Share

5

"Mas, tolong putar balik mobilnya!" pintaku pada Mas Adry.

"Kenapa?"

"Aku tak mau tinggal bersama laki-laki yang masih mencintai wanita lain!"

"Terus?"

"Aku akan tinggal di rumah orang tuaku."

"Kamu akan tinggal bersama Mas!" tegasnya.

"Mas!" 

"Pernikahan kita bahkan belum genap seminggu, kamu sudah ingin menunjukkan pada dunia bahwa pernikahan kita sudah bermasalah?"

"Mas yang menciptakan masalahnya."

Mas Adry diam. Ada jeda beberapa saat sebelum ia kembali bersuara.

"Mas hanya jujur."

"Lalu mengapa Mas menikahiku?"

"Karena kau wanita yang baik."

"Tapi kau tak mencintaiku, Mas."

Mas Adry menghentikan mobil. Ia memandangiku dengan raut wajah yang sukar dijelaskan. Tatapannya seperti menyimpan banyak rahasia.

"Perjalanan kita masih dua puluh kilometer, mas gak mau terjadi apa-apa di jalan. Setelah sampai rumah mas akan menjelaskan semuanya."

Setelah itu, suasana menjadi hening. Sebelumnya setiap daerah yang kami lewati selalu kami jadikan topik pembicaraan. Entah itu jembatan layang di Kabupaten Tapin yang di bawahnya dijadikan jalan hauling batu bara. Atau sekadar mengomentari jalan berlubang yang sangat berbahaya, terutama bagi pengendara motor.

***

Setelah menempuh perjalanan selam delapan jam, akhirnya kami sampai di rumah. Komplek perumahan yang letaknya tak jauh dari batalyon berlambang beruang, dengan moto Manuntung dalam bahasa Banjar atau awal sampai akhir.

Saat memutuskan menikah dengan Mas Adry, aku juga berharap demikian. Pernikahan kami manuntung, waja sampai kaputing. Menjalani kehidupan berumahtangga dengan pria itu hingga maut memisahkan.

Namun, saat lelaki itu dengan lantang didepan wajahku menyebut nama wanita lain yang teramat dicintainya. Harapan waja sampai kaputing, awal sampai akhir itu bak tertutup kabut tebal.

Seperti kabut tebal yang sering melanda desaku saat musim kemarau tiba. Saat siang hari hutan-hutan terbakar, lalu keesokan harinya seluruh desa diselimuti kabut dari dini hari hingga matahari meninggi. Hingga jarak pandang hanya beberapa meter saja. 

Tak jarang, terjadi kecelakaan yang disebabkan kabut itu berujung maut. Aku tak ingin pernikahan kami juga bernasib sama seperti kendaraan yang harus menerjang kabut tebal itu. Hingga membuat biduk rumah tangga ini hancur remuk, seperti remuknya mobil yang melaju dalam kabut.

Mas Adry meletakkan barang-barang milikku di kamar yang masih tercium aroma cat yang menyengat. Ruangan ini tampak baru saja didekorasi. Furniturenya masih baru. Persis seperti furniture yang kupilih saat sebelum kami menikah.

"Ini adalah kamar Adek," ujar mas Adry.

"Kita akan tidur terpisah?" Aku berharap dugaanku, kami mempunyai kamar masing-masing itu salah.

"Ya!" jawabnya singkat.

"Nanti malam Mas akan menjelaskan semuanya!" lirihnya sebelum meninggalkanku dan menuju kamar miliknya.

Usai shalat Isya, lelaki itu mendatangi kamarku.

Ia duduk disisi ranjang, persis di sebelahku. Kami duduk bersisian.

"Dek, sebelumnya mas minta maaf."

Lelaki itu tertunduk lesu. 

"Dulu, sewaktu mas masih menjalin hubungan dengan Audi. Mas pernah bersumpah akan menikahi dia."

"Maksud mas apa?" 

"Adek dengerin dulu kata-kata Mas!"

Lelaki itu kemudian bercerita awal hubungannya dengan Audi dan alasan orang tuanya menentang hubungannya dengan Audi. Lalu, saat orang tuanya akan menjodohkan dirinya dengan anak sahabat ibunya.

"Mas tak mau menikah dengan wanita itu. Saat mas mendengar bahwa Adek telah putus dari Brian. Mas langsung melamar Adek."

"Jadi, mas nipu aku?"

"Bukan begitu, Dek. Mas tau Adek masih mencintai Brian. Mas mohon bantuan Adek hingga Audi lulus kuliah saja. Setelah itu, Adek bisa menikah dengan Brian. Mas janji tak akan merugikan Adek."

Bak petir di siang bolong. Kata-kata Mas Adry sungguh tak pernah kuduga. Pria yang kusangka tulus itu ternyata hanya memanfaatkanku.

"Mas, sebaiknya kita cerai saja!" teriakku penuh emosi.

"Mas mohon, Dek. Hanya enam bulan saja. Mas janji selama itu tak akan merugikan Adek."

"Apa mas bilang takkan merugikanku? Mas tahu gelar apa yang akan kusandang setelah bercerai dari mas. Mas tahu betapa hinanya gelar itu dimata masyarakat?"

Mas Adry terdiam, lelaki itu bergeming sambil tertunduk dalam.

"Pokoknya aku mau pulang sekarang!"

Lelaki itu mencegahku saat hendak bangkit berdiri.

"Adek pikirkan kata-kata Mas. Entah hari ini atau enam bulan lagi. Gelar itu akan tetap Adek sandang. Jikalau Adek pergi sekarang, bagaimana perasaan orang tua Adek? Perasaan orang tua Mas. Dan gunjingan para tetangga. Belum genap seminggu sudah bercerai. Mas akan memberikan kompensasi kepada Adek!"

"Hipokrit!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status