“Berapa ratus anak-anak lagi yang akan mati tahun ini?” Pertanyaan itu keluar dari mulut Rawai Tingkis dengan nada yang bergetar. "Pulau ini adalah penjara dan neraka, semuanya akan mati pada akhirnya."
Ya, ini adalah Pulau Tengkorak merupakan pusat penelitian terbesar di Kerajaan Indrapura, untuk menciptakan mesin pembunuh. Anak-anak dilatih dengan serangkaian prosedur mengerikan oleh ilmuan Kerajaan, sehingga menghasilkan pembunuh paling ditakuti yang tidak memiliki emosi.Puluhan hingga ratusan anak mati hanya karena penelitian gila para ilmuan di pulau tersebut. Anak-anak malang yang dibesarkan mulai dari usia 7 tahun ini, diambil dari jalanan, atau yang sengaja dijual oleh panti asuhan jalur hitam, dan tidak terkecuali Rawai Tingkis. Anak berusia 9 tahun yang telah tinggal di sini selama lebih dari 2 tahun lamanya.2 tahun yang lalu, lebih dari 100 anak-anak didatangkan ke pulau tengkorak, tapi kemudian yang bertahan hingga hari ini hanya tersisa beberapa orang saja. Rawai Tingkis salah satunya.Hari ini, Rawai Tingkis berdiri di atas tembok bangunan besar yang dijadikan pusat penelitian dan berkumpulnya ilmuan dari penjuru negri. Dia menatap kapal besar yang semakin mendekati pulau. Di dalamnya ada banyak anak-anak yang akan dijadikan objek penelitian.Tepat di alisnya, ada sayatan pedang yang dia terima dengan sengaja dari salah satu pelatihnya.Bukan hanya itu, tepat pada bahunya ada sebuah tanda tengkorak yang dia terima tepat ketika menginjakkan kaki di pulau ini.Logam panas harus dia rasakan saat orang-orang dewasa di sini menciptakan tanda tersebut. Ingatan itu terasa baru kemarin sore dialami oleh Rawai Tingkis, bahkan kadang kala dia masih merasakan gatal pada bagian tanda tengkoraknya.Dari kejauhan Rawai Tingkis mulai melihat beberapa anak-anak kecil digiring keluar dari dalam kapal. Wajah mereka sama persih dengan wajahnya ketika dia datang ke pulau Tengkorak ini. Menyedihkkan, ketakutan dan penuh dengan air mata.Namun tiba-tiba, Rawai Tingkis menemukan wajah seorang gadis kecil yang begitu cantik, dengan mata besar dan bibir tipis.“Dia tidak seperti anak-anak malang di sana, dia seperti bangsawan kerajaan, gadis kaya sepertinya datang ke sini, apa yang akan dilakukannya?”Rawai Tingkis menyeringaikan giginya, tidak begitu senang melihat bangsawan datang ke sini, karena terakhir kali yang dia ingat, kedatangan mereka malah menimbulkan banyak kematian bagi teman-temannya.Apa lagi melihat kedatangan gadis kecil itu, paling mencolok dari semua anak-anak yang datang ke sini, membuat Rawai Tingkis merasa jengkel.“Rawai Tingkis, aku sudah melarangmu berada di sana!” seorang petugas keamanan berteriak dari bawah, meminta agar Rawai Tingkis lekas turun dari atas tembok, jika tidak maka akan ada beberapa siksaan yang akan dialami oleh Rawai Tingkis.Dengan senyum aneh, Rawai Tingkis mengikuti perkataan petugas tersebut, lalu kembali lagi ke kamarnya bergabung bersama dengan anak-anak yang lain.“Bangsawan datang lagi?” tanya salah satu bocah berbadan besar yang duduk di atas meja seraya memainkan belati.“Mereka akan melakukan sesuatu terhadap kita,” timpal Rawai Tingkis, “ada banyak anak-anak datang ke sini, dan pada akhirnya mereka semua akan berakhir sama dengan yang lainnya.”Ucapan Rawai Tingkis menghentikan putaran belati di telapak tangan bocah bertubuh besar, dia menatap Rawai Tingkis dengan ekspresi sedikit ketakutan.Ya, semuanya juga tahu jika bangsawan kerajaan datang ke sini, maka hal-hal yang mengancam nyawa mereka akan menjadi tontonan bagi mereka.Tidak jarang jika anak-anak ini diberin perintah untuk bertarung sampai mati, hanya untuk memastikan siapa yang paling kuat diantara anak-anak yang ada, atau mereka sengaja dijatuhkan dari jurang yang dibawahnya mengalir sungai yang dangkal, hanya untuk memastikan apakah anak-anak ini memiliki kemampuan untuk bertahan hidup dalam situasi yang sulit.Bagaimana anak-anak akan selamat, jika metode dan prosedur yang mereka lakukan sangat gila dan berbahaya. Orang dewasa belum tentu bisa melakukan hal itu, apa lagi anak-anak dibawah belasan tahun.“Aku tidak ingin mati ...” terdengar suara rengekan dari bocah yang ada di sebelah Bocah Bertubuh Besar.“Menurutmu siapa yang ingin mati di sini?” tanya bocah yang lain, yang kemudian dikenal bernama Ronggo. “Dari 100 anak yang datang 2 tahun yang lalu, kini hanya tertinggal 10 orang saja, dan kemungkinan kita semua akan mati di sini, benarkan Rawai Tingkis?”“Ya, kita akan mati di sini jika tidak berbuat sesuatu,” ucap Rawai Tingkis. “Namun, aku akan keluar dari pulau ini, apapun yang terjadi, aku akan keluar.”“Jika kau keluar maka aku pasti akan keluar lebih dahulu,” timpal Ronggo, “aku jauh lebih kuat dari kalian semua.”Rawai Tingkis tidak membantah hal tersebut, karena dari sisi usia Ronggo memang lebih tua dari dirinya, lebih dari itu Ronggo memiliki tubuh yang lebih besar dari rata-rata anak seusia mereka.Namun, semuanya pada akhirnya sama saja, tidak ada satupun dari anak-anak di sini yang lolos dari siksaan para ilmuan gila.Hanya saja, Ronggo dan Rawai Tingkis merupakan dua bocah yang memiliki ketahan tubuh jauh di atas rata-rata.Berbeda dengan Rawai Tingkis, latar belakang Ronggo memang buruk. Dia putra berandalan kota. Mencuri adalah hal biasa yang dilakukan oleh Ronggo, darah dan air mata merupakan pemandangan sehari-hari yang dilihat oleh bocah lelaki tersebut selama tinggal di lingkungan para bandit. Karena itu, sifat Ronggo terkesan lebih kejam dibandingkan Rawai Tingkis, dia juga lebih sombong dan angkuh.Setelah berbincang-bincang beberapa saat, Rawai Tingkis memutuskan untuk kembali menyelinap keluar dari kamar sempit ini, tapi sebelum itu Ronggo berkata kepada dirinya, "Bagaimana jika mereka membuat pertarungan sampai mati antara kita berdua?”“Kau tidak akan mengampuniku, tapi aku juga tidak akan menyerah,” jawab Rawai Tingkis, “dari semua anak-anak di sini, mereka tahu hanya kau dan aku yang memiliki potensi paling besar. Namun, siapa yang tahu mengenai hidup dan mati?”Rawai Tingkis tersenyum penuh arti, lantas pergi meninggalkan kamar ini. Ya, dibandingkan semua anak-anak, Rawai Tingkis merupakan bocah yang kepalanya dipenuhi oleh rasa penasaran.Dia akan keluar dari kamar untuk mencari jawaban dari banyaknya pertanyaan di kepalanya, meskipun harus dibayar dengan deruan cambuk di sekujur tubuhnya, dia tidak peduli.Mendapati perlakukan kejam selama dua tahun lamanya, membuat Rawai Tingkis menjadi begitu akrab dengan rasa sakit dan perih. Mungkin perasaanya sudah mati, hatinya mendingin dan emosinya telah pergi meninggalkan jiwanya, atau! Entahlah?Setelah mengendap-endap beberapa lama, pada akhirnya Rawai Tingkis tiba di ruang kerja utama para ilmuan.Di sana sudah ada seorang pria berusia 35 tahun atau mungkin 40 tahun, dengan pakaian mewah dan mahkota kecil di kepalanya. Di belakang pria itu ada lusinan penjaga lengkap dengan pakaian perangnya. Tombak di tangan mereka berkilat saat terkenca cahaya lentera di dalam ruangan ini.Tepat di sebelah pria tersebut, gadis kecil yang dilihat oleh Rawai Tingkis barusan sedang mengamati banyak benda yang Rawai Tingkis tidak tahu benda-benda apa namanya.Namun seingat Rawai Tingkis, cairan yang berada di botol kaca di hadapan gadis kecil itu, adalah racun ular berbisa. Seingat Rawai Tingkis sudah lebih dari 9 kali, dia diberi racun tersebut dengan cara di suntikan menggunakan duri bulu landak.Suntikan pertama membuat Rawai Tingkis kehilangan kesadaran selama 7 hari, dan di anggap mati, tapi pada akhirnya dia masih hidup.Hingga suntikan ke sembilan, Rawai Tingkis dapat dikatakan sudah kebal dengan segala bisa ular dan mungkin pula semua racun.“Putra Mahkota, bagaimana kabarmu ...?” Yang berbicara barusan adalah pria botak gendut, dengan pakaian serba putih dan merupakan pimpinan dari para ilmuan di tempat ini.“Tidak perlu basa basi,” timpal pria berpakaian mewah itu yang tak lain adalah Putra Mahkota dari Kerajaan Indra Pura. “Aku datang ke sini dengean ratusan anak seperti yang kau inginkan. Setelah ini, aku tidak akan menuruti permintaanmu lagi, ini adalah kesempatan terakhir untukmu, jika kau tidak berhasil memberiku mesin pembunuh seperti yang kau janjikan, aku akan menghentikan penelitian ini, dan tentu saja aku akan menghancurkan kehidupamu.”“E ...hem ...ja ...jangan khawatir Pangeran, kali ini aku tidak akan gagal, aku sedang melakukan penelitian terakhir, meski hanya satu anak saja yang bertahan, dia ...dia akan menjadi mesin pembunuh yang memiliki kekuatan setara dengan 20 orang dewasa.”“Ingat, aku tidak suka omong kosong, aku ingin pembuktian, jika gagal, kau tahu apa yang bisa aku lakukan kepada dirimu?”Putra Mahkota akan tinggal di sini beberapa hari lamanya, sambil mengamati penelitian para ilmuan di Pulau Tengkorak. Namun kehadiran dirinya di sini, membuat ilmuan-ilmuan tersebut malah merasa tertekan.“Putra Mahkota hanya memberi kita waktu satu bulan saja.”“Ki Nerto, waktu satu bulan tidak akan cukup bagi kita untuk memenuhi keinginan Putra Mahkota, bagaimana ini?”Ki Nerto alias Pimpinan dari organisasi penelitian ini, mulai merasa bimbang, Dua tahun dia telah bekerja untuk menciptakan mesin pembunuh seperti yang diinginkan oleh Putra Mahkota, tapi bahkan waktu tersebut masih kurang cukup bagi dirinya.Sekarang, Putra Mahkota malah meminta mesin pembunuh dengan waktu hanya satu bulan saja. Ini gila, bagaimana hal ini bisa dilakukan? Seribu anak-anak yang dijadikan objek penelitian mungkin tidak akan sanggup untuk memenuhi keinginan gila Putra Mahkota.Tentu saja ini berkaitan dengan dunia politik di Kerajaan Indra Pura. Isu beredar, jika Raja tampaknya akan mengangkat putra ke
“Dimana aku?” Putri kecil itu terjaga di sebuah kamar indah yang dikelilingi oleh banyak perawat. Dia menyapukan pandangannya beberapa kali, kemudian hendak beranjak dari pembaringan, tapi dihentikan oleh Ayahnya sendiri, Putra Mahkota kerajaan Indra Pura. “Ayah ...”“Akhirnya kau sudah sadar,” ucap Pangeran itu, “kau membuat aku khawatir, Putriku. Kenapa kau pergi ke lokasi larangan, bukankah para prajurit telah memperingatkan dirimu?”“Ayah, jadi itu bukan mimpi?” Gadis itu kembali berusaha untuk beranjak dari pembaringan, tapi sekujur tubuhnya terasa begitu sakit.“Tuan Putri pingsan selama 7 hari, kau memiliki mental yang cukup kuat, mengingat para pelayanmu kehilangan-“Putra Mahkota mengangkat tangannya, mengisyaratkan agar dokter yang berbicara itu, menghentikan ucapannya.“Ada apa dengan para pelayan?” tanya Putri tersebut.“Lebih baik kau istirahat Putriku!” Putra Mahkota malah mengalihkan pembicaraannya, tidak ingin putrinya tahu jika semua pelayan telah mati, bahkan sebelum
Dusun Air Tenam dihebohkan oleh kemunculan jasad bocah kecil yang ditemukan di pinggiran sungai, tidak jauh dari pemandian para warga di sana.Mereka lantas membawa tubuh Rawai Tingkis menuju ke rumah seorang tabib di desa tersebut.“Biarkan aku memeriksanya, kalian semua harap menunggu di luar ruangan!” ucap tabib itu.Selang beberapa saat, Sang Tabib keluar dari kamarnya, dengan peluh yang membasahi sekujur tubuh, tapi kemudian dia tersenyum lega, “anak itu belum mati, meski sangat lemah, aku bisa merasakan denyut jantungnya.”Dia bernama Tabib Rabiah, seorang wanita yang mengabdikan dirinya di desa Air Tenam sebagai tukang medis.Bisa dibilang, dia merupakan tabib terbaik, karena hampir semua pasiennya sembuh setelah ditangani oleh wanita tersebut.Tidak diketahui asal muasal Tabib Rabiah, dia bukanlah warga pribumi, dia datang ke desa ini 10 tahun yang lalu, dan sampai saat ini tidak ada satupun orang yang mengetahui identitas asli Tabib Rabiah.“Aku sudah memberinya beberapa obat
Di hari pertama Rawai Tingkis telah membuat ulah, dia menjatuhkan kendi yang diletakan di dinding rumah.Kendi itu berisi semua ramuan yang berusia belasan tahun.“Apa yang kau lakukan, BOCAH!!!”“Heheh …maaf Tabib Rabiah, tanganku tidak sengaja menyentuh kendi usang ini. Tapi tenang saja aku akan membersihkan kekacauan ini …” Rawai Tingkis menunjukan senyum tak bersalah, tapi sedetik kemudian satu pukulan keras mendarat tepat di kepalanya. “-Ahk-“.“Kau pikir masalah ini sederhana, Bocah …” tangan Tabib Rabiah terangkat lagi ke atas, “Ini adalah harta berharga yang aku miliki, tapi kau menghancurkannya dengan tanpa dosa.”Kemudian terdengar teriakan di dalam rumah tersebut, teriakan dari mulut Rawai Tingkis yang mungkin kini sedang dihajar habis-habisan oleh Tabib Rabiah.Beberapa saat kemudian, Rawai Tingkis keluar dari dalam rumah dengan tangan mengurut kepala bagian belakangnya.“Dia benar-benar monster,” gerutu Rawai Tingkis.“Aku mendengar ucapanmu!”“Maafkan Aku!”Rawai Tingkis
Di tengah Lembah Berkabut, dua bandit berwajah sangar berjalan buru-buru, melintasi beberapa pohon diantara rawa-rawa gambut.Mereka membawa dua buntelan besar, yang berisi banyak harta berharga.Keduanya berkelakar tetang pembagian yang akan diterima setelah menyerahkan harta itu kepada pimpinan mereka.Sesekali mereka tertawa terbahak-bahak, membayangkan melewati malam ini di rumah bordil yang ada di pusat kota.“Aku akan memsan lima gadis di sana, kau tahu…ada gadis penghibur berwajah cantik?”“Ah, aku tidak terlalu tertarik dengan mereka,” timpal yang satunya, “aku ingin menghabiskan malam ini dengan kendi-kendi tuak.”“Seleramu memang buruk, Kawan.”Setelah beberapa saat kemudian, mereka tiba di sebuah rumah beratap ilalang yang dipenuhi oleh banyak bandit gunung.Rumah sederhana yang berdinding jalinan bambu, telah berdiri beberapa tahun, menjadi markas persembunyian para bandit gunung ini.“Bos, kami berhasil menjarah rumah Ki Demang Desa Ranting,” bandit itu langsung menyerahk
Mendengar perkataan Rawai Tingkis, wajah Kondir langsung memerah bak kulit udang rebus.Tidak perlu basa-basi dia langsung menyerang bocah sombong di hadapannya. Meski lawannya hanyalah anak kecil, Kondir tidak pernah segan untuk menghabisi siapapun yang tidak patuh akan perkataanya.“Jangan menyesal jika kau mati!” ucap Kondir.Namun, gerakan Kondir tidak lebih cepat dari Rawai Tingkis. Bocah ingusan itu dapat dengan mudah menghindari golok yang bergerak cepat menuju batang lehernya.Dia melompat beberapa kali ke belakang, melakukan salto sekali sebelum kemudian berdiri tenang di sebelah pohon berukuran cukup besar.“Cuih, bocah ini rupanya cukup lihai,” gumam Kondir.Sementara itu, Sindur hanya menyaksikan pertandingan yang dianggapnya tidak akan menguntungkan Rawai Tingkis.Sindur bahkan masih sempat duduk di sebuah batu, dengan tangan menopang kepalanya.“Bocah itu memang cepat, tapi dia tidak akan bertahan saat melawan Kondir,” ucap Sindur, seraya tersenyum tipis.Merasa tebasann
Sementara itu Tabib Rabiah berkeliling di desa, mencari keberadaan Rawai Tingkis yang entah pergi ke mana.Dia menanyakan kepada beberapa warga, tapi semuanya menjawab sama, ‘kami tidak melihat bocah itu.’“Kemana dirinya?” tanya Tabib Rabiah, “apa aku terlalu keras kepadanya, Rawai Tingkis! Apa kau pergi dari rumah?”Tabib Rabiah mendongak ke ufuk timur, melihat matahari berangsur-angsur tenggalam meninggalkan siang.Malam akan segera datang, suara kicauan burung mulai terdengar sahut-menyahut, mungkin sedang mencari tempat untuk beristirahat malam ini.Jangkrik berpadu dengan suara kodok, menjadi nyanyian alam yang seolah menasehati semua manusia untuk masuk ke dalam rumahnya.Tabib Rabiah berjalan gontai, kemudian duduk di beranda rumahnya dengan wajah yang suram.Dia mengeluarkan sebatang rokok, menyulutnya dalam-dalam, tapi hal ini tidak bisa menenangkan dirinya sama sekali.Ada banyak pikiran buruk di benaknya, membuatnya semakin gelisah.“Atau jangan-jangan …tidak, itu tidak mu
Rawai Tingkis mulai memaki ular hitam legam yang membuat rusa buruannya melarikan diri karena ketakutan.Karena kekesalan itu, Rawai Tingkis menyerang ular seperti kesetanan.Beberapa kali ular itu mencoba menghindari Rawai Tingkis, lalu melakukan serangan balik.Ujung ekor sang ular akhirnya mendarat tepat di perut bocah tersebut, membuat dirinya terdorong beberapa puluh depa ke belakang.Bocah itu menghantam semak belukar berduri lalu menghantam pangkal batang pohon besar.Burung kecil terbang berhamburan kala pohon itu bergetar kuat.“Adu duh duh duh …” Rawai Tingkis meringis, sebelum kemudian berdiri dan kembali menyerang ular tersebut.Meskipun pisik Rawai Tingkis sangat kuat dibandingkan dengan lima orang pria dewasa, tapi tetap saja ular itu lebih kuat dari dirinya.Setiap kali Rawai Tingkis mendaratkan potongan kayu ke tubuh ular, binatang tersebut terlihat baik-baik saja.“Cisss…” suara ular mendesis, menjulurkan lidah bercabang dari dalam mulutnya.Tatapan mata yang tajam ti