Home / Romansa / Satu Malam Bersama Dosen Tampan / Bab 3 Pagi yang Mengejutkan

Share

Bab 3 Pagi yang Mengejutkan

Author: Merah
last update Huling Na-update: 2025-10-24 18:13:30

Aira menghela napas panjang di depan cermin kamarnya. Wajahnya tampak pucat, seolah seluruh darah dalam tubuhnya tersedot keluar bersama rasa sesal yang tak kunjung surut.

Matanya sembab, tatapannya kosong, dan kantung hitam menggantung di bawah kelopak—bukti dari malam-malam tanpa tidur yang dihantui campuran ingatan antara pengkhianatan Galang dan malam panjang yang ia habiskan dengan lelaki tak dikenal.

Sudah tiga hari berlalu sejak malam itu, tapi setiap kali memejamkan mata, sisa malam itu masih melekat erat di kepalanya. Bayangan tubuh asing, desahan samar, kulit yang bersentuhan dalam kabut alkohol, semuanya seperti fragmen film yang tak mau berhenti diputar. Setiap kali mengingatnya, dadanya terasa sesak, perutnya mual, dan jantungnya berdetak tak karuan.

“Lupain, Aira…” gumamnya pada bayangan di cermin. Ia menepuk pipinya pelan. “Itu cuma kesalahan semalam. Cuma sekali dan enggak akan pernah terjadi lagi.”

Kata-kata itu seperti mantra yang sudah terlalu sering ia ucapkan. Namun setiap kali diulang, justru terasa makin terbayang-bayang. Ia menggeleng pelan. Tidak, ia tidak boleh mengingatnya. Malam itu hanya sebuah pelarian bodoh dari luka yang belum sembuh. Ia bahkan tidak tahu siapa lelaki itu, dan tidak ingin tahu.

Meski begitu, di sisi lain Aira tahu, tidak ada mantra yang bisa menghapus apa yang telah terjadi dan suara di dalam kepalanya seolah menertawakannya—karena bagaimana mungkin ia bisa melupakan sesuatu yang memang terjadi secara nyata?

Tapi hari ini, ia bertekad untuk mencoba. Hari pertama perkuliahan semester baru. Hidup harus berjalan. Ia tidak boleh membiarkan satu malam kelam menghancurkan masa depan yang sudah ia perjuangkan dengan susah payah.

Hari ini, ia harus kembali menjadi dirinya yang dulu. Seorang mahasiswa yang telah memasuki semester akhir dan akan berurusan dengan skripsi setelah semester 7 ini berakhir, bukan perempuan yang tersesat dalam bayang malam suram.

Hari ini adalah awal semester baru. Ia harus fokus. Ia harus kuat.

Ia menatap cermin sekali lagi. Rambutnya ia ikat rapi, mengenakan kemeja putih bersih, dan tas laptop tergantung di bahu kirinya.

Bagaimana pun ia harus melewati hari ini tanpa terjebak dalam bayangan kelam. Ia menarik napas panjang, berusaha meyakinkan diri bahwa hidup harus terus berjalan, walau langkahnya dan gemetar.

“Mulai lagi dari awal, Ra,” gumamnya pada diri sendiri, mencoba menenangkan detak jantung yang tak juga stabil.

***

Udara kampus terasa berbeda pagi itu. Terlalu riuh untuk hati yang masih berantakan. Aira berjalan perlahan melewati koridor, membawa buku catatan yang terasa lebih berat dari biasanya.

Di sekitarnya, mahasiswa-mahasiswa tampak sibuk saling menyapa, berbagi tawa yang mengisi udara, dan membicarakan gosip tentang dosen baru yang katanya akan mengajar salah satu mata kuliah inti semester ini. Tapi bagi Aira semua terdengar jauh, seperti gema yang tidak menyentuhnya.

“Katanya ada dosen baru, masih muda dan anak dari keluarga kaya raya,” ujar seorang mahasiswi dengan nada bersemangat.

“Katanya juga ganteng banget dan baru pulang dari luar negeri. Sumpah keren banget, enggak sih?” timpal yang lain penuh kekaguman.

“Kalau beneran ada dosen se-perfect itu, bisa-bisa aku rajin kuliah tiap minggu!” timbrung yang lain di sambut tawa kecil.

“Ah, gosip kalian tuh selalu dilebih-lebihkan,” sahut yang lain lagi.

Bisikan itu terdengar berseliweran di sepanjang lorong. Aira hanya menunduk dan tersenyum tipis mendengar percakapan itu. Ia tidak peduli dengan gosip itu. Baginya semua itu tidak penting. Ia hanya ingin duduk tenang, mendengarkan kuliah, lalu pulang tanpa masalah. Tidak ada drama, tidak ada gangguan.

Langkahnya berhenti di depan ruang 3.5—kelas besar yang hari ini dipakai untuk mata kuliah inti. Ia menarik napas, lalu masuk. Ruangan itu sudah hampir penuh dan mulai terasa sesak. Aira memilih kursi di barisan tengah, tempat yang tidak terlalu mencolok dan posisi aman di mana pandangan orang tidak terlalu tertuju padanya.

Ia membuka buku catatan, menulis tanggal dan nama mata kuliah di pojok atas, meski pikirannya melayang entah ke mana. Sial, sisa malam itu masih menempel seperti noda di kulit yang tak bisa dibersihkan. Ia mencoba menenangkan diri dengan mencoret-coret halaman kertas kosong.

Namun, tangan yang menggenggam pena itu terus bergetar. Setiap kali ia memejamkan mata, bayangan lelaki itu datang kembali—suara beratnya, sentuhannya, bahkan aroma parfum maskulinnya. Ia menelan ludah, berusaha fokus.

Beberapa menit kemudian, suara riuh di kelas mendadak mereda seketika. Pintu kelas terbuka, dan seseorang masuk dengan langkah tenang. Suara bisik-bisik langsung pecah di udara.

“Itu dia dosen barunya!”

“Ya ampun, beneran masih muda!”

“Ganteng banget, sumpah!”

Aira sempat mengangkat kepala tanpa berpikir. Seketika, darahnya seolah berhenti mengalir.

Pria itu.

Pria yang menarik pinggangnya malam itu. Pria yang memeluknya dalam kabut alkohol dan kepanikan. Pria yang napasnya membakar telinganya dengan permohonan samar. Dan pria yang menatapnya dengan tajam penuh gejolak. Kini berdiri tegap di depan kelas, mengenakan kemeja putih bersih, wajahnya bersih, rambutnya tersisir rapi, sorot matanya tajam tapi berwibawa.

“Selamat pagi,” ucapnya dengan suara berat yang sama seperti malam itu—namun kini terdengar lebih dalam, jernih, terkontrol, dan berwibawa. “Nama saya Adrian Wiratama. Mulai semester ini, saya akan menjadi dosen kalian untuk mata kuliah ini.”

Suasana kelas bertambah riuh. Bisik-bisik, tawa kecil, helaan napas kagum kian menjadi. Tapi Aira seolah tak mendengar apa pun. Dunia seolah hanya berisi satu suara yang menggema dalam kepalanya—nama itu. Adrian Wiratama.

Tangannya yang memegang pena bergetar hebat. Dadanya naik turun tak beraturan. Nafasnya tercekat di tenggorokan. Ia menunduk cepat, berharap tidak ada yang melihat wajahnya yang kini memucat.

Di tengah gelisah hatinya, ia mencoba mencuri pandang sedikit. Suara itu, tatapan itu—semuanya sama. Hanya konteksnya yang berbeda. Ia merasakan jantungnya berdetak keras, keringat dingin menetes di tengkuknya. Dunia seolah berputar pelan di sekelilingnya.

Aira kembali menunduk cepat, mencoba menyembunyikan wajahnya di balik rambut. Ia merasa tidak sanggup menatap lebih lama.

Apa Adrian mengenalinya? Apa lelaki itu tahu siapa dirinya?

Tapi ketika ia memberanikan diri untuk mengangkat kepala kembali dan menatap ke arah depan lebih lama, Adrian tampak profesional, sama sekali tidak menoleh padanya. Tidak ada tanda ia mengenali Aira.

Lelaki itu berbicara datar, menjelaskan silabus, menulis di papan tulis, lalu menjawab pertanyaan mahasiswa lain dengan ketenangan yang tidak sejalan dengan badai yang mengguncang hati Aira.

Mungkin… ia memang tidak ingat.

Mungkin malam itu benar-benar kabur baginya—pengaruh obat, alkohol, dan kabut gairah samar yang menelan semuanya. Mungkin wajah Aira tidak terlalu jelas dalam ingatannya.

Aira menelan ludah. Ada sedikit rasa lega yang muncul, tapi bersama itu muncul rasa getir lain: mengapa justru dirinya yang masih mengingat semuanya begitu jelas?

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Satu Malam Bersama Dosen Tampan    Bab 5 Bayang yang Kembali Datang

    Udara kampus memang terasa lebih hangat dari biasanya. Matahari belum terlalu tinggi, menembus kaca jendela koridor fakultas dengan cahaya lembut. Namun bagi Aira, langkah-langkahnya justru terasa dingin dan berat.Sejak undian itu berakhir, dadanya seolah dipenuhi belati yang menusuki. Ia sudah berusaha menolak, tapi keputusan undian bersifat mutlak. Mau tak mau, hari ini ia harus menunaikan tanggung jawabnya sebagai penanggung jawab mata kuliah yang di ampu oleh Adrian Wiratama.Lorong menuju ruang dosen terasa begitu panjang. Setiap langkah menimbulkan gema yang memantul di dinding, seolah menandai ketegangan yang menumpuk di dadanya. Aira menggenggam buku catatan terlalu erat, sampai ujung jarinya memutih. Ia tahu, cepat atau lambat, ia harus kembali berhadapan dengan pria itu.Ketika sampai di ruang dosen, pintu ruangan sudah terbuka. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan degup jantung yang tak juga stabil. Deretan meja kayu tampak tersusun rapi, penuh tumpukan berkas dan

  • Satu Malam Bersama Dosen Tampan    Bab 4 Takdir yang tak berpihak padanya

    Jam berjalan lambat. Setiap menit di kelas hari ini terasa seperti hukuman bagi Aira.Suara Adrian yang menjelaskan teori dan konsep dasar, entah mengapa terasa terlalu dekat, terlalu familiar. Kadang, Aira bahkan bisa mendengar gema napas berat Adrian di telinganya sendiri, seolah ingatan malam itu menolak pergi.Aira berusaha menulis, tapi ujung penanya hanya mencoret garis tak berarti, sementara pikirannya berlari ke mana-mana. Ia merasa seolah duduk di bawah cahaya yang terlalu terang, dengan seluruh rahasianya tergantung di udara, siap jatuh kapan saja.Ah... lebih sialnya lagi, hari ini Nita izin tidak masuk, jadi tidak ada sosok sahabat yang mampu sedikit menenangkan gelisah hatinya.“Itu saja untuk materi hari ini,” ujar Adrian di penghujung kelas, suaranya tenang dan berat. “Saya ingin kalian menulis esai singkat tentang motivasi kalian menempuh jurusan ini. Kumpulkan minggu depan.”Beberapa mahasiswa berdesis pelan, yang lain mengangguk. Adrian mematikan sambungan proyektor

  • Satu Malam Bersama Dosen Tampan    Bab 3 Pagi yang Mengejutkan

    Aira menghela napas panjang di depan cermin kamarnya. Wajahnya tampak pucat, seolah seluruh darah dalam tubuhnya tersedot keluar bersama rasa sesal yang tak kunjung surut.Matanya sembab, tatapannya kosong, dan kantung hitam menggantung di bawah kelopak—bukti dari malam-malam tanpa tidur yang dihantui campuran ingatan antara pengkhianatan Galang dan malam panjang yang ia habiskan dengan lelaki tak dikenal.Sudah tiga hari berlalu sejak malam itu, tapi setiap kali memejamkan mata, sisa malam itu masih melekat erat di kepalanya. Bayangan tubuh asing, desahan samar, kulit yang bersentuhan dalam kabut alkohol, semuanya seperti fragmen film yang tak mau berhenti diputar. Setiap kali mengingatnya, dadanya terasa sesak, perutnya mual, dan jantungnya berdetak tak karuan.“Lupain, Aira…” gumamnya pada bayangan di cermin. Ia menepuk pipinya pelan. “Itu cuma kesalahan semalam. Cuma sekali dan enggak akan pernah terjadi lagi.”Kata-kata itu seperti mantra yang sudah terlalu sering ia ucapkan. Nam

  • Satu Malam Bersama Dosen Tampan    Bab 2 Malam yang Tak Terencana

    Setelah beberapa waktu berlalu, tetapi tangan lelaki itu masih melingkari pinggangnya, kuat namun goyah, seolah pria itu tampak berjuang keras untuk tetap sadar. Hangat tubuhnya berpadu dengan dinginnya udara malam, menimbulkan sensasi aneh yang membuat Aira sulit membedakan antara takut dan pasrah.“Dari tadi aku bilang lepaskan…” bisik Aira, nyaris tanpa suara. Ia berusaha mendorong dada lelaki itu, namun tenaganya tak ada. Kepalanya makin pusing, pandangannya kian berkunang.Lelaki itu pun tak memberi jawab, hanya menatapnya dengan mata yang sayu, penuh ketegangan dan kebingungan. Seolah ada sesuatu yang menahan mereka berdua di tempat yang sama — antara sadar dan kehilangan arah.Entah siapa yang memulai, langkah mereka bergeser dari kerumunan. Mereka seperti ditelan arus yang tak terlihat, menembus lorong redup di dalam klub, jauh dari dentuman musik dan lampu neon. Aroma alkohol masih mengudara, bercampur napas hangat yang masih beradu di antara keduanya.Pintu sebuah kamar terb

  • Satu Malam Bersama Dosen Tampan    Bab 1 Penghianatan yang Menghancurkan

    Hujan malam itu turun tanpa ampun, menampar aspal dan membasahi udara Jakarta yang dingin. Aira berdiri di depan pintu kamar apartemen Galang, kekasih yang selama tiga tahun ia percayai sepenuh hati. Jemarinya yang menggenggam kunci cadangan bergetar, bukan karena hawa dingin, tapi karena firasat buruk yang sejak sore tadi membuat dadanya gelisah.Pintu yang sudah tidak terkunci itu ia dorong perlahan. Suara engsel berderit samar, disusul pemandangan yang membuat dunia Aira seketika berhenti berputar.Di ranjang sempit dengan sprei kusut, tubuh Galang terlihat memeluk seseorang—Sari, teman seangkatannya. Rambut panjang gadis itu berantakan, bahunya telanjang di bawah selimut tipis. Suara desah bersahutan seolah menjadi luka paling tajam yang menembus dada Aira.“Galang…” suara Aira nyaris tak terdengar, namun cukup untuk membuat kedua orang itu tersentak.Galang segera bangkit meloncat dari ranjang, meraih boxernya dan memakainya dengan terburu, wajahnya memucat karena begitu panik me

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status