LOGINKeesokan harinya.
Sudah lewat pukul sembilan pagi, dan aku masih berdiri di depan ruangan itu, ruangan yang kemarin nyaris menghancurkan hidupku. Aku menatap papan nama di depan pintu: Eldric Adrian, Chief Executive Officer. Nama yang kini selalu terngiang di kepalaku. Setelah insiden memalukan kemarin, aku pikir aku akan langsung dipecat. Tapi justru sebaliknya, aku dipanggil ke kantor HR dan diberi surat mutasi. “Mulai hari ini, kamu jadi asisten pribadi Tuan Eldric,” kata HR dengan wajah datar, seolah itu hal biasa. Aku bahkan tak tahu harus bersyukur atau menangis. "Tarik napas, Liana. Ini hanya pekerjaan. Kau bisa melakukannya." Klek, aku pun membuka pintu. Aku melangkah masuk. Eldric sudah duduk di kursinya, mengenakan setelan jas abu gelap. Rambutnya tertata rapi, ekspresinya datar dan tak terbaca. Aura dingin yang kemarin ku rasakan kini bahkan lebih kuat. “Datang tepat waktu. Setidaknya kau tahu caranya mematuhi perintah,” ujarnya tanpa menatap ku. Aku menelan ludah. “Baik, Tuan.” Dia menutup berkas di depannya, lalu berdiri perlahan dan menghampiriku. Setiap langkahnya terdengar berat dan berwibawa. “Kau akan mengatur semua jadwalku. Rapat, panggilan, bahkan kopi pagiku.” Dia berhenti di depan meja, menatapku lurus. “Satu kesalahan kecil dan kau akan menyesal sudah pernah mengetuk pintu kantorku.” Aku hanya bisa mengangguk, mencoba menyembunyikan gugup ku. “Baik, Tuan.” Tiba-tiba ponselnya berdering. Dia menjawab dengan suara rendah, penuh wibawa. Aku hanya berdiri diam, mencatat jadwal di buku kecil. Tapi mataku sempat menangkap bayangan wajahnya di pantulan kaca jendela. Dingin, Tegas, Tak tertebak. Entah kenapa, bagian dalam dadaku terasa sesak. Pria ini benar-benar berbahaya. Tapi ada sesuatu di balik tatapan matanya, sesuatu yang menyimpan luka yang dalam, meski disembunyikan di balik kesombongan dan kuasa. “Liana.” Aku tersentak saat mendengar suaranya lagi. “Ya, Tuan?” “Mulai besok, kau ikut aku ke setiap rapat.” Dia menyipitkan mata sedikit. “Dan satu hal lagi.” Aku menegakkan badan. “Apa itu?” Senyum tipis terukir di bibirnya. “Belajarlah untuk tidak takut menatapku. Aku tidak suka pegawai yang bersembunyi di balik ketakutan.” Napas tertahan ku keluar perlahan. Aku tak tahu apakah itu perintah atau ancaman. "Setengah jam lagi saya ada rapat bersama para direktur dan kepala divisi. Siapkan semuanya." "Baik, Tuan." Jawabku seadanya. "Keluarlah." Titahnya tanpa menoleh ke arah ku. "Saya permisi, Tuan." Tak ada jawaban, hingga langkahku perlahan mulai mendekati pintu. Namun, suara tegas itu kembali keluar. "Jangan membuat kesalahan." Tanpa menoleh, aku pun menjawab. "Baik, Tuan." Aku kembali melangkah dan menuju meja kerjaku, untuk mempersiapkan keperluan saat rapat nanti. Hingga waktu itu pun tiba, semua orang-orang penting sudah berkumpul di ruang rapat. “Semua sudah siap?” Suara Eldric terdengar datar namun berwibawa. Ruang rapat besar itu seketika hening. Para direktur dan kepala divisi duduk dengan wajah serius, menunggu instruksi. Sementara aku, duduk di ujung meja, sibuk menyalakan proyektor dan menyiapkan berkas yang diminta. Tanganku sedikit gemetar, karena ini pertama kalinya aku ikut rapat besar bersama CEO langsung. Eldric berdiri di depan layar, menjelaskan strategi proyek baru dengan ketenangan sempurna. Suaranya dalam, setiap kata terdengar meyakinkan. Sampai akhirnya, aku menyadari sesuatu. Slide keempat yang muncul di layar bukan file presentasi Eldric, melainkan proposal lama yang belum diperiksa, file yang aku salah pilih. Sekejap, seluruh ruangan menatap layar. Eldric berhenti bicara, Tatapan dinginnya beralih padaku. “Siapa yang menyiapkan file ini?” tanyanya datar. Tak ada yang menjawab. Semua tahu, hanya aku yang bertanggung jawab. Aku berdiri cepat. “M-maaf, Tuan. Itu kesalahan saya. Saya—” “Diam.” Nada suaranya rendah, tapi cukup untuk membuat jantungku berdebar hebat. “Seluruh waktu dan rapat penting ini bisa hancur karena satu kelalaian kecilmu.” Aku menunduk dalam, menahan rasa malu yang membakar wajahku. “Perbaiki sekarang,” katanya dingin. Tanganku bergetar saat mengganti file yang benar, sementara tatapannya terus mengawasi setiap gerakanku. Udara di ruangan itu terasa menekan, membuatku nyaris sulit bernapas. Rapat selesai dalam suasana yang menegangkan. Semua orang pergi dengan langkah tergesa, meninggalkan aku yang masih berdiri terpaku di dalam ruangan. Eldric menutup laptopnya perlahan. “Datang ke ruanganku,” ucapnya tanpa menatap. Aku tahu, itu bukan undangan, itu perintah. * Beberapa menit kemudian… Pintu ruang CEO tertutup rapat di belakangku. Aku berdiri di hadapannya, berusaha menahan rasa takut. “Kau tahu berapa kerugian yang bisa terjadi kalau proyek tadi gagal karena kelalaianmu?” Suara Eldric pelan tapi tajam, seperti pisau yang menyayat pelan. “Saya benar-benar minta maaf, Tuan. Saya akan memperbaikinya.” Dia berjalan pelan mendekat, berhenti hanya sejengkal di depanku. Aromanya, campuran kopi hitam dan parfum mahal, membuat pikiranku kacau. “Maaf?” katanya sambil menatap lurus ke mataku. “Kadang, kata itu terdengar terlalu murah, Liana.” Aku menelan ludah. “T-Tuan, saya tidak bermaksud—” Tiba-tiba tangannya terangkat, bukan untuk menyentuh, tapi untuk mengetuk meja di sebelahku dengan keras. “Fokus. Kalau kau mau bertahan di posisimu sekarang, buktikan bahwa kau layak.” Dia menunduk sedikit, suaranya merendah, nyaris seperti bisikan. “Karena di mataku, kesalahan kecil bisa jadi alasan untuk menghancurkan seseorang atau justru mengubah segalanya.” Tatapan kami bertemu sejenak. Ada sesuatu di sana, amarah, rasa ingin tahu, dan sesuatu yang lebih gelap yang bahkan aku sendiri tak mengerti. “Aku tidak akan mengulanginya lagi, Tuan,” bisikku. Dia tersenyum samar, senyum yang entah menenangkan atau menakutkan. “Kita lihat saja nanti, Liana.” lalu ia kembali menegakkan tubuhnya dan kembali ke kursi kebesaran nya. Dan aku pun undur diri untuk mengerjakan pekerjaanku yang sudah menunggu di meja. ***********Pagi itu terasa lebih berat dari biasanya. Liana datang ke kantor jauh lebih awal, dengan harapan bisa menghindari tatapan Tuan Eldric yang masih membekas di pikirannya sejak malam itu. Bayangan Eldric yang mabuk, wajahnya yang nyaris tak dikenali, dan suaranya yang bergetar di antara kesadaran, semuanya masih jelas. Ia bahkan tak tahu bagaimana harus bersikap sekarang. Haruskah ia berpura-pura tidak terjadi apa-apa? Suara langkah sepatu terdengar dari arah pintu kaca. Liana sontak menegakkan punggungnya, Eldric Adrian baru saja tiba. Pria itu mengenakan jas hitam sempurna seperti biasa, wajahnya tanpa ekspresi, tapi entah mengapa, sorot matanya berbeda. Ada sesuatu di sana, sesuatu yang tak bisa Liana jelaskan, seperti amarah yang disembunyikan, bercampur dengan rasa tidak nyaman. “Laporan minggu lalu belum ada di mejaku,” ucap Eldric dingin, menaruh tas kerjanya di meja. Suara itu tenang, tapi tajam. “Sudah saya kirim lewat email, Tuan,” jawab Liana pelan. “Email bukan alasan
Cahaya matahari menembus tirai tipis, membias lembut ke dalam ruangan yang masih berantakan. Bau alkohol samar-samar masih terasa di udara.Eldric mengerang pelan, menekan pelipisnya yang berdenyut hebat, kepalanya terasa berat, mulut kering. Ia duduk perlahan di tepi ranjang, mencoba mengingat apa yang terjadi semalam, hanya potongan gambar yang datang dan pergi. Klub malam, suara Damon, lalu…Seseorang memanggil namanya.Dan kini, di sisi ruangan, ia melihat sesosok gadis tertidur di kursi dengan kepala bersandar di tepi ranjang. Rambut hitamnya terurai lembut, wajahnya terlihat lelah, tapi damai.Liana.Eldric mengerjap pelan, seketika, kesadarannya kembali penuh. Ia memandang sekeliling, jas nya di sofa, meja berantakan, dan segelas air di nakas. Keningnya berkerut, saat melihat Liana di sana.“Apa yang dia lakukan di sini?”Suara beratnya membuat Liana terbangun. Gadis itu buru-buru bangkit, sedikit panik.“T-Tuan Eldric! Anda sudah bangun?”Eldric menatap tajam. “Apa yang kau la
Kota sudah mulai sepi ketika Eldric memutuskan keluar dari kantor. Hujan berhenti, tapi langit masih berwarna kelabu. Di depan lobi, seorang pria berjas abu-abu menunggunya sambil menepuk bahu sopir Eldric.“Lama banget, Bro. Gue kira Lo nggak jadi,”Suara berat itu milik Damon, teman lama Eldric sejak masa kuliah, orang yang tahu sisi-sisi yang tidak pernah dilihat publik.Eldric hanya menatap singkat. “Aku butuh udara.”“Udara atau pelarian?” Damon tersenyum miring. “Ayo, gue tau tempat yang pas buat itu.”**Lampu neon berkedip, musik berdentum, dan aroma alkohol bercampur parfum memenuhi ruangan. Eldric duduk di kursi VIP, kemejanya terbuka satu kancing, tangan kirinya memegang gelas berisi cairan berwarna amber.Damon bersandar di sebelahnya, menatap ke arah panggung dansa. “Kau tahu, sejak Freya menikah, kau gak pernah benar-benar hidup, Ric.”Eldric diam. Tidak menoleh, tidak bereaksi.Damon melanjutkan, “Tujuh tahun, Bro. Tujuh tahun Lo sibuk nyiksa diri lo sendiri. Perusahaan
Pertemuan berlangsung lebih lama dari yang ku perkirakan. Setiap kali Eldric berbicara, semua mata tertuju padanya, percaya atau takut, aku sendiri tak tahu. Hanya saja, setiap nada suaranya terdengar pasti, tegas, dan tak memberi ruang sedikit pun untuk kesalahan.Aku duduk di sisi ruangan, mencatat setiap poin yang disampaikan. Sesekali, tatapannya menembus arahku. Bukan marah, tapi cukup untuk membuatku menunduk cepat, pura-pura sibuk menulis.Saat pertemuan berakhir, semua orang bergegas meninggalkan ruangan. Eldric masih berdiri, tangannya bersedekap, menatap keluar jendela besar yang memperlihatkan langit mendung.“Liana,” panggilnya pelan, namun cukup tegas untuk membuatku berhenti.Aku menelan ludah. “Ya, Tuan?”Ia menoleh perlahan. Tatapan itu tajam, tapi entah kenapa terasa sangat dalam.“Kau gugup?” tanyanya tiba-tiba.Aku menggeleng cepat. “Tidak, Tuan. Hanya sedikit-”“Simpan alasanmu.” Ia berjalan mendekat.“Aku tahu kau masih tertekan soal kemarin. Tapi di sini, kesalah
Hari itu kantor terasa lebih sunyi dari biasanya. Mungkin hanya perasaanku saja, atau mungkin memang semua orang sengaja menahan napas setiap kali Eldric Adrian berjalan melewati koridor.Aku mengetik laporan pagi di meja kecil di luar ruangannya. Jemariku nyaris tak berhenti bergerak, tapi pikiranku terus melayang ke insiden rapat kemarin. Sejak saat itu, Eldric tak banyak bicara padaku, tapi setiap tatapan dinginnya seolah mengingatkan, aku tidak boleh salah lagi.Suara langkah sepatu terdengar mendekat.Aku spontan menegakkan punggung, menahan napas.“Masuk.”Suaranya datar, tapi cukup untuk membuat jantungku berpacu.Aku membuka pintu perlahan, membawa berkas yang baru saja selesai. Eldric duduk di kursinya, menatap layar laptop tanpa ekspresi. Wajahnya terlihat tenang, tapi aku tahu, ketenangannya justru yang paling berbahaya.“Kau sudah periksa data keuangan yang ku kirim semalam?” tanyanya tanpa menoleh.“Sudah, Tuan. Semuanya lengkap,” jawabku hati-hati.“Lengkap?”Ia menutup
Keesokan harinya.Sudah lewat pukul sembilan pagi, dan aku masih berdiri di depan ruangan itu, ruangan yang kemarin nyaris menghancurkan hidupku.Aku menatap papan nama di depan pintu: Eldric Adrian, Chief Executive Officer.Nama yang kini selalu terngiang di kepalaku.Setelah insiden memalukan kemarin, aku pikir aku akan langsung dipecat. Tapi justru sebaliknya, aku dipanggil ke kantor HR dan diberi surat mutasi.“Mulai hari ini, kamu jadi asisten pribadi Tuan Eldric,” kata HR dengan wajah datar, seolah itu hal biasa.Aku bahkan tak tahu harus bersyukur atau menangis."Tarik napas, Liana. Ini hanya pekerjaan. Kau bisa melakukannya."Klek, aku pun membuka pintu.Aku melangkah masuk. Eldric sudah duduk di kursinya, mengenakan setelan jas abu gelap. Rambutnya tertata rapi, ekspresinya datar dan tak terbaca. Aura dingin yang kemarin ku rasakan kini bahkan lebih kuat.“Datang tepat waktu. Setidaknya kau tahu caranya mematuhi perintah,” ujarnya tanpa menatap ku.Aku menelan ludah. “Baik, T







