“Pakai bajumu. Kita pergi sekarang.”
Tavira masih berdiri di tempat, tak langsung bergerak. “Kita… pergi kemana?” tanyanya pelan, ragu. Darian tak menjawab, hanya melirik jam di pergelangan tangan. “Lima belas menit. Aku tunggu di depan.” Itu saja. Lalu ia berbalik dan naik ke lantai dua. Tavira buru-buru menuju kamarnya. Hatinya berkecamuk. Apa ini... kencan? Tidak mungkin. Tapi kenapa hatinya berdebar seperti ini? Lima belas menit kemudian, mereka sudah duduk di dalam mobil. Tavira mengenakan blus putih dan celana jeans panjang, sederhana tapi bersih. Ia tidak mau terlihat terlalu berusaha. Sepanjang perjalanan, Darian tidak banyak bicara. Jari-jarinya sibuk mengetik sesuatu di ponsel. Mobil berhenti perlahan di depan sebuah gerbang besi hitam yang lebih tinggi dan rumit ukirannya daripada rumah Darian. Di balik gerbang, terbentang taman yang lebih menyerupai taman istana dengan air mancur bertingkat, jalan seTavira masih tidak percaya dengan foto pertunangan yang ia dapatkan di atas meja kerja Darian.Sejenak ia tertegun. Jemarinya merogoh dompet, mengeluarkan foto yang sama versi kecil yang selalu ia simpan. Dibandingkan, tidak ada perbedaan. Foto itu persis.Ada perasaan hangat merambat ke dadanya. Seperti menangkap bukti kecil bahwa Darian tidak sepenuhnya dingin terhadap perjodohan ini. Bahwa diam-diam, lelaki itu juga menganggapnya bagian penting dalam hidupnya.Senyum lembut muncul tanpa disadari. Rasanya seperti mendapat kado terindah secara tidak langsung dari Darian.Pintu tiba-tiba terbuka. Tavira buru-buru menaruh kembali bingkai itu ke tempat semula, pura-pura tidak pernah menyentuhnya.“Darian?” Ia berdiri kaku, menyambut pemilik ruangan itu.Darian sempat terkejut melihat Tavira ada di ruangannya. Terlebih ia berdiri di dekat meja kerja pribadinya. Namun ekspresinya cepat mereda.“Aku mencarimu di bawah. Charity-nya sudah se
Lift berhenti di lantai 21. Tavira keluar dari lift. Lorong yang panjang dan hening menyambutnya dengan dingin.Tavira diam sejenak. Ia tidak pernah kemari. Tidak tahu persis dimana ruangan Darian berada. Sedangkan tidak tampak seorang pun yang sekiranya bisa ia tanyai.Kakinya berjalan pelan sambil memerhatikan sekeliling. Mestinya tidak sulit menemukan ruangan Darian. Pastilah ada tanda-tanda yang mencolok. Misalkan plang nama di depan pintu. Atau keterangan ruang CEO yang biasa ia temui di kantor-kantor kebanyakan.Tavira menghentikan langkah kaki seketika. Bukan karena dia menemukan ruangan yang dimaksud. Melainkan ia mendengar suara seseorang dari sebelah kanan lorong tempatnya berdiri.Tavira menghampiri. Mendengar lebih jelas suara tersebut berasal dari seseorang yang sedang berbicara. Mungkin dengan seseorang di telepon.“Sialan. Brengsek. Lakukan seperti yang aku bilang. Kamu mau upahmu berkurang karena nggak mengikutiku, hah?” umpatan itu
Tavira tenggelam bersama anak-anak panti yang ceria dan menyenangkan. Tidak terasa waktunya perpisahan tiba. Seluruh sesi acara sudah terlaksana. Semua berjalan dengan baik, bahkan menggembirakan anak-anak yang datang hari itu sebagai tamu.Tavira ikut mengantarkan anak-anak keluar dari aula sambil membagikan goodie bag sebagai kenang-kenangan.Anak kecil yang dibantunya menggambar tadi menghampiri Tavira, lalu memeluknya.“Datanglah ke rumah kami. Nanti aku tunjukkan gambar bunga yang ditempel di kamarku,” ocehnya lucu.Tavira menundukkan tubuh. Tersenyum dan membalas pelukannya.“Oke. Nanti aku akan datang. Tolong buatkan lagi gambar bunga yang paling bagus ya.”Tavira membuat janji di dalam hatinya sendiri. Kebetulan ia tahu dimana alamat rumah panti tempat anak-anak ini tinggal. Kalau ia mau, ia bisa mengunjungi kapan pun panti asuhan itu.Mereka pun berpisah dengan lambaian tangan juga wajah-wajah yang bergembira.Semua su
“Selamat pagi semuanya,” salam Tavira dimulai.“Saya merasa sangat bersyukur bisa berada di sini, bersama adik-adik sekalian. Jujur, berada di tengah kalian membuat saya teringat pada masa kecil saya sendiri. Saya tumbuh tanpa seorang ayah sejak lahir, dan meski jalan hidup saya berbeda dengan kalian, saya tahu rasanya merindukan kasih sayang, merindukan pelukan, merindukan rumah yang benar-benar terasa ‘rumah’.“Tapi hari ini, melihat senyum kalian, saya ingin kita sama-sama percaya bahwa masa depan bisa tetap cerah, meskipun masa lalu tidak selalu mudah. Bahwa keluarga tidak hanya berarti sedarah, tapi juga siapa saja yang peduli dan mau berjalan bersama kita.“Semoga hari ini bukan sekadar acara singkat, melainkan kenangan manis untuk kita semua. Kenangan bahwa kalian tidak sendiri, bahwa ada banyak orang yang ingin kalian tumbuh menjadi pribadi hebat dan bahagia.“Terima kasih kepada Summit Holdings, kepada semua pihak yang telah menyiapkan acara ini,
Sebelumnya Tavira sudah diberitahu oleh Darian rangkaian acara yang akan digelar di aula kantor nanti. Tavira juga diberi rundown acara yang Darian dapatkan dari kordinator lapangan untuk event penting tersebut.Tavira bukan orang awam. Dia pernah menjadi brand ambassador suatu produk. Tentu acara semacam ini pernah ia ikuti. Karena kali ini yang ia datangi adalah perusahaan suaminya, pastilah ia tidak ingin mempermalukan diri, apalagi mempermalukan Darian sebagai tuan rumah.Tavira mempelajari rangkaian acara. Ia bahkan memasukkannya ke dalam kepala waktu demi waktu agar kegiatan itu terlaksana dengan baik.Darian memerhatikan Tavira yang membaca rundown di selembar kertas sambil mengangguk-angguk tanda mengerti. Tidak ada satu kalimat pun yang luput dari matanya.Darian menganggap lucu wajah Tavira yang serius. Sesekali menahan bibirnya agar tidak kentara bahwa ia menertawakan Tavira yang mengerutkan kaning. Padahal hanya rundown,
“Tavira, bagaimana rasanya menyukai seseorang?” tanya Darian pelan.Tavira menelan ludah. Dia masih belum bisa tersadar dari belaian tangan Darian di pipinya. Seperti tersengat dan membuat seluruh inderanya mati rasa.“Me-menyukai seseorang?” Tavira perlu mengulang. Masih belum percaya Darian telah bangun sepenuhnya. Bisa saja dia sedang melindur. Pertanyaan itu tidak sungguh-sungguh ia tanyakan.Tapi lelaki itu mengangguk. Tatapan matanya makin tajam menembus ke iris mata Tavira. Jemarinya pun masih bermain di area pipi Tavira yang terasa lembut.“Menyukai seseorang itu rasanya seperti menemukan alasan kecil untuk bahagia setiap hari.”Tavira tidak tahu Darian sedang mengetesnya atau apa. Sekalian saja Tavira luapkan apa yang ada di pikirannya selama ini. Sambil berharap Darian bisa mengerti sisi dirinya. Bisa membuka hati meski sedikit. Dia pernah bilang tidak mengerti cara menyukai seseorang. Semoga saja setelah ini Darian bisa mengerti. Atau ba