"Kamu sendiri yang buat gado-gado?" Bunda bertanya saat Lisa membantu menyiapkan makan siang di dapur.
Lisa mengangguk. "Enak nggak, Bun?"
"Kalau bahannya lengkap, tambah enak," ujar Bundanya setelah mencicipi makanan buatan Lisa. "Kenapa buat gado-gado? Nggak masakan lebih simpel?"
Lisa terdiam sejenak. "Ares ngigo pengen gado-gado waktu demam. Jadinya kubuatin, Bun. Kasian soalnya kemarin aku marahin. Salah sendiri tiba-tiba nggak jelas mukulin Arvin. Hoax kok dipercaya. Bilang Arvin mantan pacar, padahal pacaran aja nggak pernah."
Bunda terkekeh mendengar ceritanya.
"Lagian Arvin juga nyebelin, Bun. Tahu ada yang salah paham malah dipanas-panasin, bilang ngawur kalau dia selingkuhanku. Gimana Ares nggak langsung nonjok?" Lisa menghela napas. Mendadak ia ingin curhat. Sudah lama hal itu bergumul di hatinya, ingin sekali dikeluarkan, tapi tidak tahu pada siapa. Dan Bunda satu-satunya tempat terbaik
Pagi hari ini Arvin pulang kembali ke Australia. Pemuda itu membawa kandang kucing berisi Juni. Kakak ipar Ares itu yang akan merawat kucingnya sendiri di Australia setelah rumah Ayah Bunda tak berpenghuni.Setelah kemarin malam berpikir panjang, Arvin akhirnya memutuskan untuk kembali. Tidak mengambil cuti apa pun untuk menemani adiknya. Lagi pula Lisa yang menyuruh Arvin segera pulang ke Australia. Gadis itu tidak mau kakaknya mengulang kuliah tahun depan. Lulus cepat lebih baik, karena Arvin harus bertanggungjawab mengurus perusahaan Ayah setelah itu—perusahaan itu sudah berganti milik Arvin, hanya saja papa Ares yang meng-handle perusahaan untuk saat ini."Baik-baik, ya, Sa. Inget pesen Bunda." Arvin memeluk adiknya untuk terakhir kali sebelum berangkat ke bandara.Ares hanya terdiam menatap pemandangan itu. Seseorang yang sebenarnya Lisa butuhkan saat ini adalah kakaknya, tapi mau bagaimana lagi? Terkadang pilihan tidak b
Waktu menunjukkan pukul sembilan malam.Lisa keluar dari kamar mandi, baru saja selesai membersihkan diri semalam ini. Seharian ini ia berada di dalam kamar. Hanya turun untuk makan, itu pun harus diingatkan oleh Ares dan Mama. Dia semakin tidak berguna saja kan? Menyusahkan orang-orang.Lisa sebenarnya lelah bersedih. Tapi ia tidak tahu bagaimana cara agar hatinya lebih baik. Setiap kali matanya menatap figura keluarga di rak meja belajarnya, kenangan bersama Ayah dan Bunda selalu mengikuti. Membuatnya ingin menangis mengingat apa pun tentang orangtuanya saat masih hidup.Mengapa harus rumahnya yang dirampok malam itu? Dari sekian rumah mewah di komplek, mengapa harus rumah Ayah dan Bunda yang justru terlihat biasa-biasa saja? Mengapa mereka harus membunuh orang jika mengambil barang saja bisa?Lisa duduk di kursi belajarnya, menutup mata lelah. Ia tidak tahu pasti kejadian malam itu. Mungkin Ayah tahu, lalu melawa
Pagi harinya.Ares duduk di meja makan, sarapan pagi bersama Mamanya. Hari ini ia berangkat sekolah, sendirian. Lisa mungkin belum ingin masuk hari ini. Biarkan gadis itu sendiri dulu. Lagipula Lisa itu anak rajin. Jika suasana hatinya membaik, pasti ia akan langsung berangkat sekolah.IPhone Mamanya tiba-tiba berdering. Mama yang sudah selesai makan segera minum air sebentar, lalu mengangkat telepon beberapa detik kemudian."Ya, Pa. Assalamu'alaikum."Ares langsung melanjutkan makannya. Ternyata itu Papanya."Ya, nanti jam 9 jadi. Tiketnya udah siap. Mama udah pesen," ujar Mamanya pada seseorang di seberang sana. Ares tahu itu. Mamanya akan kembali ke Amerika hari ini. Ada banyak urusan yang harus ia selesaikan pastinya."Oh ya? Pihak kepolisian bilang apa?" Mamanya tiba-tiba membahas topik lain.Ares mengernyitkan dahi, menatap Mamanya ingin tahu. Mama yang meliha
Bel istirahat berbunyi dengan nyaring. Miss Aya menyudahi jam pelajaran bahasa Inggrisnya, menutup kelas dengan salam.Dilla di sebelah Lisa mengeluarkan buku catatan Ekonomi, memberikannya pada Lisa. Tadi malam ia memang mengontak temannya itu agar membawa buku catatan. Ia ingin pinjam, melengkapi catatan pelajaran yang ketinggalan dua hari yang lalu. Tidak banyak sih. Lisa hanya malas kelabakan saja jika belum melengkapi catatan secepatnya."Kenapa sih ngeliatinnya gitu?" tanya Lisa ketika Dilla menatapnya tidak biasa.Dilla menggeleng, langsung memeluk Lisa dengan tiba-tiba. "Aku sedih liat kamu, Sa. Kamu beneran baik-baik aja kan?"Lisa terkekeh mendengar pertanyaan temannya. "Seperti yang kamu liat. Aku baik-baik aja, Dil. Santai."Kemarin Dila ikut pergi ke pemakaman orang tuanya. Begitu juga dengan Kak Bayu. Beberapa teman sekelas lain hanya takziyah sebentar ke rumah, lalu pamit pulang.
"Ares dimana?!" Arvin bertanya di seberang sana. Panik setelah tahu Lisa dalam bahaya.Seorang tiba-tiba membuka pintu, membuat jantung Lisa nyaris berhenti. Bukan penjahat. Itu Ares! Ares-lah yang membuka pintu. Pemuda itu sudah pulang. Tapi lewat mana?"Res-""Iya, aku tahu, Sa. Aku juga lihat. Sekarang kita harus pergi dari sini. Mereka pasti lagi dobrak pintu di bawah sana," ujar pemuda Reigara itu.Lisa mengangguk, mongontrol napasnya, menormalkan badannya yang masih tremor karena syok. Setidaknya sudah ada Ares. Setidaknya kemungkinan selamat dari semua ini bertambah beberapa persen."Ares disini, Vin." Lisa memberitahu kakaknya, berharap ada jawaban. Tapi yang ia dapatkan justru hanya bunyi krasak-krusuk. Beberapa detik kemudian, sambungan telepon terputus.Astaga. Apa yang terjadi pada kakaknya di sana?Ares mengedarkan pandang ke kamar Lisa, terhenti pada l
Satu setengah jam berlalu dengan cepat.Ares mengulurkan tangan, membantu Lisa menaiki tangga besi keluar dari lorong bawah tanah.Lisa menghirup udara, bernapas lega setelah tadi sesak karena udara pengap di bawah sana. Di sebelahnya Ares kembali menutup pintu besi, menyamarkannya dengan rumput sintetis agar terlihat seperti rumput yang lain. Pantas saja Lisa tidak pernah tahu ada pintu besi disana. Selain karena ditutupi, pintu besi itu berada di pojok halaman belakang yang jarang dilewati orang.Ares tiba-tiba menarik tangannya, menyuruh bersembunyi di belakang pohon bongsai dekat kolam renang. "Mereka belum pergi, Sa," ujarnya.Lisa menelan ludah. Nampak satu orang berjalan beberapa meter dari mereka. Orang-orang itu belum pergi. Mereka tetap gigih mencarinya. Tentu saja mengira dirinya masih bersembunyi di rumah yang luas ini."Kita bakal kemana, Res? Disini nggak ada rumah, banyak hutan. Rumah
Lisa merapatkan jaket ketika Ares mengajaknya mengambil uang di ATM. AC-nya dingin sekali, serius. Apa lagi sejak tadi ia sudah diterpa angin malam.Waktu menunjukkan pukul setengah dua dini hari. Mereka sudah membeli tiket bus malam. Keberangkatannya seperempat jam lagi. Tujuannya acak. Sebuah kota di sebelah utara yang berjarak sekitar 130 KM dari kotanya sekarang.Lisa tidak tahu mengapa Ares memilih naik bus. Mungkin karena susah terlacak oleh orang-orang. Terlebih itu angkutan biasa, seolah tidak mungkin dipilih oleh manusia superkaya seperti Ares. Tidak seperti pesawat yang penerbangannya bisa dengan mudah dicari tahu dengan menghubungi pihak bandara.Selagi menunggu, Ares langsung mengambil uang di ATM dekat terminal, membawa beberapa kartu. Yang pasti ada satu kartu Oma yang diberi wanita sepuh itu sebelum Ares dan Lisa pergi. Kata Oma untuk kebutuhan saat mereka berdua melarikan diri dan bersembunyi nanti.
Suara alunan lembut musik terdengar dari speaker dalam bus. Diselingi suara klakson yang dibunyikan oleh supir beberapa kali.Lisa bangun dari tidurnya, menyipitkan mata ketika sinar terang dari luar bus menembus jendela kaca. Ia mengangkat kepala, baru sadar jika sedari tadi tidur bersandar di pundak pemuda di sebelahnya. Lisa melirik jam digital bus yang nampak di atas supir. Waktu menunjukkan pukul enam kurang seperempat menit. Masih pagi rupanya.Ares masih terlelap. Tidak terganggu dengan suara apa pun di sekitarnya. Pemuda itu masih menggenggam tangannya, membuat Lisa sangsi menarik tangannya karena takut membangunkan pemida tersebut.Bus yang Lisa tumpangi berhenti sejenak karena lampu merah. Lisa menghela napas, tersenyum sedih menatap dari jendela bus seorang siswi berseragam yang sedang menunggu bus di sebuah halte. Ia harusnya bersiap-siap sekolah sekarang, membantu Bi Inah menyiapkan sarapan. Tapi pagi ini hal itu hanya