Home / Fantasi / Satu Malam dengan Raja Naga / Bab 3: Lidah Api di Balik Kabut

Share

Bab 3: Lidah Api di Balik Kabut

Author: Ragil Avelin
last update Last Updated: 2025-06-19 18:52:31

Kabut malam kedua lebih tebal. Seolah hutan sengaja menyembunyikan napasnya untuk satu pertemuan yang tak boleh diganggu. Kara melangkah perlahan, jubah gelapnya menyapu tanah lembap. Tak ada perhiasan, tak ada pelayan yang membuntuti. Malam ini, ia hanya membawa satu hal—keinginan yang tak bisa diredam.

Dan itu menakutkannya.

Tapi ia tetap datang.

Langkahnya membawa dia ke celah pohon yang sama, jalan setapak samar yang kemarin dilalui dalam pelarian. Kini, ia melaluinya dalam kesadaran penuh. Lebih sunyi. Lebih sadar. Lebih haus.

Ketika angin berputar, menggiring kabut seperti tirai, Kara berhenti.

Draven berdiri di antara dua batu tinggi, siluetnya tegak seperti bagian dari lanskap hutan itu sendiri. Malam ini ia tidak menyamar sebagai manusia. Tidak sepenuhnya. Rambut panjangnya berkilau merah tua seperti bara yang dililitkan, dan sepasang tanduk halus melengkung samar di pelipisnya. Tidak mengancam. Tapi juga tidak bisa diabaikan.

“Kau datang,” ucapnya, bukan tanya, bukan sambutan. Lebih seperti kenyataan yang telah ia tahu sejak tadi.

Kara tidak langsung menjawab. Ia menatapnya, menelan diam-diam detak jantung yang terlampau keras.

“Aku... ingin tahu siapa kau sebenarnya.”

Draven mendekat. Setiap langkahnya memicu desisan halus di udara, seperti daun kering yang menyentuh api.

“Dan kalau kau tahu?” bisiknya. “Apa yang akan kau lakukan pada makhluk yang tidak seharusnya kau dekati, tapi membuatmu kembali malam ini?”

Kara menahan napas. Lalu berkata dengan suara rendah, “Aku akan mendekat sedikit lagi.”

Senyum Draven perlahan muncul—samar, puas. Tapi tidak sombong. Lebih seperti seseorang yang menyaksikan sesuatu tumbuh, seperti bunga yang mekar di tanah terlarang.

“Kau ingin tahu siapa aku?” gumamnya. “Maka dengar baik-baik, Kara.”

Lalu ia menunduk, mendekat ke telinga Kara. Suaranya turun menjadi gumaman panas, begitu dekat hingga kulit lehernya menghangat.

“Aku bukan manusia. Aku juga bukan dewa. Aku... adalah api terakhir yang tidak bisa padam. Raja dari sesuatu yang dilupakan. Leluhur dari makhluk-makhluk yang bahkan dalam legenda pun tak berani menyebut namaku.”

Kara menatapnya. “Dan kenapa kau membiarkan aku hidup?”

“Karena kau satu-satunya yang menatapku tanpa takut.”

Ia menyentuh dagu Kara pelan, mengangkat wajahnya agar sejajar.

“Dan karena kau, Kara... bukan manusia biasa. Kau menyimpan sesuatu yang telah lama kucari.”

---

Rasa dingin tiba-tiba menerobos kulit Kara, bukan dari malam, tapi dari kebenaran yang mengendap dalam kata-kata Draven. Sejak kecil, ia tahu dirinya berbeda. Tapi berbeda macam apa—tak pernah ia pahami.

Ia mengira hanya pemberontakan. Hanya keinginan bebas.

Tapi sekarang? Apa maksud Draven?

“Aku tidak punya apa-apa yang pantas dicari makhluk sepertimu,” ucapnya, suara pelan tapi mantap.

Draven tertawa pendek, namun tidak menghina. Lebih seperti seseorang yang mendengar anak kecil berkata bahwa laut itu hanya air asin.

“Kau tahu kenapa para leluhurmu membangun istana sejauh mungkin dari batas hutan ini?” tanyanya.

Kara menggeleng perlahan.

“Karena di bawah tanah tempatmu berdiri sekarang, terkubur warisan darah yang dulu pernah membakar langit.”

Ia melangkah memutari Kara perlahan, seolah sedang menilai sesuatu yang baru terbentuk.

“Darahmu bukan hanya milik kerajaan. Tapi milik sesuatu yang lebih tua. Lebih purba dari pedang dan mahkota. Kau pikir kenapa jiwamu gelisah setiap malam? Kenapa kau tidak pernah benar-benar cocok dengan dunia yang diberikan padamu?”

Kara mencengkeram sisi jubahnya, tenggorokannya tercekat.

“Berhenti,” bisiknya.

Tapi Draven tidak berhenti.

“Darah naga, Kara. Setetes. Cukup untuk membuat takdir seluruh kerajaan bergoyang.”

Hening. Kecuali degup jantung Kara yang mulai terasa seperti palu perang.

“Aku bukan...—”

“Belum. Tapi kau akan tahu.”

Draven berhenti di hadapannya lagi. Matanya menyorot gelap, bukan dengan niat jahat, tapi dengan tekad yang tak bisa dibantah.

“Kau pikir aku mendekatimu karena wajahmu cantik? Tidak. Aku punya ribuan cara untuk menikmati keindahan. Tapi hanya satu jalan menuju takdirku.”

Ia menunduk, bibirnya nyaris menyentuh dahi Kara.

“Dan jalan itu... adalah kau.”

Kara membuka mulut, tapi sebelum bisa berbicara, tanah di bawah kaki mereka bergetar pelan. Dari balik semak gelap, suara aneh terdengar—serak, rendah, dan tidak manusiawi.

Draven segera menoleh, lalu menyentuh lengan Kara.

“Waktumu habis. Kita harus pergi sekarang.”

“Tunggu! Apa itu?!”

Ia menatapnya tajam.

“Pencari darah naga. Mereka sudah menciummu.”

Dan dengan satu gerakan cepat, Draven menarik Kara ke dalam lingkaran cahaya merah yang muncul di bawah kaki mereka.

Udara meledak.

Cahaya menyilaukan meletus dari tanah, dan dalam sekejap... Kara lenyap bersama Draven, meninggalkan hanya jejak asap panas di udara malam yang membeku.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Satu Malam dengan Raja Naga   Bab 180 – Akhir dan Awal Baru

    Langit pagi yang cerah menyambut pasukan Aeryn dengan nuansa yang berbeda dari hari-hari sebelumnya. Udara segar menyusup ke dalam paru-paru, mengusir sisa-sisa kelelahan yang tertinggal dari pertempuran panjang dan melelahkan. Namun, di balik kedamaian sementara ini, ada beban berat yang masih terasa di pundak semua orang. Aeryn berdiri di puncak bukit kecil, menatap jauh ke arah medan perang yang kini dipenuhi dengan reruntuhan dan bekas luka. Wajahnya menunjukkan garis-garis kelelahan yang dalam, tetapi matanya tetap menyala dengan tekad yang tidak pernah padam. Ia tahu hari ini adalah hari terakhir yang akan menentukan nasib mereka semua. Para komandan mulai berkumpul di sebuah meja besar yang terbuat dari kayu tua di tenda pusat komando. Valtherion, dengan sikapnya yang tenang dan penuh kewibawaan, membuka peta pertempuran yang sudah lusuh, menunjuk titik-titik strategis yang harus mereka kuasai untuk mengakhiri konflik ini. “Kita sudah melewati banyak hal bersama,” ucap Val

  • Satu Malam dengan Raja Naga   Bab 179 – Menyongsong Fajar Terakhir

    Udara pagi terasa lebih berat hari itu, seperti menahan napas sebelum badai besar datang. Aeryn berdiri di puncak bukit, memandang medan pertempuran yang kini mulai berbenah setelah gelombang serangan terakhir. Setiap langkah pasukannya penuh luka, namun semangat mereka tetap membara, menyongsong fajar terakhir yang akan menentukan segalanya.Komandan-komandan berkumpul di sekitar meja kayu besar, membahas strategi pamungkas yang harus dijalankan tanpa celah. Valtherion dengan serius menunjukkan rencana serangan balik yang akan memanfaatkan titik lemah musuh yang sudah ditemukan.“Ini adalah kesempatan terakhir kita, jika gagal, semua akan berakhir,” ucap Valtherion dengan nada berat namun penuh keyakinan.Aeryn mengangguk, menyadari beban yang kini berada di pundaknya. “Kita harus bertarung bukan hanya dengan kekuatan, tapi dengan hati dan jiwa. Untuk semua yang kita cintai dan perjuangkan.”Di sudut lain, Althea dan Serat menyiapkan sihir-sihir

  • Satu Malam dengan Raja Naga   Bab 178 – Bayangan Gelap yang Mengintai

    Senja merekah di balik pegunungan, mewarnai langit dengan semburat jingga dan merah darah yang menandakan pertarungan yang belum usai. Aeryn berdiri di atas bukit, menatap jauh ke arah medan perang yang mulai tenang namun menyisakan aroma darah dan asap. Meski suara pertempuran mereda, ketegangan di udara justru semakin pekat.Di balik kehancuran dan reruntuhan, bayangan-bayangan gelap mengintai, menunggu kesempatan untuk melancarkan serangan mendadak yang bisa mengguncang mental dan fisik pasukan mereka. Aeryn tahu, musuh tidak akan menyerah begitu saja. Mereka adalah bayangan kegelapan yang terus mengintai tanpa henti.Para komandan berkumpul di sekitar api unggun besar, membahas laporan terbaru dan merancang strategi menghadapi ancaman yang semakin kompleks. Valtherion membuka peta pertempuran dengan tangan mantap, menunjuk beberapa titik yang menurutnya rawan disusupi pasukan bayangan.“Kita harus waspada di sisi utara,” ucap Valtherion dengan suara te

  • Satu Malam dengan Raja Naga   Bab 177 – Cakrawala Baru yang Membara

    Langit pagi menyambut pasukan Aeryn dengan semburat jingga yang menggoda harapan. Setelah gelombang serangan yang melelahkan, kini saatnya merancang langkah baru di atas medan yang penuh bekal luka.Aeryn berdiri di tengah perkemahan, mengamati wajah-wajah penuh kelelahan namun tak kehilangan semangat. Setiap tetes keringat dan darah menjadi saksi betapa berat perjuangan yang mereka jalani demi masa depan yang lebih baik.Valtherion, dengan ekspresi penuh tekad, mendekat dan membuka peta peperangan yang sudah usang. “Musuh mulai merespons dengan taktik baru. Mereka memusatkan kekuatan di sisi barat, berusaha menembus pertahanan kita.”Aeryn mengangguk, menimbang setiap informasi dengan seksama. “Kita harus memperkuat pertahanan di sisi itu, dan siapkan serangan balasan yang mengejutkan.”Althea dan Serat, dengan cekatan, mulai mengatur strategi gabungan antara pasukan darat dan sihir. Mereka memetakan medan dengan teliti, mencari celah yang bisa d

  • Satu Malam dengan Raja Naga   Bab 176 – Gelombang Baru di Tengah Perang

    Fajar menyingsing, membawa cahaya baru yang menerangi medan perang yang masih hangat oleh sisa-sisa pertempuran. Aeryn berdiri di tengah pasukan, merasakan getaran semangat yang berbeda. Bala bantuan dari kerajaan tetangga akhirnya tiba, menambah kekuatan yang sangat dibutuhkan.Pasukan baru itu terdiri dari prajurit terlatih, pemanah yang lihai, dan penyihir yang membawa energi magis kuat. Mereka langsung bergabung dengan barisan yang sudah lelah, menyuntikkan harapan baru di tengah kegelapan.Valtherion menyapa komandan bala bantuan dengan hormat, mengatur formasi baru yang lebih kuat dan kompak. “Kita harus memanfaatkan momentum ini untuk menyerang balik,” katanya dengan suara tegas.Aeryn memandang sekeliling, menatap wajah-wajah yang penuh semangat dan tekad. “Ini saatnya kita buktikan bahwa perlawanan kita tidak sia-sia,” ucapnya dengan suara yang menggelegar di tengah kerumunan.Althea dan Serat segera mengambil posisi, mengkoordinasikan pa

  • Satu Malam dengan Raja Naga   Bab 175 – Titik Balik di Tengah Kegelapan

    Udara dingin pagi itu menggigit kulit, tapi di dalam hati Aeryn justru membara sebuah tekad yang tak pernah padam. Setelah malam yang panjang penuh dengan peperangan dan siasat, kini saatnya merefleksikan apa yang telah terjadi dan mempersiapkan langkah berikutnya. Pemandangan di medan perang masih menyisakan jejak kehancuran. Reruntuhan kayu, perisai pecah, dan pedang yang tertancap di tanah menjadi saksi bisu pertarungan sengit semalam. Namun yang paling mencolok adalah barisan pasukan yang masih tegap berdiri, meskipun wajah mereka tampak letih dan penuh luka. Aeryn berdiri di atas batu besar, matanya menatap cakrawala yang mulai memerah tanda fajar menyingsing. Di sampingnya, Valtherion menyilangkan tangan, menatap peta perang yang dibentangkan di hadapan mereka. “Kita sudah melewati malam tersulit,” ujar Valtherion dengan suara berat. “Tapi ancaman sebenarnya masih di depan mata.” Aeryn mengangguk perlahan, menggenggam

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status