Share

Sayembara Pelakor Milyader
Sayembara Pelakor Milyader
Penulis: Ammi Poe YP

Kencan App Dating

Suasana café di atas rooftop begitu mengasyikkan. Terdengar alunan suara penyanyi yang cukup merdu, membawakan sebuah lagu romantis. Langit malam kota Jakarta tak sepenuhnya kehilangan cahaya, masih dihiasi bulan separuh yang menggantung dengan taburan jutaan bintang.

Tempat ini menjadi saksi, untuk kesekian kali aku berkencan dengan para pria yang kujumpai di salah satu App Dating. Seingatku, sudah dua puluh tiga kali kencan dan berakhir sama. Penolakan oleh para lelaki songong yang hanya bisa melihat wanita dari fisik semata.

Malam ini adalah kencan yang ke dua puluh empat kalinya. Dari dua puluh tiga kali kencan, tak ada satu pun lelaki yang berlanjut ke tahap serius. Mereka menghilang dan memblokir nomorku setelah bertemu.

"Nona Riana," panggil seseorang dari belakang.

Aku yakin dia adalah Nando, lelaki yang baru seminggu ini kukenal dari app dating itu. Aku pun berdiri dan bersiap menyambut, dengan memasang senyum aku pun berbalik ke arahnya.

"Kamu Nando, kan?"

Lelaki muda itu seketika gugup saat melihatku. "Kok kamu beda dengan yang di foto?" tanya dia dengan wajah kecewa, beberapa kali dia mencoba mencari kesamaan wajahku dengan foto yang ada di ponselnya.

"Ya beda lah, itu foto aku jaman masih gadis. Sekarang, usiaku sudah empat puluh tahun!" jawabku dengan sewot, lalu membenarkan kaca mata.

"Nggak deh, Tante. Aku nggak bisa pacaran dengan wanita setengah abad," ujarnya yang semakin membuatku berang.

Karena kesal, aku tarik kerah jaket pemuda kurang ajar itu. "Enak saja kamu bilang aku wanita setengah abad! Aku masih empat puluh tahun, bukan lima puluh tahun! Paham?!"

"Ya ... ya sama saja, Tante. Sebentar lagi juga lima puluh, iya kan?"

"Aku hanya kelewat dewasa, bukan tua!" Sengaja kutekan kalimatku dengan pengucapan yang kuarahkan tepat di wajah pemuda songong itu, lalu kudorong tubuhnya dengan kasar.

Pemuda itu terjengkang dan akhirnya memilih pergi. Aku hanya bisa mencibir dan menghentakkan kaki karena kesal. Kusambar tas dan turut pergi meninggalkan café menuju mobil.

Huff ... kencan kali ini pun gagal, sungguh pencarian jodoh ini semakin membuatku frustasi. Beberapa menit aku terdiam memeluk kemudi mobil, lalu mengacak-acak rambut. Rasanya ingin teriak sekeras mungkin, hanya saja takut disangka gila.

Jujur, tekanan dari Papa dan Mama memang membuatku semakin gila. Pasalnya, aku adalah anak sulung dari tiga bersaudara. Dua adikku sudah menikah semua, bahkan sudah punya anak. Aku lebih memilih karierku sebagai CEO perusahaan kosmetik, daripada berpikir mencari pasangan hidup.

Bagiku, karier adalah segalanya. Jika aku sukses, urusan pasangan akan mudah kudapat. Nyatanya, tak semudah itu. Usiaku sudah empat puluh tahun, dan jodoh yang kuharapkan belum juga dipertemukan.

Setelah karierku melejit, justru aku semakin lupa dengan impian seorang wanita pada umumnya. Di usiaku yang sudah memasuki kepala empat, jelas tak mudah mencari jodoh. Apalagi jodoh yang mau menerimaku tanpa melihat siapa aku. Itu sebabnya, aku menutupi jati diriku di hadapan semua lelaki yang aku temui.

Setelah suasana hati membaik, aku segera melajukan mobil. Kali ini tidak pulang ke rumah, melainkan pergi ke apartemen Rosa—sahabat sekaligus sekretaris pribadiku.

Hanya butuh waktu dua puluh menit untuk sampai di apartemen yang tidak terlalu mewah bagiku. Rosa adalah janda cerai, suaminya pergi meninggalkan dia sejak dua tahun lalu.

Kehidupan yang harus dia jalani sebagai single parent, membuat dirinya harus menekan semua keinginan dia. Termasuk dalam memilih tempat tinggal, Rosa tidak ingin bermewah-mewah. Alasan dia karena uangnya lebih baik ditabung untuk anak semata wayang dia, daripada untuk kehidupan mewah yang justru akan membuatnya sengsara.

Rosa yang sekarang sangat jauh berbeda. Dia telah meninggalkan dunia yang glamour, demi anak dia rela mengencangkan ikat perut. Demi anak, dia rela menyingkirkan semua kesenangannya.

Sebenarnya, hal semacam itu pula yang membuatku takut menikah. Wanita saat masih lajang sangatlah bahagia menikmati kebebasan, ingin apa bisa langsung membeli tanpa perlu banyak pertimbangan.

Pernikahan yang digadang akan memberi warna pada rangkaian kisah hidup, nyatanya tak lebih hanyalah awal dari keterpaksaan. Ya, terpaksa berkompromi dengan banyak hal. Bahkan terkadang tetap harus menerima meskipun bertentangan dengan apa yang sebenarnya dirasakan. Kurasa menikah malah membuat wanita bahagia saat lajang, menjadi seperti orang tertekan.

Tidak terlalu jauh untuk menempuh apartemen Rosa, hanya butuh lima belas menit dan aku pun sampai.

Saat memasuki lift, seorang lelaki muda turut masuk. Dari penampilannya, bisa dipastikan dia bekerja di perusahaan bagian office. Stelan jas yang aku tahu, itu bukan dari bahan premium kelas atas. Sepatunya juga bukan sepatu yang harga jutaan layaknya yang dipakai para bos. Tapi ... ah, wajah dia tampan juga. Poles sedikit saja pasti sudah seperti pria tajir.

Tanpa aku sadari, sejak dia masuk ternyata aku memperhatikan dia dari ujung kaki sampai ujung rambut. Bahkan aku tak peduli saat dia mendehem karena tak nyaman. Keasyikan menilai lelaki muda di hadapanku, membuat aku lupa di lantai berapa aku harus berhenti. Ya, tetiba otakku stuck dan error.

Pintu lift terbuka, pemuda itu keluar dan aku pun turut keluar tanpa melepas pandangan ke arahnya. Bahkan aku mengikuti langkah ke mana dia pergi.

Menyadari jika kuikuti, lelaki itu pun berhenti. Lalu mengibaskan tangan tepat di wajahku, membuat diriku seketika sadar dengan apa yang aku lakukan.

"Maaf, Bu. Ibu ini mau ke lantai berapa?" tanya dia dengan sangat sopan.

Aiih ... suaranya pun teduh kudengar. Wait, tapi kenapa dia memanggilku 'Ibu'? Sungguh tidak sopan!

"Apa maksudnya kamu panggil aku 'ibu' gitu? Memangnya aku kawin dengan bapak kamu?" Sontak aku melimpahkan kekesalan padanya.

Dia hanya menggeleng dengan tatapan mencibir, lalu pergi begitu saja tanpa basa-basi.

"Eh tunggu!" Aku berusaha mencegah dengan menarik bahunya, tetapi dengan sigap dia justru berbalik dan memutar tanganku.

Akibat serangan balik itu, aku yang tak siap justru terpelanting dan hampir jatuh. Tidak ingin jatuh sendirian, dengan kekuatan penuh aku pun menariknya. Sesaat kemudian tubuh kami berguling beberapa kali dan saling menindih, berakhir dengan posisi aku yang di atas dan parahnya bibir kami bertemu. Adegan di luar dugaan itu membuat mata kami saling melotot.

Lelaki muda itu segera mendorongku, dengan pandangan jijik dia mengusap bibirnya berkali-kali.

"Dasar wanita gila! Berhenti menggangguku atau akan aku panggilkan sekuriti, biar menyeretmu keluar dari sini!" Amarah lelaki itu meledak.

Aiih ... bodohnya aku. Kenapa juga harus bersikap norak seperti tadi? Saat ini wajahku masih terasa memanas, kututup mulutku dengan kedua tangan. Pasalnya, kejadian tadi membuatku syok. Ini adalah pertama kalinya aku berciuman, parahnya yang mengambil ciuman pertamaku adalah lelaki yang sama sekali belum aku kenal.

Akibat syok, aku hanya bisa terduduk di lantai seraya merapat ke dinding. Tetiba tubuh ini freeze, layaknya patung batu. Sedangkan lelaki itu pergi begitu saja tanpa menggubris keadaanku yang masih syok parah.

"Riana?" Tetiba terdengar sebuah suara yang sangat kukenal.

"Ros ... di ... dia," ucapku terbata-bata seraya telunjuk tangan kiriku menunjuk ke arah lelaki itu pergi.

"Dia siapa?"

"Di ... dia, dia mengambil kesucianku, Ros." Suaraku masih gemetar.

"Hah?! Kamu diperkaos?" Rosa mulai panik dan khawatir.

Aku menggeleng.

"Terus kenapa? Apa yang terjadi? Apa kamu dilecehkan?"

Aku mengangguk, lalu menangis dan memeluknya. Rosa berusaha menenangkan agar aku tidak terus terisak.

"Antar aku ke orang itu, biar kuberi dia pelajaran!"

"Dia tadi masuk ke pintu paling ujung itu."

Tanpa babibu, Rosa segera beranjak dan berjalan menuju pintu yang aku tunjuk. Aku berhenti menangis, lalu berdiri dan mengikutinya.

Dengan sangat kasar, Rosa menggedor pintu. Sudah persis deb collector saja dia, main gedor pintu orang. Gedoran keras dari tangan Rosa tak sia-sia, tidak berapa lama muncul seorang wanita muda di ambang pintu.

"Mana laki-laki kurang ajar itu?" tanya Rosa dengan galak dan berusaha menerobos masuk.

"Maksudnya suamiku, Mbak?" tanya gadis muda itu.

Mataku seketika membelalak. Dia sudah beristri? OMG ... pencuri ciuman pertamaku sudah punya istri? Parah!

"Gila ya, sudah punya istri muda dan cantik, masih aja gangguin wanita tua!" teriak Rosa dengan nada tinggi.

Sontak aku melotot dan menarik tangannya dengan kasar. "Apa maksud kamu bilang aku tua? Hah?!"

"Ma ... maaf, Ri. Aku keceplosan."

Ekspresiku seketika masam dengan bibir mencebik.

"Ada apa ini, ribut-ribut di apartemen orang!" suara lelaki muda itu membuatku mengalihkan pandangan.

"Ini, Mas. Mereka datang nyariin, Mas. Katanya Mas Reza sudah kurang ajar dengan mereka." Wanita muda itu menjelaskan.

"Kamu tuh maunya apa? Aku nggak kenal dengan kamu, tapi kenapa harus menggangguku?" tanya lelaki yang ternyata bernama Reza itu.

"Kamu sudah apain temenku?" tanya Rosa yang segera maju untuk menghadang pria itu.

"Aku nggak ngapa-ngapain temenmu yang gila ini, justru dia yang menggangguku."

"Tapi kamu berbuat tidak senonoh dengannya, kan?"

"Tidak senonoh apa?! Dia yang menarikku, secara reflek aku membela diri, lalu jatuh dan dia yang menciumku! Bukan aku yang nyosor! Lagian, siapa juga yang doyan dengan wanita expired macam dia?" cerocos Reza dengan nada menghina.

Mataku membeliak, tak terima dikatakan wanita expired. Enak saja dia menghinaku, aku ini belum expired. Memangnya aku susu kemasan?

"Heh, laki-laki songong! Kamu pikir aku ini apa? Enak sekali kamu hina aku macam itu!" Hampir saja tanganku mengenai wajah lelaki itu, jika saja Rosa tidak dengan sigap menghalangi.

"Hentikan, Ri! Ini tidak akan selesai masalahnya kalau kamu seperti itu!" bentak Rosa.

"Kamu yakin tidak melakukan hal tidak senonoh padanya?" lanjutnya menanyai pemuda songong itu.

"Saya berani sumpah, dia yang mengikutiku, dia juga yang menyerangku."

Mendengar penuturan lelaki itu, tampak Rosa terdiam. Kedua tangannya mengepal, lalu berbalik ke arahku.

"Apa itu benar, Riana?' tanya Rosa dengan wajah menahan kesal.

Aku tersenyum paksa seraya memainkan jari tangan, dengan sedikit ragu mengangguk. Auto anggukanku membuat Rosa seketika menarik tanganku, dia menyeretku keluar dari apartemen Reza menuju ke apartemen dia yang ternyata hanya berjarak tiga pintu.

"Bisa nggak kamu bersikap dewasa, Ri? Berapa kali kamu harus bersikap konyol seperti tadi? Kamu sudah lebih dari cukup umur, Ri. Cobalah berubah, jangan seperti anak kecil!"

Rosa yang cerewet itu mengomel lagi. Dia akan hormat denganku hanya saat di kantor, tapi kalau sudah di luar pekerjaan, auto dia berubah jadi nenek lampir yang super cerewet.

"Sekarang kamu lihat, lihat dirimu baik-baik di cermin!" Dia mendorongku ke depan cermin besar di depan kamar mandi.

"Kamu lihat dandanan kamu? Ini bukan Mariana seorang CEO perusahaan kosmetik, ini Mariana yang tengah jadi badut! Kalau seperti ini terus, mana ada lelaki yang akan tertarik denganmu!"

Tanpa melihat cermin pun aku tahu dandananku saat ini.

Ya, aku menyadari dandananku setiap nge-date dengan pria yang kukenal dari app dating. Dandanan menor yang membuatku seperti tante-tante girang dan menambah kesan tua akibat kontur yang memang sengaja aku tambahkan untuk efek lebih terlihat tua.

Semua aku lakukan bukan tanpa sebab, melainkan ada alasan khusus. Aku menginginkan suami yang tulus mencintaiku tanpa melihat siapa diriku, apalagi hartaku. Namun, nyatanya sangat sulit mencari pendamping hidup yang bisa menerima wujud tiruanku.

Apakah aku salah jika mencari yang benar-benar tulus?

Apakah sesulit ini mencari lelaki berhati emas?

Atau memang stok pria baik hati telah habis di dunia ini? Atau aku perlu mencari di dunia lain?

Aneh saja, dari sekian banyak manusia, tak satu pun belum kujumpai lelaki yang sesuai kriteriaku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status