Putra Mahkota akan tinggal di sini beberapa hari lamanya, sambil mengamati penelitian para ilmuan di Pulau Tengkorak. Namun kehadiran dirinya di sini, membuat ilmuan-ilmuan tersebut malah merasa tertekan.
“Putra Mahkota hanya memberi kita waktu satu bulan saja.”“Ki Nerto, waktu satu bulan tidak akan cukup bagi kita untuk memenuhi keinginan Putra Mahkota, bagaimana ini?”Ki Nerto alias Pimpinan dari organisasi penelitian ini, mulai merasa bimbang, Dua tahun dia telah bekerja untuk menciptakan mesin pembunuh seperti yang diinginkan oleh Putra Mahkota, tapi bahkan waktu tersebut masih kurang cukup bagi dirinya.Sekarang, Putra Mahkota malah meminta mesin pembunuh dengan waktu hanya satu bulan saja. Ini gila, bagaimana hal ini bisa dilakukan? Seribu anak-anak yang dijadikan objek penelitian mungkin tidak akan sanggup untuk memenuhi keinginan gila Putra Mahkota.Tentu saja ini berkaitan dengan dunia politik di Kerajaan Indra Pura. Isu beredar, jika Raja tampaknya akan mengangkat putra ke duanya menjadi Raja.Perselisihan paham antara Putra Mahkota dan Raja bukan lagi sebuah rahasia. Banyak sekali masalah-masalah yang diciptakan oleh Putra Mahkota,yang menurut Raja menyalahi aturan.Perselisihan itu memuncak ketika Raja, di aula pertemuan menyatakan akan mengangkat putra ke duanya sebagai pewaris tahta.Ini tidak bisa diterima oleh Putra Mahkota. Tiada hak bagi Pangeran ke dua untuk menjadi raja. Karena alasan ini, Putra Mahkota mengumpulkan semua kalangan yang berpihak kepada dirinya, dan puncaknya dia membangun sebuah penelitian untuk menciptakan sebuah mesin pembunuh.‘Jika aku tidak menjadi raja, maka mesin pembunuh yang aku ciptakan akan menghancurkan raja manapun yang berdiri di atas tahta.’ Itulah Sumpah dari Putra Mahkota.“Jadi apa yang akan kita lakukan saat ini, Ki Nirto?”“Apa boleh buat, kita akan melakukan tindakan Kelas S!”“Tindakan Kelas S, Ki Nerto? Apa kau yakin? kau pernah berkata tidak ada tubuh anak-anak yang memiliki syarat untuk mengikuti prosedur tersebut?”“Kita tidak punya pilihan lain, ini adalah pertaruhan, ilmuan seperti kita adalah orang-orang gila, kita tidak akan mundur sampai ‘mesin pembunuh’ berhasil dibuat.”Dua hari setelah itu, Ki Nerto mulai menyiapkan semua yang dibutuhkan dalam penelitian ‘Kelas S’ yang dianggap sebagai penelitian paling gila yang pernah dia lakukan.Di sisi lain Pulau Tengkorak, gadis cantik putri bangsawan terlihat sedang berjalan santai di taman belakang bangunan utama.Dia ditemani oleh beberapa dayang, dengan dijaga oleh lima prajurit kerajaan.“Tuan Putri, Yang Mulia Pangeran melarangmu untuk pergi keluar taman ini,” ucap salah satu prajurit. “tempat ini berbahaya.”Mendengar ucapan tersebut, Tuan Putri langsung memasang wajah kesal. Ucapan prajurit itu terdengar seperti sebuah perintah di telinga Putri tersebut, dan dia tidak menyukainya.Karena itu, Putri bangsawan malah melanggar ucapan Ayahnya sendiri, dan mulai berjalan-jalan keluar dari taman.Beberapa lama kemudian, dia tiba di sebuah kawasan hutan yang lebat, dipenuhi dengan kabut, dan mengeluarkan nuansa yang angker.Para pelayan berusaha meyakinkan Putri Bangsawan untuk kembali ke penginapan, karena sejak awal menginjak kaki di tempat ini, bulu kuduk mereka mulai berdiri.“Kalian semua penakut,”timpal Putri itu, “Kalau begitu pulanglah! Biarkan aku sendirian di sini!”Bagaimana mungkin para pelayan akan pulang tanpa Putri kecil itu? Itu sama saja mereka menyerahkan batang leher kepada Putra Mahkota untuk dipenggal.Pada akhirnya, mereka hanya bisa mengikuti langkah kaki gadis keras kepala, yang bahkan para prajurit juga merasa tidak nyaman berada di hutan aneh ini.Setelah beberapa saat kemudian, mereka akhirnya menemukan bangunan kuno yang usang dan terbengkalai. Bangunan itu terbuat dari tumpukan batu, sedemikian rupa, sehingga mirip seperti sebuah kuil.Ada anak tangga panjang untuk mencapai pintu gerbang kuil aneh itu.Wushhh..Hembusan angin kencang menerpa wajah-wajah mereka yang datang ke tempat ini. Udara yang keluar dari pintu masuk kuil yang terbuka, seolah hembusan nafas seekor monster.Tidak selang beberapa lama, Rawai Tingkis muncul di tempat tersebut, seraya berkata, “Ini adalah daerah terlarang, kenapa kalian ada di sini? Jangan mendekati kuil itu!”“Siapa kau berani sekali melarangku?” timpal Tuan Putri, “Apa urusanmu jika aku masuk ke dalam kuil, ha?”Setelah berkata seperti itu, Tuan Putri dengan wajah merah karena kesal, melangkahkan kakinya, mulai meniti anak tangga dengan terburu-buru.“Kami bahkan dilarang masuk!” ucap Rawai Tingkis, “kalian akan mendapatkan bahaya, pergilah dari tempat ini!”Tuan Putri mengeluarkan pedang dari sarungnya, kemudian dengan sombong menyatakan diri sebagai salah satu satria pedang terbaik di Istana kerajaan Indra Pura.Dia bahkan mengerahkan mata pedang tersebut ke leher Rawai Tingkis, dan mengancam akan membunuh bocah itu jika sekali lagi melarangnya.“Itu adalah penjara!” ucap Rawai Tingkis, “sesosok mahluk terkurung di tempat tersebut, mahluk buas haus darah, jika kalian mengusiknya, bahkan hanya mendengar suaranya kalian akan mati.”Benar, di dalam kuil kuno itu ada sosok mahluk yang terpenjara. Sampai saat ini, para ilmuan masih melakukan penelitian mengenai mahluk itu, tapi sampai saat ini pula mereka belum mendapatkan hasil yang memuaskan.Kenapa Rawai Tingkis mengetahui tempat ini, karena di sinilah mereka berlatih siang dan malam. Suasana angker di sini, menjadi salah satu latihan mental bagi anak-anak yang dijadikan objek penelitian.Menurut Rawai Tingkis, hembusan angin kencang yang berasal dari dalam kuil merupakan nafas dari mahluk tersebut, walaupun sampai sekarangpun dia tidak tahu seperti apa sosok mahluk tersebut.Hanya saja, dia tahu bahwa mahluk yang dipenjara di dalam kuil, sangatlah berbahaya.Mendengar penjelasan Rawai Tingkis, Tuan Putri malah menimpalinya dengan tawa yang sombong. Dia masih sesumbar dengan kemampuannya, dan di dunia ini menurutnya tidak ada yang perlu ditakuti.Berbeda dengan Tuan Putri, para pelayan dan prajurit jaga memasang wajah tegang saat mendengar ucapan Rawai Tingkis. Mereka percaya, dan tentu saja harus percaya mengingat situasi di sini sangat menyeramkan.Seorang prajurit menatap langit, kemudian menyapukan pandangan ke sekeliling, dan menyadari jika tidak ada satupun hewan yang berkeliaran di sini, bahkan tidak terdengar nyanyian burung kecil di sin.Ketika dia melihat seekor ular kecil berjalan ke arah kuil, mendadak ular itu langsung berbalik arah seperti ketakutan, tapi tidak lama kemudian ular itu bertingkah aneh lalu mati.“Maaf Tuan Putri, mungkin ucapan bocah ini ada benarnya, sebaiknya kita tinggalkan tempat ini sebelum terjadi hal-hal yang tidak diinginkan,” bujuk salah satu prajurit.“Apa kau bilang?!” bentak Putri kecil itu, “kau berani memberi perintah kepadaku?”“Bukan, bukan itu maksud hamba, tapi tidak ada salahnya jika mempercayai bocah ini, lagipula dia sudah berada lama di sini, dan mengetahui seluk beluk dari Pulau Tengkorak.”Gadis kecil itu menatap ke arah Rawai Tingkis, matanya tajam seolah belati yang siap menusuk jantung, tapi Rawai Tingkis telah terbiasa dengan tatapan seperti itu, mentalnya telah terasah dengan sangat baik di tempat ini.“Percayalah Tuan Putri, tatapanmu tidak semengerikan dengan apa yang kami lewati di sini, kembalilah aku hanya ingin memperingatkan dirimu!”Begitu geramnya gadis tersebut mendengar ucapan yang keluar dari mulut Rawai Tingkis, sampai-sampai dia mengakat pedangnya dan tampaknya akan menghukum bocah kecil dekil di hadapannya.Namun tiba-tiba...Gerrrr...Muncul aura yang begitu kuat dari dalam pintu kuil, aura yang tidak bisa dijelaskan oleh kata-kata, yang mampu menggetarkan alam bawah sadar seseorang.Tuan Putri membuka mulutnya, tapi suara yang keluar nyaris tiddak terdengar sama sekali, sementara di sisi lain, para pelayan kehilangan kesadarannya tepat dua detik setelah aura mengerikan itu muncul.Di sisi lain, para prajurit langsung jatuh tersungkur di tanah, tapi tubuh Tuan Putri menerima tekanan dari jumlah yang besar, membuat dirinya terlempar beberapa depa ke belakang.Untuk sejenak, tubuhnya melayang seperti kertas yang ditiup oleh angin. Pedang terlepas dari genggaman, dan hampir saja kepala gadis itu mendarat pada batu runcing, jika bukan karena Rawai Tingkis berhasil menangkapnya tepat waktu.“Dimana aku?” Putri kecil itu terjaga di sebuah kamar indah yang dikelilingi oleh banyak perawat. Dia menyapukan pandangannya beberapa kali, kemudian hendak beranjak dari pembaringan, tapi dihentikan oleh Ayahnya sendiri, Putra Mahkota kerajaan Indra Pura. “Ayah ...”“Akhirnya kau sudah sadar,” ucap Pangeran itu, “kau membuat aku khawatir, Putriku. Kenapa kau pergi ke lokasi larangan, bukankah para prajurit telah memperingatkan dirimu?”“Ayah, jadi itu bukan mimpi?” Gadis itu kembali berusaha untuk beranjak dari pembaringan, tapi sekujur tubuhnya terasa begitu sakit.“Tuan Putri pingsan selama 7 hari, kau memiliki mental yang cukup kuat, mengingat para pelayanmu kehilangan-“Putra Mahkota mengangkat tangannya, mengisyaratkan agar dokter yang berbicara itu, menghentikan ucapannya.“Ada apa dengan para pelayan?” tanya Putri tersebut.“Lebih baik kau istirahat Putriku!” Putra Mahkota malah mengalihkan pembicaraannya, tidak ingin putrinya tahu jika semua pelayan telah mati, bahkan sebelum
Dusun Air Tenam dihebohkan oleh kemunculan jasad bocah kecil yang ditemukan di pinggiran sungai, tidak jauh dari pemandian para warga di sana.Mereka lantas membawa tubuh Rawai Tingkis menuju ke rumah seorang tabib di desa tersebut.“Biarkan aku memeriksanya, kalian semua harap menunggu di luar ruangan!” ucap tabib itu.Selang beberapa saat, Sang Tabib keluar dari kamarnya, dengan peluh yang membasahi sekujur tubuh, tapi kemudian dia tersenyum lega, “anak itu belum mati, meski sangat lemah, aku bisa merasakan denyut jantungnya.”Dia bernama Tabib Rabiah, seorang wanita yang mengabdikan dirinya di desa Air Tenam sebagai tukang medis.Bisa dibilang, dia merupakan tabib terbaik, karena hampir semua pasiennya sembuh setelah ditangani oleh wanita tersebut.Tidak diketahui asal muasal Tabib Rabiah, dia bukanlah warga pribumi, dia datang ke desa ini 10 tahun yang lalu, dan sampai saat ini tidak ada satupun orang yang mengetahui identitas asli Tabib Rabiah.“Aku sudah memberinya beberapa obat
Di hari pertama Rawai Tingkis telah membuat ulah, dia menjatuhkan kendi yang diletakan di dinding rumah.Kendi itu berisi semua ramuan yang berusia belasan tahun.“Apa yang kau lakukan, BOCAH!!!”“Heheh …maaf Tabib Rabiah, tanganku tidak sengaja menyentuh kendi usang ini. Tapi tenang saja aku akan membersihkan kekacauan ini …” Rawai Tingkis menunjukan senyum tak bersalah, tapi sedetik kemudian satu pukulan keras mendarat tepat di kepalanya. “-Ahk-“.“Kau pikir masalah ini sederhana, Bocah …” tangan Tabib Rabiah terangkat lagi ke atas, “Ini adalah harta berharga yang aku miliki, tapi kau menghancurkannya dengan tanpa dosa.”Kemudian terdengar teriakan di dalam rumah tersebut, teriakan dari mulut Rawai Tingkis yang mungkin kini sedang dihajar habis-habisan oleh Tabib Rabiah.Beberapa saat kemudian, Rawai Tingkis keluar dari dalam rumah dengan tangan mengurut kepala bagian belakangnya.“Dia benar-benar monster,” gerutu Rawai Tingkis.“Aku mendengar ucapanmu!”“Maafkan Aku!”Rawai Tingkis
Di tengah Lembah Berkabut, dua bandit berwajah sangar berjalan buru-buru, melintasi beberapa pohon diantara rawa-rawa gambut.Mereka membawa dua buntelan besar, yang berisi banyak harta berharga.Keduanya berkelakar tetang pembagian yang akan diterima setelah menyerahkan harta itu kepada pimpinan mereka.Sesekali mereka tertawa terbahak-bahak, membayangkan melewati malam ini di rumah bordil yang ada di pusat kota.“Aku akan memsan lima gadis di sana, kau tahu…ada gadis penghibur berwajah cantik?”“Ah, aku tidak terlalu tertarik dengan mereka,” timpal yang satunya, “aku ingin menghabiskan malam ini dengan kendi-kendi tuak.”“Seleramu memang buruk, Kawan.”Setelah beberapa saat kemudian, mereka tiba di sebuah rumah beratap ilalang yang dipenuhi oleh banyak bandit gunung.Rumah sederhana yang berdinding jalinan bambu, telah berdiri beberapa tahun, menjadi markas persembunyian para bandit gunung ini.“Bos, kami berhasil menjarah rumah Ki Demang Desa Ranting,” bandit itu langsung menyerahk
Mendengar perkataan Rawai Tingkis, wajah Kondir langsung memerah bak kulit udang rebus.Tidak perlu basa-basi dia langsung menyerang bocah sombong di hadapannya. Meski lawannya hanyalah anak kecil, Kondir tidak pernah segan untuk menghabisi siapapun yang tidak patuh akan perkataanya.“Jangan menyesal jika kau mati!” ucap Kondir.Namun, gerakan Kondir tidak lebih cepat dari Rawai Tingkis. Bocah ingusan itu dapat dengan mudah menghindari golok yang bergerak cepat menuju batang lehernya.Dia melompat beberapa kali ke belakang, melakukan salto sekali sebelum kemudian berdiri tenang di sebelah pohon berukuran cukup besar.“Cuih, bocah ini rupanya cukup lihai,” gumam Kondir.Sementara itu, Sindur hanya menyaksikan pertandingan yang dianggapnya tidak akan menguntungkan Rawai Tingkis.Sindur bahkan masih sempat duduk di sebuah batu, dengan tangan menopang kepalanya.“Bocah itu memang cepat, tapi dia tidak akan bertahan saat melawan Kondir,” ucap Sindur, seraya tersenyum tipis.Merasa tebasann
Sementara itu Tabib Rabiah berkeliling di desa, mencari keberadaan Rawai Tingkis yang entah pergi ke mana.Dia menanyakan kepada beberapa warga, tapi semuanya menjawab sama, ‘kami tidak melihat bocah itu.’“Kemana dirinya?” tanya Tabib Rabiah, “apa aku terlalu keras kepadanya, Rawai Tingkis! Apa kau pergi dari rumah?”Tabib Rabiah mendongak ke ufuk timur, melihat matahari berangsur-angsur tenggalam meninggalkan siang.Malam akan segera datang, suara kicauan burung mulai terdengar sahut-menyahut, mungkin sedang mencari tempat untuk beristirahat malam ini.Jangkrik berpadu dengan suara kodok, menjadi nyanyian alam yang seolah menasehati semua manusia untuk masuk ke dalam rumahnya.Tabib Rabiah berjalan gontai, kemudian duduk di beranda rumahnya dengan wajah yang suram.Dia mengeluarkan sebatang rokok, menyulutnya dalam-dalam, tapi hal ini tidak bisa menenangkan dirinya sama sekali.Ada banyak pikiran buruk di benaknya, membuatnya semakin gelisah.“Atau jangan-jangan …tidak, itu tidak mu
Rawai Tingkis mulai memaki ular hitam legam yang membuat rusa buruannya melarikan diri karena ketakutan.Karena kekesalan itu, Rawai Tingkis menyerang ular seperti kesetanan.Beberapa kali ular itu mencoba menghindari Rawai Tingkis, lalu melakukan serangan balik.Ujung ekor sang ular akhirnya mendarat tepat di perut bocah tersebut, membuat dirinya terdorong beberapa puluh depa ke belakang.Bocah itu menghantam semak belukar berduri lalu menghantam pangkal batang pohon besar.Burung kecil terbang berhamburan kala pohon itu bergetar kuat.“Adu duh duh duh …” Rawai Tingkis meringis, sebelum kemudian berdiri dan kembali menyerang ular tersebut.Meskipun pisik Rawai Tingkis sangat kuat dibandingkan dengan lima orang pria dewasa, tapi tetap saja ular itu lebih kuat dari dirinya.Setiap kali Rawai Tingkis mendaratkan potongan kayu ke tubuh ular, binatang tersebut terlihat baik-baik saja.“Cisss…” suara ular mendesis, menjulurkan lidah bercabang dari dalam mulutnya.Tatapan mata yang tajam ti
“Kancil, Kelinci?” Rawai Tingkis menemukan tiga binatang di depannya, “Siapa yang membawanya ke sini? Ah, akhirnya aku akan makan siang.”Rawai Tingkis mengeluarkan sebilah pisau kecil, lalu memotong tiga hewan itu, yang dalam keadaan terluka kakinya.Api unggun pada akhirnya menyala, lalu menyisakan bara. Rawai Tingkis dengan senyum gembira mulai memanggang ke tiga hewa tersebut, sesekali dia akan bersiul kecil, sesekali dia meniup bara api agar tetap menyala.“Selamat makan!” ucap dirinya, menyatukan dua telapak tangan, lalu menutup mata rapat-rapat. Setelah itu dia menghabiskan semua makanan itu tanpa tersisa.Rawai Tingkis membuang tulang terakhir, dan baru menyadari jika sebelumnya dia sedang bersama ular raksasa.Namun sekarang, dimana ular itu? Rawai Tingkis memutar kepalanya beberapa kali, tapi tidak melihat keberadaan binatang tersebut.“Apa dia sudah pergi?” gumam dirinya. “Kalau begitu aku juga harus pergi, perjalananku masih jauh.”Rawai Tingkis memeriksa buntelan yang dib