Jingga yang awalnya tersenyum keluar dari ruangan dokter kini senyum itu pun pudar.Sedangkan perasaan Awan langsung berkecamuk apalagi melihat kondisi Jingga yang sedang hamil.“Jingga.” Welly menyapa. Ia sama sekali tidak menyimpan rasa tidak suka pada Jingga karena semua yang ada di masa lalu sudah terjadi tak akan mungkin bisa diulang kembali.Dengan terpaksa Jingga tersenyum. “Mau cek kandungan, Wel?” Ia pun ikut basa-basi.“Iya, kamu ke sini sama-”Pintu ruangan itu kembali terbuka dan Dipta keluar menyusul Jingga, lelaki itu pun ikut kaget.“Suami aku.” Jingga merangkul lengan Dipta. Hanya ingin menegaskan saja agar Awan tidak berpikir terlalu jauh soal kehamilannya.“Ya ampun. Kalian udah nikah?” Welly nampak tidak percaya.“Iya. Maaf ya, aku nggak ngundang karena memang dadakan juga.”“Selamat ya. Jodoh em
“Kenapa sih kamu ungkit itu terus, Mas. Aku udah minta maaf, aku tahu aku salah.”“Ya udah. Kalau kamu nggak mau aku bahas soal ini kamu juga nggak usah urus masalah aku, aku bakalan diam dan nggak ungkit hal itu lagi. Dewasa sedikit, Hel. Kita udah nggak bisa lagi sama-sama, lebih baik kita kompak untuk didik anak-anak daripada kamu terus mikirin gimana caranya buat balikan sama aku.”Jika pada Jingga, Dipta akan menjadi sosok yang paling penyabar bahkan tidak pernah membentak wanita itu sekali pun tetapi beda pada Rahel, wajar Dipta bersikap seperti itu karena ia pernah dilukai dengan begitu hebatnya oleh wanita yang dulu pernah menempati hatinya.“Aku cinta sama kamu, Mas.” Rahel hendak menyentuh tangan Dipta namun lelaki itu lekas mundur.“Simpan cinta kamu itu buat orang yang juga mencintai kamu.”“Apa yang dia kasih ke kamu sampai kamu lebih milih dia daripada aku, ibu dari anak-anak
“Kalau kamu mau bicara sesuatu yang akhirnya bikin aku sakit hati, mending aku nggak usah denger, Mas.”Welly lebih memilih menghindari sakit hati, lebih baik ia tidak tahu sama sekali daripada tahu dan itu kembali mengoyak hatinya. Ia sudah berdamai dengan masa lalu dan tidak ingin membuka luka lama.Awan pun terdiam. Apa yang akan dikatakannya memang bisa membuat hati Welly terluka karena Awan akan engatakan jika dirinya sudah pernah berhubungan dengan Jingga meski hanya satu kali. Tapi Awan yakin jika Jingga bukan hamil anaknya jadi tidak akan ada lagi hubungan antara ia dan Jingga.Kalau pun Jingga hamil anaknya sudah pasti akan memberitahu dan Jingga selama ini hanya diam saja bahkan saat perutnya sudah membesar dan itu semakin membuat Awan yakin Jingga memang bukan mengandung benihnya.“Iya. Aku nggak bakalan ngomongin apapun yang akan menyakiti kamu.”“Jangan bahas masa lalu lagi ya. Anggap saja itu semua nggak pernah ada.” Mungkin perkataan Welly ini seperti membuang fakta tap
“Zunai mana?” Awan mengedarkan pandangan mencari keberadaan putrinya.“Belum pulang, Mas.”“Belum pulang? Ini udah jam delapan loh. Anak gadis keluyuran jam segini nggak baik!”“Dia tadi sore udah telpon aku katanya mau kerja kelompok di rumah Chika.”Awan sangat protektif pada Zunaira yang tahun ini menginjak usia tujuh belas tahun. Zunaira persis seperti Welly, mulai dari wajah dan juga sikapnya, ia tidak menuruni bar-bar sang ayah. Anak itu begitu kalem bahkan terkesan pendiam bahkan temannya saja bisa dihitung menggunakan jari. Chika salah satu teman dekatnya yang juga sering main ke rumah jadi Awan dan Welly tahu dan mengenalnya.“Udah di telepon lagi belum?”“Udah, tapi nggak aktif.”“Biar aku jemput aja. Di rumah Chika 'kan?”“Iya.”Baru saja di ambang pintu rumah, di luar gerbang Awan melihat Zunaira turun dari motor. Awan langsung menghampiri berniat ingin marah namun tertahan saat melihat sudut bibir putrinya itu terluka dengan pipi merah tanda bekas tamparan. Amarahnya mala
Awan masih memperhatikan pemuda itu yang kini sedang mengobrol dengan seseorang lewat telepon.“Iya, sekarang aku kesana. Bunda tunggu aja.” Sambungan telepon terputus, ia memasukan benda pipih itu ke dalam saku celana dan beralih pada Awan. “Om, saya duluan ya.”Tidak menunggu Awan menjawab, pemuda yang tidak diketahui namanya itu melenggang pergi.“Ayah, es krim. Ayah.” Sebria menepuk pipi Awan membuat lelaki itu langsung tersadar dari lamunannya.“Apa?”“Es krim.”“Iya, iya.” Awan mengambil es krim tergeletak itu dan membuangnya ke tempat sampah sebelum masuk lagi ke kedai es krim.Wajah pemuda itu benar-benar mengganggu ketenangan Awan. Ia merasa penasaran dan ingin mencari tahu. Masalahnya wajahnya persis seperti Awan saat remaja. Mungkin jika orang yang mengenal Awan saat remaja pasti akan mengatakan hal yang sama.Saat di rumah nanti akan ditanyakan pada Zunaira soal pemuda itu, pikir Awan. Ia tidak akan bisa tidur nyenyak sebelum tahu sola pemuda itu. Ia sadar di luaran sana p
“Samudra.” Lelaki itu mengulurkan tangan untuk berjabatan.“Awan.” Ia menyambutnya.Awan tidak tahu jika Jingga masih bersama dengan Dipta. Terlihat dari anak lelaki di depannya itu, sudah pasti bukan anak kandung Jingga karena perkiraan Awan usianya di atas dua puluhan.“Anaknya Bang Dipta?” Tanpa bisa dikontrol Awan langsung menanyakan hal itu.“Om kenal juga Papa saya ternyata.” Samudra menyahut.Awan hanya tersenyum.“Langit mana?”Mendengar satu nama itu membuat Awan teringat pada teman Zunaira bernama Langit yang memiliki wajah mirip seperti dirinya.“Di mobil. Dia bilang katanya jangan lama-lama.” Samudra sedikit berbisik namun masih bisa didengar oleh Awan.“Ya udah. Kita pulang aja sekarang. Bunda juga udah ketemu temen-temen Bunda.”“Kenapa buru-buru, Ji?”Jingga mengedikkan bahunya. “Beginilah ibu rumah tangga. Nggak tenang kalo ninggalin rumah kelamaan. Duluan ya.”Jingga memang berada di sana sudah lebih lama daripada Awan jadi Jingga sudah mengobrol dengan teman-temannya
“Aduh, hp gue malah ketinggalan lagi.” Langit yang belum terlalu jauh masuk kini berbalik berjalan keluar gerbang berharap jika ibunya masih ada di sana.Tangan lelaki itu mengepal, berlari mendekat dan menarik tubuh Awan menjauh dari Jingga. Emosi, ia langsung menghantam wajah Awan. Anak itu tidak akan membiarkan ibunya disakiti, meskipun nakal tapi Langit itu sangat menyayangi sang ibu.Emosinya meluap karena dari kejauhan ia melihat ibunya menangis dengan kedua pergelangan tangan dicengkram kuat oleh Awan.“Bunda. Bunda nggak papa?”Jingga tidak bicara, tubuhnya gemetar karena ketakutan. Nafasnya memburu dengan jantung yang berdegup dengan kencang. Langit membawa ibunya masuk ke dalam mobil.“Om, urusan kita belum selesai ya. Berani nyakitin ibu saya, Om berarti punya urusan sama saya.” Langit menatap Awan dengan tajam sebelum ikut masuk ke dalam mobil dan meninggalkan Awan yang masih terdiam.Sebelah sudut bibir lelaki itu terangkat. “Dia … bener-bener anak gue.” Melihat seperti a
Senyum merekah di bibir Awan saat ia berhadapan dengan Langit, tapi ekspresi berbeda ditunjukan oleh anak sulung Jingga itu. Rahangnya mengeras dengan sorot mata tajam. Ia masih belum menerima perlakuan Awan pada Jingga tadi.Anak manapun tidak akan terima jika melihat ibunya disakiti sekecil apapun.“Langit-”“Saya nggak tahu ada masalah apa antara Om dan Ibu saya tapi saya peringatkan jangan sampai saya lihat Om menyakiti Ibu saya lagi. Saya nggak akan biarkan itu terjadi!” Langit bicara dengan penuh penekanan tapi tidak melupakan sopan santun kepada orang yang lebih tua.“Ini Ayah, Nak.” Awan tak sanggup lagi jika harus banyak berkata, ia hanya ingin Langit tahu jika ia adalah ayahnya.Alis Langit tampak berkerut. Ia menolehkan ke belakang tubuhnya berpikir ada orang lain di sana dan ternyata tidak ada. Hanya ada Awan dan Langit saja di tempat itu, Zunaira bahkan sengaja Awan suruh untuk menunggu di mobil.“Om ngomong apa sih?”“Ayah ini Ayah kandung kamu. Bang Dipta itu hanya ayah