Share

Satria Roh Suci
Satria Roh Suci
Author: Pancur Lidi

Rawai Tingkis

“Berapa ratus anak-anak lagi yang akan mati tahun ini?” Pertanyaan itu keluar dari mulut Rawai Tingkis dengan nada yang bergetar. "Pulau ini adalah penjara dan neraka, semuanya akan mati pada akhirnya."

Ya, ini adalah Pulau Tengkorak merupakan pusat penelitian terbesar di Kerajaan Indrapura, untuk menciptakan mesin pembunuh. Anak-anak dilatih dengan serangkaian prosedur mengerikan oleh ilmuan Kerajaan, sehingga menghasilkan pembunuh paling ditakuti yang tidak memiliki emosi.

Puluhan hingga ratusan anak mati hanya karena penelitian gila para ilmuan di pulau tersebut. Anak-anak malang yang dibesarkan mulai dari usia 7 tahun ini, diambil dari jalanan, atau yang sengaja dijual oleh panti asuhan jalur hitam, dan tidak terkecuali Rawai Tingkis. Anak berusia 9 tahun yang telah tinggal di sini selama lebih dari 2 tahun lamanya.

2 tahun yang lalu, lebih dari 100 anak-anak didatangkan ke pulau tengkorak, tapi kemudian yang bertahan hingga hari ini hanya tersisa beberapa orang saja. Rawai Tingkis salah satunya.

Hari ini, Rawai Tingkis berdiri di atas tembok bangunan besar yang dijadikan pusat penelitian dan berkumpulnya ilmuan dari penjuru negri. Dia menatap kapal besar yang semakin mendekati pulau. Di dalamnya ada banyak anak-anak yang akan dijadikan objek penelitian.

Tepat di alisnya, ada sayatan pedang yang dia terima dengan sengaja dari salah satu pelatihnya.

Bukan hanya itu, tepat pada bahunya ada sebuah tanda tengkorak yang dia terima tepat ketika menginjakkan kaki di pulau ini.

Logam panas harus dia rasakan saat orang-orang dewasa di sini menciptakan tanda tersebut. Ingatan itu terasa baru kemarin sore dialami oleh Rawai Tingkis, bahkan kadang kala dia masih merasakan gatal pada bagian tanda tengkoraknya.

Dari kejauhan Rawai Tingkis mulai melihat beberapa anak-anak kecil digiring keluar dari dalam kapal. Wajah mereka sama persih dengan wajahnya ketika dia datang ke pulau Tengkorak ini. Menyedihkkan, ketakutan dan penuh dengan air mata.

Namun tiba-tiba, Rawai Tingkis menemukan wajah seorang gadis kecil yang begitu cantik, dengan mata besar dan bibir tipis.

“Dia tidak seperti anak-anak malang di sana, dia seperti bangsawan kerajaan, gadis kaya sepertinya datang ke sini, apa yang akan dilakukannya?”

Rawai Tingkis menyeringaikan giginya, tidak begitu senang melihat bangsawan datang ke sini, karena terakhir kali yang dia ingat, kedatangan mereka malah menimbulkan banyak kematian bagi teman-temannya.

Apa lagi melihat kedatangan gadis kecil itu, paling mencolok dari semua anak-anak yang datang ke sini, membuat Rawai Tingkis merasa jengkel.

“Rawai Tingkis, aku sudah melarangmu berada di sana!” seorang petugas keamanan berteriak dari bawah, meminta agar Rawai Tingkis lekas turun dari atas tembok, jika tidak maka akan ada beberapa siksaan yang akan dialami oleh Rawai Tingkis.

Dengan senyum aneh, Rawai Tingkis mengikuti perkataan petugas tersebut, lalu kembali lagi ke kamarnya bergabung bersama dengan anak-anak yang lain.

“Bangsawan datang lagi?” tanya salah satu bocah berbadan besar yang duduk di atas meja seraya memainkan belati.

“Mereka akan melakukan sesuatu terhadap kita,” timpal Rawai Tingkis, “ada banyak anak-anak datang ke sini, dan pada akhirnya mereka semua akan berakhir sama dengan yang lainnya.”

Ucapan Rawai Tingkis menghentikan putaran belati di telapak tangan bocah bertubuh besar, dia menatap Rawai Tingkis dengan ekspresi sedikit ketakutan.

Ya, semuanya juga tahu jika bangsawan kerajaan datang ke sini, maka hal-hal yang mengancam nyawa mereka akan menjadi tontonan bagi mereka.

Tidak jarang jika anak-anak ini diberin perintah untuk bertarung sampai mati, hanya untuk memastikan siapa yang paling kuat diantara anak-anak yang ada, atau mereka sengaja dijatuhkan dari jurang yang dibawahnya mengalir sungai yang dangkal, hanya untuk memastikan apakah anak-anak ini memiliki kemampuan untuk bertahan hidup dalam situasi yang sulit.

Bagaimana anak-anak akan selamat, jika metode dan prosedur yang mereka lakukan sangat gila dan berbahaya. Orang dewasa belum tentu bisa melakukan hal itu, apa lagi anak-anak dibawah belasan tahun.

“Aku tidak ingin mati ...” terdengar suara rengekan dari bocah yang ada di sebelah Bocah Bertubuh Besar.

“Menurutmu siapa yang ingin mati di sini?” tanya bocah yang lain, yang kemudian dikenal bernama Ronggo. “Dari 100 anak yang datang 2 tahun yang lalu, kini hanya tertinggal 10 orang saja, dan kemungkinan kita semua akan mati di sini, benarkan Rawai Tingkis?”

“Ya, kita akan mati di sini jika tidak berbuat sesuatu,” ucap Rawai Tingkis. “Namun, aku akan keluar dari pulau ini, apapun yang terjadi, aku akan keluar.”

“Jika kau keluar maka aku pasti akan keluar lebih dahulu,” timpal Ronggo, “aku jauh lebih kuat dari kalian semua.”

Rawai Tingkis tidak membantah hal tersebut, karena dari sisi usia Ronggo memang lebih tua dari dirinya, lebih dari itu Ronggo memiliki tubuh yang lebih besar dari rata-rata anak seusia mereka.

Namun, semuanya pada akhirnya sama saja, tidak ada satupun dari anak-anak di sini yang lolos dari siksaan para ilmuan gila.

Hanya saja, Ronggo dan Rawai Tingkis merupakan dua bocah yang memiliki ketahan tubuh jauh di atas rata-rata.

Berbeda dengan Rawai Tingkis, latar belakang Ronggo memang buruk. Dia putra berandalan kota. Mencuri adalah hal biasa yang dilakukan oleh Ronggo, darah dan air mata merupakan pemandangan sehari-hari yang dilihat oleh bocah lelaki tersebut selama tinggal di lingkungan para bandit. Karena itu, sifat Ronggo terkesan lebih kejam dibandingkan Rawai Tingkis, dia juga lebih sombong dan angkuh.

Setelah berbincang-bincang beberapa saat, Rawai Tingkis memutuskan untuk kembali menyelinap keluar dari kamar sempit ini, tapi sebelum itu Ronggo berkata kepada dirinya, "Bagaimana jika mereka membuat pertarungan sampai mati antara kita berdua?”

“Kau tidak akan mengampuniku, tapi aku juga tidak akan menyerah,” jawab Rawai Tingkis, “dari semua anak-anak di sini, mereka tahu hanya kau dan aku yang memiliki potensi paling besar. Namun, siapa yang tahu mengenai hidup dan mati?”

Rawai Tingkis tersenyum penuh arti, lantas pergi meninggalkan kamar ini. Ya, dibandingkan semua anak-anak, Rawai Tingkis merupakan bocah yang kepalanya dipenuhi oleh rasa penasaran.

Dia akan keluar dari kamar untuk mencari jawaban dari banyaknya pertanyaan di kepalanya, meskipun harus dibayar dengan deruan cambuk di sekujur tubuhnya, dia tidak peduli.

Mendapati perlakukan kejam selama dua tahun lamanya, membuat Rawai Tingkis menjadi begitu akrab dengan rasa sakit dan perih. Mungkin perasaanya sudah mati, hatinya mendingin dan emosinya telah pergi meninggalkan jiwanya, atau! Entahlah?

Setelah mengendap-endap beberapa lama, pada akhirnya Rawai Tingkis tiba di ruang kerja utama para ilmuan.

Di sana sudah ada seorang pria berusia 35 tahun atau mungkin 40 tahun, dengan pakaian mewah dan mahkota kecil di kepalanya. Di belakang pria itu ada lusinan penjaga lengkap dengan pakaian perangnya. Tombak di tangan mereka berkilat saat terkenca cahaya lentera di dalam ruangan ini.

Tepat di sebelah pria tersebut, gadis kecil yang dilihat oleh Rawai Tingkis barusan sedang mengamati banyak benda yang Rawai Tingkis tidak tahu benda-benda apa namanya.

Namun seingat Rawai Tingkis, cairan yang berada di botol kaca di hadapan gadis kecil itu, adalah racun ular berbisa. Seingat Rawai Tingkis sudah lebih dari 9 kali, dia diberi racun tersebut dengan cara di suntikan menggunakan duri bulu landak.

Suntikan pertama membuat Rawai Tingkis kehilangan kesadaran selama 7 hari, dan di anggap mati, tapi pada akhirnya dia masih hidup.

Hingga suntikan ke sembilan, Rawai Tingkis dapat dikatakan sudah kebal dengan segala bisa ular dan mungkin pula semua racun.

“Putra Mahkota, bagaimana kabarmu ...?” Yang berbicara barusan adalah pria botak gendut, dengan pakaian serba putih dan merupakan pimpinan dari para ilmuan di tempat ini.

“Tidak perlu basa basi,” timpal pria berpakaian mewah itu yang tak lain adalah Putra Mahkota dari Kerajaan Indra Pura. “Aku datang ke sini dengean ratusan anak seperti yang kau inginkan. Setelah ini, aku tidak akan menuruti permintaanmu lagi, ini adalah kesempatan terakhir untukmu, jika kau tidak berhasil memberiku mesin pembunuh seperti yang kau janjikan, aku akan menghentikan penelitian ini, dan tentu saja aku akan menghancurkan kehidupamu.”

“E ...hem ...ja ...jangan khawatir Pangeran, kali ini aku tidak akan gagal, aku sedang melakukan penelitian terakhir, meski hanya satu anak saja yang bertahan, dia ...dia akan menjadi mesin pembunuh yang memiliki kekuatan setara dengan 20 orang dewasa.”

“Ingat, aku tidak suka omong kosong, aku ingin pembuktian, jika gagal, kau tahu apa yang bisa aku lakukan kepada dirimu?”

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Tukang nulis
bookmark dl lah..
goodnovel comment avatar
Slamet Arifin
kebanyakan gaya 1 buku aj gak kelar2
goodnovel comment avatar
sugiharto inu
awal2 seru
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status