LOGIN[Maaf, aku ada urusan mendadak. Tolong, antar Isyana pulang, Zay. Kalau Mama dan Papa marah, bilang aja aku yang nyuruh kamu nganter dia pulang.]
Elira tidak peduli andai dihujat kembali oleh kedua orang tuanya demi Isyana. Lagi pula ia tidak pernah dianggap ada.
Elira kemudian menepikan harga dirinya. Dia terus menghubungi nomer tanpa nama milik Respati Kanagara. Sudah puluhan kali panggilan ia layangkan dengan harapan Respati mengangkatnya.
Karena hanya Respati yang bisa menolongnya. Meski ia banyak melukai lelaki itu di masa lalu. Dan akhirnya, panggilan itu terhubung setelah tujuh puluh sembilan kali.
“Siapa ini?” Tanyanya dengan suara rendah.
Elira gugup. “Aku … Elira.”
Hening sejenak.
“Oh … Elira Hananta?” Respati menyindir.
Elira menghela nafas panjang.
“Namaku Elira Putri. Bukan Elira Hananta.”
Agar Respati tahu jika ia memiliki masalah dengan keluarga Hananta.
“Ada angin apa tiba-tiba kamu nelfon aku, El? Aku pikir ini mimpi.”
Menepikan rasa malunya, Elira membuka suara.
“Aku butuh bantuanmu, Res.”
Respati tertawa kecil seperti ejekan. Kemudian berucap dengan nada dingin. “Bantuan? Kamu pikir aku lembaga keamanan?”
“Tolong, Res. Aku nyesel,” ucapnya dengan nada memohon.
“Di mana kamu sekarang?”
“Aku masih di rumah keluarga Hananta.”
“Rumah yang kamu sebut surga tapi ternyata neraka?”
Elira terdiam.
“Kamu tahu? Aku pernah hampir depresi waktu kamu ninggalin aku lalu milih pulang ke rumah keluarga Hananta! Sekaligus nerima perjodohan sialan sama Zayed Sagala.”
Dulu. Elira, sebelum ditemukan keluarga Hananta dan diminta kembali pulang, ia memiliki hubungan dekat dengan Respati Kanagara.
Respati adalah anak bungsu keluarga Kanagara. Pemilik jaringan hotel berbintang yang tersebar di lima negara.
Di tengah kemewahan, Respati tumbuh dengan didikan baik ibunya. Bahwa semua itu bukan miliknya, hanya warisan.
Setelah menamatkan kuliah di Inggris, Respati tidak tinggal di apartemen mewah, tidak memamerkan kehidupannya di media sosial. Ia bekerja dalam diam dan mengenakan nama samaran tanpa gelar.
Ia bukan lelaki yang suka bercerita banyak hal, apalagi tentang luka. Media bisnis menyebutnya ‘pewaris yang hilang’, tapi Respati tidak pernah hilang.
Ayahnya menceraikan ibu Respati demi wanita masa lalu ayahnya, setelah tiga puluh lima tahun pernikahan. Sejak itu, ia menjauh dari apa arti cinta atau dongeng pernikahan. Namun semua berubah setelah bertemu Elira.
Ia mendengarkan Respati tanpa perhatian berlebih. Memberinya tempat untuk bernafas. Tidak memperlakukannya seperti pewaris karena Respati juga manusia biasa yang bisa lelah, butuh diam, dan tetap dihargai.
Kehadiran Elira seperti api kecil di perapian. Hangat tapi bisa membuat Respati ingin pulang. Perlahan, Respati sadar jika ia jatuh cinta.
Hingga pagi itu tiba. Seorang pria dengan pakaian formal berdiri di depan pintu, utusan keluarga Hananta. Datang membawa pesan.
“Kembalilah, Nona Elira. Anda adalah putri sesungguhnya dari keluarga Hananta. Kedua orang tua kandung anda sudah menunggu.”
Tapi kehidupannya tidak hangat di rumah keluarga Hananta. Karena Isyana berhasil merebut hati mereka semua dengan menjual air mata dan kesedihan.
Lalu demi mendapat simpati kedua orang tuanya, Elira bersedia dijodohkan dengan Zayed Sagala dan memilih meninggalkan Respati. Namun kini, pengorbanannya tiada arti.
“Aku nggak tahu harus minta tolong siapa lagi, Res.”
“Apa kamu dibuang lalu sekarang mendadak butuh bantuanku, heh!?” Respati merasa seperti tempat berteduh sementara.
“Aku tahu aku nggak pantas minta bantuanmu. Itu pun kalau kamu masih bersedia. Kalau nggak … aku bisa pahami itu.”
Respati tidak menjawab. Dan Elira tahu apa artinya.
“Maaf, Res,” kata Elira dengan suara gemetar. “Aku nggak seharusnya ganggu kamu lagi. Ini salah. Maaf.”
Elira hendak mematikan sambungan tapi Respati segera bersuara.
“Elira!” ucapnya dengan nada meninggi. “Kamu datang setelah nggak butuh aku. Sekarang, waktu minta bantuan, kamu mau pergi gitu aja? Kau pikir aku ini apa? Tempat pelarian yang bisa kamu buka tutup sesuka hati?”
Elira tertunduk dan tidak menjawab.
“Nggak, El,” lanjut Respati, suaranya dingin. “Kamu harus tetap minta bantuanku. Katakan apa masalahmu?”
Andai Elira bisa meminta bantuan pada orang lain, namun saat ini hanya Respati yang bisa ia andalkan. Dia tidak memiliki pilihan.
“Aku … nggak mau nikah sama Zayed. Aku mau mutusin rencana pernikahan kami secara mendadak, satu hari sebelumnya. Tolong … keluarin aku dari neraka ini, Res.”
Senyum miring dan puas tercetak di bibir Respati. Akhirnya, waktu yang ia tunggu akhirnya datang juga.
“Oke. Apapun yang kamu minta. Aku nggak akan nyerahin kamu kembali ke keluarga Hananta! Tapi … setelah semua ini selesai, kita harus bicara. Tentang harga dari meninggalkan seseorang yang pernah mencintaimu.”
Elira tidak memiliki pilihan selain Respati.
“Kapan aku harus datang?”
Elira pikir setelah meminta bantuan pada Respati maka penderitaannya akan berakhir. Namun dugaannya salah!
Lepas dari mulut harimau masuk mulut buaya. Tapi itu lebih baik dari pada Elira tetap bertahan di rumah keluarga Hananta dan rencana pernikahannya dengan Zayed.
"Enam minggu lagi. Apa kamu bisa?"
"Sangat bisa."
****
Selama dua minggu ini, Zayed hanya mengirim pesan singkat, tanpa bertanya apa yang sedang Elira lakukan. Kesibukan selalu menjadi alasan lelaki itu.
[Maaf, banyak pasien, El.]
[Besok aku kabari.]
Kemudian Elira menghapus pesan-pesan Zayed, seolah semuanya hanya potongan drama yang basi. Dan hari-harinya di rumah Hananta, terasa seperti ruang tunggu yang panjang, sepi, penuh tekanan, dan asing.
Dia bersikap seolah tidak ada masalah dengan Zayed. Padahal dia sudah memikirkan rencana terbaik. Hanya tinggal menunggu hari itu.
Tiba di hari senin, bunga mawar putih segar dikirim dari toko langganan Zayed. Dengan kartu kecil bertuliskan :
[Untuk Elira, calon istriku. Semoga harimu menyenangkan.]
Tapi Elira justru meremas kartu ucapan itu dan membuang bunga ke dalam tong sampah.
Satu per satu, ia mulai mengeluarkan barang-barang pemberian Zayed. Jam tangan emas, gaun rancangan khusus, sepatu hak tinggi, dan album foto pertunangan mereka. Kemudian memasukkannya ke dalam tas khusus.
Ia menatanya dengan rapi. Bukan karena masih dihargai, tapi karena akan dikembalikan.
"Aku nyerah, Zay. Akan aku kembaliin satu hari menjelang pernikahan kita," gumamnya tanpa air mata.
Di saat hatinya benar-benar hancur tanpa ada satu pun orang yang menghiburnya, Elira kembali dihadapkan pada kenyataan pahit. Ponselnya berkedip menunjukkan puluhan pesan belum terbaca dari wedding organizer.
“Bali, Nona. Tempat yang lebih aman,” jawabnya singkat.Elira terdiam. Ia masuk ke mobil tanpa berkata lagi.Namun begitu pintu tertutup dan mobil mulai melaju, ada tatapan kosong di matanya. Setiap kilometer yang mereka tinggalkan terasa seperti jarak baru antara dirinya dan kebebasan yang hampir bisa ia genggam.Sementara itu, di ruang kerja Respati, jauh di Jakarta, ponselnya kembali bergetar. Pesan masuk singkat dari tim pengawalnya:[Target dalam perjalanan. Aman.]Respati hanya membalas:[Buat seolah ini perjalanan liburan.]Ia tahu, cepat atau lambat, Elira akan membencinya karena semua ini. Tapi untuk sekarang … keselamatan Elira jauh lebih penting daripada penjelasan apa pun.*****Pagi itu, matahari baru saja menembus jendela apartemen Zayed ketika ponselnya berdering pelan. Pesan dari Dika, orang bayaran yang ia tugaskan untuk mencari Elira.Zayed, yang masih duduk di meja makan dengan wajah lelah dan kopi yang sudah dingin, membuka pesan itu dengan mata berat.[Kita kehil
Akhirnya, ia menggeser ikon hijau di layar.“Selamat sore.” Suaranya tenang, rendah, dan tanpa ekspresi.“Selamat sore, Pak Respati. Akhirnya saya bisa berbicara langsung dengan Anda.”Respati tidak menjawab, hanya memberi keheningan yang panjang, membiarkan Tuan Hananta melanjutkan.“Kita belum pernah bertemu, tapi saya yakin Anda tahu siapa saya.”“Kurasa cukup banyak orang tahu siapa Anda setelah skandal yang dilakukan putri angkat anda,” balas Respati datar. “Pertanyaannya, mengapa Anda berusaha menghubungi saya?”Nada itu bukan nada ramah. Tidak ada rasa sungkan, seolah ia berbicara dengan rekan bisnis kecil, bukan salah satu tokoh paling berpengaruh di industri kesehatan.“Saya tidak suka berputar-putar,” ucap Tuan Hananta. “Saya hanya ingin tahu apa hubungan Anda dengan putriku, Elira.”Hening kembali menggantung. Respati bersandar perlahan di kursinya, menatap lampu-lampu kota yang mulai menyala.“Menarik,” katanya pelan. “Biasanya orang menanyakan kerja sama bisnis. Anda justr
“Pastikan Elira tetap aman dan …. bahagia.”Asistennya menunduk hormat. Ia paham betul arti di balik kata-kata itu. Bahwa kendali tetap di tangan Respati.Begitu pintu tertutup dan Respati kembali sendiri, ia menatap layar tablet itu sekali lagi. Senyum samar tersungging di sudut bibirnya.“Jadi kamu bisa tertawa lagi tanpa aku, Elira? Baiklah. Nikmati sementara masih bisa.”Ia lalu mematikan tablet itu dan beralih menekuri laptopnya.****Elira baru saja menutup pintu rumah dan hendak berbaring, tapi ponselnya berdering pelan di meja kecil dekat mesin jahit.Namun saat melihat layar ponselnya, pikirannya dipenuhi tanda tanya. Nama Respati tertera di sana. Sudah berhari-hari ia tidak mendengar suara laki-laki itu. Sejak malam pemindahannya ke desa ini, semua komunikasi hanya melalui tangan kanan Respati.Dan kini, tiba-tiba, ia menelpon sendiri.Dengan jantung berdegup tidak karuan, Elira akhirnya menggeser ikon hijau.“Halo?” suaranya nyaris berbisik.“Lama juga ya angkat telfonnya?”
[Reno : Tuan, ini foto yang kami temukan. Masih buram, tapi kami yakin 80% itu Nona Elira. Vila tepi pantai di Lombok Utara.]Zayed membuka foto itu, gambar perempuan bergaun putih muda, tengah berjalan di tepi teras dengan laut di belakangnya. Kabur, tapi cukup untuk membuat jantungnya berhenti berdetak sesaat.“Elira,” suaranya lirih, hampir tidak terdengar.Ia menatap layar lama sekali, matanya memantulkan cahaya ponsel yang bergetar di genggamannya. Isyana bergerak sedikit di sebelahnya, bergumam kecil, lalu memeluk lengan Zayed dalam tidurnya. Namun pria itu bahkan tidak menoleh.Ia hanya duduk diam, menggenggam ponsel erat-erat. Tatapannya dingin, ada sesuatu yang berputar di pikirannya, antara rasa bersalah, rindu, dan tekad.‘Aku akan menemukanku lagi, Elira. Apa pun caranya.’*****Angin pagi dari pegunungan kecil di belakang desa membawa aroma tanah basah dan bunga kenanga.Rumah baru Elira berdiri di tepi jalan paving, dikelilingi pagar bambu dan pohon pisang di belakangny
“Oh, sekarang aku yang disalahin lagi? Setelah aku berhasil ngerayu Papa buat bantu bisnis keluargamu, apa ini imbalannya, Kak?!”Zayed merasa tertampar lalu Isyana menambahkan.“Kamu pikir aku nggak stres, Kak? Aku kehilangan reputasi, teman-temanku menjauh, semua orang ngata-ngatain aku perebut tunangan orang! Itu semua aku alihin sama belanja online dan ngelakuin semua semauku!”“Kalau cuma apartemen ktor, kamu bisa panggil tukang bersih-bersih kan bisa. Nggak perlu nyentil aku kayak gini seolah-olah aku ini nggak berguna buat kamu!”Zayed terdiam. Tapi wajahnya menunjukkan kejengkelan dan malu yang tak bisa disembunyikan.Ia menatap sekitar apartemen, lalu menatap Isyana, sosok perempuan yang dulu ia pikir akan membuat hidupnya lebih berwarna, kini justru seperti menambah beban pikirannya.“Aku cuma capek, Isya,” katanya pelan tapi tegas.“Kalau kamu capek, aku juga capek terus disalahin!”Zayed berdiri lalu menuju balkon. Dari sana ia bisa melihat gemerlap lampu kota Jakarta yang
Elira terdiam. Amarahnya runtuh perlahan, berganti dengan gelombang takut dan bingung.“Apa ... apa maksudmu, Res?”“Maksudku sederhana,” jawab Respati dingin. “Aku nggak akan mengulang perintah dua kali. Kemasi barangmu, ikut orangku, dan jangan tanya apa-apa lagi. Kalau kamu mau hidup tenang, lakukan sekarang.”“Kamu cuma nakut-nakuti aku kan, Res?”“Aku serius. Aku berusaha menyelamatkan kamu, meskipun kamu sendiri nggak sadar ada bahaya yang mendekat.”Lalu sambungan telfon terputus begitu saja. Tanpa salam, tanpa kesempatan bagi Elira untuk bertanya lebih detail lagi.Elira memandangi layar ponselnya yang gelap dengan sejuta kebingungan. Dia tidak berani menghubungi Respati kembali.Tangan kanan Respati masih berdiri di depan pintu, lalu berucap.“Kita benar-benar harus pergi sekarang, Nona,” katanya lembut tapi pasti.Elira menarik nafas panjang lalu mengangguk.“Iya.”Malam itu langit Lombok seperti menelan cahaya. Angin laut berembus kencang, membuat daun-daun kelapa di sekitar







