Share

Bab 6

Ketika jam mulai berdetak

Satu tusuk untuk ingatan tentang dirimu yang selalu tertunduk

“ Apa Nyimas masih menulis dongeng ? ”

 Hasta tersenyum kecut. Matanya melihat keatas sambil menghela nafas. Hangantnya bauan kopi pesanan sudah hilang berganti dengan bau tanah yang khas setelah hujan. Masih rintik diluar, tapi cukup untuk membasahi rambut. Bu Sri hendak memulai ceritanya, sudah saatnya untuk jujur dengan dirinya. Tapi suaranya sangat serak untuk berbicara tentang kebohongan dirinya sendiri. 

“ Mas Arka masih ingat damar kurung yang dibeli dengan Nyimas ? ” 

“ Iya. ”

“ Dia menyimpannya di gudang rumah. Nyimas menunggu mas Arka pulang untuk melukisnya. ” canda Hasta. Tapi tak terlihat sedang bercanda.

      Arka sedikit memahami situasi ini. Dia hanya diam saja dan tak banyak bertanya. Walau banyak sekali gemuruh hatinya untuk berkata. Dilihatnya kanan-kiri. Pengunjung sudah tak ada selain mereka. Arka baru menyadari itu. Tapi melihat keadaan yang membuatnya sedikit berat untuk berdiri. Dia acuh. 

 Uap kopi berhamburan dengan gelombang ke udara. Dari dapur tampak biji kopi sedang disangrai. Menghangatkan lubang hidung wanginya. Hasta tak sekaku beberapa menit yang lalu, dia memainkan jarinya mengetuk meja. Menunggu jawaban Arka. Sesekali dia juga melihat Bu Sri yang masih memerah.

“ Hasta, ceritakan rahasiamu. Semuanya. ”

      Hasta disampingnya menatap mata Arka. Tak lagi bermain dengan jari, kali ini dia menggerakan kakinya. Hingga kaki kursinya juga ikut bersuara.

“ Harus darimana aku mulai ? ” Tanya Hasta untuk dirinya sendiri dengan tangan yang memangku kepala

“ Sejak mas Arka sekolah di Jerman ? ”

“ Tidak, sejak ayah Nyimas tak pernah pulang lagi.”

***

“ Ibu, kenapa ayah belum pulang ? ”

Nyimas memeluk ibunya yang sedang menyiram bunga dari belakang.

“ Kenapa ya ? Mungkin ayah harus mencari barang ke kota lain. ”

“ Tunggu saja, dia pasti pulang.”

“ Kalau tidak ? ”

      Dewi berbalik ke belakang untuk melihat Nyimas. Tangannya memegang erat Nyimas yang tampak khawatir.

“ Siapa yang akan mendongeng lagi ibu ? Aku sudah pinjam buku baru yang bagus. Nyimas mau diajari mendongeng seperti ayah.”

“ Ibu bisa mendongeng untukmu” Balas Dewi dengan mengelus rambut Nyimas

      Tak dipungkiri, Dewi juga khawatir dengan Zamrud yang sudah tidak pulang 4 hari. Seingat Dewi dia hanya izin untuk membeli keperluan kebun di kota sendirian. Sebelumnya tak pernah Zamrud pergi ke kota sendiri. Zamrud pernah bercerita bahwa dia punya trauma dengan kejadian pembataian etnis cina di kota. Biasanya juga jika tak ada yang menemaninya, dia akan mengajak Dewi pergi ke kota dan menitipkan Nyimas dengan Ayu. 

      Tapi Dewi tak akan berubah dengan prinsipnya. Dia harus tetap hidup dengan atau tanpa suaminya. Jika memang suaminya tak pernah kembali, situasi yang tak pernah diinginkannya. 

“ Mau sekarang ibu dongengkan ? ” Sekilas Dewi bertanya dengan Nyimas yang masih terpaku di depannya.

“ Memangnya ibu pandai bercerita ? ”

“ Dengarkan saja, cerita ibu lebih seru dibanding cerita ayah. ” Tantang Dewi dengan sorotan mata tajam

      Dewi kembali masuk rumah. Membuat teh, dua cangkir yang dia sediakan. Tak lupa dengan sedikit gula satu cangkir dan teh tawar satunya. Nyimas masih berdiri di tempatnya melihat bunga kamboja yang semakin mekar setiap harinya.

“ Ibu, kenapa ibu membuat cangkir teh ? Apa ayah sore ini pulang ? ”

“ Tidak, ibu akan melakukan ini setiap sore. Nanti kalau ayah datang, ibu nggak perlu balik ke dapur membuat teh. ” Balas Dewi

      Diletakkan dua cangkir teh diatas meja. Dewi duduk dikursinya. Nyimas mengikuti Dewi dan duduk diatas dewi. Berbeda, paha ibunya tak sekuat ayahnya yang besar. Terasa kecil ketika Nyimas duduk diatasnya, membuatnya tak nyaman dengan berat badannya yang akan menyakiti ibunya. Ketika hendak turun, Dewi mencegah. 

“ Tetaplah duduk disini, ingat tidak kapan terakhir ibu memangkumu ? kamu selalu ke ayahmu ” Canda Dewi dengan mencubit Nyimas.

      Nyimas hanya tersenyum. Dia sandarkan punggungnya ke dada ibunya. 

“ Ibu akan mendongeng tentang Putri dan Burung Elang ”

“ Burung elang itu apa ? apa dia seperti burung merpati di depan rumah pak RT ? ”

Dewi tertawa.

“ Bukan, burung elang itu burung yang sangat kuat. Matanya tajam. Dia hidup di hutan dan menghukum hewan lainnya yang jahat. Warna bulunya juga bagus, tegas seperti matanya. ” 

“ Apa dia polisinya hewan ? ”

“ Iya, dia menjaga hutan bersama harimau, singa dan macan. ”

      Hari semakin sore, angin mulai berhembus membelah cerita Dewi. Bau asap  membasahi udara yang mulai dingin, dua hari sekali tetangga mereka mebakar daun pohon yang gugur dipekarangan rumahnya. Namun aroma teh yang hangat tetap mendominasi area mereka.

“ Seperti apa ceritanya bu ? ”

“ Pangeran menolak untuk tinggal bersama dengan Putri. Sang putri merasa kesepian karena dia harus tumbuh dewasa sendirian. Kebiasaan Putripun selalu berdiri didepan jendela loteng untuk melihat langit. Dia berakhyal seandainya dia tidak menjadi putri, hidupnya mungkin akan bahagia dan bebas. Seperti kehidupan awan yang bebas terbang kemana-mana. Setiap sore, hanya hal itu yang dilakukan putri.”

      Dewi bercerita dengan membelai rambut Nyimas. Tangan satunya memegang dagu Nyimas mengarahkan wajah Nyimas ke langit.

“ Hingga di suatu sore, Sang Putri bertemu dengan seekor elang emas yang berputar mengelilingi lotengnya. Dia bersuara dengan keras membuat Putri ketakutan dan menjauhi jendela. ”

“ Seperti apa suara elang ? ”

“ Suara elang seperti suara kamu saat berteriak, keras sekali. ” Canda Dewi. Nyimas membalasnya dengan tertawa.

“Lanjut ya, tapi elang itu tidak jahat. Dia hanya tersesat setalah sekian lama terbang diatas langit. Elang itu bertengger di jendela yang masih terbuka. Dia terus mengepak sayapnya yang kuat. Putri takjub melihatnya yang cantik dan kuat. Didekati elang itu dan tersenyum menyapa elang.  ”

“ Aku tersesat dari hutan yang jauh dari sini. Sudikah kamu menerimaku untuk tinggal sementara waktu di loteng ini ? aku tak bisa menemukan pohon disekitar sini dan sayapku sudah lelah untuk terbang. Kata Elang kepada Putri. ” Dewi meniru suara elang dengan membulatkan suaranya.

      Nyimas terkikik mendengar suara ibunya. Dirasanya suara ibunya yang lembut tidak cocok meniru suara elang.

“ Putri menganggukkan kepalanya dan menjulurkan tangannya untuk elang. Dengan cepat elang berpindah ke tangan putri. Gadis itu mulai berani memegang bulunya dengan mengelus lembut. Dicarinya tempat yang nyaman untuk tidur elang yang kelelahan.”

“ Sudah, sekarang sudah tilawah di musholla. Kita siap-siap untuk sholat berjama’ah. ” Dewi menurunkan Nyimas dari pengkuannya. Diberesi kembali dua cangkir teh yang tak kurang sedikitpun airnya. 

***

“Bagaimana cerita selanjutnya ? ” Tanya Nyimas yang duduk di kursi teras milik ibunya

“ Ibu akan bercerita dari sini saja ya ” Jawab Dewi sambil membersihkan bunga kambojanya

“ Oh ya, Nyimas. Tolong bawa dua cangkir teh di dapur. Yang ada sendoknya itu milik ibu. ”

      Nyimas bergegas turun dan berlari ke arah dapur. Cukup jauh karena rumahnya panjang ke dalam. Seperti rumah di kampung pada umumnya. Dewi meletakkan dua cangkir diatas nampan putih. Kepulan uap panas masih menyembul ramai. Tanda bahwa air tehnya masih panas. Nyimas menurunkannya dengan pelan-pelan. Aroma khas teh membasahi penciuman Nyimas, hangat yang dia rasakan. 

“ Ibu, Nyimas taruh saja di meja ya ? ”

“Iya ”

“ Apa Ayah pulang hari ini ? ”

“ Ibu tidak tahu, mungkin ayah harus pergi ke luar kota yang jauh untuk mencari barangnya. Tugas kita hanya menunggu dan menyambut ayah. Nyimas tak perlu khawatir. ” Dewi masih sibuk dengan taman kecilnya.

“ Ibu tidak khawatir dengan ayah kalau ayah tidak pulang ? ”

“ Tempat pulang ayah ada disini. ”

“ Bagaimana ibu bisa tahu ?”

“ Foto ayah ada di rumah. Setiap orang tidak akan terpisah dengan fotonya. Jadi ayah pasti akan pulang. Kamu tunggu saja. ”

“ Kalau foto ayah ada di rumah yang lain dan ayah pulang ke rumah itu, bagaimana ibu ? ”

      Dewi berhenti dengan tangannya. Dadanya bergetar. Mata besar milik Dewi mulai memerah. Dia berdiri dan menghadap Nyimas yang sedari tadi menatap punggunnya yang kecil.

“ Tidak, foto ayah hanya ada disini. ” Senyum Dewi untuk Nyimas

“ Ibu rasa kita berdongeng nanti malam saja ya setelah sholat isya’. Ibu harus pergi ke kebun sebentar mengambi cangkul yang tertinggal. ”

Dewi melangkah ke pagar.

“ Nyimas, bawa saja cangkirnya ke dapur. Kita akan bercerita dengan bulan ya ? ” Dewi tersenyum, tapi wajahnya hanya setengah menoleh ke arah Nyimas.

      Nyimas hanya diam dibelakangnya. Dia tahu, perkataannya mungkin membuat ibunya sedih. Dan dia tahu ibunya berbohong. Cangkul kebun ada disebelahnya. Di kursi teras ibunya. Masih basah dengan tanah kebun karena ibunya baru pulang dari kebun bersama ibu Arka.

      Sedangkan Dewi berjalan dengan badan bergetar, kelaur rumah untuk mencari jawaban pertanyaan Nyimas. Dia lupa dengan masa lalu Zamrud. Wanita itu terlalu bahagia dengan kehidupannya, sehingga lupa untuk mempersiapkan luka Zamrud yang mungkin akan kembali. Nafasnya mulai tidak teratur, telapak tangan kanan dan kiri terasa dingin. Dia melangkah ke rumah wanita itu, teman lama Zamrud.

      Langsung saja Dewi membuka pagar dan masuk rumah. Ayu tak pernah mengunci pintu ketika sore hari. Karena Hasta dan Arka biasanya belum pulang sebelum jam lima. Ayu masih terduduk di depan TV. Tertawa dengan acara yang disiarkan. Tak tahu dengan Dewi yang datang membawa marah. Dan Dewi tak tahu juga bahwa apa sebabnya dia harus marah dan ke siapa kemarahannya ditunjukkan.

“ Ayu, kemana Zamrud pergi ?” Dewi bertanya dengan nada sedikit tinggi

      Ayu tersentak, dia benar-benar tak menyadari Dewi. Bahkan pintu terbuka saja dia tak mendengarnya. Dia gelagapan dengan wanita yang berdiri di depan pintu. Mata Nyimas memerah. Tak beberapa lama, istri Zamrud itu menangis. Dia terduduk sambil menutupi wajahnya. Baru kali ini dia menangis karena laki-laki. Tidak, ini kedua kalinya. Sebelumnya Dewi menangis karena dilamar oleh anak pemuka desa sebelah, saat dia masih di kampung pesisir. Sangat sulit pilihan yang diberikan kepadanya. Hingga datang Zamrud untuk melamar Dewi.

      Ayu ikut teriris dengan Dewi. Dia mengangkat Dewi, cukup mudah karena tubuh Dewi kecil dibanding tubuhnya yang berisi. Diarahkannya ke depan televisi yang masih menyala. Siaran saat itu sedang iklan. Dewi masih sesegukan, namun agak lemah. Tidak sekeras saat didepan pintu. Ayu merilik kearah jam dinding. Pukul 16:33, Arka dan Hasta masih lama untuk pulang. Sebelum dua anak kecil itu datang, dia harus menenangkan Dewi terlebih dahulu. Ayu sigap ke dapur memberikan teh hangat.

“ Kemana Zamrud pergi Ayu ? ” Suara Dewi bergetar serak

“ Tenangkan dulu dirimu, aku nggak mau cerita kalau kamu masih nangis. ” 

      Dewi mulai mengontrol dirinya, dia sadar untuk apa dia menangis saat ini. Dia hanya bertujuan untuk mencari jawaban untuk Nyimas.

“ Ma’af Dewi, aku baru ngasih tau ke kamu. Waktu kita ke rumah sakit, Zamrud hanya berpamitan untuk pergi ke Palembang. ” Ayu dengan tenang memberi jawaban. Tangannya masih mengelus punggung Dewi.

“ Apa dia ke perempuan itu ? ”

“ Sepertinya iya, dia pergi dengan Zein. Kita juga dulu satu sekolah dengan Zein. ”

      Muka Dewi kembali putih, tak semerah saat dia berjalan ke sini. Matanya menatap lekat wanita disampingnya.

“ Dewi, saranku, biarkan Zamrud ke Palembang. Dia pasti mbalik ke sini. Toh dia juga harus mengantar Zein pulang ke Surabaya. Zamrud pasti punya alasan sendiri buat datang kesana. ”

Dewi tetap datar.

“ Ingat, kamu masih punya Nyimas. Dia butuh kamu saat ini.”

Dia tak berubah, wajah cantik yang tegas tetap tak berbicara apa. Dewi termenung, melihat acara TV yang berjalan sendiri. Tanpa ada yang melihatnya.

***

      Ada yang berbeda di teras, Dewi dan Nyimas menggelar tikar. Setelah makan malam, Dewi akan menepati janjinya untuk mendongeng dengan bulan. Dua perempuan itu bercerita sambil menatap bulan. Cahaya putih bulan setengah lingkaran terang dengan warna putih. Bintang menyembur secara berantakan di atas warna hitam. Baru pertama kali dia melihat langit, meski sudah berulang kali dia bermain keluar rumah di malam hari. Mata Nyimas sangat berkilau melihat semuanya. 

      Ibunya datang sedikit telat, karena dia membawa teh. Bukan teh tadi sore. Dewi membuatnya yang baru dengan teh aroma melati.

“ Ibu membuat teh lagi ? ” Tanya Nyimas setelah menyadari kedatangan Dewi

“ Ya, Ibu akan selalu membuat teh. Satu untuk ibu dan satu untuk ayah.”

Nyimas tak ingin menanyakan lagi tentang ayahnya.

“ Bagaimana cerita Putri dan Elangnya ? "

      Dewi merebahkan badannya di tikar. Diikuti Nyimas. 

“ Burung Elang tidur diatas istana. Sebelumnya Putri sudah memberikan makan malam untuk Elang agar tenaga elang emas kembali. Tapi Putri terlalu penasaran dengan elang, hingga putri datang di waktu tengah malam untuk melihat elang emas. Ternyata elang belum tertidur. ”

“ Apa yang kamu lakukan disini ? aku akan beristirahat. ” Tiru Dewi 

“ Tidak aku hanya ingin melihatmu tertidur. Ini baru kali pertama ada yang bertamu ke istanaku dan tidur disini ”

“ Mau menemaniku melihat bintang ? ”

“ Apa kamu tidak ingin beristirahat ? Aku yang pergi ke kamar saja.”

“ Tidak, aku hanya tidur 1 jam. Kita bisa melihat bintang sebentar tuan Putri. Itu jika kamu tidak keberatan. ”  Pintah si Elang. 

“ Ibu, apa tuan Putri melakukan seperti Nyimas sekarang ? ”

“ Ya, tuan Putri menghabiskan malam akhir dengan menatap bulan dan bintang. Zaman dulu, bintang lebih banyak daripada sekarang. Bentuk bulan dan bintang juga besar, tidak seperti sekarang. Sepanjang malam, mereka berdua melihat ke luar jendela. Sang elang juga bercerita tentang kehidupannya yang suka berpetualang di hutan. Mencari hewan-hewan yang melakukan kejahatan. ”

“ Ibu, Nyimas ngantuk. ” Rengek Nyimas dengan manja ke ibunya.

“ Cepat sekali kamu tidur. Biasanya kuat sampai jam 10. ”

“ Malam ini Nyimas mau tidur dikamar ibu. ” Nyimas berbicara dengan mata tertutup.

“ Tidur saja disini, ibu akan mengangkat Nyimas ke kamar ibu. ”

      Malam semakin dingin. Namun Dewi enggan untuk masuk ke dalam meski Nyimas sudah tertidur di sebelahnya. Dia masih ingin melihat langit. Menatap betapa beratnya mereka harus selalu bersinar di setiap malam. Dan ketika salah satu mereka tak kuat, mereka akan turun ke bumi. Terkikis oleh atmosfer, pasti sakit rasanya. Dewi tersenyum. Seperti itulah hidup. Dia harus kuat bersinar setiap hari, dengan atau tidak masalah menyertainya. Jika tidak, dirinya akan terus terkikis oleh rasa sakitnya sendiri. 

      Teh tidak sepanas tadi. Angin malam terus menghembus uap hangatnya. Warnanya saja yang tetap hitam. Memantulkan cahaya bulan dan bintang. Seperti apa yang dilihat Dewi. Namun lebih kecil dan tak seterang kenyataannya.

***

“ Aku ingin bertemu Nyimas ” Tiba-tiba Arka angkat bicara dan berdiri

Hasta tertawa kecil. Bu Sri belum cerita apapun di pertemuan itu. Tapi kopi setiap cangkir sudah habis menandakan cerita harus diakhiri. Satu-satunya wanita disitu, Bu Sri ikut berdiri.

      Mengikuti Arka dengan wajah datar tapi menyembunyaik pedih. Dia menahan tangannya agar pemuda di depannya tak benar untuk pergi.

“ Dengarkan dulu ceritaku.  Jauh sebelum Nyimas lahir, ada rahasia besar.  Setelah itu, kalian temui Nyimas. ” Ucap Bu Sri dengan sedikit mengancam

      Mata Hasta terbelalak, dia membuang muka ke arah yang berlawanan dengan Arka. Kali ini giliran muka Hasta yang memerah.  Seperti menanggung malu, untuk cerita selanjutnya.​

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status