabut tebal yang sering melanda desaku saat musim kemarau tiba. Saat siang hari hutan-hutan terbakar, lalu keesokan harinya seluruh desa diselimuti kabut dari dini hari hingga matahari meninggi. Hingga jarak pandang hanya beberapa meter saja.
Tak jarang, terjadi kecelakaan yang disebabkan kabut itu berujung maut. Aku tak ingin pernikahan kami juga bernasib sama seperti kendaraan yang harus menerjang kabut tebal itu. Hingga membuat biduk rumah tangga ini hancur remuk, seperti remuknya mobil yang melaju dalam kabut.
Mas Adry meletakkan barang-barang milikku di kamar yang masih tercium aroma cat yang menyengat. Ruangan ini tampak baru saja didekorasi. Furniturenya masih baru. Persis seperti furniture yang kupilih saat sebelum kami menikah.
"Ini adalah kamar Adek," ujar mas Adry.
"Kita akan tidur terpisah?" Aku berharap dugaanku, kami mempunyai kamar masing-masing itu salah.
"Ya!" jawabnya singkat.
"Nanti malam Mas akan menjelaskan semuanya!" lirihnya sebelum meninggalkanku dan menuju kamar miliknya.
Usai shalat Isya, lelaki itu mendatangi kamarku.
Ia duduk disisi ranjang, persis di sebelahku. Kami duduk bersisian.
"Dek, sebelumnya mas minta maaf."
Lelaki itu tertunduk lesu.
"Dulu, sewaktu mas masih menjalin hubungan dengan Audi. Mas pernah bersumpah akan menikahi dia."
"Maksud mas apa?"
"Adek dengerin dulu kata-kata Mas!"
Lelaki itu kemudian bercerita awal hubungannya dengan Audi dan alasan orang tuanya menentang hubungannya dengan Audi. Lalu, saat orang tuanya akan menjodohkan dirinya dengan anak sahabat ibunya.
"Mas tak mau menikah dengan wanita itu. Saat mas mendengar bahwa Adek telah putus dari Brian. Mas langsung melamar Adek."
"Jadi, mas nipu aku?"
"Bukan begitu, Dek. Mas tau Adek masih mencintai Brian. Mas mohon bantuan Adek hingga Audi lulus kuliah saja. Setelah itu, Adek bisa menikah dengan Brian. Mas janji tak akan merugikan Adek."
Bak petir di siang bolong. Kata-kata Mas Adry sungguh tak pernah kuduga. Pria yang kusangka tulus itu ternyata hanya memanfaatkanku.
"Mas, sebaiknya kita cerai saja!" teriakku penuh emosi.
"Mas mohon, Dek. Hanya enam bulan saja. Mas janji selama itu tak akan merugikan Adek."
"Apa mas bilang takkan merugikanku? Mas tahu gelar apa yang akan kusandang setelah bercerai dari mas. Mas tahu betapa hinanya gelar itu dimata masyarakat?"
Mas Adry terdiam, lelaki itu bergeming sambil tertunduk dalam.
"Pokoknya aku mau pulang sekarang!"
Lelaki itu mencegahku saat hendak bangkit berdiri.
"Adek pikirkan kata-kata Mas. Entah hari ini atau enam bulan lagi. Gelar itu akan tetap Adek sandang. Jikalau Adek pergi sekarang, bagaimana perasaan orang tua Adek? Perasaan orang tua Mas. Dan gunjingan para tetangga. Belum genap seminggu sudah bercerai. Mas akan memberikan kompensasi kepada Adek!"
"Hipokrit!"
Walaupun dilahirkan dari keluarga kekurangan, tak terpandang juga tak disegani banyak orang. Emak dan bapak tak pernah mendidikku menjadi orang yang senang menadahkan tangan di bawah.Apa yang ada dalam benak mas Adry akan memberikan kompensasi atas status janda yang nanti akan kuterima. Pasca bercerai dengannya nanti. Bukan karena hartanya yang membuatku menerima pinangannya. Aku tahu dia kaya, banyak uang. Walaupun ia memulai karir sebagai prajurit strata paling rendah, hanya berpangkat prada, prajurit dua. Ia menghasilkan banyak uang dari menjual ketrampilannya membuat font juga desain logo. Hobi yang menghasilkan pundi-pundi itu ia kerjakan disela kesibukannya sebagai prajurit."Mas, walaupun Mas Brian jauh lebih tampan dibanding Mas. Sejak mas melamarku, aku telah mengubur kenangan bersama Mas Brian dan menyerahkan hatiku hanya untuk Mas."Aku menyeka air mata yang terus mengalir.&n
"Apakah kau siap berbagi suami?" tanya wanita berpostur tinggi semampai dan berkulit kuning langsat itu saat kami melakukan pengajuan pernikahan ke kesatuan Mas Adry. Dia istri komandan Mas Adry."Mohon ijin, tidak siap, Bu!" jawabku.Ibu komandan menghela napas seraya tersenyum tipis."Menjadi istri tentara harus siap berbagi suami dengan negara. Karena istri pertama seorang prajurit adalah negaranya. Kamu siap dinomor duakan?" Wanita bermata sipit itu menjelaskan."Siap, Bu!""Yakin, kamu siap?" ulangnya."Siap yakin, Bu!" tegasku.Sebelum ijab kabul terucap, aku memantapkan hati bahwa aku bukanlah prioritas. Seperti istri pada umumnya.Aku telah siap hakku sebagai seorang istri tak sepenuhnya kudapatkan. Aku harus siap ditinggal tugas meski saat sekarat, harus siap ditinggal meskipun sedang hamil.&nbs
"Bagaimana kronologinya, Bu?" tanya bripka Dirgantara Pratama."Awalnya ada seorang pelaku yang mengecoh perhatian saya dengan pura-pura menyeberang mendadak. Kemudian datang komplotan lainnya menodongkan senjata."Aku memberikan informasi kepada polisi ganteng mirip kapten Yo di drama Descendant of the Sun itu. Dia polisi yang sedang menangani kasus perampokan uang yang menimpaku.Saat tengah memberikan keterangan, Mas Adry datang."Dek, gimana keadaanmu? Katanya rampoknya pakai sajam. Apa kamu terluka?" tanya mas Adry cemas."Aku tak apa-apa kok, Mas.""Tapi uangnya berhasil di bawa kabur," lanjutku. Aku menitikkan air mata mengingat banyaknya uang yang menjadi tanggung jawabku itu."Dek, yang penting kamu selamat. Uang bisa kita cari, nyawamu jauh lebih berharga.""Suami ibu tentar
Sekitar jam dua siang, aku selesai menyetor uang ke bank. Lebih lama dari hari-hari sebelumnya. Biasanya aku selesai sebelum jam istirahat para karyawan bank.Mas Brian masih menunggu di mobil."Maaf, ya mas. Tadi antriannya panjang. Lama ya?" ujarku setelah memasuki mobil."Tak masalah," balasnya santai. "Kamu belum makan siang, kan. Kita cari rumah makan dulu. Nanti magh kamu kambuh kalo telat makan."Walau tanpa persetujuanku, Mas Brian langsung melajukan mobil mencari tempat yang nyaman untuk mengisi perut. Ia memang seringkali melakukan hal demikian kala kami masih menjalin hubungan.Yang menggelitik hatiku ketika ia masih mengingat penyakit maghku. Aku bahkan pernah diopname seminggu di rumah sakit karena magh akut.Aku menatap wajah lelaki yang memang kuakui lebih tampan dari suamiku. Sejenak aku terlena dengan perhatiannya.
Usai shalat Isya, sebuah pesan teks dari nomor tak dikenal masuk ke ponselku.[Dev, suamimu bersama wanita lain]Deg!Jantungku berdetak lebih keras detik itu juga.Apakah itu Audi?Selagi batinku masih bertanya-tanya siapa sosok perempuan yang membuat Mas Adry tergesa-gesa menuntaskan makan malamnya. Sebuah video masuk dari nomor yang sama.Ternyata benar, wanita itu adalah wanita yang Mas Adry belum bisa melupakannya.Walaupun sejak jauh hari, beberapa hari usai acara resepsi. Mas Adry telah jujur bahwa ia masih mencintai wanita lain. Nyatanya mendapati kabar demikian, tak pelak membuat hatiku seperti dihantam sebuah batu besar. Sakit.Apakah aku punya hak untuk melabrak? Seperti di video yang selalu menjadi viral ketika seorang istri sah mendatangi suaminya tengah berkencan dengan wanita lain.
Aku menyambut kedatangan keluarga mas Adry dengan mencium takzim tangan kedua mertuaku. Kupeluk ibu mertua erat. Tak terasa cairan hangat mengalir."Devi kangen ibu," ucapku sambil terisak. Menumpahkan kesedihan dalam pelukan wanita yang sudah kuanggap ibu kandungku sendiri itu.Ibu, Ayah dan juga Dara takkan curiga air mata ini adalah air mata karena ucapan Mas Adry barusan.Ibu menyeka air mataku, "Duh, mantu kesayangan Ibu. Kami juga kangen sama Nak Devi."Aku mempersilakan keluarga Mas Adry duduk di ruang tamu."Devi bikinin minum dulu ya, Bu!"Dara mengikutiku, lalu sekonyong-konyong ia memasuki kamar Mas Adry tanpa izin dari yang punya kamar.Dugaanku tepat. Untunglah foto-foto terlarang itu telah dibereskan sehingga aku dan mas Adry bisa bernapas lega.***
"Mas nga-ngapain di sini?" ucapku terbata seraya menutup bagian dadaku dengan menyilangkan kedua lengan. Lalu segera beringsut mundur sedikit menjauh dari lelaki itu. Mas Adry mengucek-ngucek matanya. "Dingin banget Dek di lantai. Dah mirip musim dingin di Korea Utara. Mas liat Adek juga meringkuk kedinginan gak pake selimut. Makanya mas naik ke atas." "Mas naik ke atas mana?" pikiranku jadi travelling saat Mas Adry mengatakan demikian. Mas Adry kemudian bangkit, merubah posisi yang tadinya masih berbaring. Kini posisi kami duduk saling berhadapan di atas ranjang. "Ke atas ranjang, Dek! Memangnya Adek mau ke atas mana?" godanya. Seketika itu aku salah tingkah juga gerogi. "Dek!" goda bang Adry sambil mengedipkan matanya nakal. Lekaki itu perlahan mendekat. "Mas ka-kat
Ditengah kekikukan ini, Mas Adry melingkarkan tangannya di pinggangku. Seakan akulah wanita satu-satunya yang dicintainya."Nah, gitu dong Dry." Ayah mertua mengacungkan jempol.Setelah berswafoto, keluarga mas Adry bersiap berendam di air panas yang suhunya mencapai 42 derajat celcius itu. Sedangkan Mas Adry, menghilang entah kemana."Ayo, Dev, airnya hangat lho. Berasa mandi di hotel," ajak ibu yang tengah menikmati hangatnya air panas desa Tanuhi."Gak, Bu. Devi takut, kan Devi gak bisa berenang.""Pasti karena gak ada Kak Adry. Gak bisa berenang, tapi berani naik lanting," sindir Dara. Gadis berambut sebahu itu lalu terkekeh.Aku hanya tersenyum tipis menanggapi sindiran adik iparku itu. Ia tak tahu, kakaknya lah yang memaksaku menaikinya. Namun, kuakui aku menyenangi keterpaksaan itu. Seandainya Mas Adry kembali menggendongku ke pemandian air