Home / Fantasi / Satu Malam dengan Raja Naga / Bab 127: Tanda dari Utara

Share

Bab 127: Tanda dari Utara

Author: Ragil Avelin
last update Last Updated: 2025-08-04 16:30:21

Udara pagi di Dataran Es Utara menusuk hingga ke tulang. Angin menderu membawa salju yang seperti serpihan kaca, membelah udara dengan tajam. Tak ada burung. Tak ada suara selain deru angin yang menyeringai dari celah-celah tebing beku.

Di tengah kekosongan putih itu, seberkas cahaya merah menyala seperti api kecil. Di balik jubah hitam tebal, seorang wanita berdiri diam, memandangi horison beku dengan mata tajam penuh firasat.

Namanya Zephyra. Pemegang Gelar Es Keabadian. Dan pagi itu, dia tahu ada sesuatu yang berubah. Bukan hanya di langit, bukan hanya di medan energi, tapi... di jantung dunia itu sendiri.

Salah satu prajuritnya mendekat, setengah berlutut, wajahnya nyaris tertutup salju.

“Lady Zephyra, aku menerima laporan dari Burung Hitam di Selatan. Jiwa Naga telah bangkit.”

Zephyra tidak menoleh. Suaranya dingin dan datar. “Siapa yang memilikinya?”

“Bukan satu orang. Tiga sekaligus... Mereka membaginya.”

Terdenga
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Satu Malam dengan Raja Naga   Bab 150: Mata dari Kegelapan

    Suara derap kaki terdengar samar dari balik lorong batu yang gelap. Aria menahan napas, tubuhnya menempel pada dinding dingin yang terasa lembap. Udara di dalam ruang bawah tanah itu berbau logam dan darah kering, membuat tenggorokannya terasa kering. Setiap langkah yang mendekat membuat detak jantungnya semakin kencang. Ia tahu, apa pun yang bergerak di dalam kegelapan itu bukan manusia biasa.Dari arah depan, sepasang mata berwarna merah menyala muncul perlahan, seakan menggantung di udara. Cahaya itu tidak berasal dari obor atau pantulan logam, melainkan dari tatapan makhluk yang sedang mengamati mangsanya. Aria menggenggam gagang pedangnya lebih erat, mencoba mengatur napas agar tidak terburu-buru. Satu langkah salah, dan ia mungkin tak akan sempat menjerit sebelum darahnya mengalir di lantai batu ini.“Aku tahu kau di sana…” suara berat dan serak itu merambat di udara, membuat bulu kuduk Aria berdiri. Bukan teriakan, melainkan bisikan yang begitu dekat, seakan

  • Satu Malam dengan Raja Naga   Bab 149: Tangan dari Kegelapan

    Tangan raksasa bersisik hitam itu terus merangkak keluar dari gerbang, setiap jarinya setebal menara batu. Udara menjadi berat, seolah seluruh dunia menahan napas.Di bawah, pasukan Kael berusaha bertahan. Nyara masih menahan dua makhluk bayangan yang membelah diri tadi. Setiap kali ia menebas, tubuh mereka terpecah dan kembali bersatu seperti asap.“Elira! Seberapa lama lagi?” teriak Lysira sambil mengayunkan tombaknya untuk mengusir gelombang bayangan.Elira menggertakkan gigi. “Segel ini tidak akan bertahan kalau tangan itu keluar sepenuhnya. Kita butuh sesuatu yang menghancurkan inti pusaran.”Arven melompat dari batu ke batu, mengincar makhluk-makhluk bayangan yang mencoba menembus lingkar perlindungan Kael. Ia menembakkan panah berujung sihir, tapi efeknya hanya memperlambat, bukan menghancurkan.Kael menatap gerbang. Di balik celahnya, ia melihat mata raksasa yang bersinar merah darah. Sosok itu lebih besar dari naga mana pun yang

  • Satu Malam dengan Raja Naga   Bab 148: Bayangan di Gerbang Malam

    Kabut gelap merayap di tepi Pegunungan Elyra, menelan puncak-puncak batu yang biasanya memantulkan cahaya matahari pagi. Kael berdiri di tebing paling tinggi, memandang ke arah awan hitam yang berputar di kejauhan. Di belakangnya, pasukan bersenjata lengkap berbaris rapi, namun tatapan mereka menyiratkan ketegangan yang sama.“Aku tak suka ini,” gumam Arven yang ikut berdiri di sisi Kael. “Udara di sini terlalu... berat. Seperti ada sesuatu yang mengintai.”Kael menarik napas panjang. “Bukan ‘seperti’, Arven. Memang ada.”Tiba-tiba, angin menderu membawa suara serak yang seperti berasal dari ribuan mulut sekaligus. Suara itu berbisik dalam bahasa kuno yang bahkan Kael sulit mengerti, namun maknanya jelas: Gerbang akan terbuka.Di sisi lain, Elira dan Lysira memimpin kafilah menuju Lembah Nirva. Jalanan di sana lebih tenang, tapi kesunyian itu justru terasa memancing waspada. Burung-burung tak berkicau, pohon-pohon tidak bergoyang meski angin lewat

  • Satu Malam dengan Raja Naga   Bab 147: Persekutuan Tiga Sayap

    Hari-hari berikutnya di Alevor tidak lagi diisi duka semata. Setelah kedatangan Lysira dan naga peraknya, istana mendadak menjadi tempat diplomasi baru. Para penasihat kerajaan, prajurit elit, bahkan penyihir tua dari Akademi Sinar Utara dipanggil untuk menyusun langkah menghadapi ancaman yang akan datang.Elira duduk di kursi pemimpin ruang strategi—kursi yang dulunya ditempati Riyel, tapi kini terasa asing dan berat.“Aku tahu kalian masih meragukan niat Kerajaan Angin,” ucap Elira, suaranya mantap. “Tapi kita tidak punya kemewahan untuk curiga terlalu lama. Jika yang dikatakan Lysira benar, kita butuh mereka.”Salah satu penasihat, seorang pria tua berjenggot abu-abu, mengangkat tangan. “Kita bahkan belum tahu bagaimana bentuk ancaman ini. Apa bukti bahwa naga hitam itu benar-benar akan bangkit?”Elira menoleh ke Lysira yang duduk di sisi ruangan. Wanita itu berdiri, matanya tajam dan jernih.“Di utara, tanah mulai merekah dan asap hit

  • Satu Malam dengan Raja Naga   Bab 146: Sepeninggal Raja Api

    Tiga hari telah berlalu sejak Riyel menghilang dalam cahaya perak di medan perang. Tiga hari sejak keheningan menyelimuti seluruh Alevor—bukan keheningan karena ketakutan, melainkan karena duka yang mendalam. Kota itu masih berdiri, tapi jiwanya terasa kosong. Rakyat berjalan tanpa semangat, pasar-pasar sepi, dan lonceng kuil berdentang pelan setiap pagi seolah meratapi sang Raja.Elira berdiri di balkon istana, mengenakan jubah putih berkabung dengan lambang naga emas tersemat di dada. Matanya bengkak, tapi tak ada air mata yang tersisa. Ia sudah menangis selama tiga malam berturut-turut. Kini yang tersisa hanyalah kehampaan... dan beban.“Rakyat menunggumu,” ucap Arven pelan dari belakang.Elira menoleh, menatap adik tirinya yang juga tampak kelelahan. Bekas luka di pipinya belum benar-benar sembuh. Tapi mata itu—mata yang dulu sering nakal dan penuh ambisi—kini terlihat matang dan tulus.“Aku tidak siap,” jawab Elira lirih. “Aku bukan dia. Aku

  • Satu Malam dengan Raja Naga   Bab 145: Nafas Terakhir Alevor

    Bau darah dan besi memenuhi udara. Tanah berlumpur telah berubah warna menjadi merah tua. Di antara mayat yang berserakan, Elira masih berdiri, meski lututnya bergetar, dan pundaknya nyaris tak kuat lagi menopang beban pedang yang berlumur darah. Langit belum juga berganti fajar. Waktu seolah menolak berjalan, membekukan mereka dalam malam yang abadi. Jeritan dan denting pedang masih bersahut-sahutan, tapi jumlahnya tak sebanyak sebelumnya. Pasukan Alevor telah terkikis nyaris habis. Barisan musuh pun mulai melemah, tapi jumlah mereka masih terlalu mendominasi. “...Kita tak akan mampu bertahan satu serangan besar lagi,” ujar prajurit tua di samping Elira, dadanya berlumur luka. “Tapi kita sudah lebih dari cukup memberi waktu bagi keluarga kerajaan melarikan diri.” Elira menunduk, mengangguk perlahan. Ada luka besar di pelipisnya. Tapi matanya masih nyala. Api itu belum padam. Dari arah barat, tiba-tiba terdengar ledakan heb

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status