Share

Bab 7. Rayuan

    Ana sedang membersihkan ruang keluarga. Di sana dia melihat Angga sedang duduk sambil fokus bekerja dengan menggunakan laptopnya. Dia terus mengamati majikannya itu sambil menyapu lantai.

Samar-samar, saat sedang menyapu, tanpa disengaja Ana mendengar percakapan Angga yang sedang bertelepon. 

Suara Angga saat itu terdengar sangat emosi dan cemas, membuat Ana menjadi penasaran akan percakapan mereka. Karena penasaran, dia pun mencoba untuk menguping pembicaraan Angga di belakang sofa sambil pura-pura menyapu agar tidak menimbulkan rasa curiga.

"Apa? Aku gak bisa ke sana. Aku lagi sibuk. Lain kali saja," tolak Angga pada si penelpon.

"Tidak bisa, Pak. Anda harus datang. Ada hal penting yang harus saya bicarakan," desak penelpon. 

Angga memegang dahinya dan menundukkan tatapannya. Dia mengembuskan napasnya kemudian melanjutkan obrolannya.

"Baiklah kalau begitu. Saya akan ke sana," pungkas Angga. Dia lalu mematikan teleponnya dan juga laptopnya. Kemudian beranjak dari sofa untuk merapikan diri. Sedangkan Ana yang melihat kepergian Angga hanya diam dan merasa kesal. Dia semakin penasaran dengan apa yang terjadi. 

Ana menggaruk rambutnya pelan sambil bergumam, "Hemm. Kira-kira ada apa ya? Kenapa Tuan terlihat kesal?"

Diam-diam, tanpa sepengetahuan Ana, Tobi ada di belakangnya sambil memperhatikan dirinya dan memegang bahunya.

"Baa!!"

Ana yang mendengar ucapan Tobi menjadi kaget.

Dia berbalik dan memandangi Tobi dengan kesal.

"Iiih! Tobi! Kau buat kaget saja."

Tobi tertawa kecil.

"Iya, maaf. Lagian kau terlihat serius tadi. Kenapa?"

Ana menggeleng pelan.

"Bukan urusanmu."

Dia pergi meninggalkan Tobi sendirian dan bergegas ke dapur untuk memasak makan malam nanti.

Tobi yang merasa dicuekin itupun juga pergi ke dapur untuk mendekati Ana.

Dia berpura-pura mengamati barang yang ada di dapur dan mengambil sebuah botol berisi garam. 

Ana tidak menghiraukan Tobi. Dia asyik mengaduk sayuran yang direbusnya itu sambil tersenyum. Baunya yang harum membuat orang menjadi lapar dan ingin cepat makan. 

Ana mengambil kuah supnya untuk dicicipi. Dia mengerutkan keningnya. 

"Sepertinya ada yang kurang," ujarnya.

Tobi tersenyum kecil. "Kurang garam bukan?" tanyanya sambil tertawa kecil.

Ana mengangguk. Dia menatap Tobi dengan tersenyum.

"Iya, kenapa kau bisa tahu?"

"Ya karena, tadi waktu kau masak. Kau tidak memberikan garam, jadi mungkin sup nya terasa hambar," jelas Tobi.

Ana mengangguk pelan. 

"Oh ya, kau tahu sup nya kekurangan garam. Aku juga sebenarnya ingin memasukkannya, tapi garamnya tidak ada. Dan sekarang tiba-tiba ada di tanganmu, kenapa?" 

"Itu karena tadi---"

"Sudah. Aku tidak ingin mendengarkan alasanmu. Mana garamnya?" .

Tobi memberikan garamnya pada Ana.

Ana yang merasa Tobi selalu mengikutinya menjadi tidak nyaman. Dia menatap pria yang ada di depannya ini dengan kesal. 

"Dari tadi kau mengikutiku? Pergi sana! Ganggu saja," usirnya.

"Iya baik-baik. Aku pergi, dadah sayang," pamit Tobi dengan senyum manisnya. 

Ana yang melihatnya hanya diam. Dia merasa geli, tapi juga suka dengannya. Tingkah Tobi yang menggemaskan selalu berhasil membuat Ana tertawa meski pun tawanya pelan dan sedikit. Tapi dalam hatinya dia merasa sangat senang. 

Karena rasa kesalnya dengan Tobi barusan, membuat Ana lupa akan hal yang baru saja dia pikirkan, tentang masalah Angga. Dia tidak menghiraukannya lagi dan melanjutkan pekerjaannya.

***

Seorang wanita berdiri sambil memandangi Angga dengan sinis dari balik kaca mata hitam yang dipakainya. Dia melebarkan senyumnya seolah merasa bahagia akan kedatangan sosok pria yang dia tunggu.

Angga mengerutkan keningnya. Memundurkan langkahnya ke belakang untuk menghindari wanita yang ada di depannya itu yang setiap saat membuatnya gelisah karena terus mengejarnya.

Angga menatap wanita itu dengan kesal. 

"Katakan, apa yang kau inginkan? Apa kau tidak puas dengan apa yang terjadi?" tanya Angga emosi. Wanita itu terkekeh.

"Hahaha. Aku memang tidak puas. Masalah itu baru seberapa, aku masih ingin hal yang lebih," jawabnya.

Angga yang mendengar ucapan wanita tersebut menjadi semakin kesal. Dia mengembuskan napasnya berat kemudian kembali menatap wajah wanita yang sedang tersenyum di hadapannya.

"Apa yang kau mau?"

Wanita itu tersenyum kecil. 

"Aku itu hanya ingin kau.." 

Angga terkejut mendengar permintaannya. Dia menatap wanita itu tak percaya dan menamparnya dengan penuh amarah.

Sorot matanya terlihat merah. Sedangkan wanita itu hanya diam dan memegangi pipinya karena sakit.

"Dengar ya! Aku sudah menikah. Lain kali jaga omonganmu. Atau lebih baik kau diam saja," tegur Angga dengan emosi.

"Sayang ... Kenapa kau marah? Aku kan hanya ingin kita bersama. Oh ya, sekalipun aku tidak mengganggu mu seperti ini, kau juga akan tetap gelisah. Aku tahu itu karena ........." Wanita itu lalu menjelaskan apa yang dia alami tentang dirinya dan Angga di masalalu. 

Angga yang mendengarnya menjadi terkejut dan merasa bersalah.

"Dengar sayang, aku sudah memaafkan kesalahan mu itu. Jadi ayo menikah denganku, demi anak kita ini," bujuk wanita itu sambil menunjuk seorang anak kecil yang ada di dekat mobil hitam miliknya. Dia berjalan mendekati Angga dan berusaha memeluknya, namun Angga dengan cepat menghindarinya dan menjauh. 

"Tidak. Aku tidak bisa menikah denganmu, maafkan aku," tolak Angga. Dia menundukkan tatapannya karena merasa tidak nyaman.

"Tapi?"

"Aku masih cinta sama istriku, Far. Jadi tolong mengertilah, aku tak mungkin menikahimu," pungkas Angga kemudian berbalik pergi meninggalkan Farah sendirian di sana.

Farah memutar bola matanya malas. Dia merasa jengkel. Kakinya menendang sebuah botol di depannya sebagai pelampiasan kekesalannya.

-Bersambung-

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status