LOGINAku menatap pantulan diriku di cermin kecil di pojok meja kerja. Seragam kerjaku masih rapi, tapi tanganku terus bergetar setiap kali mengingat tatapan mata itu, dingin, tajam, penuh kuasa.
Tatapan Eldric Adrian, CEO perusahaan terbesar di kota ini, sekaligus pria yang kini memutuskan nasib ku hanya dengan satu kalimat. “Kau akan bekerja langsung di bawahku.” Aku masih tak tahu harus merasa apa. Takut? Tentu saja. Marah? Mungkin. Tapi di antara semua itu, ada satu hal yang lebih berbahaya, rasa penasaran yang tak semestinya tumbuh terhadap pria semisterius dia. “Liana, cepat ke lantai dua belas. Tuan Eldric mencari mu!” suara rekan kerjaku, Rina, membuyarkan lamunanku. “Sekarang?” tanyaku terbata. “Ya, Sekarang juga. Katanya, jangan sampai kau terlambat satu detik pun.” Hatiku langsung berdegup tak karuan. Aku menutup map, menarik napas dalam-dalam, lalu bergegas menuju lift. Dinding logam dingin memantulkan wajahku yang pucat. Aku mencoba menenangkan diri, tapi bayangan Eldric terus menghantui pikiranku, suara beratnya, jarak napasnya yang begitu dekat waktu itu, dan kalimat terakhirnya yang menggema di kepalaku. “Anggap saja hukuman karena berani menyaksikan sesuatu yang bukan milikmu.” Lift berdenting lembut. Pintu terbuka, dan udara dingin dari pendingin ruangan langsung menyambut ku. Lantai dua belas berbeda, sunyi, rapi, dan berbau kopi mahal. Di sinilah ruang Eldric berada. Setiap langkah terasa berat, seolah aku sedang menuju ruang interogasi. Seorang sekretaris berwajah dingin menatapku dari balik meja. “Liana?” tanyanya datar. Aku mengangguk cepat. “Masuk. Tuan Eldric menunggumu di dalam.” Pintu kaca besar itu terbuka pelan. Eldric sedang berdiri di dekat jendela, punggungnya menghadap ku, dengan tangan diselipkan di saku celana. Cahaya pagi menyorot tubuhnya, membentuk siluet tegap yang terlalu sempurna untuk dilihat tanpa rasa gugup. “Datang juga akhirnya,” suaranya berat, tanpa ekspresi. “Aku—maaf, Tuan. Saya langsung ke sini begitu dipanggil.” Dia berbalik, menatapku dengan mata abu-abu gelapnya yang menusuk. “Kau tahu apa arti kata ‘langsung’ di dunia kerja, Liana?” Aku menunduk. “Sepuluh menit, Tuan.” “Delapan.” Senyum tipis muncul di sudut bibirnya. “Kau sudah terlambat dua menit.” Aku menelan ludah, tak berani menatap. “Maaf, Tuan. Itu tidak akan terulang.” Dia berjalan pelan ke arahku, setiap langkahnya terdengar jelas. “Aku tidak suka alasan, aku suka hasil. Mulai hari ini, semua jadwalku, rapat, dan dokumen yang keluar masuk harus melewati tanganmu. Mengerti?” Aku mengangguk cepat. “Ya, Tuan.” “Bagus.” Dia berhenti tepat di hadapanku. “Ada satu hal lagi.” Aku mendongak perlahan, dan seketika jantungku berhenti berdetak. Tatapannya jatuh tepat ke mataku, dingin namun penuh tekanan. “Jangan pernah membicarakan apa pun yang kau lihat kemarin pada siapa pun. Sekali saja aku dengar rumor beredar, kau akan menyesal pernah melangkah ke sini.” Aku mengangguk lagi, meski tenggorokanku kering. “Saya mengerti, Tuan.” Eldric menatapku sejenak, lalu memalingkan wajahnya. “Baik. Sekarang keluarlah. Ambil laptop dari meja sekretaris, dan mulai atur jadwal rapatku minggu ini.” Aku buru-buru keluar. Tapi baru beberapa langkah, aku mendengar suaranya lagi. “Dan, Liana” Aku menoleh. “Ya, Tuan?” “Pastikan kau belajar cepat. Aku tidak suka orang bodoh di sekitarku.” Aku mengangguk dan menutup pintu dengan tangan bergetar. Begitu di luar, nafasku langsung terlepas panjang. Jantungku masih berdetak cepat, tapi entah kenapa ada sensasi aneh di dalam dada, campuran antara takut dan terpikat. Hari itu berjalan sangat panjang. Aku belajar mengatur jadwal rapat, menyalin data, dan menyiapkan dokumen penting di bawah pengawasan ketat Eldric. Setiap kali dia lewat di dekat meja, semua staf menunduk, tidak ada yang berani bicara. Suaranya yang dingin bisa membuat siapa pun kehilangan fokus hanya dengan satu teguran. Menjelang sore, aku hampir menyelesaikan laporan keuangan mingguan. Tapi saat hendak mencetak dokumen, printer tiba-tiba macet. Kertas menumpuk, tinta meluber, dan sebagian lembar laporan tertarik keluar dalam keadaan rusak. “Oh astaga,” gumamku panik. Aku mencoba memperbaikinya, tapi tangan ini malah kotor oleh tinta hitam. Dan seperti nasib buruk yang sudah menunggu, suara langkah itu kembali terdengar. “Ada masalah?” Aku langsung berdiri tegak. “T-tidak, Tuan. Hanya sedikit kesalahan printer.” Eldric mendekat, Satu tangan diselipkan di saku, sementara tangan lainnya menepuk meja pelan. “Kau baru satu hari di sini dan sudah membuat kekacauan.” “Saya bisa perbaiki, Tuan. Beri saya waktu—” “Diam.” Suaranya rendah, tapi cukup untuk membuatku membeku. Dia menatap tinta di tanganku, lalu menarik tisu dari mejanya. Dengan gerakan cepat, dia menggenggam tanganku dan mulai menghapus tinta itu. Gerakannya lembut, tapi tegas. Aku tak berani bernapas. “Lain kali, jangan sentuh peralatan tanpa tahu cara menggunakannya,” ujarnya lirih, namun dekat sekali. Aku bisa mencium aroma parfum maskulinnya, tajam, mahal, memabukkan. Dan ketika matanya bertemu dengan mataku, waktu seolah berhenti lagi. Ada sesuatu di sana, sesuatu yang tak bisa ku terjemahkan. Sekilas, aku melihat bayangan luka di balik sorot mata itu. Tapi secepat itu pula ia menjauh, kembali menjadi sosok yang tak tersentuh. “Bersihkan meja ini. Aku tak mau melihat kekacauan lagi besok.” Lalu dia berjalan pergi, meninggalkanku dengan jantung yang berdetak kacau dan tangan yang masih terasa hangat oleh sentuhannya. Aku memejamkan mata, mencoba menenangkan diri. Namun, semakin aku mencoba melupakan kejadian itu, semakin jelas bayangan Eldric memenuhi pikiranku. Hari pertama sebagai asisten pribadinya belum berakhir. Tapi aku tahu, hidupku tak akan pernah sama lagi setelah ini.Pagi itu terasa lebih berat dari biasanya. Liana datang ke kantor jauh lebih awal, dengan harapan bisa menghindari tatapan Tuan Eldric yang masih membekas di pikirannya sejak malam itu. Bayangan Eldric yang mabuk, wajahnya yang nyaris tak dikenali, dan suaranya yang bergetar di antara kesadaran, semuanya masih jelas. Ia bahkan tak tahu bagaimana harus bersikap sekarang. Haruskah ia berpura-pura tidak terjadi apa-apa? Suara langkah sepatu terdengar dari arah pintu kaca. Liana sontak menegakkan punggungnya, Eldric Adrian baru saja tiba. Pria itu mengenakan jas hitam sempurna seperti biasa, wajahnya tanpa ekspresi, tapi entah mengapa, sorot matanya berbeda. Ada sesuatu di sana, sesuatu yang tak bisa Liana jelaskan, seperti amarah yang disembunyikan, bercampur dengan rasa tidak nyaman. “Laporan minggu lalu belum ada di mejaku,” ucap Eldric dingin, menaruh tas kerjanya di meja. Suara itu tenang, tapi tajam. “Sudah saya kirim lewat email, Tuan,” jawab Liana pelan. “Email bukan alasan
Cahaya matahari menembus tirai tipis, membias lembut ke dalam ruangan yang masih berantakan. Bau alkohol samar-samar masih terasa di udara.Eldric mengerang pelan, menekan pelipisnya yang berdenyut hebat, kepalanya terasa berat, mulut kering. Ia duduk perlahan di tepi ranjang, mencoba mengingat apa yang terjadi semalam, hanya potongan gambar yang datang dan pergi. Klub malam, suara Damon, lalu…Seseorang memanggil namanya.Dan kini, di sisi ruangan, ia melihat sesosok gadis tertidur di kursi dengan kepala bersandar di tepi ranjang. Rambut hitamnya terurai lembut, wajahnya terlihat lelah, tapi damai.Liana.Eldric mengerjap pelan, seketika, kesadarannya kembali penuh. Ia memandang sekeliling, jas nya di sofa, meja berantakan, dan segelas air di nakas. Keningnya berkerut, saat melihat Liana di sana.“Apa yang dia lakukan di sini?”Suara beratnya membuat Liana terbangun. Gadis itu buru-buru bangkit, sedikit panik.“T-Tuan Eldric! Anda sudah bangun?”Eldric menatap tajam. “Apa yang kau la
Kota sudah mulai sepi ketika Eldric memutuskan keluar dari kantor. Hujan berhenti, tapi langit masih berwarna kelabu. Di depan lobi, seorang pria berjas abu-abu menunggunya sambil menepuk bahu sopir Eldric.“Lama banget, Bro. Gue kira Lo nggak jadi,”Suara berat itu milik Damon, teman lama Eldric sejak masa kuliah, orang yang tahu sisi-sisi yang tidak pernah dilihat publik.Eldric hanya menatap singkat. “Aku butuh udara.”“Udara atau pelarian?” Damon tersenyum miring. “Ayo, gue tau tempat yang pas buat itu.”**Lampu neon berkedip, musik berdentum, dan aroma alkohol bercampur parfum memenuhi ruangan. Eldric duduk di kursi VIP, kemejanya terbuka satu kancing, tangan kirinya memegang gelas berisi cairan berwarna amber.Damon bersandar di sebelahnya, menatap ke arah panggung dansa. “Kau tahu, sejak Freya menikah, kau gak pernah benar-benar hidup, Ric.”Eldric diam. Tidak menoleh, tidak bereaksi.Damon melanjutkan, “Tujuh tahun, Bro. Tujuh tahun Lo sibuk nyiksa diri lo sendiri. Perusahaan
Pertemuan berlangsung lebih lama dari yang ku perkirakan. Setiap kali Eldric berbicara, semua mata tertuju padanya, percaya atau takut, aku sendiri tak tahu. Hanya saja, setiap nada suaranya terdengar pasti, tegas, dan tak memberi ruang sedikit pun untuk kesalahan.Aku duduk di sisi ruangan, mencatat setiap poin yang disampaikan. Sesekali, tatapannya menembus arahku. Bukan marah, tapi cukup untuk membuatku menunduk cepat, pura-pura sibuk menulis.Saat pertemuan berakhir, semua orang bergegas meninggalkan ruangan. Eldric masih berdiri, tangannya bersedekap, menatap keluar jendela besar yang memperlihatkan langit mendung.“Liana,” panggilnya pelan, namun cukup tegas untuk membuatku berhenti.Aku menelan ludah. “Ya, Tuan?”Ia menoleh perlahan. Tatapan itu tajam, tapi entah kenapa terasa sangat dalam.“Kau gugup?” tanyanya tiba-tiba.Aku menggeleng cepat. “Tidak, Tuan. Hanya sedikit-”“Simpan alasanmu.” Ia berjalan mendekat.“Aku tahu kau masih tertekan soal kemarin. Tapi di sini, kesalah
Hari itu kantor terasa lebih sunyi dari biasanya. Mungkin hanya perasaanku saja, atau mungkin memang semua orang sengaja menahan napas setiap kali Eldric Adrian berjalan melewati koridor.Aku mengetik laporan pagi di meja kecil di luar ruangannya. Jemariku nyaris tak berhenti bergerak, tapi pikiranku terus melayang ke insiden rapat kemarin. Sejak saat itu, Eldric tak banyak bicara padaku, tapi setiap tatapan dinginnya seolah mengingatkan, aku tidak boleh salah lagi.Suara langkah sepatu terdengar mendekat.Aku spontan menegakkan punggung, menahan napas.“Masuk.”Suaranya datar, tapi cukup untuk membuat jantungku berpacu.Aku membuka pintu perlahan, membawa berkas yang baru saja selesai. Eldric duduk di kursinya, menatap layar laptop tanpa ekspresi. Wajahnya terlihat tenang, tapi aku tahu, ketenangannya justru yang paling berbahaya.“Kau sudah periksa data keuangan yang ku kirim semalam?” tanyanya tanpa menoleh.“Sudah, Tuan. Semuanya lengkap,” jawabku hati-hati.“Lengkap?”Ia menutup
Keesokan harinya.Sudah lewat pukul sembilan pagi, dan aku masih berdiri di depan ruangan itu, ruangan yang kemarin nyaris menghancurkan hidupku.Aku menatap papan nama di depan pintu: Eldric Adrian, Chief Executive Officer.Nama yang kini selalu terngiang di kepalaku.Setelah insiden memalukan kemarin, aku pikir aku akan langsung dipecat. Tapi justru sebaliknya, aku dipanggil ke kantor HR dan diberi surat mutasi.“Mulai hari ini, kamu jadi asisten pribadi Tuan Eldric,” kata HR dengan wajah datar, seolah itu hal biasa.Aku bahkan tak tahu harus bersyukur atau menangis."Tarik napas, Liana. Ini hanya pekerjaan. Kau bisa melakukannya."Klek, aku pun membuka pintu.Aku melangkah masuk. Eldric sudah duduk di kursinya, mengenakan setelan jas abu gelap. Rambutnya tertata rapi, ekspresinya datar dan tak terbaca. Aura dingin yang kemarin ku rasakan kini bahkan lebih kuat.“Datang tepat waktu. Setidaknya kau tahu caranya mematuhi perintah,” ujarnya tanpa menatap ku.Aku menelan ludah. “Baik, T







