Share

Ide Gila

Aku menggeliatkan badan saat sinar mentari menerobos kaca dan menyapa wajahku. Rasanya sangat malas untuk bangun, apalagi hari ini adalah hari minggu. Ingin rasanya menikmati waktu, jauh dari kesibukan mengejar cuan besar.

Perlahan kubuka mata, lalu melirik pada penunjuk waktu di atas nakas. Sudah pukul 06.47, pantas saja hangat mentari sudah terasa. Kurasa menikmati hangatnya sinar matahari di balkon akan membuat mood-ku membaik.

Kuteguk air minum sisa semalam hingga tandas, lalu ke kamar mandi untuk mencuci muka sekadarnya. Setelah itu menuju ke balkon, menghirup udara pagi seraya merentangkan tangan, kemudian menggerakan badan ke kanan dan ke kiri. Saat kepala menoleh ke kanan, tanpa sengaja mata ini melihat lelaki yang semalam mencuri ciuman pertamaku.

Secara refleks tanganku kembali menutup mulut dan beberapa kali mengusapnya kembali. Adegan malam itu masih saja melintas di pikiranku.

Sejenak aku menghentikan aksiku, nyatanya saat ini duniaku teralihkan pada sosok pemuda tampan.

Kembali mataku terhipnotis oleh ketampanan yang dia miliki. Dalam balutan kaos singlet hitam, dapat kulihat lengan kekar dan tubuh atletisnya. Tanpa kusadari, mata ini terus memperhatikannya.

Tanganku mulai menyangga dagu, menikmati keindahan ciptaan Tuhan. Dari sekian banyak pria, baru pemuda bernama Reza itu yang membuatku klepek-klepek.

Di tengah asyiknya menikmati pemandangan menyejukkan mata, tiba-tiba semua buyar saat seorang wanita muda memeluknya dari belakang.

Seketika rasa tidak terima merayapi batin. Kenyataan bahwa lelaki itu telah berisitri, membuatku sangat kecewa. Entah mengapa aku tertarik pada Reza, lelaki yang semalam menghinaku sebagai wanita expired.

Jika teringat akan hinaannya, rasanya ingin sekali kuberi pelajaran pada mulutnya. Namun, kurasa belum waktunya. Aku akan balas dengan sesuatu yang akan sulit dia lupakan.

Jujur, baru kali ini aku merasakan sesuatu yang aneh terjadi pada diriku. Ada tarikan dari batin, yaitu rasa ingin memiliki yang begitu kuat.

Sejenak aku terdiam, berpikir mengenai apa yang menjadi keinginanku. Banyak pertimbangan yang menjadi alasan, salah satunya adalah pandangan orang lain terhadapku.

Tidak mungkin aku mempertaruhkan nama baik dan karierku, hanya demi menjadi perebut suami orang. Jika aku merebut begitu saja, itu sama artinya aku menjatuhkan harga diriku. Mama dan Papa pasti akan kecewa, dan pastinya akan menyakiti mereka.

Segera aku kembali ke kamar dan duduk di depan cermin rias. Sejenak berpikir apa yang akan aku lakukan selanjutnya. Kembali kutatap wajahku, wajah yang sangat jauh berbeda dengan penampilanku semalam. Polos tanpa riasan, kulit wajahku terawat dan tampak lebih muda dari usia sebenarnya.

Tidak sia-sia aku menghabiskan banyak uang untuk perawatan anti aging dan pengencangan kulit. Itu sebabnya saat di foto aku terlihat sepuluh tahun lebih muda dari usia aslinya.

Sebenarnya, aku bisa memoles wajahku dengan riasan yang memiliki efek cute. Hanya saja, demi mendapatkan lelaki yang tulus aku harus mengubah penampilanku. Bukan lagi sebagai Mariana sang CEO, melainkan Merry dengan gaya dandanan yang norak.

Beberapa menit berpikir, akhirnya aku dapatkan ide dan mantap untuk menjalankan rencana tersebut.

"Baiklah, kurasa dengan cara satu itu aku bisa mendapatkan jodoh yang kumau. Reza, kamu harus menjadi milikku tanpa harus merebutmu. Kamu akan memakan ucapanmu, Reza. Tunggu saja, waktu di mana kamu akan mengemis cintaku akan tiba." Senyumku tersungging.

Setelah yakin dengan rencana tersebut, bergegas aku pergi mandi, lalu merias diri sewajarnya. Kali ini menjadi diri sendiri, bukan lagi tante-tante girang dengan dandanan menor. Kembali menjadi sosok Mariana yang banyak dikagumi mata lelaki.

Aku keluar dari kamar dan langsung melihat Rosa sedang menyiapkan sarapan. Terlihat juga Daniel—anak Rosa yang masih berusia delapan tahun—duduk menanti sarapannya.

"Hello ... morning, Daniel anak ganteng," sapaku dengan mengusap rambutnya.

"Morning, Tante. Tante Riana nginap kok nggak bilang-bilang, Daniel jadi nggak tahu kapan Tante datang."

"Tante kemalaman, Sayang. Tapi tenang saja, Tante bawain coklat dari Australi buat kamu, nih!" Aku ulurkan satu box coklat yang sengaja aku persiapkan di tas sejak semalam.

"Makasih, Tante. Tante Riana memang the best, emuuuach ...." Anak lelaki yang manis itu memberikan satu kecupan panjang di pipi kananku.

Aku tersenyum melihat tingkah bocah itu. Sebenarnya kasihan, di usianya yang sekarang, dia harus kehilangan kasih sayang seorang ayah. Lagi-lagi keegoisan orang tua yang membuat anak menjadi korban.

"Sarapan sudah siap ...." Rosa muncul dengan dua piring nasi goreng di tangan.

"Nasi goreng spesial ala Mama Daniel ... spesial pakai telur ceplok mata satu dan taburan sosis goreng." Layaknya seorang chef, Rosa memperkenalkan masakannya.

Sikapnya membuat aku dan Daniel tertawa kecil dan turut menyambut seru dengan tepuk tangan, raut bahagia tampak di wajah Rosa. Baginya, membuat Daniel tertawa adalah sebuah kebahagiaan baginya. Begitukah seorang ibu? Ah, aku tak tahu karena belum pernah merasakan di posisi Rosa saat ini.

"Bagianmu mana, Ros?" tanyaku seraya berdiri mencoba melongok ke dapur.

"Tenang saja, jatahku di wajan masih ada. Kalian makan dulu."

Aku yakin dia sedang berbohong. Buru-buru kuambil piring lagi dan membagi nasi menjadi dua. Kusodorkan separuh untuk Rosa, dia pun menerima dengan senyuman.

"Lain kali jangan seperti itu. Jika memang tak cukup, kamu bisa bilang. Aku akan pesan makanan untuk kalian."

"Sudah, Ri. Lagian ini hanya untuk sarapan, aku masih ada cadangan makanan untuk nanti."

Selalu saja menolak. Rosa memang sahabat yang baik, meskipun memiliki teman kaya, tapi dia tak pernah memanfaatkan aku ketika dia kesusahan sekali pun.

"Semalam gimana kencan kamu?" tanya Rosa tanpa berpikir ada anak kecil di sampingnya. Kurasa pertanyaan itu hanya untuk mengalihkan obrolan sebelumnya.

Aku mendengkus. "Biarkan aku habiskan sarapan ini, jangan rusak mood-ku. Lagian ini masih pagi, kenapa harus bicara tentang kekecewaan?" sahutku berkilah agar Daniel tidak mendengar sesuatu yang belum pantas dia dengar.

"Oke."

Dengan lahap aku habiskan nasi goreng buatan Rosa, setelah itu meneguk tandas air putih di gelas.

"Kita ajak Daniel ke arena bermain, yuk! Sekalian ada yang ingin aku diskusikan denganmu."

Rosa hanya mengangguk, lalu membereskan meja dan bersiap pergi.

"Aku turun duluan ya, Ros. Mau manasin mobil dulu!" seruku seraya menyambar tas dan kontak mobil.

Tepat saat kaki keluar dari pintu, tanpa sengaja mataku bersitatap dengan lelaki semalam. Reza, dia tengah bergandengan dengan istrinya. Kali ini tatapan dia ke aku berbeda, mungkin karena dia tidak mengenaliku sebagai wanita yang sama dengan wanita expired semalam.

Saat hendak melintas di depanku, dia menganggukkan kepala dengan sopan, tak lupa sebuah senyuman menyertainya.

Duh ... meleleh sudah hati ini melihat senyuman Reza. Lelaki dengan lesung pipit, warna kulit yang maskulin, wajah meneduhkan bagi siapa saja yang memandang. Gambaran lelaki sempurna bagiku.

Aku pun membalas senyumannya, tak bisa kuhindari lagi hipnotis dari seorang Reza. Namun, tiba-tiba bayangan semalam menyadarkan aku kembali, bahwa lelaki beristri itu yang telah mencuri ciuman pertamaku. Aku segera mengubah ekspresi, lalu membusungkan dada.

"Hei, tunggu!" seruku kepada mereka yang sudah berlalu dari hadapanku.

"Iya, Mbak. Ada apa?" tanya Reza dengan begitu tenang.

Tatapannya kembali membuatku gugup.

Haduuuh ... kenapa jadi panas dingin begini sih? gerutuku dalam hati.

Arrrgh ... kesal dengan diriku sendiri yang tak bisa menguasai situasi. Salah tingkah membuatku mati kutu. Saking gemeteran tubuh ini, akhirnya kuputuskan untuk pergi meninggalkan mereka saja. Ya, berlalu dari Reza adalah langkah aman terhindar dari hal konyol lagi.

***

Area bermain di hari Minggu sangatlah ramai. Para orang tua mengajak anak-anaknya menikmati berbagai wahana permainanm Daniel menyewa sepeda dan beberapa mainan lainnya, kami membiarkan anak itu bermain sepuasnya.

Sedangkan aku dan Rosa terlibat diskusi serius.

"Ros, aku mau mengadakan sayembara cari jodoh." Kalimat pertama yang meluncur dari mulutku, mampu membuat Rosa melongo.

"Kamu ini kayak kekurangan cara untuk dapat suami, Ri. Kamu cukup jadi dirimu sendiri, maka akan banyak lelaki yang meminang. Apa kamu lupa dengan beberapa pengusaha muda yang rela mengemis cintamu?"

"Aku tahu, Ros. Hanya saja mereka menyukaiku karena hartaku, aku tahu mereka masih muda dan juga tampan. Tapi apa kamu lupa dengan kejadian sepuluh tahun lalu?" Aku mencoba mengingatkan Rosa tentang peristiwa yang sangat membuatku terluka.

Ya, aku pernah hampir menikah. Lelaki itu telah kupacari selama dua tahun, dan baru kutahu tujuannya menikahiku hanya karena harta. Dua hari sebelum pernikahan digelar, aku mendatangi rumahnya. Tanpa sengaja aku mendengar pembicaraan dia dengan seseorang di sambungan seluler.

"Tenang saja, Sayang. Sebentar lagi aku akan menikahi gadis kaya itu, kehidupan kamu dan anak-anak akan berubah. Kalian akan hidup dengan bergelimang harta!" Begitu ucapan lelaki itu dan hingga sekarang masih terngiang di telingaku.

Sangat sakit ketika tahu, dinikahi hanya untuk dimanfaatkan. Sejak saat itu, rasa trauma membuatku tak mudah percaya dengan pria mana pun. Itu pula yang menyebabkan diriku terlambat menikah dan memilih menjelma dengan tampilan sosok wanita lain saat nge-date.

"Aku tidak ingin dimanfaatkan, Ros. Aku hanya menginginkan lelaki yang benar-benar tulus mencintaiku."

Rosa merengkuhku, lalu mengusap bahu ini. Dia adalah sahabat yang selama ini sangat mengerti tentangku, selain keluargaku.

"Aku paham, Ri. Aku juga ngerti perasaan kamu. Tapi, bukannya sama saja sayembara juga tak akan menjamin kamu mendapatkan lelaki yang tulus mencintaimu? Mereka akan menerimamu karena hadiah yang kamu tawarkan, Riana."

"Sekarang aku sudah tidak peduli, Ros. Karena aku sudah menemukan lelaki yang aku inginkan. Sayembara itu hanyalah kamuflase semata, agar aku tidak terlihat mengemis cinta apalagi merebut suami orang."

"Maksud kamu?" Rosa mengernyitkan dahi, dia masih belum mengerti dengan apa yang aku maksud.

"Aku ingin, istrinya yang mengantarkan suaminya padaku."

"Apa?! Apa maksud kamu, Ri? Otak kamu sudah nggak waras, ya? Please, jangan aneh-aneh."

Aku tahu, ide gilaku ini pasti akan membuat Rosa syok. Mungkin juga kedua orang tuaku dan adik-adikku akan turut terkejut. Tapi tak ada pilihan lain, hanya cara itulah aku bisa memiliki Reza tanpa harus disebut pelakor murahan.

"Aku akan siapkan hadiah sepuluh milyar untuk lelaki yang terpilih."

"Oh my God ... temanku ini sudah nggak waras lagi rupanya. Bagaimana bisa menggelontorkan uang sebanyak itu demi suami orang?" Rosa menepuk jidatnya.

"Aku sudah kehabisan kata, Ri. Kamu benar-benar gila. Dan aku yakin, Tante Lena tidak akan mengijinkan itu semua terjadi. Bahkan Om Lukman juga akan menghajarmu jika beliau tahu. Kamu hanya menjatuhkan harga dirimu, Mariana Leurissa."

Sejenak aku terdiam, apa yang diucapkan oleh Rosa memang tidak salah. Namun, aku punya rencana lain. Tentu saja sayembara itu tidak akan membuka siapa diriku. Mereka hanya akan tahu diriku dalam wujud lain, bukan Mariana Leurissa seorang CEO perusahaan kosmetik ternama.

Baiklah, aku hanya butuh merekrut beberapa orang baru, pegawai yang tidak mengenal siapa aku sebenarnya. Lalu mengadakan seleksi ketat untuk dipekerjakan di rumah mewahku yang lain, mereka tak perlu tahu siapa aku. Cukup mereka tahu aku sebagai 'Tante Merry' yang telah berusia setengah abad.

Kurasa, semua akan aman jika Rosa tak tahu apa yang akan aku lakukan. Ya, ada baiknya aku sembunyikan hal ini dari mereka.

Reza ... demi kamu, aku akan jadi Pelakor Milyader. Wanita berkelas yang mampu menebus cintamu dari sang istri sah!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status