Kabut pagi menyelimuti Pegunungan Duralis seolah ingin menyembunyikan segala hal yang akan mereka hadapi. Udara begitu dingin, menusuk tulang, dan keheningan hanya pecah oleh derak langkah mereka menapaki jalur batu yang menanjak.
Ren berjalan paling depan. Sejak subuh, dia belum bicara sepatah kata pun. Di matanya hanya ada satu tujuan: puncak. Di sanalah rahasia masa lalu menunggu dibongkar. Di sanalah ia berharap bertemu sesuatu… atau seseorang yang bisa menjawab semua.Kinari dan Liora menyusul di belakangnya, dengan Bayne mengawasi dari belakang.“Dia nggak tidur sama sekali semalam,” kata Liora pelan. “Kupikir dia bakal pingsan pas jalan.”“Adrenalinnya menutupi semuanya,” ujar Kinari. “Tapi itu nggak bakal bertahan lama. Begitu kita sampai ke sana, kalau jiwanya nggak siap… dia bisa patah.”Satu jam perjalanan berikutnya terasa seperti memasuki dunia lain. Hutan di sekitar mereka perlahan berubah—pepohonan menjadi lebih tinggi, lebLangit di atas mereka seperti menahan napas. Mendung menggantung, seolah waktu sendiri ragu untuk bergerak. Bayne memacu kudanya lebih cepat, membawa tubuh Aira yang masih belum sadarkan diri dalam pelukannya. Di belakangnya, Tiva dan dua penjaga kepercayaan dari Rumah Sihir Hitam mengikuti dengan waspada.Perjalanan menuju Menara Api Tua bukan sekadar soal jarak. Tapi soal keberanian. Tak ada peta yang bisa menunjukkan arah pasti ke sana. Yang mereka miliki hanyalah cerita turun-temurun, bisikan legenda, dan jejak-jejak sihir tua yang nyaris punah dari dunia.“Bayne,” seru Tiva di sela derap langkah kuda. “Kalau gerbangnya sudah benar-benar terbuka... tidak akan cukup hanya kita bertiga.”Bayne menoleh setengah. “Kalau kita menunggu lebih lama, Ragna bisa mengambil alih Aira sepenuhnya. Kita tak punya waktu untuk rekrut pasukan.”“Tapi kalau kita datang tanpa rencana—”“Rencana? Ragna bahkan bukan makhluk yang tunduk pada rencana. Kita t
Awan hitam menggantung rendah di atas langit istana. Suasana terasa mencekam, seolah alam pun ikut menyimpan rahasia besar yang akan segera terungkap. Dari kejauhan, denting lonceng kuil terdengar tiga kali—pertanda datangnya perubahan besar. Di ruang meditasi utama, Aira duduk bersila dengan mata terpejam, tubuhnya mengambang beberapa inci di atas permukaan lantai yang bersih tanpa noda.Aura ungu gelap menyelimuti tubuhnya, bergolak pelan seperti kabut yang berbisik. Tidak ada suara, kecuali detak jantung Aira yang terasa seperti gema di dalam kepalanya sendiri. Di hadapannya, batu kristal berbentuk segi delapan melayang, memancarkan cahaya keperakan yang menembus udara dengan getaran halus.“Aku sudah siap,” bisiknya lirih, nyaris tanpa suara.Lalu sesuatu terjadi. Kristal itu retak. Sebuah celah kecil muncul, dan dari dalamnya melesat keluar cahaya hitam yang menyambar ke arah dahi Aira. Ia menggigit bibir, tubuhnya tersentak, tetapi dia tetap diam, me
Angin utara berhembus kencang saat rombongan Bayne memasuki wilayah beku bernama Korthal, tanah sunyi yang dipercaya telah mati sejak ribuan tahun lalu. Langitnya muram, seolah awan pun enggan menatap langsung ke permukaan tanah yang menyimpan sejarah kelam.“Ini dia tempatnya?” tanya Ren, menggigil sambil memeluk jaket sihirnya.Kinari mengangguk pelan. “Tanah ini pernah jadi pusat kerajaan waktu, sebelum seluruh peradaban lenyap dalam satu malam. Kabarnya, waktu berhenti di sini sejak itu.”Morlen berjalan paling depan, tatapannya lurus ke depan seolah sedang menebus dosa. “Karena aku yang membekukannya.”Bayne menoleh. “Kau serius?”“Ritual penghentian waktu. Aku melakukannya atas perintah pemimpin lamaku... supaya Ragnur tak bisa bangkit saat itu. Tapi sekarang… garis waktunya pecah. Keseimbangan sudah rusak.”Tak ada yang menjawab. Mereka hanya terus melangkah hingga tiba di depan reruntuhan istana batu yang menjulang. Waktu
Bayne membeku. Hanya napasnya yang terdengar di aula sunyi itu. Sosok di hadapannya—sosok yang selama ini hanya tinggal dalam ingatan buram—benar-benar nyata. Matanya, wajahnya, bahkan luka lama di pelipis kiri yang dulu pernah Bayne lihat saat kecil, semuanya ada.“Ayah...?” suara Bayne serak, nyaris tak terdengar.Sosok itu mengangguk pelan. “Aku minta maaf, Bayne.”Morlen menyeringai puas, langkahnya mundur seolah menyerahkan panggung. “Lanjutkan saja... drama keluarga ini menarik.”Ren menahan diri untuk tidak menyela, tapi ekspresinya jelas menunjukkan ketegangan.Kinari memicingkan mata. “Kau bukan ilusi, kan? Ini bukan permainan markas roh?”Sang Ayah melangkah lebih dekat, dan di setiap jejak kakinya, lantai memancarkan cahaya biru tua. “Aku nyata. Walau tak seutuh dulu.”Bayne masih diam. Emosinya bertabrakan. Marah. Rindu. Bingung. Hancur.“Kenapa... kau pergi?” Suara Bayne akhirnya pecah. “Kenapa sela
Pagi menyambut dengan kabut tipis yang menggantung di antara lereng. Suasana di kaki gunung tempat mereka bermalam masih terasa menekan. Tidak ada burung, tidak ada suara gemericik air—hanya keheningan yang terlalu sempurna untuk alam liar.Bayne berdiri di tepi kemah, menatap ke arah puncak. Cahaya biru dari markas Morlen masih bersinar, tapi kini mulai meredup, seolah tahu mereka mendekat.“Aku pernah mendengar kisah tentang tempat ini,” ucap Kinari saat mereka mulai berkemas. “Konon, markas itu tidak bisa dimasuki sembarangan. Gerbangnya dijaga oleh penjaga langit—makhluk yang tidak mengenal waktu.”Ren mengangkat alis. “Penjaga langit? Bisa dipotong pakai pedang?”“Kalau bisa,” jawab Kinari pelan, “sudah banyak orang yang berhasil masuk sejak ratusan tahun lalu.”Perjalanan menanjak dimulai. Jalan menuju markas Morlen tidak seperti jalur biasa. Akar-akar pohon menjulur dari batuan, seolah hendak menggagalkan setiap langkah. Udara maki
Mereka tiba kembali di desa kaki gunung saat matahari mulai memanjat langit, menyisakan hawa lembab setelah badai kabut yang merenggut hampir seluruh energi mereka. Liora tertidur di atas punggung kuda, masih pucat dan belum pulih penuh dari bayang-bayang kabut. Ren menggandeng tali kekang, sementara Bayne menyusuri jalan setapak sambil menatap sekitar dengan waspada.Kinari berada paling depan, memimpin langkah mereka menuju rumah tua yang dulu ditinggalkannya bersama ibunya. Rumah itu kini tampak lebih rapuh dibanding kenangan yang ia simpan. Atapnya miring, dinding kayunya mulai lapuk, tapi jendela bundarnya masih utuh—dan anehnya bersih, seperti ada yang sengaja merawatnya.“Tempat ini seolah menunggumu kembali,” gumam Bayne.Kinari hanya mengangguk, menahan perasaan yang sulit dijelaskan.Begitu mereka masuk, suasana rumah terasa hangat. Tidak ada aura sihir gelap, tidak ada perangkap, hanya aroma kayu tua dan lavender kering.Ren me