Kabut malam kedua lebih tebal. Seolah hutan sengaja menyembunyikan napasnya untuk satu pertemuan yang tak boleh diganggu. Kara melangkah perlahan, jubah gelapnya menyapu tanah lembap. Tak ada perhiasan, tak ada pelayan yang membuntuti. Malam ini, ia hanya membawa satu hal—keinginan yang tak bisa diredam.
Dan itu menakutkannya. Tapi ia tetap datang. Langkahnya membawa dia ke celah pohon yang sama, jalan setapak samar yang kemarin dilalui dalam pelarian. Kini, ia melaluinya dalam kesadaran penuh. Lebih sunyi. Lebih sadar. Lebih haus. Ketika angin berputar, menggiring kabut seperti tirai, Kara berhenti. Draven berdiri di antara dua batu tinggi, siluetnya tegak seperti bagian dari lanskap hutan itu sendiri. Malam ini ia tidak menyamar sebagai manusia. Tidak sepenuhnya. Rambut panjangnya berkilau merah tua seperti bara yang dililitkan, dan sepasang tanduk halus melengkung samar di pelipisnya. Tidak mengancam. Tapi juga tidak bisa diabaikan. “Kau datang,” ucapnya, bukan tanya, bukan sambutan. Lebih seperti kenyataan yang telah ia tahu sejak tadi. Kara tidak langsung menjawab. Ia menatapnya, menelan diam-diam detak jantung yang terlampau keras. “Aku... ingin tahu siapa kau sebenarnya.” Draven mendekat. Setiap langkahnya memicu desisan halus di udara, seperti daun kering yang menyentuh api. “Dan kalau kau tahu?” bisiknya. “Apa yang akan kau lakukan pada makhluk yang tidak seharusnya kau dekati, tapi membuatmu kembali malam ini?” Kara menahan napas. Lalu berkata dengan suara rendah, “Aku akan mendekat sedikit lagi.” Senyum Draven perlahan muncul—samar, puas. Tapi tidak sombong. Lebih seperti seseorang yang menyaksikan sesuatu tumbuh, seperti bunga yang mekar di tanah terlarang. “Kau ingin tahu siapa aku?” gumamnya. “Maka dengar baik-baik, Kara.” Lalu ia menunduk, mendekat ke telinga Kara. Suaranya turun menjadi gumaman panas, begitu dekat hingga kulit lehernya menghangat. “Aku bukan manusia. Aku juga bukan dewa. Aku... adalah api terakhir yang tidak bisa padam. Raja dari sesuatu yang dilupakan. Leluhur dari makhluk-makhluk yang bahkan dalam legenda pun tak berani menyebut namaku.” Kara menatapnya. “Dan kenapa kau membiarkan aku hidup?” “Karena kau satu-satunya yang menatapku tanpa takut.” Ia menyentuh dagu Kara pelan, mengangkat wajahnya agar sejajar. “Dan karena kau, Kara... bukan manusia biasa. Kau menyimpan sesuatu yang telah lama kucari.” --- Rasa dingin tiba-tiba menerobos kulit Kara, bukan dari malam, tapi dari kebenaran yang mengendap dalam kata-kata Draven. Sejak kecil, ia tahu dirinya berbeda. Tapi berbeda macam apa—tak pernah ia pahami. Ia mengira hanya pemberontakan. Hanya keinginan bebas. Tapi sekarang? Apa maksud Draven? “Aku tidak punya apa-apa yang pantas dicari makhluk sepertimu,” ucapnya, suara pelan tapi mantap. Draven tertawa pendek, namun tidak menghina. Lebih seperti seseorang yang mendengar anak kecil berkata bahwa laut itu hanya air asin. “Kau tahu kenapa para leluhurmu membangun istana sejauh mungkin dari batas hutan ini?” tanyanya. Kara menggeleng perlahan. “Karena di bawah tanah tempatmu berdiri sekarang, terkubur warisan darah yang dulu pernah membakar langit.” Ia melangkah memutari Kara perlahan, seolah sedang menilai sesuatu yang baru terbentuk. “Darahmu bukan hanya milik kerajaan. Tapi milik sesuatu yang lebih tua. Lebih purba dari pedang dan mahkota. Kau pikir kenapa jiwamu gelisah setiap malam? Kenapa kau tidak pernah benar-benar cocok dengan dunia yang diberikan padamu?” Kara mencengkeram sisi jubahnya, tenggorokannya tercekat. “Berhenti,” bisiknya. Tapi Draven tidak berhenti. “Darah naga, Kara. Setetes. Cukup untuk membuat takdir seluruh kerajaan bergoyang.” Hening. Kecuali degup jantung Kara yang mulai terasa seperti palu perang. “Aku bukan...—” “Belum. Tapi kau akan tahu.” Draven berhenti di hadapannya lagi. Matanya menyorot gelap, bukan dengan niat jahat, tapi dengan tekad yang tak bisa dibantah. “Kau pikir aku mendekatimu karena wajahmu cantik? Tidak. Aku punya ribuan cara untuk menikmati keindahan. Tapi hanya satu jalan menuju takdirku.” Ia menunduk, bibirnya nyaris menyentuh dahi Kara. “Dan jalan itu... adalah kau.” Kara membuka mulut, tapi sebelum bisa berbicara, tanah di bawah kaki mereka bergetar pelan. Dari balik semak gelap, suara aneh terdengar—serak, rendah, dan tidak manusiawi. Draven segera menoleh, lalu menyentuh lengan Kara. “Waktumu habis. Kita harus pergi sekarang.” “Tunggu! Apa itu?!” Ia menatapnya tajam. “Pencari darah naga. Mereka sudah menciummu.” Dan dengan satu gerakan cepat, Draven menarik Kara ke dalam lingkaran cahaya merah yang muncul di bawah kaki mereka. Udara meledak. Cahaya menyilaukan meletus dari tanah, dan dalam sekejap... Kara lenyap bersama Draven, meninggalkan hanya jejak asap panas di udara malam yang membeku.Langit Veydran telah kembali tenang.Tapi kedamaian itu bukan hasil dari kemenangan—melainkan ketundukan semesta terhadap sesuatu yang tak bisa lagi dibendung. Pohon waktu berdiri dengan akar yang kini menyala samar, seperti jantung yang berdenyut pelan dalam tidur panjang.Kaelira memandangi bayinya yang tertidur dalam pelukannya. Tidak ada sinar dari matanya, tidak ada gelombang waktu yang memutar arah angin. Namun seluruh dunia seolah mengatur napasnya mengikuti napas kecil sang bayi.Di kejauhan, para Pemulih diam dalam formasi setengah lingkaran. Mereka tak bergerak, hanya berlutut. Tak ada lagi suara mantra, tak ada lagi upaya intervensi. Mereka tidak diusir… mereka disingkirkan oleh takdir itu sendiri.Lyrian berdiri diam di samping Kaelira, tangannya menggenggam gagang pedang dengan kekuatan yang lebih pada kebiasaan daripada ancaman. Matanya menyapu langit, tapi pandangannya kosong—seperti pria yang tahu bahwa apa pun yang datang setelah ini…
Satu tarikan napas.Itu cukup untuk mengubah arah takdir.Sang bayi—yang belum diberi nama oleh dunia—membuka matanya lebar.Tiga warna di matanya tak lagi berdansa lembut.Kini, mereka bersatu dalam pusaran cahaya yang membentuk pola tak dikenal oleh siapa pun.Pola itu hidup. Bernapas.Dan yang paling mengerikan bagi para Pemulih: pola itu mengingat mereka.Pemulih pertama mundur setapak, sebuah tindakan langka bagi entitas yang tak mengenal takut.“Dia… menyimpan Arus Awal dalam pandangan.”Pemulih kedua menggenggam udara, mencoba menahan aliran waktu yang terdistorsi.Namun waktu di sekitar bayi itu tak lagi patuh.Ia membengkokkan siang menjadi senja.Membalik arah jatuh daun.Mengulang bunyi detak jantung Kaelira—dua kali—sebelum kembali normal.Kaelira menahan napas, pelukan pada anaknya menjadi lebih erat.Bayi itu tak menangis. Tak bicara.Namun dari balik tubuh kecilnya, pancaran sihir mema
Tanah Veydran mereda, seolah seluruh lautan sihir menarik diri demi menyimak satu detak jantung yang baru saja tercipta. Pohon Waktu, sebelumnya bagaikan menara luka, kini menyimpan rona lembut di bagian cabang termudanya. Tunas menyala di sana, berpendar dalam tiga warna yang berdansa satu sama lain: emas yang hangat, perak yang tenang, dan ungu pucat yang memantulkan duka masa lampau.Kaelira berdiri di bawah naungan akar bercahaya, napasnya belum kembali stabil. Matanya terasa kering setelah terlalu lama menangis, namun di balik letihnya ia merasakan sesuatu yang nyaris hilang sejak Lyrian pertama kali hilang: rasa lega yang tipis, tipis sekali, seperti embun menetes di ujung daun. Lyrian menahan bahunya, bukan hanya untuk menenangkan, melainkan juga sebagai cara memastikan bahwa tubuh isterinya benar-benar ada di sini, masih hangat, masih nyata. Mereka berdua mengalihkan pandang ke Anara, yang saat itu sedang menjaga jarak, menatap pohon dengan mata setajam bilah pedang
Hening.Tak ada angin.Tak ada suara.Bahkan sihir pun berhenti bergerak,seolah dunia menahan napasnya.Di tengah kehampaan itu,sang anak berdiri sendiri.Tubuh mungilnya tampak ringkih,namun cahaya di sekelilingnya berpendar perlahan,seperti matahari yang sedang memilihapakah ia akan terbit… atau padam.Di kejauhan,Kaelira dan Lyrian membeku dalam waktu yang beku,terbentur batas realitas yang tidak lagi tunduk pada hukum biasa.Mereka bisa melihat sang anak,namun tak bisa bergerak ke arahnya.Tak bisa menyentuh,bahkan tak bisa memanggil.Sang anak menatap ke langit abu-abu,di mana simbol tak dikenal—bentuk rumit dari bahasa semesta—melayang dan berdenyut pelan.“Semuanya menunggu,”bisiknya,suara yang kecil…tapi menggema ke seluruh penjuru ruang.“Menunggu aku memilih.”Dari bayang-bayang waktu,tiga sosok bertudung itu kembali
Langkah kecil itu bergema di tengah sunyi.Tanpa suara angin,tanpa detak jantung dunia yang biasanya hidup,sehingga setiap injakan terdengar seperti lonceng kecilyang membangunkan sesuatu yang lama tertidur.Sang Raja menoleh pertama kali.Di antara akar pohon cahaya yang masih berdenyut samar,muncul sosok mungil—seorang anak lelaki,dengan rambut putih keperakandan mata berwarna perunggu,seolah matahari sore terperangkap di dalamnya.Anara langsung bersiaga,tapi Nerevan mengangkat tangan menghentikannya.“Lihat matanya,” bisiknya.“Dia bukan musuh.”Anak itu melangkah perlahan,pakaiannya terbuat dari jalinan kabut dan cahaya,tapi jejak kakinya nyata.Ia tidak menatap mereka—melainkan langsung pada dua sosok bercahayayang kini berdiri diam di pusat lingkaran sihir:Kaelira dan Lyrian.“Mama…”Suaranya nyaring,jernih,tapi membawa kesedihan yang ter
Langkah Lyrian terdengar nyaris tanpa gema.Namun setiap gerakannya membuat akar-akar cahayabergetar lembut,seolah semesta di sekelilingnya ikut menahan napas.Kaelira berdiri membeku.Matanya menatap wajah itu—wajah yang ia hafal bahkan dalam mimpi terburuknya.Wajah yang seharusnya sudah hancur,luruh bersama menara yang runtuh malam itu.Namun kini…Lyrian berdiri hidup di hadapannya,dan tak satu pun dari cahaya dalam matanyamengenali dirinya.Sang Raja bergerak pelan ke sisi Kaelira,tapi tak menyentuhnya.“Dia… itu benar-benar Lyrian?”Kaelira mengangguk.Patah.Tapi teguh.“Itu tubuh Lyrian,” gumamnya pelan,“tapi jiwanya… terikat.”Lyrian berhenti hanya beberapa langkah di depan mereka.Jubahnya berkibar pelan,dan dari balik punggungnyatampak ukiran bercahaya yang terus berdenyut.Simbol Veydran,berpadu dengan sihir paling purba—bu