Share

Part 6

Author: Maylafaisha
last update Last Updated: 2021-12-18 20:31:31

Senyum Rasti mengembang seketika, saat sesosok pemuda itu mendatangi dan mencium kedua belah pipinya bergantian. Pemuda tampan dengan tinggi 189 itu adalah Andra, sahabat Rasti dari kecil.

Rasti merasa sangat antusias dengan kehadiran Andra, karena hanya Andra yang bisa membuatnya melupakan lukanya di masa lalu. Setiap kali rasa marah itu datang, seketika itu juga hilang saat lelaki itu datang dan berada di sisinya.

"Hai, Putri Tidur apa kabar lu? Udah lama banget kita nggak ketemu. Gue kangen banget tahu sama elu, elu itu kemana aja sih? Emak gue nanyain elu tuh, katanya mana calon mantu emak kok udah lama nggak pernah main ke sini lagi? Sampai-sampai emak gue ngira gue marahan sama elu. Padahal mah boro-boro marahan, ketemu juga nggak. Ya kan," cerocos pemuda tampan berhidung bangir itu.

Rasti yang mendengar cerocosan sahabat kecilnya itu hanya tersenyum geli dan memeluk Andra erat.

"Ndra, gue juga kangen banget sama elu, ibu, adik-adik elu, pokoknya semua deh. Gue nggak kemana-mana cuma memang setelah peristiwa yang bikin mama dan adik gue depresi itu, gue dan papa memilih pindah dari rumah lama kami dan sekarang setelah 2 tahun berlalu, gue mutusin buat ngebales dendam adik dan mama gue, Ndra," urai Rasti masih dengan posisi masih memeluk Andra.

"Ras, gue sayang elu, peduli sama elu. Gue nggak pengen elu nantinya terlilit dalam lingkaran dendam itu, Ras. Dendam itu nggak ada artinya, jadi gue minta sama elu urungin niat lu." Andra berusaha membujuk Rasti supaya mau membatalkan keinginan untuk balas dendam.

Mendengar perkataan Andra, Rasti hanya terdiam hingga akhirnya dia menggelengkan kepalanya sebagai tanda dia menolak permintaan Andra untuk tidak membalas dendam.

Andra yang merasa kasihan kepada gadis yang diam-diam dicintainya itu 

hanya bisa memeluk dalam diam, dia memeluk Rasti dengan sangat lembut dan erat seakan ingin mengatakan bahwa dia tidak akan mengijinkan gadisnya itu disakiti oleh apa pun.

"Gue janji, bakalan ngelindungin elu sekuat tenaga gue meskipun harus kehilangan nyawa gue demi elu, gue rela karena sayang gue bukan kaleng-kaleng," bisik Andra di telinga gadis berkulit kuning langsat itu.

Rasti yang merasakan kehangatan dan ketulusan pelukan Andra semakin menyurukkan kepalanya di dada bidang pemuda beralis tebal itu dan aroma mint yang terhirup terasa sangat menenangkan. 

Perlahan tetapi pasti Rasti menangis merasakan lelah yang luar biasa dalam jiwanya, ingin rasanya Rasti melepaskan semua beban yang selama ini menghimpit tetapi begitu ingatannya kembali kepada mama dan Sasti dengan secepat kilat dia menutup hatinya, mengenyahkan kata maaf dan rasa penyesalan, rahangnya mengeras dan tangannya pun ikut mengepal kuat.

'Menangislah, keluarin semua beban elu. Gue ada di sini buat elu, cuma buat elu.' Andra membatin dalam hati.

Setelah kurang lebih setengah jam Rasti menangis hingga matanya sembab, akhirnya Rasti bisa benar-benar tenang. Dia pun melepaskan pelukan Andra dan mengusap air matanya, kemudian dia mengajak Andra pergi dari Pub menuju sebuah tempat makan.

"Ndra, kita makan dulu yuk di luar, gue lapar," ajak Rasti kepada Andra.

"Lu bisa laper juga, Ras? Kirain nggak pernah tahu gimana rasa laper lu, Ras" goda Andra.

Namun demi melihat mata Rasti yang sembab itu melotot ke arahnya Andra pun segera mengajak Rasti ke tempat makan kesukaan mereka sewaktu masih duduk di bangku SMA dulu.

Rasti yang tidak mengira akan diajak Andra ke tempat itu sempat terdiam sejenak, dia ingat dulu umereka sering duduk di tempat itu sepulang sekolah meski pun hanya sekedar minum es.

"Ndra, ini tempat favorit kita waktu SMA dulu kan? Tempat kita sering mampir tiap pulang sekolah dulu," tanya Rasti setengah tidak percaya.

"Yups, bener. Ternyata lu masih ingat sama tempat ini ya, gue kira lu udah lupa karena udah nggak pernah jalan bareng sama gue lagi," ujar Andra senang karena ternyata Rasti tidak melupakannya.

"Iyalah gue ingat, Ndra secara dulu kita hampir tiap pulang sekolah duduk di sini, makan atau cuma minum es berdua. Kenangan yang indah, apalagi saat itu adik sama mama masih ada dan sehat," kenang Rasti.

Melihat Rasti yang mulai bersedih, Andra segera memeluk dan mengajak Rasti masuk ke dalam kemudian memesankan es teler dan bakso super ndower level 15 kesukaan Rasti, sementara untuk dirinya sendiri Andra lebih memilih menu mie ayam favoritnya.

Rasti tercengang melihat bagaimana Andra masih ingat segala tentang dirinya hingga ke makanan dan minuman favoritnya.

Perubahan wajah Rasti ternyata sanggup membuat Andra tertawa terbahak-bahak, dia bisa menebak kalau Rasti pasti sangat kebingungan melihatnya masih mengingat semua tentang Rasti.

"Udah nggak usah bengong gitu. Makanlah itu bakso dan es kesukaanmu itu, nanti keburu dingin nggak enak. Gue juga mau makan, cacing di perut gue udah meronta-ronta dari tadi," celetuk Andra mengagetkan Rasti.

"Eh i ... iya, gue makan ya. Makasih banyak ya, Ndra," ucap Rasti sedikit tergagap.

Andra yang sudah sangat kelaparan hanya menjawab dengan anggukan kepalanya saja sambil terus menyuap makanan ke dalam mulutnya dan kembali memesan semangkuk mie ayam ketika mangkuk mie ayam di hadapannya sudah habis tidak bersisa.

Rasti yang melihat Andra begitu lahap memakan habis pesanannya hanya tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya sambil sesekali memberikan minum atau tisu kepada Andra yang sesekali tampak kepedasan.

Setelah selesai makan, Andra dan Rasti memutuskan untuk berjalan-jalan di taman kota, walau pun sudah larut malam tetapi taman kota itu tidak pernah sepi pengunjung apalagi seperti sabtu malam ini.

"Ras, gue seneng lihat lu udah bisa ketawa lagi. Lu jangan nangis lagi ya, jujur gue ikut sakit kalau elu sedih sampai nangis kaya gitu tadi. Kalau elu ada masalah, telepon aja gue. InsyaaAllah gue usahain ada di sisi elu," ucap Andra meyakinkan Rasti.

"Hmm, sebenernya gue ada sih yang bisa elu lakuin buat gue, Ndra tapi itu juga kalau elu mau nolongin gue sih," pinta Rasti kepada sahabatnya itu.

Andra hanya mengangguk dan membiarkan Rasti melanjutkan perkataannya, Andra ingin tahu apa yang akan Rasti minta darinya.

"Gue pengen elu deketin perempuan ini, Ndra. Bikin dia tertarik sama elu dan mau melepaskan tunangannya. Setelah itu terserah, mau elu apain dia gue nggak perduli," suruh Rasti sambil mengangsurkan selembar foto seorang gadis cantik berambut ikal, berkulit putih bersih.

"Memang dia siapa, Ras? Kenapa elu pengen dia ninggalin tunangannya? Sepertinya elu pengen dia menderita, ada apa di antara kalian? Bisa nggak elu jelasin ke gue." Dengan rasa ingin tahu, Andra bertanya perihal permintaan Rasti yang dirasanya aneh.

Rasti yang sudah menduga bahwa Andra pasti akan menanyakan hal itu kepadanya, hanya menyerahkan ponselnya. Di dalam ponsel itu ada sebuah artikel tentang kejadian 2 tahun lalu yang sengaja disimpan sejak kejadian itu terjadi.

Andra membaca artikel itu sambil mengerutkan keningnya, dia tampak kebingungan dengan artikel yang tengah dibacanya itu, kemudian dengan wajah kebingungan dia menatap Rasti meminta penjelasan.

"Gadis dalam artikel itu Sasti, Ndra. Lu inget Sasti, adek gue kan? Dia memang bunuh diri setelah sempat dirawat di rumah sakit jiwa karena depresi berat akibat perkosaan yang pernah dialaminya beberapa tahun lalu, dan mama ... mama juga akhirnya masuk rumah sakit jiwa yang sama beberapa minggu setelah kematian Sasti, dan foto gadis yang gue tunjukkin tadi adalah anak dari perempuan yang sudah bikin kami sekeluarga berantakan seperti ini. Gue pengen elu ngebantu gue buat ngebalesin sakit hati Sasti, dendam keluarga kami. Elu mau kan, Ndra?" terang Rasti panjang lebar kepada Andra.

Andra yang memang dari awal tidak mengetahui peristiwa pemerkosaan yang dialami Sasti hanya terdiam, dia merasa bimbang antar menerima permintaan untuk menolong gadis yang dicintainya itu atau menolaknya.

Rasti yang mengetahui kebimbangan Andra itu melanjutkan ceritanya, dia ceritakan bagaimana awal mula Sasti diterima sebagai sekretaris magang di KL Group hingga akhirnya Rasti mengetahui siapa penyebab utama terjadinya depresi yang dialami Sasti.

"Gue udah ceritain semua yang gue tahu tentang kejadian itu, sekarang terserah elu mau bantu gue atau nggak. Gue nggak akan minta lebih dari elu, Ndra, gue cuma minta supaya elu pisahin gadis itu dari tunangannya dan urusan berikutnya biar gue yang lanjutin sampai selesai," pungkas Rasti mengakhiri cerita dan berdiri bersiap meninggalkan Andra yang masih berpikir.

"Oke, gue bantu elu. Cuma gue minta satu hal sama elu, jangan ngelakuin hal yang bikin elu celaka. Kasihan papa elu, sekarang tinggal elu satu-satunya harapan buat bantuin dia nyembuhin mama. Elu mau kan nurut apa kata gue!" tegas Andra memberi syarat kepada Rasti.

"Gue nggak janji tapi gue usahain. Ya udah, sekarang kita pulang yuk. Makasih ya, Ndra," tukas Rasti.

Sambil bergandengan tangan mereka menuju ke mobil masing-masing dan Andra memutuskan untuk mengikuti mobil Rasti dari belakang untuk memastikan Rasti sampai di rumah dengan selamat.

Sementara itu di dalam mobilnya Rasti menyeringai membayangkan bahwa sebentar lagi rencana balas dendamnya akan berjalan lancar sesuai dengan yang dia rencanakan dan kau ... kupastikan kau dan keluargamu akan menderita lebih dari penderitaan yang kami rasakan."

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Santet Pengantin   113

    Hening menyelimuti ruangan. Hanya suara kayu yang berderak samar di tungku dan napas mereka yang terdengar. Asap dupa masih menguar tipis, namun bau anyir dari ritual tadi masih terasa menyesakkan. Arga menyandarkan tubuhnya ke dinding, matanya terpaku pada lantai. Wajahnya lelah, tapi sorot matanya penuh tekad. “Kita nggak bisa terus-terusan bertahan seperti ini,” katanya akhirnya. “Kalau kita nggak bergerak duluan, mereka yang akan menghancurkan kita.” Barda mengangguk, tangannya meraih segenggam garam dari mangkuk kecil di meja, menaburkannya ke lantai sambil berbisik pelan. “Wangsa Jagal bukan lawan biasa. Mereka bukan cuma sekte pemuja kegelapan, tapi juga penjaga kekuatan yang jauh lebih tua dari yang kita hadapi tadi.” Kania mengerutkan kening. “Kamu tahu siapa yang kita lawan, Barda?” Barda menarik napas panjang. “Aku pernah mendengar tentang mereka dari guruku dulu… Wangsa Jagal bukan sekadar kelompok manusia. Mereka memiliki darah keturunan penjaga gerbang antara d

  • Santet Pengantin   113

    Hening menyelimuti ruangan. Hanya suara kayu yang berderak samar di tungku dan napas mereka yang terdengar. Asap dupa masih menguar tipis, namun bau anyir dari ritual tadi masih terasa menyesakkan. Arga menyandarkan tubuhnya ke dinding, matanya terpaku pada lantai. Wajahnya lelah, tapi sorot matanya penuh tekad. “Kita nggak bisa terus-terusan bertahan seperti ini,” katanya akhirnya. “Kalau kita nggak bergerak duluan, mereka yang akan menghancurkan kita.” Barda mengangguk, tangannya meraih segenggam garam dari mangkuk kecil di meja, menaburkannya ke lantai sambil berbisik pelan. “Wangsa Jagal bukan lawan biasa. Mereka bukan cuma sekte pemuja kegelapan, tapi juga penjaga kekuatan yang jauh lebih tua dari yang kita hadapi tadi.” Kania mengerutkan kening. “Kamu tahu siapa yang kita lawan, Barda?” Barda menarik napas panjang. “Aku pernah mendengar tentang mereka dari guruku dulu… Wangsa Jagal bukan sekadar kelompok manusia. Mereka memiliki darah keturunan penjaga gerbang antara d

  • Santet Pengantin   112

    “Lalu dia apa?” Arga menatap curiga. “Dia adalah Wangsa Jagal,” jawab Barda. “Makhluk yang lahir dari rasa dendam, kemarahan, dan rasa kehilangan yang mendalam."Arga menelan ludah. “Jadi... makhluk itu muncul karena…?”“Karena jiwa Rasti yang belum tenang,” Barda menatap mereka penuh makna. “Dan jika kalian tidak cepat bertindak… arwah Rasti yang asli akan terseret… menjadi bagian dari kegelapan itu.”Di balik bayang-bayang malam, sosok menyerupai Rasti berjongkok di tanah, mencakar-cakar bumi dengan jari-jarinya yang kurus dan hitam. “Aku akan kembali…” suaranya bergetar, penuh kebencian. “Aku akan membuat mereka merasakan rasa sakit yang sama…” Sosok itu menengadah, matanya bersinar merah membara. “Aku akan membuat mereka membayar… dengan nyawa mereka."Malam kembali turun, menyelimuti desa dengan keheningan yang mencekam. Kania dan Arga duduk di beranda rumah Barda, menunggu sang paranormal menyelesaikan persiapannya. Cahaya lampu minyak berkelip samar, menambah kesan mura

  • Santet Pengantin   111

    Sosok yang menyerupai Rasti melesat ke arah mereka dengan kecepatan yang tidak wajar. Nafas Rahayu terhenti, tubuhnya menegang dalam pelukan Roy. “Minggir!” bentak Kania. Dengan cepat, Kania mendorong Roy dan Rahayu ke samping. Bayangan mengerikan itu melesat melewati mereka, nyaris mencengkeram bahu Rahayu. Namun Kania lebih sigap. Dengan sejumput garam yang selama ini ia simpan di sakunya, ia menebarkannya ke arah bayangan itu. SRAAKK!Sosok yang menyerupai Rasti berteriak nyaring. Tubuhnya mengerut, kulit pucatnya mengelupas, memperlihatkan lapisan hitam berlendir di bawahnya. Matanya, yang tadinya bersinar merah, kini mendidih seperti darah mendidih. “Kau akan membayar ini…” desisnya sebelum menghilang dalam kabut kelam yang menyesakkan. Suasana mendadak senyap. Hanya suara napas Rahayu yang terdengar, tersengal-sengal seperti orang yang baru keluar dari mimpi buruk. Roy membantu Rahayu duduk di sofa. Tubuh istrinya gemetar hebat. “Sayang… tenang… tenang…” Roy

  • Santet Pengantin   110

    Malam semakin larut, tetapi tidak ada seorang pun yang benar-benar bisa tidur. Rahayu masih duduk di sofa, sesekali menggigil meskipun Roy sudah menyelimutinya. Tatapannya kosong, pikirannya penuh dengan suara yang tadi ia dengar—suara yang seharusnya tidak mungkin ada. Roy sendiri berusaha menenangkan dirinya. Sebagai seorang pria yang selalu berpikir logis, semua ini sulit ia terima. Tetapi ia tidak bisa menyangkal kenyataan. Mereka melihat sesuatu. Mereka mendengar sesuatu. Dan sekarang… mereka tidak tahu apakah itu akan kembali atau tidak. Di sudut ruangan, Kania berdiri sambil menatap langit malam di luar jendela. Ia tidak mengatakan apa-apa, tetapi ia bisa merasakan sesuatu di luar sana. Sesuatu yang belum pergi. Arga, yang sejak tadi diam, akhirnya bangkit dari duduknya. “Aku harus tahu apa yang sebenarnya terjadi.” Roy mengerutkan kening. “Maksudmu?” Arga menatap mereka semua. “Apa yang kita hadapi ini bukan sekadar arwah penasaran. Kalau memang Rasti masih

  • Santet Pengantin   109

    Keheningan yang mencekam menggantung di udara.Ruangan yang tadinya dipenuhi bisikan dan suara tawa menyeramkan kini terasa sunyi. Namun, hawa dingin yang menyelimuti mereka belum sepenuhnya pergi.Arga masih terduduk di lantai, merasakan sisa-sisa nyeri akibat hantaman keras tadi. Napasnya masih berat, pikirannya kacau. Ia mengalihkan pandangannya ke Kania, yang masih berdiri tegap dengan belati di tangannya.Kania tetap waspada, matanya mengitari ruangan, seakan mencari tanda-tanda keberadaan sosok tadi.Rahayu masih terisak di sudut ruangan, sementara Roy berdiri kaku di sampingnya. Wajahnya pucat, tangannya bergetar.Ia tidak pernah percaya pada hal-hal seperti ini sebelumnya. Tapi kini?**Ia baru saja melihat putrinya yang telah mati… atau sesuatu yang menyerupainya.**

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status