Semenjak kepergian sang ibu, Aarav menjadi terpuruk. Dia sangat sedih. Apalagi, ayahnya juga sering mendiamkannya, bahkan pergi keluar rumah. Jarang sekali pulang. Membuat Aarav semakin kesepian.
Karena stres, Aarav menjadi sering menghabiskan waktunya di kamar. Mengurung diri dari keramaian. Bahkan dari teman-temannya. Kegelapan yang tadinya adalah hal yang menakutkan bagi Aarav, sekarang adalah hal yang paling menenangkannya. Kesunyian ini benar-benar indah meski harus dihiasi dengan tangis.
tok tok tok
Mendengar suara ketukan pintu, Aarav pun segera menghapus air matanya dan beranjak dari kasurnya kemudian membuka pintu. Dia melihat Ana, bibinya, sedang berdiri sambil membawa nampan yang terdapat makanan.
Ana tersenyum menatap Aarav.
"Aarav, ayo makan. Ini sudah malam, kamu belum makan dari pagi. Ayo makanlah nanti kamu bisa sakit. Baiklah kalau kamu tidak mau makan sendiri. Sini, biar Bibi suapin," kata bibi. Dia mengajak Aarav duduk di sofa. Saat dia hendak menyuapinya makan, tiba-tiba Aarav menghentikannya.
"Gak, Bi. Aku gak lapar," tolak Aarav.
Ana menatap Aarav.
"Tapi? Dengar, kau harus makan. Nanti kalau kamu sakit gimana? Bibi pasti akan sedih. Apa kau mau bibi sedih?'' Ana berusaha membujuk Aarav agar mau makan.
Aarav menggeleng.
"Tidak, Kan? Ya sudah, ayo makan," ujar Ana sembari menyuapi Aarav makan.
Aarav memandangi sekeliling kamarnya dengan tatapan sendu.
Dia teringat masalah kemarin malam dan merasa sedih.
"Bi, Aarav boleh tanya gak?'' pintanya. Ana tersenyum.
"Tentu boleh, Sayang. Ada apa?"
"Bi ... Bibi tahu tidak, Mama pergi kemana? Masa sejak kemarin malam, Mama gak pernah pulang. Aku kangen.." ucap Aarav. Dia menatap Ana dengan mata yang berkaca-kaca.
Ana yang melihat dan mendengar ucapan Aarav menjadi iba. Dia berusaha membuat alasan agar dia tidak membenci orang tuanya karena berburuk sangka.
"Aarav sayang, Mama sama Papa lagi ada urusan penting. Makanya mereka jarang pulang. Tapi kamu jangan sedih. Besok Papa sama Mama pasti akan pulang kok, kamu yang sabar," jelas Ana sambil membelai rambut Aarav.
Aarav hanya diam. Air matanya turun membasahi wajahnya. Ana mendekat pada Aarav dan memeluknya berusaha menenangkan Aarav yang sedang bersedih.
***
Hari demi hari berlalu, siang berganti malam. Kesunyian ini sekarang semakin menjadi. Dunia tak lagi indah seperti dulu. Rupanya memang cantik, hawanya memang sejuk, tapi tidak dengan hati yang sekarang semakin terluka akibat perpisahan.
Rumah kini tak lagi terlihat menyenangkan. Ini adalah hal yang mengerikan. Pulang kerumah, tidur dalam kegelapan, tidak ada lagi kehangatan keluarga, menangis dalam sunyi. Kau tau? Ini sangat menyiksa.
Meskipun hati Aarav sekarang benar-benar sedih. Dia berusaha menghibur dirinya sendiri, bahwa semua akan baik-baik saja, walau itu sebenarnya tidak akan terjadi.
***
Suatu hari, sekolah Aarav mengadakan ulangan.
Aarav berusaha mendapatkan nilai terbaik dengan belajar giat. Hingga sampai penerimaan raport, usahanya tidak sia-sia. Dia berhasil memperoleh nilai terbaik dan mendapat juara kelas.
Aarav merasa sangat senang. Tapi di sisi lain, dia juga sedih karena ayahnya tak kunjung datang ke sekolah.
Aarav memandangi sekelilingnya. Dia cemburu melihat kedekatan teman-teman dan orang tuanya yang terlihat saling menyayangi. Aarav menundukkan pandangannya ke bawah. Dia berusaha meyakinkan bahwa ayahnya pasti akan datang. Namun dia salah, bahkan saat pulang sekolah, ayahnya pun tidak datang menjemputnya dan akhirnya dia pulang ke rumah dengan diantar sopirnya.
Sesampainya di rumah, Aarav berusaha mencari keberadaan sang ayah. Tapi ternyata dia juga tidak ada di rumah.
Aarav pun pergi ke kamarnya dan melemparkan tasnya asal ke lantai karena kesal.
Dia mengacak-acak rambutnya dan duduk di ranjang sambil memandangi kamar dengan sedih.
Karena kepergian orang tua yang tiba-tiba tanpa alasan membuat Aarav menjadi terpuruk. Dia benar-benar terluka.
***
Malam hari, Aarav sedang belajar di ruang tamu. Dia tidak lagi di kamar lagi, Karena sekarang dia tidak ingin terus sendiri seperti itu. Dan ditemani oleh Ana.
Tiba-tiba, di saat asyik belajar, terdengar suara ketukan pintu. Aarav yang mendengarnya pun hendak membuka pintu, tapi Ana mencegahnya.
Dia beranjak membuka pintu dan terkejut melihat Angga.
"Tuan!?"
"Di mana Aarav?" tanya Angga sembari melihat sekeliling ruangan.
"Dia sedang belajar, tadi---" ucapan Ana terpotong melihat Aarav yang sekarang ada di depannya sambil memeluk sang ayah.
"Pa ... Papa dari mana aja?" tanya Aarav.
"Aku kangen," lanjutnya.
Angga hanya diam. Dia tidak menghiraukan ucapan anaknya tersebut. Kemudian pergi meninggalkan nya tanpa sepatah kata pun, membuat Aarav kembali kecewa.
Dia menunduk. Ana yang melihat hal itu berjalan menghampiri Aarav dan memenangkannya.
"Sudahlah. Jangan sedih. Papa hanya kelelahan."
Aarav hanya diam.
-Bersambung-
"Tidak, Mama darimana saja? Aarav habis beli makanan kesukaan mama, tau?" ujar Aarav berusaha mengalihkan pembicaraan.Vira menatap putranya dengan dingin. Dia berjalan mendekat sambil bertanya, "Kamu tadi bilang Mama kenapa?"Aarav tersenyum. "Tadi, Aarav juga pengen disuapi Mama cuma mama tidak ada di sini.. jadi Tante Farah yang menyuapi Aarav," jelasnya.Vira terdiam. Dia menghela napas sambil melirik Farah dengan kesal. Sementara wanita itu justru membalasnya dengan senyuman."Biar aku makan sendiri," ujar Aarav mengambil makanan yang dipegang Farah lalu memakannya sendiri.Farah tersenyum menatap Aarav. "Gimana? Kamu suka?" tanyanya ramah melihat lelaki itu makan dengan lahap.Aarav mengangguk. Dia tersenyum senang. "Makanan Tante memang selalu enak. Aku suka..""Baguslah. Kapan-kapan main ke rumah Tante, biar Tante masakin makanan yang lebih banyak buat kamu.." ujar Farah pada Aarav sambil melirik Vira yang sedang menatapnya dingin."Sepertinya itu lain kali. Karena, Aarav juga
Reina berjalan menghampiri Aarav. Dia tersenyum ramah menatap lelaki yang merupakan kakak kandungnya itu."Hai. Good morning," sapa Reina.Aarav membalas senyuman Reina. "Morning. Bagaimana kabarmu? Kau pasti senang kan bisa tidur di kamar mewah?" tebaknya.Reina menghela napas. Dia mengangguk pelan."Iya, tapi aku juga sedih. Aku rindu Mama. Oh ya, bagaimana harimu dengan beliau? Rasa rindumu sudah berkurang bukan?" Aarav menggeleng. Wajahnya menjadi datar dan hanya tersenyum. "Iya, aku senang bisa sama Mama. Jujur, aku ngga enak dengan keputusan papa buat tukaran posisi seperti ini..." ujar Aarav sambil menunduk.Reina merangkul Aarav. "Kau yang sabar. Kita pasti akan jadi keluarga harmonis.."Aarav hanya diam dan tersenyum kecil. Dia membelai rambut Reina dengan kasih. "Makasih adikku sayang," ucapnya.***"Aarav dan Reina kakak adik? Itu berarti aku bisa menjadi pacarnya?" tanya Tiara pada dirinya sendiri karena senang mengetahui kenyataan hubungan Reina dan Aarav."Mereka sauda
Angga menatap Reina tak percaya. Dia memangku pipi putrinya itu sambil menatap dengan mata yang berkaca-kaca. "Putriku.." ucapnya senang lalu memeluk Reina.Reina membalas pelukannya. "Papa? Selama ini, papa ada dimana? Kenapa mama tidak pernah bercerita bahwa--""Sudahlah. Yang sudah berlalu, biarlah berlalu. Sekarang, yang penting kita bisa bertemu dan berkumpul kembali. Aku senang sekali," ucap Aarav sambil berjalan menghampiri Reina.Reina menatap Aarav tak percaya. Dia masih ling lung. Pikirannya butuh waktu untuk mencerna keadaan. Angga menatap Vira dengan senyuman dan mata yang berkaca-kaca. Namun, sang istri justru membalasnya dengan tatapan dingin."Ini sudah malam. Kau harus istirahat. Reina, kau di sini, temani mama. Dan kau Aarav, ayo pulang. Kita akan menyiapkan sesuatu untuk mama nanti.." jelas Angga.Reina mengerutkan kening. "Sesuatu apa?"Aarav hendak menjawab pertanyaan Reina, namun saat melihat ekspresi Angga yang melarangnya memberi tahu rencana surprise mereka pu
Saat sedang terpaku akan keadaan, tiba-tiba ponsel Aarav berbunyi. Segera, diapun pamit keluar untuk menjawab telepon tersebut."Halo, iya ada apa, Pa?" tanya Aarav dengan suara serak seperti ingin menangis, namun juga tersenyum senang."Kau dimana? kenapa belum pulang sore begini?" Angga juga terdengar khawatir.Mengetahui ayahnya yang sedang mencemaskan keadaan dia, Aarav pun merencanakan sesuatu untuk kedua orang tuanya tersebut. Dia tersenyum."Papa, Aarav lagi di rumah sakit, kepala Aarav sangat sakit," jelas Aarav sembari memegang kepalanya, membuat Angga terkejut."Apa?! Kenapa tidak menghubungi papa? sebentar, papa ke sana sekarang juga!" Telepon terputus. Terlihat raut panik Angga, dia segera mengeluarkan mobil dan bergegas ke rumah sakit. Berbeda dengan sang ayah yang panik setengah mati, Aarav justru tersenyum kesenangan. Saking senangnya, dia hampir melempar ponselnya. Namun, Reina datang dan menangkapnya sehingga ponsel lelaki itu tidak jadi menyentuh lantai."Kau ini, p
"Mama, aku pulang," ucap Reina setelah membuka pintu dan berjalan menghampiri ibunya, sedangkan Aarav hanya terdiam. Dia masih memikirkan perasaanya yang gelisah tanpa sebab setiap saat. Reina yang melihatnya langsung menegur Aarav."Hei, kau kenapa diam di situ? Ayo masuk," ajaknya.Aarav mengedipkan matanya. Dia tersenyum kecil kemudian berjalan menghampiri Reina yang sedang duduk di samping ibunya.Vira yang tadinya tertidur kini menjadi bangun saat mendengar percakapan Aarav dan Reina di ruangannya. Pelan-pelan dia membuka kedua matanya sambil menyandarkan tubuhnya di pojok ranjang. Dia memandangi sekelilingnya sekilas lalu kembali menatap Reina. Dia tersenyum kecil."Kamu sudah pulang? Kapan?" tanya Vira ramah.Reina tersenyum mengangguk. "Baru saja kok, Ma," jawabnya.Saat mendengar suara ibu Reina, perasaan Aarav menjadi makin gelisah. Suara itu sangat tidak asing di telinganya bahkan itu adalah suara yang biasa dia dengar sewaktu masih kecil saat ibunya masih bersamanya. Aara
Aarav mencoba untuk mengontrol tubuhnya dan berjalan dengan benar seolah tidak terjadi apa-apa. Akan tetapi, itu selalu gagal sebab dia sering terjatuh akibat tidak sengaja kesenggol batu yang ada di jalan.Tiba-tiba, sorot mata Aarav tertuju pada sosok wanita yang sedang berjalan di pojokan jalan. Dia menyipitkan kedua matanya berusaha untuk melihat wanita itu untuk mengenali wajahnya. Aarav terdiam, saat sedang sibuk berpikir sambil menatap, tiba-tiba wanita itu sudah ada di dekatnya. "Ada apa?" tanya wanita itu yang penasaran sekaligus tidak nyaman karena ditatap oleh Aarav.Mendengar suara yang menurutnya tidak asing, Aarav menoleh ke arah sumber suara tersebut. Lagi dan lagi, kini dia malah melihat wajah ibunya. Aarav mengerutkan keningnya. 'Sebenarnya ada apa ini? Apa aku halusinasi?' "M---ma---ma. Ini Mama?" tanya Aarav terbata-bata dan sedikit gugup.Vira mengerutkan keningnya. Dia menggelengkan kepalanya pelan."Mama? Dengar, kau pasti salah. Aku bukan ibumu, sudah ya, aku