Usai shalat Isya, sebuah pesan teks dari nomor tak dikenal masuk ke ponselku.
[Dev, suamimu bersama wanita lain]
Deg!
Jantungku berdetak lebih keras detik itu juga.
Apakah itu Audi?
Selagi batinku masih bertanya-tanya siapa sosok perempuan yang membuat Mas Adry tergesa-gesa menuntaskan makan malamnya. Sebuah video masuk dari nomor yang sama.
Ternyata benar, wanita itu adalah wanita yang Mas Adry belum bisa melupakannya.
Walaupun sejak jauh hari, beberapa hari usai acara resepsi. Mas Adry telah jujur bahwa ia masih mencintai wanita lain. Nyatanya mendapati kabar demikian, tak pelak membuat hatiku seperti dihantam sebuah batu besar. Sakit.
Apakah aku punya hak untuk melabrak? Seperti di video yang selalu menjadi viral ketika seorang istri sah mendatangi suaminya tengah berkencan dengan wanita lain.
Aku menyambut kedatangan keluarga mas Adry dengan mencium takzim tangan kedua mertuaku. Kupeluk ibu mertua erat. Tak terasa cairan hangat mengalir."Devi kangen ibu," ucapku sambil terisak. Menumpahkan kesedihan dalam pelukan wanita yang sudah kuanggap ibu kandungku sendiri itu.Ibu, Ayah dan juga Dara takkan curiga air mata ini adalah air mata karena ucapan Mas Adry barusan.Ibu menyeka air mataku, "Duh, mantu kesayangan Ibu. Kami juga kangen sama Nak Devi."Aku mempersilakan keluarga Mas Adry duduk di ruang tamu."Devi bikinin minum dulu ya, Bu!"Dara mengikutiku, lalu sekonyong-konyong ia memasuki kamar Mas Adry tanpa izin dari yang punya kamar.Dugaanku tepat. Untunglah foto-foto terlarang itu telah dibereskan sehingga aku dan mas Adry bisa bernapas lega.***
"Mas nga-ngapain di sini?" ucapku terbata seraya menutup bagian dadaku dengan menyilangkan kedua lengan. Lalu segera beringsut mundur sedikit menjauh dari lelaki itu. Mas Adry mengucek-ngucek matanya. "Dingin banget Dek di lantai. Dah mirip musim dingin di Korea Utara. Mas liat Adek juga meringkuk kedinginan gak pake selimut. Makanya mas naik ke atas." "Mas naik ke atas mana?" pikiranku jadi travelling saat Mas Adry mengatakan demikian. Mas Adry kemudian bangkit, merubah posisi yang tadinya masih berbaring. Kini posisi kami duduk saling berhadapan di atas ranjang. "Ke atas ranjang, Dek! Memangnya Adek mau ke atas mana?" godanya. Seketika itu aku salah tingkah juga gerogi. "Dek!" goda bang Adry sambil mengedipkan matanya nakal. Lekaki itu perlahan mendekat. "Mas ka-kat
Ditengah kekikukan ini, Mas Adry melingkarkan tangannya di pinggangku. Seakan akulah wanita satu-satunya yang dicintainya."Nah, gitu dong Dry." Ayah mertua mengacungkan jempol.Setelah berswafoto, keluarga mas Adry bersiap berendam di air panas yang suhunya mencapai 42 derajat celcius itu. Sedangkan Mas Adry, menghilang entah kemana."Ayo, Dev, airnya hangat lho. Berasa mandi di hotel," ajak ibu yang tengah menikmati hangatnya air panas desa Tanuhi."Gak, Bu. Devi takut, kan Devi gak bisa berenang.""Pasti karena gak ada Kak Adry. Gak bisa berenang, tapi berani naik lanting," sindir Dara. Gadis berambut sebahu itu lalu terkekeh.Aku hanya tersenyum tipis menanggapi sindiran adik iparku itu. Ia tak tahu, kakaknya lah yang memaksaku menaikinya. Namun, kuakui aku menyenangi keterpaksaan itu. Seandainya Mas Adry kembali menggendongku ke pemandian air
"Terimakasih, Mas!" ujarku singkat tanpa menatapnya. Lalu segera berlalu dari pandangan Mas Brian. Karena mobil telah sampai di halaman bank.Aku harus menjaga jarak dengannya. Agar tak terjadi hal yang bisa membuatku mengkhianati Mas Adry.Setelah selesai penyetoran, pihak bank mengajak untuk kerjasama. Mereka bersedia menjemput setoran ke kantor. Sehingga aku tak perlu lagi dikawal oleh pria yang seolah hendak menebar kembali benih cinta yang pernah ia hancurkan.Boss pun pasti akan senang dengan tawaran pihak bank. Karena ia tak perlu lagi menggelontorkan anggaran untuk pengawalan.***Sore itu, Mas Adry baru pulang dari pengawalan alat berat. Aku langsung menyambutnya dengan senyuman hangat. Kucium takzim punggung tangannya."Mas mau mandi dulu apa istirahat dulu?""Mas mau istirahat aja, Dek!""Mau ma
Akhirnya pagi itu Mas Adry telah melanggar janjinya. Tak akan merugikanku.Walaupun hanya kesucian bibirku yang telah ia nikmati. Aku merasa tak dirugikan sama sekali. Bagiku, ini berarti aku bukan hanya teman baginya. Mungkin namaku sudah bisa sedikit menggeser nama Audi dihatinya."Mas, bisakah aku jadi istri Mas sepenuhnya?" pintaku pada Mas Adry. Sesaat setelah pria itu menggeser posisi duduknya. Ia tampak merasa bersalah karena telah melanggar janjinya."Dek, maafin Mas! Mas khilaf," jawabnya. Lelaki itu menekuk wajah seakan telah berbuat salah."Mas ingat saat hari pernikahan kita, di depan penghulu mas berjanji akan memberikan nafkah, bukan hanya nafkah lahir. Namun juga nafkah batin."Lelaki itu lalu memijit keningnya."Mas, bahkan kau berhak mendatangi kamarku kapanpun kau mau. Selagi itu tak menyalahi syari'at," ujarku lagi.
Keesokan harinya, Mas Adry bersama prajurit lainnya pergi UST (uji satuan tempur) ke hutan.Ia pamit hanya dari balik pintu. Suaranya terdengar pelan, tetapi masih bisa kudengar. Sebelum subuh, ia sudah meninggalkan rumah. Mungkin ia berpikir, saat ia berangkat, aku masih terlelap. Padahal, semalaman itu. Aku terus memikirkan kehamilan Audi.Apakah itu benar? Jika itu benar, apakah itu anak Mas Adry? Jika itu anak Mas Adry, kapan mereka melakukan hal yang dilarang agama itu? Bagaimana ia akan bertanggung jawab nanti, sedangkan seorang prajurit tak boleh mempunyai istri sah lebih dari satu? Apakah aku harus merelakan Mas Adry demi anak yang ada di kandungan Audi.Pertanyaan itu terus berputar-putar dikepalaku sehingga mataku enggan menutup. Alih-alih menutup, ia hanya mengeluarkan butiran air mata. Hingga saat menatap diri dari pantulan kaca, mataku terlihat sembab.Mas Adry akan menghabiskan wa
Malam itu selepas shalat isya, iseng kubuka pc Mas Adry. Melihat-lihat desain font yang ia pasarkan melalui kreatif market. Hobi yang bisa menghasilkan rupiah bahkan lebih banyak dari gajinya sebagai prajurit.Devi Nirmala, namaku ia tulis menggunakan beberapa font karyanya. Entah mengapa ia menggunakan namaku. Namun, ternyata bukan hanya namaku. Ada nama wanita lain juga disana. Siapa lagi kalau bukan Audi.Sofia Audi.Dadaku kembali bergemuruh, karena teringat kembali kata-kata wanita itu.Masih terngiang-ngiang ditelinga ketika Audi mengintimidasi dengan ucapannya saat kejadian di kafe."Mbak Devi percaya, aku dan bang Adry gak pernah ngapa-ngapain. Padahal dialah yang telah membiayai semua biaya kuliahku?" ujar wanita yang mengenakan pakaian branded itu. Dari penampilannya, tak akan ada yang menduga tentang keadaan ekonomi keluarganya.W
Adek ingin bukti yang bagaimana?" Pertanyaan dari mas Adry membuyarkan lamunanku. Astaghfirullah! Bisa-bisanya pikiranku malah berpikir yang enak-enak dengan mas Adry. Apakah aku perlu di ruqyah. "Adek mau bukti yang bagaimana?" tanya Mas Adry lagi dari jarak yang beberapa langkah dariku. Aku menepis semua pikiran tentang yang enak-enak. Untung saja Mas Adry tak tahu aku sedang membayangkan tentang ... Untung saja Mas Adry telah merugikanku hanya dalam khayalanku saja. Harusnya aku lega. "Bolehkah ..." "TIdak boleh, tidak boleh!" potongku segera. Takut Mas Adry menginginkan hal yang enak. "Mas belum selesai ngomong," protesnya. "Mas ingin minta bantuanmu untuk menghubungi dokter kandungan!" "Buat apa?" tanyaku. "Untuk membuktikan bahwa Mas gak pernah mengha