Ana sedang membersihkan ruang keluarga. Di sana dia melihat Angga sedang duduk sambil fokus bekerja dengan menggunakan laptopnya. Dia terus mengamati majikannya itu sambil menyapu lantai.
Samar-samar, saat sedang menyapu, tanpa disengaja Ana mendengar percakapan Angga yang sedang bertelepon.
Suara Angga saat itu terdengar sangat emosi dan cemas, membuat Ana menjadi penasaran akan percakapan mereka. Karena penasaran, dia pun mencoba untuk menguping pembicaraan Angga di belakang sofa sambil pura-pura menyapu agar tidak menimbulkan rasa curiga.
"Apa? Aku gak bisa ke sana. Aku lagi sibuk. Lain kali saja," tolak Angga pada si penelpon.
"Tidak bisa, Pak. Anda harus datang. Ada hal penting yang harus saya bicarakan," desak penelpon.
Angga memegang dahinya dan menundukkan tatapannya. Dia mengembuskan napasnya kemudian melanjutkan obrolannya.
"Baiklah kalau begitu. Saya akan ke sana," pungkas Angga. Dia lalu mematikan teleponnya dan juga laptopnya. Kemudian beranjak dari sofa untuk merapikan diri. Sedangkan Ana yang melihat kepergian Angga hanya diam dan merasa kesal. Dia semakin penasaran dengan apa yang terjadi.
Ana menggaruk rambutnya pelan sambil bergumam, "Hemm. Kira-kira ada apa ya? Kenapa Tuan terlihat kesal?"
Diam-diam, tanpa sepengetahuan Ana, Tobi ada di belakangnya sambil memperhatikan dirinya dan memegang bahunya.
"Baa!!"
Ana yang mendengar ucapan Tobi menjadi kaget.
Dia berbalik dan memandangi Tobi dengan kesal.
"Iiih! Tobi! Kau buat kaget saja."
Tobi tertawa kecil.
"Iya, maaf. Lagian kau terlihat serius tadi. Kenapa?"
Ana menggeleng pelan.
"Bukan urusanmu."
Dia pergi meninggalkan Tobi sendirian dan bergegas ke dapur untuk memasak makan malam nanti.
Tobi yang merasa dicuekin itupun juga pergi ke dapur untuk mendekati Ana.
Dia berpura-pura mengamati barang yang ada di dapur dan mengambil sebuah botol berisi garam.
Ana tidak menghiraukan Tobi. Dia asyik mengaduk sayuran yang direbusnya itu sambil tersenyum. Baunya yang harum membuat orang menjadi lapar dan ingin cepat makan.
Ana mengambil kuah supnya untuk dicicipi. Dia mengerutkan keningnya.
"Sepertinya ada yang kurang," ujarnya.
Tobi tersenyum kecil. "Kurang garam bukan?" tanyanya sambil tertawa kecil.
Ana mengangguk. Dia menatap Tobi dengan tersenyum.
"Iya, kenapa kau bisa tahu?"
"Ya karena, tadi waktu kau masak. Kau tidak memberikan garam, jadi mungkin sup nya terasa hambar," jelas Tobi.
Ana mengangguk pelan.
"Oh ya, kau tahu sup nya kekurangan garam. Aku juga sebenarnya ingin memasukkannya, tapi garamnya tidak ada. Dan sekarang tiba-tiba ada di tanganmu, kenapa?"
"Itu karena tadi---"
"Sudah. Aku tidak ingin mendengarkan alasanmu. Mana garamnya?" .
Tobi memberikan garamnya pada Ana.
Ana yang merasa Tobi selalu mengikutinya menjadi tidak nyaman. Dia menatap pria yang ada di depannya ini dengan kesal.
"Dari tadi kau mengikutiku? Pergi sana! Ganggu saja," usirnya.
"Iya baik-baik. Aku pergi, dadah sayang," pamit Tobi dengan senyum manisnya.
Ana yang melihatnya hanya diam. Dia merasa geli, tapi juga suka dengannya. Tingkah Tobi yang menggemaskan selalu berhasil membuat Ana tertawa meski pun tawanya pelan dan sedikit. Tapi dalam hatinya dia merasa sangat senang.
Karena rasa kesalnya dengan Tobi barusan, membuat Ana lupa akan hal yang baru saja dia pikirkan, tentang masalah Angga. Dia tidak menghiraukannya lagi dan melanjutkan pekerjaannya.
***
Seorang wanita berdiri sambil memandangi Angga dengan sinis dari balik kaca mata hitam yang dipakainya. Dia melebarkan senyumnya seolah merasa bahagia akan kedatangan sosok pria yang dia tunggu.
Angga mengerutkan keningnya. Memundurkan langkahnya ke belakang untuk menghindari wanita yang ada di depannya itu yang setiap saat membuatnya gelisah karena terus mengejarnya.
Angga menatap wanita itu dengan kesal.
"Katakan, apa yang kau inginkan? Apa kau tidak puas dengan apa yang terjadi?" tanya Angga emosi. Wanita itu terkekeh.
"Hahaha. Aku memang tidak puas. Masalah itu baru seberapa, aku masih ingin hal yang lebih," jawabnya.
Angga yang mendengar ucapan wanita tersebut menjadi semakin kesal. Dia mengembuskan napasnya berat kemudian kembali menatap wajah wanita yang sedang tersenyum di hadapannya.
"Apa yang kau mau?"
Wanita itu tersenyum kecil.
"Aku itu hanya ingin kau.."
Angga terkejut mendengar permintaannya. Dia menatap wanita itu tak percaya dan menamparnya dengan penuh amarah.
Sorot matanya terlihat merah. Sedangkan wanita itu hanya diam dan memegangi pipinya karena sakit.
"Dengar ya! Aku sudah menikah. Lain kali jaga omonganmu. Atau lebih baik kau diam saja," tegur Angga dengan emosi.
"Sayang ... Kenapa kau marah? Aku kan hanya ingin kita bersama. Oh ya, sekalipun aku tidak mengganggu mu seperti ini, kau juga akan tetap gelisah. Aku tahu itu karena ........." Wanita itu lalu menjelaskan apa yang dia alami tentang dirinya dan Angga di masalalu.
Angga yang mendengarnya menjadi terkejut dan merasa bersalah.
"Dengar sayang, aku sudah memaafkan kesalahan mu itu. Jadi ayo menikah denganku, demi anak kita ini," bujuk wanita itu sambil menunjuk seorang anak kecil yang ada di dekat mobil hitam miliknya. Dia berjalan mendekati Angga dan berusaha memeluknya, namun Angga dengan cepat menghindarinya dan menjauh.
"Tidak. Aku tidak bisa menikah denganmu, maafkan aku," tolak Angga. Dia menundukkan tatapannya karena merasa tidak nyaman.
"Tapi?"
"Aku masih cinta sama istriku, Far. Jadi tolong mengertilah, aku tak mungkin menikahimu," pungkas Angga kemudian berbalik pergi meninggalkan Farah sendirian di sana.
Farah memutar bola matanya malas. Dia merasa jengkel. Kakinya menendang sebuah botol di depannya sebagai pelampiasan kekesalannya.
-Bersambung-"Tidak, Mama darimana saja? Aarav habis beli makanan kesukaan mama, tau?" ujar Aarav berusaha mengalihkan pembicaraan.Vira menatap putranya dengan dingin. Dia berjalan mendekat sambil bertanya, "Kamu tadi bilang Mama kenapa?"Aarav tersenyum. "Tadi, Aarav juga pengen disuapi Mama cuma mama tidak ada di sini.. jadi Tante Farah yang menyuapi Aarav," jelasnya.Vira terdiam. Dia menghela napas sambil melirik Farah dengan kesal. Sementara wanita itu justru membalasnya dengan senyuman."Biar aku makan sendiri," ujar Aarav mengambil makanan yang dipegang Farah lalu memakannya sendiri.Farah tersenyum menatap Aarav. "Gimana? Kamu suka?" tanyanya ramah melihat lelaki itu makan dengan lahap.Aarav mengangguk. Dia tersenyum senang. "Makanan Tante memang selalu enak. Aku suka..""Baguslah. Kapan-kapan main ke rumah Tante, biar Tante masakin makanan yang lebih banyak buat kamu.." ujar Farah pada Aarav sambil melirik Vira yang sedang menatapnya dingin."Sepertinya itu lain kali. Karena, Aarav juga
Reina berjalan menghampiri Aarav. Dia tersenyum ramah menatap lelaki yang merupakan kakak kandungnya itu."Hai. Good morning," sapa Reina.Aarav membalas senyuman Reina. "Morning. Bagaimana kabarmu? Kau pasti senang kan bisa tidur di kamar mewah?" tebaknya.Reina menghela napas. Dia mengangguk pelan."Iya, tapi aku juga sedih. Aku rindu Mama. Oh ya, bagaimana harimu dengan beliau? Rasa rindumu sudah berkurang bukan?" Aarav menggeleng. Wajahnya menjadi datar dan hanya tersenyum. "Iya, aku senang bisa sama Mama. Jujur, aku ngga enak dengan keputusan papa buat tukaran posisi seperti ini..." ujar Aarav sambil menunduk.Reina merangkul Aarav. "Kau yang sabar. Kita pasti akan jadi keluarga harmonis.."Aarav hanya diam dan tersenyum kecil. Dia membelai rambut Reina dengan kasih. "Makasih adikku sayang," ucapnya.***"Aarav dan Reina kakak adik? Itu berarti aku bisa menjadi pacarnya?" tanya Tiara pada dirinya sendiri karena senang mengetahui kenyataan hubungan Reina dan Aarav."Mereka sauda
Angga menatap Reina tak percaya. Dia memangku pipi putrinya itu sambil menatap dengan mata yang berkaca-kaca. "Putriku.." ucapnya senang lalu memeluk Reina.Reina membalas pelukannya. "Papa? Selama ini, papa ada dimana? Kenapa mama tidak pernah bercerita bahwa--""Sudahlah. Yang sudah berlalu, biarlah berlalu. Sekarang, yang penting kita bisa bertemu dan berkumpul kembali. Aku senang sekali," ucap Aarav sambil berjalan menghampiri Reina.Reina menatap Aarav tak percaya. Dia masih ling lung. Pikirannya butuh waktu untuk mencerna keadaan. Angga menatap Vira dengan senyuman dan mata yang berkaca-kaca. Namun, sang istri justru membalasnya dengan tatapan dingin."Ini sudah malam. Kau harus istirahat. Reina, kau di sini, temani mama. Dan kau Aarav, ayo pulang. Kita akan menyiapkan sesuatu untuk mama nanti.." jelas Angga.Reina mengerutkan kening. "Sesuatu apa?"Aarav hendak menjawab pertanyaan Reina, namun saat melihat ekspresi Angga yang melarangnya memberi tahu rencana surprise mereka pu
Saat sedang terpaku akan keadaan, tiba-tiba ponsel Aarav berbunyi. Segera, diapun pamit keluar untuk menjawab telepon tersebut."Halo, iya ada apa, Pa?" tanya Aarav dengan suara serak seperti ingin menangis, namun juga tersenyum senang."Kau dimana? kenapa belum pulang sore begini?" Angga juga terdengar khawatir.Mengetahui ayahnya yang sedang mencemaskan keadaan dia, Aarav pun merencanakan sesuatu untuk kedua orang tuanya tersebut. Dia tersenyum."Papa, Aarav lagi di rumah sakit, kepala Aarav sangat sakit," jelas Aarav sembari memegang kepalanya, membuat Angga terkejut."Apa?! Kenapa tidak menghubungi papa? sebentar, papa ke sana sekarang juga!" Telepon terputus. Terlihat raut panik Angga, dia segera mengeluarkan mobil dan bergegas ke rumah sakit. Berbeda dengan sang ayah yang panik setengah mati, Aarav justru tersenyum kesenangan. Saking senangnya, dia hampir melempar ponselnya. Namun, Reina datang dan menangkapnya sehingga ponsel lelaki itu tidak jadi menyentuh lantai."Kau ini, p
"Mama, aku pulang," ucap Reina setelah membuka pintu dan berjalan menghampiri ibunya, sedangkan Aarav hanya terdiam. Dia masih memikirkan perasaanya yang gelisah tanpa sebab setiap saat. Reina yang melihatnya langsung menegur Aarav."Hei, kau kenapa diam di situ? Ayo masuk," ajaknya.Aarav mengedipkan matanya. Dia tersenyum kecil kemudian berjalan menghampiri Reina yang sedang duduk di samping ibunya.Vira yang tadinya tertidur kini menjadi bangun saat mendengar percakapan Aarav dan Reina di ruangannya. Pelan-pelan dia membuka kedua matanya sambil menyandarkan tubuhnya di pojok ranjang. Dia memandangi sekelilingnya sekilas lalu kembali menatap Reina. Dia tersenyum kecil."Kamu sudah pulang? Kapan?" tanya Vira ramah.Reina tersenyum mengangguk. "Baru saja kok, Ma," jawabnya.Saat mendengar suara ibu Reina, perasaan Aarav menjadi makin gelisah. Suara itu sangat tidak asing di telinganya bahkan itu adalah suara yang biasa dia dengar sewaktu masih kecil saat ibunya masih bersamanya. Aara
Aarav mencoba untuk mengontrol tubuhnya dan berjalan dengan benar seolah tidak terjadi apa-apa. Akan tetapi, itu selalu gagal sebab dia sering terjatuh akibat tidak sengaja kesenggol batu yang ada di jalan.Tiba-tiba, sorot mata Aarav tertuju pada sosok wanita yang sedang berjalan di pojokan jalan. Dia menyipitkan kedua matanya berusaha untuk melihat wanita itu untuk mengenali wajahnya. Aarav terdiam, saat sedang sibuk berpikir sambil menatap, tiba-tiba wanita itu sudah ada di dekatnya. "Ada apa?" tanya wanita itu yang penasaran sekaligus tidak nyaman karena ditatap oleh Aarav.Mendengar suara yang menurutnya tidak asing, Aarav menoleh ke arah sumber suara tersebut. Lagi dan lagi, kini dia malah melihat wajah ibunya. Aarav mengerutkan keningnya. 'Sebenarnya ada apa ini? Apa aku halusinasi?' "M---ma---ma. Ini Mama?" tanya Aarav terbata-bata dan sedikit gugup.Vira mengerutkan keningnya. Dia menggelengkan kepalanya pelan."Mama? Dengar, kau pasti salah. Aku bukan ibumu, sudah ya, aku