Share

Sayap Felysia
Sayap Felysia
Penulis: Muhammad Fikriy Almas

Prolog

Deburan ombak membasahi kaki seorang laki-laki dan seorang perempuan yang sedang berlarian di pinggir pantai. Sinar matahari yang mulai redup, menjadi saksi kebahagiaan mereka. Dua murid SMP yang masih belum mengenal apa itu arti cinta. Tetapi, sudah saling berjanji untuk selalu bersama. Mereka adalah Elvano dan Felysia.

Langkah mereka berhenti, saat matahari sudah terbenam seutuhnya. Mata mereka mulai memandang ke arah pantai. Menikmati, hembusan angin malam. Dan, tersenyum bahagia.

"Kita pisah di sini, ya," ucap Elvano.

"Iya, besok kita main ke sini lagi, ya," ucap Felysia dengan antusias.

"Bukan itu maksudku."

"Terus apa dong?"

Elvano mulai mengumpulkan keberaniannya. Jantungnya mulai berdetak kencang. Semua kata-kata yang tadi sudah ia siapkan, secara tiba-tiba hilang dari ingatannya. Sehingga, ia harus memikirkan ulang, kalimat apa yang bisa ia ucapkan, tanpa membuat Felysia bersedih.

"Sayonara," ucap Elvano. 

Cuma satu kata itu yang terpikirkan olehnya. Satu kata yang mengandung berbagai kesedihan di dalamnya. Sebuah kata yang menjadi akhir dari sebuah hubungan. Dan, Felysia sadar betul tentang hal itu.

"Kalau mau bercanda, jangan pakai kalimat itu," ucap Felysia sambil menggenggam erat tangan kanan Elvano.

"Sorry. Kali ini, aku nggak lagi bercanda," ucap Elvano.

Senyuman Felysia luntur. Ia berharap, kalau sahabatnya itu sedang bercanda. Dan, kalau ini adalah mimpinya, ia ingin bangun sekarang juga. Dirinya belum siap mendengarkan kalimat perpisahan dari Elvano. Ia ingin hari-harinya dengan Elvano masih terus berlanjut.

"Mau pergi ke mana? Kan, kita baru aja naik kelas," tanya Felysia.

Hari ini adalah pengumuman hasil ujian kenaikan kelas. Jadi, hari ini mereka berdua telah resmi naik ke kelas dua SMP. 

"Jauh dari sini," jawab Elvano.

"Kembali lagi ke sini?" tanya Felysia.

"Iya, kan kamu ada di sini. Sejauh apa pun aku pergi, pasti akan kembali lagi ke kamu," jawab Elvano sambil mengelus puncak kepala Felysia.

"Kapan?"

Elvano memejamkan matanya. Ia sendiri bahkan tidak tau, kapan dirinya akan kembali ke kota ini. Tetapi, ia yakin, kalau setelah perpisahan ini, dirinya dan Felysia akan dipertemukan lagi oleh Tuhan. Setidaknya, hanya itu yang ia yakini sampai sekarang.

"Entah, aku juga nggak tau. Tapi, kayaknya bakalan lama," ucap Elvano.

"Ayah kamu bakalan pensiun dua tahun lagi. Jadi, pasti kamu nggak akan kesepian," lanjut Elvano.

Reno, itu nama ayah Felysia. Seorang pria angkatan laut yang sudah berumur 56 tahun. Pria dengan tampang menakutkan itu, akan selalu ada buat Felysia setelah dirinya pensiun dari kerjaannya. Dan, tentu saja, pria itu akan selalu ada, setiap Felysia membutuhkan pelukan seorang ayah.

Reno juga satu-satunya alasan kenapa Elvano memutuskan pergi dari sisi Felysia. Mungkin, Felysia tidak tau akan hal itu. Tetapi ia harap, saat Felysia tau tentang Itu semua, perempuan cantik itu tidak akan membenci Reno.

"Terima kasih buat senyumannya," ucap Elvano sambil mengulurkan tangannya.

"Terima kasih buat semua candanya," ucap Felysia sambil menjabat tangan Elvano.

Dengan cepat, Elvano menempelkan telapak tangannya di kening Felysia. Kepalanya mulai bergerak maju. Dan, lalu berhenti saat bibirnya sudah mencium punggung tangannya yang masih menempel di kening perempuan itu.

Elvano, dan Felysia saling bertatapan. Felysia menggenggam erat roknya, berharap kalau semua ini hanyalah sebuah mimpi. 

"Ciuman selamat tinggal," ucap Elvano ditutup dengan sebuah senyuman.

"Langit," lirih Felysia.

Mata Elvano membulat sempurna. Ia tidak menyangka, akan mendengar nama itu di saat-saat terakhirnya bersama perempuan itu. 

"El, nama belakang kamu apa?" 

"Emangnya kenapa, Fel?"

"Enggak kenapa-napa, sih. Cuman nanya doang."

"Langit. Anggap aja itu nama belakang ku."

Elvano teringat dengan kejadian di mana untuk pertama kalinya Felysia menanyakan nama belakangnya. Dan, untuk pertama kalinya juga, ia berbohong kepada perempuan itu.

"Aku suka nama itu, terima kasih sudah manggil aku pakai nama itu," ucap Elvano.

Senyuman Elvano luntur, saat melihat supir pribadi Felysia sudah berjalan mendekat. Sekarang adalah saat yang tepat, untuk meninggalkan perempuan itu. Tetapi, entah kenapa, kakinya tak ingin beranjak sedikit pun. Hatinya seolah menyuruhnya untuk tetap berada di sana, tetap berada di sisi perempuan itu sampai kapan pun.

Sekarang ia tidak bisa menuruti kata hatinya. Karena, semuanya sudah berbeda sekarang.

Elvano mundur satu langkah. Ia menunjukkan senyumannya kembali, lalu melenggang pergi dari hadapan Felysia. Walau, langkah kakinya mulai terasa berat, hatinya terasa sakit, sebuah air mata mulai membasahi pipinya. Ia terus berlari menjauh. Ia tidak akan pernah melihat ke belakang. Karena, sekali ia melihat ke belakang, pasti ia akan kembali ke dalam pelukan perempuan itu.

"Alasan kenapa aku mulai berjuang, alasan kenapa aku begitu ingin hidup. Itu semua salahmu. Kamu membuatku terikat dengan waktu yang kuhabiskan bersamamu," gumam Elvano.

Sedangkan, di satu sisi. Felysia membiarkan air matanya terus menetes. Ia tidak akan pernah menahan air mata itu, karena baginya, air mata itu adalah bukti, kalau dirinya sangat menyayangi sahabatnya itu. Ia terus membiarkan laki-laki itu terus pergi menjauh, karena dengan begitu, ia bisa sadar kalau seseorang bisa pergi kapan saja, jadi dirinya tidak akan pernah memaksakan seseorang untuk selalu berada di sisinya. Rasanya sangat berat, saat harus melihat kepergian seorang laki-laki yang selama ini telah menjadi alasannya untuk selalu tersenyum, tetapi mau gimana lagi. Ini sudah takdir. Dan, ia hanya bisa mencoba menikmati rasa sakit yang sedang ia rasakan sekarang. 

"Nggak ada luka sedikit pun di tubuhku. Tapi, kenapa rasanya sakit sekali?" tanya Felysia 

"Pergi sejauh yang kamu bisa. Asalkan kamu sudah janji buat kembali lagi, itu sudah cukup bagiku," lanjut Felysia.

"Merelakanmu,

cuman itu yang aku bisa."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status