Share

Saatnya Menyerah

Author: DAUN MUDA
last update Last Updated: 2025-08-17 13:47:24

[Maaf, aku ada urusan mendadak. Tolong, antar Isyana pulang, Zay. Kalau Mama dan Papa marah, bilang aja aku yang nyuruh kamu nganter dia pulang.]

Elira tidak peduli andai dihujat kembali oleh kedua orang tuanya demi Isyana. Lagi pula ia tidak pernah dianggap ada.

Elira kemudian menepikan harga dirinya. Dia terus menghubungi nomer tanpa nama milik Respati Kanagara. Sudah puluhan kali panggilan ia layangkan dengan harapan Respati mengangkatnya.

Karena hanya Respati yang bisa menolongnya. Meski ia banyak melukai lelaki itu di masa lalu. Dan akhirnya, panggilan itu terhubung setelah tujuh puluh sembilan kali.

“Siapa ini?” Tanyanya dengan suara rendah.

Elira gugup. “Aku … Elira.”

Hening sejenak.

“Oh … Elira Hananta?” Respati menyindir.

Elira menghela nafas panjang.

“Namaku Elira Putri. Bukan Elira Hananta.”

Agar Respati tahu jika ia memiliki masalah dengan keluarga Hananta.

“Ada angin apa tiba-tiba kamu nelfon aku, El? Aku pikir ini mimpi.”

Menepikan rasa malunya, Elira membuka suara.

“Aku butuh bantuanmu, Res.”

Respati tertawa kecil seperti ejekan. Kemudian berucap dengan nada dingin. “Bantuan? Kamu pikir aku lembaga keamanan?”

“Tolong, Res. Aku nyesel,” ucapnya dengan nada memohon.

“Di mana kamu sekarang?”

“Aku masih di rumah keluarga Hananta.”

“Rumah yang kamu sebut surga tapi ternyata neraka?”

Elira terdiam.

“Kamu tahu? Aku pernah hampir depresi waktu kamu ninggalin aku lalu milih pulang ke rumah keluarga Hananta! Sekaligus nerima perjodohan sialan sama Zayed Sagala.”

Dulu. Elira, sebelum ditemukan keluarga Hananta dan diminta kembali pulang, ia memiliki hubungan dekat dengan Respati Kanagara.

Respati adalah anak bungsu keluarga Kanagara. Pemilik jaringan hotel berbintang yang tersebar di lima negara.

Di tengah kemewahan, Respati tumbuh dengan didikan baik ibunya. Bahwa semua itu bukan miliknya, hanya warisan.

Setelah menamatkan kuliah di Inggris, Respati tidak tinggal di apartemen mewah, tidak memamerkan kehidupannya di media sosial. Ia bekerja dalam diam dan mengenakan nama samaran tanpa gelar.

Ia bukan lelaki yang suka bercerita banyak hal, apalagi tentang luka. Media bisnis menyebutnya ‘pewaris yang hilang’, tapi Respati tidak pernah hilang.

Ayahnya menceraikan ibu Respati demi wanita masa lalu ayahnya, setelah tiga puluh lima tahun pernikahan. Sejak itu, ia menjauh dari apa arti cinta atau dongeng pernikahan. Namun semua berubah setelah bertemu Elira.

Ia mendengarkan Respati tanpa perhatian berlebih. Memberinya tempat untuk bernafas. Tidak memperlakukannya seperti pewaris karena Respati juga manusia biasa yang bisa lelah, butuh diam, dan tetap dihargai.

Kehadiran Elira seperti api kecil di perapian. Hangat tapi bisa membuat Respati ingin pulang. Perlahan, Respati sadar jika ia jatuh cinta.

Hingga pagi itu tiba. Seorang pria dengan pakaian formal berdiri di depan pintu, utusan keluarga Hananta. Datang membawa pesan.

“Kembalilah, Nona Elira. Anda adalah putri sesungguhnya dari keluarga Hananta. Kedua orang tua kandung anda sudah menunggu.”

Tapi kehidupannya tidak hangat di rumah keluarga Hananta. Karena Isyana berhasil merebut hati mereka semua dengan menjual air mata dan kesedihan.

Lalu demi mendapat simpati kedua orang tuanya, Elira bersedia dijodohkan dengan Zayed Sagala dan memilih meninggalkan Respati. Namun kini, pengorbanannya tiada arti.

“Aku nggak tahu harus minta tolong siapa lagi, Res.”

“Apa kamu dibuang lalu sekarang mendadak butuh bantuanku, heh!?” Respati merasa seperti tempat berteduh sementara.

“Aku tahu aku nggak pantas minta bantuanmu. Itu pun kalau kamu masih bersedia. Kalau nggak … aku bisa pahami itu.”

Respati tidak menjawab. Dan Elira tahu apa artinya.

“Maaf, Res,” kata Elira dengan suara gemetar. “Aku nggak seharusnya ganggu kamu lagi. Ini salah. Maaf.”

Elira hendak mematikan sambungan tapi Respati segera bersuara.

“Elira!” ucapnya dengan nada meninggi. “Kamu datang setelah nggak butuh aku. Sekarang, waktu minta bantuan, kamu mau pergi gitu aja? Kau pikir aku ini apa? Tempat pelarian yang bisa kamu buka tutup sesuka hati?”

Elira tertunduk dan tidak menjawab.

“Nggak, El,” lanjut Respati, suaranya dingin. “Kamu harus tetap minta bantuanku. Katakan apa masalahmu?”

Andai Elira bisa meminta bantuan pada orang lain, namun saat ini hanya Respati yang bisa ia andalkan. Dia tidak memiliki pilihan.

“Aku … nggak mau nikah sama Zayed. Aku mau mutusin rencana pernikahan kami secara mendadak, satu hari sebelumnya. Tolong … keluarin aku dari neraka ini, Res.”

Senyum miring dan puas tercetak di bibir Respati. Akhirnya, waktu yang ia tunggu akhirnya datang juga.

“Oke. Apapun yang kamu minta. Aku nggak akan nyerahin kamu kembali ke keluarga Hananta! Tapi … setelah semua ini selesai, kita harus bicara. Tentang harga dari meninggalkan seseorang yang pernah mencintaimu.”

Elira tidak memiliki pilihan selain Respati.

“Kapan aku harus datang?”

Elira pikir setelah meminta bantuan pada Respati maka penderitaannya akan berakhir. Namun dugaannya salah!

Lepas dari mulut harimau masuk mulut buaya. Tapi itu lebih baik dari pada Elira tetap bertahan di rumah keluarga Hananta dan rencana pernikahannya dengan Zayed.

"Enam minggu lagi. Apa kamu bisa?"

"Sangat bisa."

****

Selama dua minggu ini, Zayed hanya mengirim pesan singkat, tanpa bertanya apa yang sedang Elira lakukan. Kesibukan selalu menjadi alasan lelaki itu.

[Maaf, banyak pasien, El.]

[Besok aku kabari.]

Kemudian Elira menghapus pesan-pesan Zayed, seolah semuanya hanya potongan drama yang basi. Dan hari-harinya di rumah Hananta, terasa seperti ruang tunggu yang panjang, sepi, penuh tekanan, dan asing.

Dia bersikap seolah tidak ada masalah dengan Zayed. Padahal dia sudah memikirkan rencana terbaik. Hanya tinggal menunggu hari itu.

Tiba di hari senin, bunga mawar putih segar dikirim dari toko langganan Zayed. Dengan kartu kecil bertuliskan :

[Untuk Elira, calon istriku. Semoga harimu menyenangkan.]

Tapi Elira justru meremas kartu ucapan itu dan membuang bunga ke dalam tong sampah.

Satu per satu, ia mulai mengeluarkan barang-barang pemberian Zayed. Jam tangan emas, gaun rancangan khusus, sepatu hak tinggi, dan album foto pertunangan mereka. Kemudian memasukkannya ke dalam tas khusus.

Ia menatanya dengan rapi. Bukan karena masih dihargai, tapi karena akan dikembalikan.

"Aku nyerah, Zay. Akan aku kembaliin satu hari menjelang pernikahan kita," gumamnya tanpa air mata.

Di saat hatinya benar-benar hancur tanpa ada satu pun orang yang menghiburnya, Elira kembali dihadapkan pada kenyataan pahit. Ponselnya berkedip menunjukkan puluhan pesan belum terbaca dari wedding organizer.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Saudara Angkatku, Rivalku   Alasan Untuk Kembali

    Tiga tahun telah berlalu sejak Elira pergi. Respati, kini menjadi CEO Kanagara Group yang baru, memimpin perusahaan properti dan jaringan hotel mewah Ayahnya.Ia telah memindahkan seluruh kantornya kembali ke Jakarta, fokus mengelola aset besar yang tersebar di berbagai kota.Respati tidak pernah mendekati perempuan lain.Ia bekerja tanpa henti, membiarkan liontin cincin Elira tersembunyi di balik dasinya, menjadi satu-satunya ikatan yang tersisa dari pernikahan mereka.Ia telah mengutus Dion untuk secara diam-diam mencari tahu tentang perkembangan karir Elira, ingin memastikan bahwa Elira baik-baik saja dan aman, tetapi ia tidak pernah mencoba menghubunginya.Hatinya dipenuhi harapan yang mustahil bahwa suatu hari nanti, takdir akan membawa Elira kembali kepadanya.Pada awal tahun keempat, salah satu hotel termewah milik Kanagara Group di Jakarta Pusat terpilih menjadi venue utama untuk acara tahunan Grand Wedding Showcase—peragaan busana pengantin paling bergengsi.Respati secara pri

  • Saudara Angkatku, Rivalku   Cinta Yang Terlambat

    “Halo, Res. Kamu jadi pulang cepat?” tanya Ibunya.Berusaha keras tidak terdengar panik.“Aku lagi ngejar deadline, Bu. Kenapa? Apa Elira di rumah?”“Dia di rumah. Lagi sibuk sama benang-benangnya. Oh ya, Ibu pengen sesuatu, Res.”“Pengen apa, Bu?” Respati mendesah, jelas merasa terganggu tetapi tidak bisa menolak permintaan Ibunya.“Ibu pengen Martabak Pak Kumis yang di Jalan Bima itu, lho. Yang paling terkenal di Jogja, yang antreannya panjangnya setengah kilometer.”Respati terdiam.Ia tahu betul lokasi yang dimaksud Ibunya. Itu adalah salah satu martabak paling legendaris dan lokasinya cukup jauh dari rumah mereka, membutuhkan waktu minimal 45 menit perjalanan pergi dan pulang di jam sibuk ini.“Bu, itu jauh banget! Yang lain aja lah,” protes Respati.“Ibu maunya yang itu. Kalau kamu sayang Ibu, tolong belikan.” Ibunya menggunakan senjata pamungkas.Rasa bersalah.Respati menghela napas kasar. Tetapi permintaan Ibunya, meskipun aneh, tidak bisa ditolaknya. Lagipula, ia yakin Elira

  • Saudara Angkatku, Rivalku   Penjara Dingin

    Pagi menjelang, cahaya samar-samar mulai menyelinap masuk melalui celah gorden kamar Respati.Keheningan yang dingin tidak lagi ada.Respati memeluk Elira erat. Ia merasa lega dan cemas pada saat yang bersamaan. Ia telah melakukan tindakan yang sangat egois, tetapi ia merasa utuh kembali, seolah ia telah menemukan harta yang ia buang sendiri.Elira terbangun lebih dulu. Ia merasakan lengan Respati melingkari pinggangnya dengan kuat, seolah takut Elira akan menghilang jika pelukannya mengendur sedikit saja. Tubuh mereka bertautan, sisa-sisa keintiman malam itu masih terasa.Elira mencoba bergerak, berniat melepaskan diri dan kembali ke kamarnya.Seketika, pelukan Respati mengerat.“Jangan bergerak,” bisik Respati, suaranya dalam dan serak khas bangun tidur.“Aku harus kembali ke kamarku,” jawab Elira pelan, nadanya datar dan tanpa emosi.Ia tidak mau mengakui keintiman ini.“Nggak,” Respati menekan kata itu. Ia membuka matanya, menatap Elira dengan tatapan posesif yang dingin. “Kamu ngg

  • Saudara Angkatku, Rivalku   Kamu Milikku!!!

    Pukul dua dini hari. Keheningan total menyelimuti rumah itu.Respati terbangun dengan rasa haus yang luar biasa. Ia menyalakan lampu kecil di kamarnya. Pikirannya masih dipenuhi kata-kata Ibunya dan tatapan tenang Elira di Malioboro. Ia memutuskan untuk mandi agar pikirannya jernih.Respati keluar dari kamarnya, hanya mengenakan celana pendek. Langkah kakinya pelan menuju kamar mandi.Tepat pada saat yang sama, pintu kamar Elira terbuka pelan. Elira keluar. Ia juga haus. Di bawah cahaya remang-remang, terlihat jelas mata Elira sedikit sembab, bekas sisa tangis yang ia tahan setelah kembali dari Malioboro.Ia bergerak perlahan menuju dapur, tidak menyadari Respati ada di lorong.Kemudian mereka berpapasan tepat di depan kamar Respati.Elira tersentak kaget. Ia melihat Respati yang berdiri di sana, bertelanjang dada.Elira dengan cepat mengendalikan diri, wajahnya kembali datar, dan ia berusaha untuk melewatinya begitu saja, tidak peduli dengan kehadiran suaminya.“Permisi,” gumam Elira

  • Saudara Angkatku, Rivalku   Suami Tidak Tahu Diri

    Elira mempertahankan senyum tenangnya, senyum yang sama sekali tidak mencapai matanya, namun cukup untuk membuat Respati dan Risa merasa canggung.Ia mengabaikan tatapan panik Respati dan menoleh ke arah Risa.“Halo, Risa. Ternyata kita bertemu lagi, ya,” sapa Elira ramah, seolah mereka hanyalah dua orang kenalan biasa. “Senang melihat kalian berdua menikmati festival ini. Kalian tampak … sangat cocok sebagai rekan kerja.”Risa terlihat sangat tidak nyaman.“Eh, iya. Kami hanya … hanya research kostum untuk event mendatang, kok.”Respati, yang masih tergagap dan bingung harus berkata apa setelah berbohong kepada Ibunya, hanya bisa diam menatap Elira. Tatapan Elira begitu tenang, begitu tidak menuduh, sehingga justru membuat Respati semakin merasa bersalah.Elira kembali menatap Respati.“Festivalnya pasti akan berlanjut sampai malam. Silakan kalian berdua lanjutkan melihat peragaan busana atau bunga-bunga ini. Tadi Ibuku bilang dia kelelahan. Aku harus segera mengantarnya pulang.”Elir

  • Saudara Angkatku, Rivalku   Kalian Terlihat Akrab

    “El, kamu menang,” seru mertuanya nyaris berteriak. “Kamu juara pertama! Juara Pertama Kontes Desain Pakaian Daerah!”Elira membeku sejenak. Kemudian, rasa gembira yang luar biasa meluap. Ia bangkit dan memeluk mertuanya erat-erat, air mata kebahagiaan akhirnya tumpah setelah sekian lama ia hanya menangis dalam diam.“Aku menang, Bu! Aku berhasil!” Elira tertawa dan menangis bersamaan. Ia merasa diakui, bukan sebagai istri pelarian, tetapi sebagai seorang desainer berbakat.“Ibu tahu kamu berbakat, El!”Kemenangan ini adalah penawar untuk semua rasa sakit dan pengabaian yang ia rasakan. Elira merasa bahwa kini ia benar-benar siap untuk menghadapi perpisahan dengan Respati, karena ia punya masa depan yang bisa ia genggam dengan tangannya sendiri.Namun, di tengah luapan kebahagiaan itu, ia teringat satu hal.Respati.“Bu, Respati nggak boleh tahu aku melanggar aturannya,” kata Elira, kembali pada kewaspadaan.Mertuanya mengangguk cepat.“Jangan khawatir, El. Kita akan atur semuanya. Sek

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status