Share

9

Sekitar jam dua siang, aku selesai menyetor uang ke bank. Lebih lama dari hari-hari sebelumnya. Biasanya aku selesai sebelum jam istirahat para karyawan bank.

Mas Brian masih menunggu di mobil.

"Maaf, ya mas. Tadi antriannya panjang. Lama ya?" ujarku setelah memasuki mobil.

"Tak masalah," balasnya santai. "Kamu belum makan siang, kan. Kita cari rumah makan dulu. Nanti magh kamu kambuh kalo telat makan."

Walau tanpa persetujuanku, Mas Brian langsung melajukan mobil mencari tempat yang nyaman untuk mengisi perut. Ia memang seringkali melakukan hal demikian kala kami masih menjalin hubungan.

Yang menggelitik hatiku ketika ia masih mengingat penyakit maghku. Aku bahkan pernah diopname seminggu di rumah sakit karena magh akut.

Aku menatap wajah lelaki yang memang kuakui lebih tampan dari suamiku. Sejenak aku terlena dengan perhatiannya. 

Astaghfirullah! Segera kutepis wajah Mas Brian dalam pikiran. Pikiran yang bisa menjeratku dalam perangkap setan.

Lelaki itu kemudian membelokkan mobil ke halaman rumah makan Papadaan. Rumah makan yang menyediakan berbagai makanan khas suku Banjar.

Begitu memasuki rumah makan, seorang pelayan menyambut kami dan memberikan daftar menu.

"Haruan cacapan limau kuit," ujarku pada pelayanan rumah makan. Ikan haruan atau ikan gabus memang sangat sempurna saat dipadukan dengan cacapan limau kuit.

Cacapan limau kuit sejenis sambal berbentuk cair, terbuat dari irisan bawang merah mentah, diberi irisan limau kuit serta cabe rawit. Tak lupa garam dan air secukupnya. Rasanya sangat segar. Menggugah selera.

"Mbak, maaf. Haruan cacapan limau kuit tolong diganti jadi menu lain!" sela lelaki berseragam loreng itu.

Mataku membeliak, menatap lelaki yang selalu bertindak sesuka hati itu. Sebelum aku membuka mulut, Mas Brian kembali berujar.

"Dev, kamu punya asam lambung. Jangan makan yang asem dan juga pedas! Mas gak mau kamu jatuh sakit dan harus di opname lagi!"

Hampir saja aku marah atas tindakannya. Namun, saat ia menjelaskan ini demi kebaikanku, hatiku sukses jadi mencelos.

Mas Brian, mengapa kau bersikap seperti ini? Mengapa dulu kau yang merubah cinta menjadi kecewa. Setelah kekecewaan itu telah berakhir, kau hendak memercikkan kembali api cinta yang telah kau padamkan.

"Nasi sup pake sate mau?" tanya Mas Brian.

Aku mengangguk sambil menunduk malu. Karena hampir salah paham. Lalu ia memesan dua porsi nasi sup lengkap dengan sate ayam.

Kami duduk di lesehan, menunggu makanan. Setelah pelayan menyajikan makanan di meja. Aku dan Mas Brian segera menyantapnya. Nasi sup khas Banjar. 

Dengan penuh semangat, kumasukkan suap demi suap menu yang sering disajikan Emak pada hari spesial itu. Biasanya Emak menyediakan nasi sup khas Banjar ketika perayaan hari besar Islam. Entah itu lebaran atau maulidan.

Mas Brian juga menyantap dengan lahap, tetapi ia tak menyentuh sate ayam miliknya. 

"Kok satenya gak dimakan, Mas?"

Bukannya menjawab, Mas Brian malah menyodorkan piring berisi sate itu ke arahku.

"Mas tau kamu doyan ini. Ambillah!" ujarnya.

Mas Brian memperlakukanku seakan aku masih kekasihnya. Apakah ia lupa aku ini adalah istri sahabatnya. Saudaranya satu letting, satu angkatan.

"Mas, aku sekarang sudah menjadi nyonya Adryan."

"Itu berarti Mas harus bersikap baik pada istri sahabat mas. Anggap saja ini adalah perhatian dari abang iparmu."

Mungkin perkataan Mas Brian ada benarnya. Itu hanyalah kebaikannya sebagai abang ipar saudara lettingnya. Namun bagiku tak demikian. Hubungan rumitku dengan Mas Adry bisa saja membuatku bawa perhatian karena kebaikannya.

Aku tak ingin, benih-benih cinta yang dulu pernah bersemi dihatiku dan Mas Brian kembali tumbuh. Aku tau mau menodai pernikahanku dengan Mas Adry.

Bagaimanapun, aku adalah istri dari seorang Pratu Adryan Saputra. Kami menikah secara sah baik secara agama, negara maupun secara militer. Terlepas bagaimana perasaan Mas Adry terhadapku.

Aku menghela napas, mengatur perasaanku agar menerima kebaikan Mas Brian layaknya saudara ipar.

***

"Mas tau nggak siapa yang pam di kantorku?"

Mas Adry menggeleng ketika kutanya demikian saat makan malam.

"Mas Brian!"

"Oh," sahutnya singkat, lalu kembali menikmati makan malamnya.

"Mas mau nambah?" tawarku. 

"Gak, mas udah kenyang."

Mas Adry beranjak dari meja makan. Tak biasanya ia hanya menandaskan sepiring nasi jika menunya kepiting saus Padang. Sebelum ini, ia bahkan dua kali nambah karena menu favoritnya.

Setelah itu ia melangkah keluar. Terdengar suara deru mesin motor trail-nya. Motor yang ia beli bukan tanpa alasan.

"Motor ini sangat berguna untuk menjangkau daerah terisolir di pemukiman suku Dayak Meratus yang ada di atas sana ketika terjadi bencana alam," ujar lelaki itu. Telunjuknya mengarah ke arah gunung meratus.

Tanpa pamit, Mas Adry mengendarai motornya entah kemana. 

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status