Udara di tempat itu lebih panas dari seharusnya, meski langitnya gelap tanpa matahari. Begitu kaki Kara mendarat, ia terhuyung, bukan karena goyangan tanah, tapi karena rasa kehilangan arah. Dunia telah berubah dalam kedipan mata.
Ia berdiri di atas hamparan batu obsidian hitam, membentang sejauh pandangan, dihiasi reruntuhan bangunan yang dulunya agung. Pilar-pilar raksasa menjulang tanpa atap, dihiasi ukiran naga yang tak pernah ia lihat di istana manusia. Angin membawa bisikan, seperti nyanyian dari masa yang hilang. Kara memutar tubuhnya. Draven ada di belakangnya, berdiri di ujung anak tangga yang mengarah ke takhta kosong. Di sana, tempat duduk berukir emas dan tulang naga tertinggal sendiri di bawah langit kelam. “Di mana kita?” Kara berbisik, langkahnya ragu. Draven memandangnya sejenak sebelum menjawab. “Di tempat yang pernah menjadi rumahku. Dan mungkin... akan menjadi milikmu juga.” “Rumahmu?” Kara menyapu pemandangan yang terasa lebih mirip makam daripada rumah. “Dulu, ini istana para Raja Naga,” jelas Draven. “Sebelum manusia, sebelum kerajaanmu lahir dari debu, tempat ini menguasai langit dan daratan.” Kara berjalan perlahan, menyentuh salah satu pilar. Ukiran pada permukaannya terasa hidup, panas seperti kulit. “Kenapa hancur?” Draven tidak langsung menjawab. Ia menunduk, seakan menimbang apakah ia harus jujur. Lalu ia berkata, “Karena cinta. Karena pengkhianatan. Dan karena darah yang seharusnya tidak bercampur.” Kara menoleh cepat. “Darah seperti milikku?” Mata Draven bersinar samar. “Seperti milikmu.” Ia melangkah turun dari tangga, mendekat dengan gerakan yang lambat, seperti seseorang yang tengah memasuki medan perang yang ia kenal terlalu baik. “Dulu, seorang wanita keturunan manusia mencintai naga terakhir yang mendiami istana ini. Ia tak seharusnya menembus batas. Tapi ia datang, seperti kau. Dengan ketegasan yang bahkan para Raja pun tak mampu lawan. Ia mengandung anak dari darah kami... dan dunia berubah.” Kara mendengar napasnya sendiri bergetar. “Apa yang terjadi pada anak itu?” Draven berdiri tepat di hadapannya sekarang. “Darahnya terlalu kuat. Ia bisa memilih jadi apapun... atau menghancurkan segalanya.” Diam. Kara menyentuh dadanya sendiri, seolah ingin memastikan jantungnya masih berdetak dengan ritme manusia. “Kenapa kau bawa aku ke sini?” Draven mengangkat tangannya. Dari udara, muncul semburat api yang berputar, membentuk bola kristal bening. Di dalamnya, terlihat sosok perempuan yang sangat mirip Kara—tapi dengan mata emas menyala, dan tubuh diliputi sisik merah samar. “Karena jika kau tidak belajar mengendalikannya, kau akan menjadi ini. Dan ketika itu terjadi... seluruh dunia akan terbakar.” --- “Aku bukan monster,” Kara mengucapkannya nyaris tanpa suara. Draven tidak tersenyum. Ia hanya menatap Kara dengan sorot yang sulit dibaca, seolah sedang melihat dua masa depan sekaligus. “Tidak. Kau belum jadi monster. Tapi kau juga belum sepenuhnya manusia,” katanya pelan. Kara menoleh ke kristal itu. Sosok di dalamnya bergerak, mengikuti gerakan tubuhnya sendiri, seperti bayangan masa depan yang mencoba menerobos waktu. “Apa kau takut padaku?” Draven mengangkat alis, lalu tertawa pelan. “Aku lebih takut padamu... daripada pada sepuluh ribu ksatria,” katanya. “Tapi rasa takut bisa berarti hormat. Dan keinginan.” Kata terakhir itu meluncur pelan, lembut, tapi menggigit. Kara mundur setengah langkah, namun tidak menjauh. Napasnya bergetar, bukan karena dingin, tapi karena udara di sekitar mereka mulai bergetar. Bukan dengan sihir, tapi dengan ketegangan antara dua makhluk yang tak lagi bisa berpura-pura biasa. Ia menyadari satu hal: setiap kata dari Draven bukan rayuan, tapi peringatan. Dan setiap sentuhan udara di antara mereka adalah ujian. “Aku tidak tahu siapa aku sebenarnya,” Kara mengaku, nyaris pasrah. Draven menunduk, lalu menyentuh bahu Kara. Kali ini bukan panas yang terasa, tapi getaran yang naik sampai ke tulang. “Maka aku akan membantumu mengetahuinya. Tapi jangan berharap jawaban itu tidak akan mengubahmu.” Ia mengangkat tangannya ke langit. Langit terbuka. Bukan seperti tirai, tapi seperti retakan—cahaya merah menyembur dari balik celah. Dari sana, terdengar raungan. Tidak seperti binatang. Tapi juga bukan seperti manusia. Kara memejamkan mata. Raungan itu terasa seperti sesuatu yang pernah ia dengar dalam mimpinya... mimpi yang selama ini ia pikir hanya ilusi masa kecil. “Makhluk-makhluk itu akan mencarimu sekarang,” bisik Draven. “Kenapa?” “Karena kau telah menginjakkan kaki di tanah naga. Dan darahmu... telah menjawab panggilan mereka.” Dari balik cahaya merah, satu siluet muncul—mata menyala merah api, sayap membentang seperti bayangan gunung. Draven menarik Kara ke belakang. “Dan yang pertama datang... bukanlah teman.”Langit Veydran telah kembali tenang.Tapi kedamaian itu bukan hasil dari kemenangan—melainkan ketundukan semesta terhadap sesuatu yang tak bisa lagi dibendung. Pohon waktu berdiri dengan akar yang kini menyala samar, seperti jantung yang berdenyut pelan dalam tidur panjang.Kaelira memandangi bayinya yang tertidur dalam pelukannya. Tidak ada sinar dari matanya, tidak ada gelombang waktu yang memutar arah angin. Namun seluruh dunia seolah mengatur napasnya mengikuti napas kecil sang bayi.Di kejauhan, para Pemulih diam dalam formasi setengah lingkaran. Mereka tak bergerak, hanya berlutut. Tak ada lagi suara mantra, tak ada lagi upaya intervensi. Mereka tidak diusir… mereka disingkirkan oleh takdir itu sendiri.Lyrian berdiri diam di samping Kaelira, tangannya menggenggam gagang pedang dengan kekuatan yang lebih pada kebiasaan daripada ancaman. Matanya menyapu langit, tapi pandangannya kosong—seperti pria yang tahu bahwa apa pun yang datang setelah ini…
Satu tarikan napas.Itu cukup untuk mengubah arah takdir.Sang bayi—yang belum diberi nama oleh dunia—membuka matanya lebar.Tiga warna di matanya tak lagi berdansa lembut.Kini, mereka bersatu dalam pusaran cahaya yang membentuk pola tak dikenal oleh siapa pun.Pola itu hidup. Bernapas.Dan yang paling mengerikan bagi para Pemulih: pola itu mengingat mereka.Pemulih pertama mundur setapak, sebuah tindakan langka bagi entitas yang tak mengenal takut.“Dia… menyimpan Arus Awal dalam pandangan.”Pemulih kedua menggenggam udara, mencoba menahan aliran waktu yang terdistorsi.Namun waktu di sekitar bayi itu tak lagi patuh.Ia membengkokkan siang menjadi senja.Membalik arah jatuh daun.Mengulang bunyi detak jantung Kaelira—dua kali—sebelum kembali normal.Kaelira menahan napas, pelukan pada anaknya menjadi lebih erat.Bayi itu tak menangis. Tak bicara.Namun dari balik tubuh kecilnya, pancaran sihir mema
Tanah Veydran mereda, seolah seluruh lautan sihir menarik diri demi menyimak satu detak jantung yang baru saja tercipta. Pohon Waktu, sebelumnya bagaikan menara luka, kini menyimpan rona lembut di bagian cabang termudanya. Tunas menyala di sana, berpendar dalam tiga warna yang berdansa satu sama lain: emas yang hangat, perak yang tenang, dan ungu pucat yang memantulkan duka masa lampau.Kaelira berdiri di bawah naungan akar bercahaya, napasnya belum kembali stabil. Matanya terasa kering setelah terlalu lama menangis, namun di balik letihnya ia merasakan sesuatu yang nyaris hilang sejak Lyrian pertama kali hilang: rasa lega yang tipis, tipis sekali, seperti embun menetes di ujung daun. Lyrian menahan bahunya, bukan hanya untuk menenangkan, melainkan juga sebagai cara memastikan bahwa tubuh isterinya benar-benar ada di sini, masih hangat, masih nyata. Mereka berdua mengalihkan pandang ke Anara, yang saat itu sedang menjaga jarak, menatap pohon dengan mata setajam bilah pedang
Hening.Tak ada angin.Tak ada suara.Bahkan sihir pun berhenti bergerak,seolah dunia menahan napasnya.Di tengah kehampaan itu,sang anak berdiri sendiri.Tubuh mungilnya tampak ringkih,namun cahaya di sekelilingnya berpendar perlahan,seperti matahari yang sedang memilihapakah ia akan terbit… atau padam.Di kejauhan,Kaelira dan Lyrian membeku dalam waktu yang beku,terbentur batas realitas yang tidak lagi tunduk pada hukum biasa.Mereka bisa melihat sang anak,namun tak bisa bergerak ke arahnya.Tak bisa menyentuh,bahkan tak bisa memanggil.Sang anak menatap ke langit abu-abu,di mana simbol tak dikenal—bentuk rumit dari bahasa semesta—melayang dan berdenyut pelan.“Semuanya menunggu,”bisiknya,suara yang kecil…tapi menggema ke seluruh penjuru ruang.“Menunggu aku memilih.”Dari bayang-bayang waktu,tiga sosok bertudung itu kembali
Langkah kecil itu bergema di tengah sunyi.Tanpa suara angin,tanpa detak jantung dunia yang biasanya hidup,sehingga setiap injakan terdengar seperti lonceng kecilyang membangunkan sesuatu yang lama tertidur.Sang Raja menoleh pertama kali.Di antara akar pohon cahaya yang masih berdenyut samar,muncul sosok mungil—seorang anak lelaki,dengan rambut putih keperakandan mata berwarna perunggu,seolah matahari sore terperangkap di dalamnya.Anara langsung bersiaga,tapi Nerevan mengangkat tangan menghentikannya.“Lihat matanya,” bisiknya.“Dia bukan musuh.”Anak itu melangkah perlahan,pakaiannya terbuat dari jalinan kabut dan cahaya,tapi jejak kakinya nyata.Ia tidak menatap mereka—melainkan langsung pada dua sosok bercahayayang kini berdiri diam di pusat lingkaran sihir:Kaelira dan Lyrian.“Mama…”Suaranya nyaring,jernih,tapi membawa kesedihan yang ter
Langkah Lyrian terdengar nyaris tanpa gema.Namun setiap gerakannya membuat akar-akar cahayabergetar lembut,seolah semesta di sekelilingnya ikut menahan napas.Kaelira berdiri membeku.Matanya menatap wajah itu—wajah yang ia hafal bahkan dalam mimpi terburuknya.Wajah yang seharusnya sudah hancur,luruh bersama menara yang runtuh malam itu.Namun kini…Lyrian berdiri hidup di hadapannya,dan tak satu pun dari cahaya dalam matanyamengenali dirinya.Sang Raja bergerak pelan ke sisi Kaelira,tapi tak menyentuhnya.“Dia… itu benar-benar Lyrian?”Kaelira mengangguk.Patah.Tapi teguh.“Itu tubuh Lyrian,” gumamnya pelan,“tapi jiwanya… terikat.”Lyrian berhenti hanya beberapa langkah di depan mereka.Jubahnya berkibar pelan,dan dari balik punggungnyatampak ukiran bercahaya yang terus berdenyut.Simbol Veydran,berpadu dengan sihir paling purba—bu